Baru
kali ini ketika naik taxi, kami mendapatkan suasana berbeda. Di dalam
taxi kami hanya sekitar 10 menit, namun beberapa pelajaran sudah kami
dapatkan dari seseorang yang pekerjaannya sopir (yang mungkin dianggap
remeh oleh sebagian orang).
Ia pertama kali membaca surat Yusuf pada ayat-ayat yang berbicara
tentang saudara-saudara Yusuf yang menceritakan pada ayah mereka bahwa
Yusuf telah dimakan serigala. Saya lantas bertanya, “Engkau menghafalkan
Al Qur’an?” “Ia betul”, jawabnya. “Berapa juz yang engkau hafal?”,
tanya saya kembali. “Lima juz”, jawabnya. Ia menambahkan, “Namun saya
hanya menghafalkannya di taxi.” “Masya Allah, itu sudah luar biasa”,
tutur saya. Lantas setelah itu saya bertanya mengenai asal daerahnya. Ia
menjawab bahwa ia berasal dari Ethiopia (negeri Habasyah). Dahulu, di
Habasyah terdapat raja Najasyi yang masuk Islam dan mati di
tengah-tengah orang Nashrani. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan
shalat ghoib untuk raja tersebut. Saya pun bertanya apa bahasa yang
digunakan di Ethiopia. Ia menjawab ada dua bahasa. Satunya adalah bahasa
Ethiopia dan bahasa daerah di sana. Saya pun kagum dengan bahasa
Arabnya yang fasih. Ia menjawab bahwa yang bisa berbahasa Arab di
Ethiopia hanyalah orang-orang yang pernah belajar. Ia pun sendiri
lulusan syari’ah di Ethiopia. Di dalam taxi pun ia memberikan
nasehat-nasehat berharga kepada saya tentang hafalan Qur’an dengan
menyebutkan kalam Imam Syafi’i.
Pertemuan yang amat singkat, namun membuatku sangat terkesan. Ada beberapa faedah yang bisa saya ambil dari perjumpaan dengan sopir tersebut:
Pertama: Siapa pun bisa menghafalkan Al Qur’an tergantung dengan kemauan dirinya. Kita lihat saja seorang sopir yang begitu sibuk bisa sempat menghafal Al Qur’an.
Kedua: Kesibukan kita bisa diisi dengan menghafal Al Qur’an. Di sela-sela pekerjan sebenarnya bisa kita isi dengan memutar kaset murothal dan kita simak. Lama kelamaan kita pun bisa menghafalnya.
Ketiga: Tidak ada alasan untuk menghafal Al Qur’an apa pun kesibukan kita, mau sopir, pembantu rumah tangga, pekerja kantor ataukah seorang mahasiswa.
Keempat: Isilah waktu-waktu senggang dengan hal bermanfaat, sempatkan untuk menghafalkan Al Qur’an.
Kelima: Profesi apa pun bisa saja menjadi hafiz Al Qur'an dengan izin Allah, tidak mesti dipersyaratkan cerdas.
Keenam: Waktu luang juga sempatkan untuk berdakwah dan memberi nasehat pada orang lain. Semisal sopir taxi tadi saat kerja pun masih menyempatkan diri untuk memberikan nasehat pada hamba yang penuh kekurangan ilmu ini.
Ketujuh: Walau sedikit dari Al Qur’an yang baru dihafal, namun yang penting kontinu dan istiqomah dalam menghafal dan mengulang-ngulangnya.
Walau 10 menit, faedah di atas sungguh membangkitkan jiwa ini. Sungguh benar kata para ulama, jika kita bertemu dengan orang sholeh, hati pun menjadi tenang. Gundah gulana pun akan sirna.
Al Fudhail bin ‘Iyadh berkata,
‘Abdullah bin Al Mubarok mengatakan, “Jika kami memandang Fudhail bin ‘Iyadh, kami akan semakin sedih dan merasa diri penuh kekurangan.”
Ja’far bin Sulaiman mengatakan, “Jika hati ini ternoda, maka kami segera pergi menuju Muhammad bin Waasi’.”[2]
Ibnul Qayyim mengisahkan, “Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan gundah gulana atau muncul dalam diri kami prasangka-prasangka buruk atau ketika kami merasakan sempit dalam menjalani hidup, kami segera mendatangi Ibnu Taimiyah untuk meminta nasehat. Maka dengan hanya memandang wajah beliau dan mendengarkan nasehat beliau serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang”.[3]
Semoga faedah dan teladan yang kami torehkan ini semakin menyemangati kami dan pembaca sekalian untuk gemar menghafal Al Qur’an dan menjadi lebih baik hari demi hari.
