Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلَا تُنْكَحُ
الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ
وَكَيْفَ إِذْنُهَا قَالَ أَنْ تَسْكُتَ
“Tidak boleh
menikahkan seorang janda sebelum dimusyawarahkan dengannya dan tidak
boleh menikahkan anak gadis (perawan) sebelum meminta izin darinya.”
Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mengetahui izinnya?”
Beliau menjawab, “Dengan ia diam.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 1419)
Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ
يَسْتَأْذِنُهَا أَبُوهَا فِي نَفْسِهَا وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا
“Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya,
sedangkan perawan maka ayahnya harus meminta persetujuan dari dirinya.
Dan persetujuannya adalah diamnya.” (HR. Muslim no. 1421)
Dari Khansa’ binti Khidzam Al-Anshariyah radhiallahu anha:
أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ ثَيِّبٌ فَكَرِهَتْ ذَلِكَ
فَأَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ
نِكَاحَهَا
“Bahwa ayahnya pernah menikahkan dia -ketika itu dia janda- dengan
laki-laki yang tidak disukainya. Maka dia datang menemui Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam (untuk mengadu) maka Nabi shallallahu
alaihi wasallam membatalkan pernikahannya.” (HR. Al-Bukhari no. 5138)
Al-Bukhari memberikan judul bab terhadap hadits ini, “Bab: Jika
seorang lelaki menikahkan putrinya sementara dia tidak senang, maka
nikahnya tertolak (tidak sah).”
Penjelasan ringkas:
Di antara kemuliaan yang Allah Ta’ala berikan kepada kaum wanita
setelah datang Islam adalah bahwa mereka mempunyai hak penuh dalam
menerima atau menolak suatu lamaran atau pernikahan, yang mana hak ini
dulunya tidak dimiliki oleh kaum wanita di zaman jahiliah. Karenanya
tidak boleh bagi wali wanita manapun untuk memaksa wanita yang dia
walikan untuk menikahi lelaki yang wanita itu tidak senangi.
Karena menikahkan dia dengan lelaki yang tidak dia senangi berarti
menimpakan kepadanya kemudharatan baik mudharat duniawiah maupun
mudharat diniah (keagamaan). Dan sungguh Nabi shallallahu alaihi
wasallam telah membatalkan pernikahan yang dipaksakan dan pembatalan ini
menunjukkan tidak sahnya, karena di antara syarat sahnya pernikahan
adalah adanya keridhaan dari kedua calon mempelai.
Akan
tetapi larangan memaksa ini bukan berarti si wali tidak punya andil
sama sekali dalam pemilihan calon suami wanita yang dia walikan.
Karena bagaimanapun juga si wali biasanya lebih pengalaman dan lebih
dewasa daripada wanita tersebut. Karenanya si wali disyariatkan untuk
menyarankan saran-saran yang baik lalu meminta pendapat dan izin dari
wanita yang bersangkutan sebelum menikahkannya. Tanda izin dari wanita
yang sudah janda adalah dengan dia mengucapkannya, sementara tanda izin
dari wanita yang masih perawan cukup dengan diamnya dia, karena biasanya
perawan malu untuk mengungkapkan keinginannya.
(http://al-atsariyyah.com/haramnya-nikah-ala-siti-nurbaya.html)
Berikut beberapa fatwa ulama seputar permasalahan ini.
Perbuatan Seorang Ayah Memaksa Putrinya untuk Menikah adalah Haram
Fadhilah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah ditanya:
Saya memiliki
saudara perempuan seayah, kemudian ayah saya menikahkannya dengan
laki-laki tanpa keridhaannya dan tanpa meminta pertimbangan kepadanya,
padahal dia telah berumur 21 tahun. Ayah saya telah mendatangkan saksi
palsu atas akad nikahnya, bahwa dia (saudari saya) menyetujui akan hal
tersebut. Dan ibunya ikut terjerumus menjadi pengganti dia dalam
mengadakan akad. Demikianlah, akad pun selesai dalam keadaan saudari
saya senantiasa meninggalkan suaminya tersebut. Apa hukum akad nikad itu
dan persaksian palsu tersebut?
Maka beliau rahimahullah menjawab:
Saudari perempuan tersebut, apabila dia masih gadis dan dipaksa oleh
ayahnya untuk menikah dengam laki-laki tersebut, sebagian ahlul ilmi
berpendapat sahnya nikah tersebut. Dan mereka memandang bahwa sang ayah
berhak untuk memaksa putrinya untuk menikah dengan laki-laki yang tidak
disenangi putrinya apabila laki-laki tersebut sekufu’ [1] dengannya. Akan
tetapi pendapat yang rajih (kuat) dalam masalah ini, bahwasanya tidak
halal bagi sang ayah atau selainnya memaksa anak yang masih gadis untuk
menikah dengan laki-laki yang tidak disukainya, meskipun sekufu’. Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Wanita gadis tidak boleh dinikahkan hingga dimintai izinnya.”
Ini umum, tidak ada seorang wali pun yang dikecualikan darinya. Bahkan telah warid dalam “Shahih Muslim”:
“Wanita gadis, ayahnya harus minta izin kepadanya.”
Hadits ini memberikan nash atas wanita gadis dan nash atas ayahnya.
Nash ini, apabila terjadi perselisihan (antara ayah dan putrinya), maka
wajib untuk kembali kepada nash ini. Berdasarkan hal ini, maka perbuatan
seseorang memaksa putrinya untuk menikah dengan laki-laki yang tidak
disukainya adalah perbuatan haram. Sedang sesuatu yang haram tidak sah
dan tidak pula berlaku. Sebab pemberlakuan dan pengesahannya
bertentangan dengan larangan yang warid dalam masalah ini. Dan apa saja
yang dilarang syariat ini maka sesungguhnya menginginkan dari umat ini
agar tidak mengaburkan dan melakukannya. Kalau kita mengesahkan
pernikahan tersebut, maknanya kita telah mengaburkan dan melakukan
larangan tersebut serta menjadikam akad tersebut sama dengan akad nikah
yang diperbolehkan oleh Pembuat syariat ini. Ini adalah suatu perkara
yang tidak boleh terjadi. Maka berdasarkan pendapat yang rajih ini,
perbuatan ayah anda menikahkan putrinya tersebut dengan laki-laki yang
tidak disukainya adalah pernikahan yang fasid (rusak), wajib untuk
mengkaji ulang akad tersebut di hadapan pihak mahkamah.
Adapun bagi saksi palsu, maka dia telah melakukan dosa besar
sebagaimana tsabit dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
bahwasanya beliau bersabda:
“Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang dosa besar yang paling besar?”
Kemudian beliau pun menyebutkannya dan pada waktu itu beliau bersandar kemudian duduk dan mengatakan:
“Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang dosa besar yang paling
besar? Maka kami (para shahabat) menjawab: “Tentu ya Rasulullah!” Beliau
bersabda: “Menyekutukan Allah Azza wa Jalla dan durhaka kepada orang
tua.” Pada waktu itu beliau bersandar kemudian duduk seraya mengatakan:
“Ingatlah, dan perkataan dusta, ingatlah, dan perkataan dusta, ingatlah,
dan persaksian palsu…!” Beliau terus mengulanginya hingga para shahabat
mengatakan, “Semoga beliau diam”.
Mereka adalah orang-orang yang telah melakukan persaksian palsu.
Wajib bagi mereka untuk bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla dan
mengatakan perkataan yang haq (benar), dan hendaknya dia menjelaskan
kepada hakim yang resmi bahwa mereka telah melakukan persaksian palsu
dan bahwasanya mereka mencabut kembali persaksian tersebut. Demikian
juga si ibu, yang mana dia telah terjerumus menggantikan putrinya dengan
dusta, dia telah berdosa dengan perbuatan tersebut dan wajib baginya
untuk bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla dan tidak melakukan kembali
perbuatan yang semisalnya. [Fatawa Al-Mar'ah]
Tidak Boleh Seorang Ayah Memaksa Putranya untuk Menikah dengan Wanita yang Tidak Disenanginya
Fadhilah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin juga ditanya:
Apa
hukumnya jika seorang ayah ingin menikahkan putranya dengan wanita yang
bukan shalihah? Dan apa hukumnya apabila dia tidak mau menikahkannya
dengan wanita yang shalihah?
Maka beliau rahimahullah pun memberi jawaban:
Tidak boleh seoramg ayah memaksa putranya untuk menikahi wanita yang
tidak disukainya, baik dikarenakan aib yang ada pada wanita tersebut
berupa aib dien, tubuhnya atau akhlaknya. Betapa banyak orang-orang yang
menyesal ketika memaksa anak-anaknya untuk menikah dengan wanita-wanita
yang tidak disukainya. Akan tetapi, dia mengatakan: “Nikahilah dia,
sebab dia itu anak saudaraku atau karena dia itu dari kabilahmu” dan
alasan yang lainnya. Maka tidak mengharuskan bagi si anak untuk
menerimanya dan tidak boleh bagi orang tua untuk memaksa putranya agar
menikahi wanita tersebut. Demikian juga, kalau seandainya si anak ingin
menikah dengan wanita yang shalihah, kemudian sang ayah
menghalang-halanginya, maka hal itu tidak mengharuskan bagi si anak
untuk mentaatinya, apabila si anak memang senang dengan wanita shalihah
tersebut dan ayahnya mengatakan, “Kamu tidak boleh nikah dengannya!”
maka boleh baginya untuk menikah dengan wanita tersebut walaupun
dihalang-halangi oleh ayahnya. Sebab seorang anak tidak harus taat
kepada ayahnya dalam perkara yang tidak membahayakan ayahnya, bahkan
justru bermanfaat bagi ayahnya. Kalau kita katakan bahwasanya wajib bagi
seorang anak menaati orang tuanya dalam segala sesuatu hingga dalam
permasalahan yang di dalamnya terdapat manfaat bagi si anak dan tidak
membahayakan ayahnya, niscaya akan timbul berbagai kerusakan. Akan
tetapi dalam keadaan seperti ini, hendaknya seorang anak bersikap luwes
terhadap ayahnya, lemah lembut dalam memahamkannya dan semampunya
berusaha agar ayahnya merasa lega. [Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makky,
jilid 3 hal. 224]
Hukum Nikah Paksa bagi Janda
Samahatusy Syaikh
Muhammad bin Ibrahim ditanya tentang hukum seorang anak perempuan yang
dinikahkan ayahnya tanpa ada ridha darinya, di mana ketika itu ia telah
menjanda, ia telah menikah sebelumnya dengan seorang pria.
Jawaban:
Apabila kondisinya sebagaimana yang anda gambarkan maka nikahnya yang
terakhir adalah tidak sah. Karena termasuk syarat-syarat pernikahan
adalah adanya ridha dari kedua pasangan (suami-istri). Seorang janda
tidak boleh dipaksa oleh ayahnya apabila ia telah berumur lebih dari 9
tahun (para ulama dalam hal ini pendapatnya sama). [Fatawa wa Rasail
Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim jilid 10 hal. 80]
Hukum Seorang Janda yang Dipaksa Menikah oleh Ayahnya
Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya tentang hukum seorang janda yang dipaksa ayahnya untuk menikah.
Jawaban:
Khusus pernikahan seorang wanita dengan lelaki putra pamannya,
sementara ia dipaksa oleh ayahnya untuk menikah dengan lelaki itu dalam
kondisi sebagai seorang janda yang baligh, sehat akalnya dan
kesadarannya. Sekarang pernikahan dengan putra pamannya itu telah
berjalam selama 10 tahun dalam keadaan suaminya belum pernah
menggaulinya. Ia tidak pernah merasa ridha kepada lelaki itu dan
sekarang keadaannya semakin buruk. Ia selalu mendesak lelaki itu untuk
memutus ikatan pernikahannya.
Kami simpulkan untuk anda, di mana telah jelas di hadapan anda adanya
unsur paksaan dari ayah sang wanita untuk melakukan pernikahan dengan
putra pamannya. Sedangkan kondisi ketika itu ia seorang janda yang
baligh dan berakal sehat, maka pernikahannya itu adalah tidak sah.
Karena termasuk syarat sahnya sebuah pernikahan adalah adanya keridhaan
dari calon pasangan suami-istri. Bila keduanya tidak ridha atau salah
satunya tidak ridha maka pernikahannya tidak sah.
Di dalam pemaksaan seorang ayah kepada anak-anaknya yang masih di
bawah umur dan kepada anak-anaknya yang terganggu akalnya (abnormal),
juga kepada anak yang masih gadis (bukan janda) untuk melakukan
pernikahan, maka dalam hal ini ada dua pendapat.
Sedangkan bagi janda yang telah baligh dan berakal sehat, maka tidak
ada khilaf (perselisihan ulama) bahwa sang ayah tidak berhak untuk
memaksamya dan ini adalah pendapat mayoritas ulama. Karena telah
diriwayatkan bahwa Al-Khansa bintu Haram Al-Anshariyyah meriwayatkan
bahwa ayahnya pernah memaksa ia untuk menikah sementara ia dalam keadaan
menjanda. Ia menolaknya dan kemudian mendatangi Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam selanjutnya beliau membatalkan pernikahannya. [Fatawa
wa Rasail Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim jilid 10 hal. 85-86]
Seorang Anak Perempuan Dinikahkan oleh Ayahnya ketika Masih di Bawah Umur dan ketika Dewasa Ia Merasa Tidak Ridha
Samahatusy
Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya tentang hukum seorang anak
perempuan yang diserahkan oleh ayahnya kepada seorang lelaki untuk
dinikahi, sementara usianya masih kecil, lalu sang ayah meninggal dunia.
Setelah
anak perempuan itu baligh, ia menolak penyerahan dirinya yang dilakukan
ayahnya dulu, dan ia merasa tidak ridha kepada lelaki (suaminya) itu
yang dulu ayahnya telah menyerahkan dirinya kepadanya.
Jawaban:
Apabila keadaannya adalah sebagaimana yang disebutkan, maka tidaklah
perbuatan penyerahan yang dimaksud sebagai cara menikahkan yang sah,
tidak pula wanita itu dianggap sebagai istri bagi pria tersebut hanya
dengan sekedar melakukan apa yang anda sebutkan itu, karena tidak
lengkapnya syarat-syarat dari akad nikah yang sah. [Fatawa wa Rasail
Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim jilid 10 hal. 78.
Hukum Menikahkan Seorang Perempuan Yatim tanpa Seijinnya?
Fadhilatusy Syaikh Abdurrahman As-Sa'di ditanya:
Apakah boleh menikahkan seorang anak perempuan yatim tanpa seijinnya?
Jawaban:
Seorang perempuan yatim tidak dibenarkan untuk dinikahkan oleh
saudara laki-lakinya kecuali dengan persetujuannya. Dan bentuk
persetujuan seorang janda adalah dengan ucapan lisan dan ijinnya,
sedangkan persetujuan dari seorang gadis bisa dengan ucapan lisannya
bisa pula dengan sikap diamnya sepanjang ia tidak mengucapkan kata
"tidak".
Bila ibunya, bibinya (dari jalur ibu), atau saudara perempuannya
mengatakan bahwa ia ridha sebelum ia mengatakannya sendiri, maka tidak
perlu ada persaksian (pernyataan) langsung atas persetujuannya. Kecuali
bila dikhawatirkan bahwa saudara laki-lakinya atau walinya ingin
memaksanya untuk melakukan pernikahan, maka harus ada persaksian
(pernyataan) langsung atas persetujuannya. [Al-Majmu'ah Al-Kamilah li
Muallafat Asy-Syaikh As-Sa'di hal. 349/7]
Menikahkan Seorang Anak Perempuan dengan Lelaki yang tidak disukainya
Fadhilatusy Syaikh Abdurrahman As-Sa’di ditanya:
Apakah boleh memaksa seorang anak perempuan untuk menikah dengan lelaki yang tidak disukainya?
Jawaban:
Tidak boleh bagi ayah perempuan itu untuk memaksa dan tidak boleh pula bagi ibunya untuk memaksa anak perempuan itu menikah,
meski keduanya ridha dengam keadaan agama dari lelaki tersebut.
[Al-Majmu'ah Al-Kamilah li Muallafat Asy-Syaikh As-Sa'di hal. 349/7]
Wallahu a’lam bish-shawab.
Footnote:
[1] Lihat pengertian kufu di Batasan Kufu dalam Nikah
Referensi:
1. Bingkisan ‘tuk Kedua Mempelai karya Abu ‘Abdirrahman
Sayyid bin ‘Abdirrahman Ash-Shubaihi (alih bahasa: Abu Hudzaifah),
penerbit: Maktabah Al-Ghuroba’, hal. 451-456.
2. Fatwa-fatwa Ulama Ahlus Sunnah Seputar Pernikahan,
Hubungan Suami Istri dan Perceraian disusun oleh Amin bin Yahya
Ad-Duwaisi (penerjemah: Abu Abdirrahman Muhammad bin Munir), penerbit:
Qaulan Karima, hal. 23-28.
sumber : http://fadhlihsan.wordpress.com/2010/05/04/hukum-pernikahan-karena-paksaan-orang-tua/
Free Template Blogger
collection template
Hot Deals
BERITA_wongANteng
SEO
theproperty-developer
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.
Jumlah Pengunjung
Blog Archive
-
▼
2012
(753)
-
▼
January
(80)
- Jembatan Ambruk Karena Tidak Ada Tumbal?
- Sebuah Kalung Yang Mengingatkan Nabi –shallallahu ...
- Hukum Telonan dan Mandi Tujuh Bulanan
- HANYA UNTUK PARA ISTRI (Karakteristik Istri Sholihah)
- Yang Pinter Menasehati Buanyak….!!! Tapi Yang Meng...
- Mengusap Jilbab ketika Berwudhu
- Katak dan Ular, Halal?
- Hukum Kecelakaan Mobil
- Apakah Penduduk Negeri Itu Merasa Aman?
- Wudhu di Kamar Mandi
- Hukum Wanita Haid Masuk dan Berdiam Diri Dalam Masjid
- Rokok itu Haram
- Hukum Mengacungkan Telunjuk Saat Duduk Antara Dua ...
- Hak Suami
- (TANYA JAWAB) HUKUM NIKAH KARENA DIPAKSA ORANG TUA...
- (FULL,KOMPLIT,GRATIS) Download Murotal (MP3,3GP Al...
- Pilih Gadis atau Janda?
- Menikahi Janda,… Mengapa Tidak ?!
- Dilema Cinta Dalam Logika Asmara (Bag. 02)
- Bolehkah Nazhor Diulangi?
- Hukum mengikuti suara adzan dari radio
- Akal-Akalan dalam Riba
- Syarah Hadits Nuzul (Turunnya Allah ke Langit Duni...
- Shalat Jum’at Haruskah dengan 40 Jama’ah?
- Ketika Menikah Dengan Seseorang Yang Terpaut Jauh ...
- 13 Penyebab Akun Facebook di Blokir atau di Hapus
- Melakukan ‘Azl Guna Mencegah Kehamilan
- MENGHADIAHKAN UANG SAAT KELAHIRAN
- Mukhtasor Zaadul Maa’ad
- Pengaruh Makanan yang Haram
- Wanita Menikah Tanpa Mahar
- Sikap Seorang Muslim Dalam Menghadapi Musibah
- Gambaran Surga Dalam Alqur’an
- Celakalah Al Maa’un, Orang yang Pelit
- Kisah Nyata di Suatu Dauroh (Perjalanan Seorang Pe...
- Meneladani Bakti Ulama Pada Orangtuanya
- 7 Hukum Seputar Shalat Sunnah (seri 3)
- (LENGKAP) DOWNLOAD GRATIS BUKU ILMU TAJWID QUR’AN ...
- Cek IMEI Untuk Mengetahui Kualitas Hape Kita
- Memanfaatkan Fasilitas Kantor untuk Keperluan Pribadi
- Kisah Seorang Putri Sholihah yang Menakjubkan
- Mengenal Bulan Shafar
- Membalas Salam Non Muslim
- Kritik: Ijtima’ Tahunan Jama’ah Tabligh
- 7 Hukum Seputar Shalat Sunnah (seri 2)
- Anak Meninggal Dalam Kandungan
- Yaumul Mizan
- Tips Khusyu’ dalam Shalat
- Menengadahkan Tangan dalam Berdoa
- Aturan dalam Hubungan Intim (2)
- Darah Keguguran = Nifas?
- (HERBAL PENGOBATAN HIV-AIDS) RAGAM KHASIAT/MANFAAT...
- Daftar Puncak Situs Islami di Indonesia Awal Tahun...
- Aturan dalam Hubungan Intim (1)
- Ingat mati yuh
- Bolehkah Memukul Anak?
- Hadits Dhaif Dalam Kitab Para Ulama
- Taruhan dan Judi dalam Lomba
- Menjadi Imam Shalat Jamaah
- Hakikat Ajaran Syiah
- Bentuk Nikah yang Terlarang (4), Kawin Lari
- Apakah Dia Bisa Menjadi Istriku Kembali di Surga?
- ^INI DALILNYA (19): BOLEHKAH NGALAP BERKAH PADA SE...
- Bekerja di Hotel
- Nikah Mut’ah Menurut Syiah
- Faedah dari Sopir Taxi yang Rajin Menghafal Al Qur’an
- Hukum Ulat dalam Makanan
- Pertanyaan untuk Umar Shihab: Apakah Orang Munafik...
- KH Cholil Ridwan: Bila Syi’ah Besar Ia Akan Merebu...
- Dilema Cinta Dalam Logika Asmara (Bag. 02)
- Ucapan Terima Kasih Komandan Mujahidin Yaman
- Sebagaimana kalian, demikian pula pemimpin kalian
- Syi’ah Itu Sesat Juragan (Sebuah Masukan untuk Bap...
- Menyentuh Bulu Anjing Pertanyaan:
- Tetap istiqomah
- Nasehat Akhir tahun
- Bentuk Nikah yang Terlarang (3)
- Bentuk Nikah yang Terlarang (2), Kawin Kontrak
- Hukum Laki Laki Gondrong
- Wallpaper Islam: Doa Agar Dianugrahi Istri yang Sh...
-
▼
January
(80)