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 10 Shafar 1433 H
www.rumayhso.com
[1] Siyar A’lam An Nubala’, 8/435, Mawqi’ Ya’sub.
[2] Ta’thirul Anfas min Haditsil Ikhlas, Sayyid bin Husain Al ‘Afani, hal. 466, Darul ‘Affani, cetakan pertama, tahun 1421 H
[3] Lihat Shahih Al Wabilush Shoyyib, antara hal. 91-96, Dar Ibnul Jauziy
Pertemuan yang amat singkat, namun membuatku sangat terkesan. Ada beberapa faedah yang bisa saya ambil dari perjumpaan dengan sopir tersebut:
Pertama: Siapa pun bisa menghafalkan Al Qur’an tergantung dengan kemauan dirinya. Kita lihat saja seorang sopir yang begitu sibuk bisa sempat menghafal Al Qur’an.
Kedua: Kesibukan kita bisa diisi dengan menghafal Al Qur’an. Di sela-sela pekerjan sebenarnya bisa kita isi dengan memutar kaset murothal dan kita simak. Lama kelamaan kita pun bisa menghafalnya.
Ketiga: Tidak ada alasan untuk menghafal Al Qur’an apa pun kesibukan kita, mau sopir, pembantu rumah tangga, pekerja kantor ataukah seorang mahasiswa.
Keempat: Isilah waktu-waktu senggang dengan hal bermanfaat, sempatkan untuk menghafalkan Al Qur’an.
Kelima: Profesi apa pun bisa saja menjadi hafiz Al Qur'an dengan izin Allah, tidak mesti dipersyaratkan cerdas.
Keenam: Waktu luang juga sempatkan untuk berdakwah dan memberi nasehat pada orang lain. Semisal sopir taxi tadi saat kerja pun masih menyempatkan diri untuk memberikan nasehat pada hamba yang penuh kekurangan ilmu ini.
Ketujuh: Walau sedikit dari Al Qur’an yang baru dihafal, namun yang penting kontinu dan istiqomah dalam menghafal dan mengulang-ngulangnya.
Walau 10 menit, faedah di atas sungguh membangkitkan jiwa ini. Sungguh benar kata para ulama, jika kita bertemu dengan orang sholeh, hati pun menjadi tenang. Gundah gulana pun akan sirna.
Al Fudhail bin ‘Iyadh berkata,
نَظْرُ المُؤْمِنِ إِلَى المُؤْمِنِ يَجْلُو القَلْبَ
“Pandangan seorang mukmin kepada mukmin yang lain akan mengilapkan hati.”[1]
Maksud beliau adalah dengan hanya memandang orang sholih, hati
seseorang bisa kembali tegar. Oleh karenanya, jika orang-orang sholih
dahulu kurang semangat dan tidak tegar dalam ibadah, mereka pun
mendatangi orang-orang sholih lainnya.‘Abdullah bin Al Mubarok mengatakan, “Jika kami memandang Fudhail bin ‘Iyadh, kami akan semakin sedih dan merasa diri penuh kekurangan.”
Ja’far bin Sulaiman mengatakan, “Jika hati ini ternoda, maka kami segera pergi menuju Muhammad bin Waasi’.”[2]
Ibnul Qayyim mengisahkan, “Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan gundah gulana atau muncul dalam diri kami prasangka-prasangka buruk atau ketika kami merasakan sempit dalam menjalani hidup, kami segera mendatangi Ibnu Taimiyah untuk meminta nasehat. Maka dengan hanya memandang wajah beliau dan mendengarkan nasehat beliau serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang”.[3]
Semoga faedah dan teladan yang kami torehkan ini semakin menyemangati kami dan pembaca sekalian untuk gemar menghafal Al Qur’an dan menjadi lebih baik hari demi hari.
Silakan simak Keutamaan Menjadi Penghafal Al Qur'an.
Wallahu waliyyut taufiq.
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 10 Shafar 1433 H
www.rumayhso.com
[1] Siyar A’lam An Nubala’, 8/435, Mawqi’ Ya’sub.
[2] Ta’thirul Anfas min Haditsil Ikhlas, Sayyid bin Husain Al ‘Afani, hal. 466, Darul ‘Affani, cetakan pertama, tahun 1421 H
[3] Lihat Shahih Al Wabilush Shoyyib, antara hal. 91-96, Dar Ibnul Jauziy
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer