Asal penamaan Shafar
Kata “shafar” dalam bahasa Arab, artinya ‘kosong’. Orang Arab menyebut “angka nol” dengan “shifrun”. Mereka menyebut rumah yang kosong (karena ditinggal pergi penghuninya) dengan sebutan “ashfarat ad-dar”
(rumah yang kosong). Pada bulan inilah, masyarakat jahiliah mulai
mengadakan perjalanan jauh dalam rangka perang, setelah sebelumnya, hal
tersebut dilarang di bulan Muharram. [www.ahlalhdeeth.com]
Masyarakat jahiliah dan bulan Shafar
Masyarakat jahiliah sering menjadikan
bulan Shafar sebagai pengganti kesucian bulan Muharram. Apabila mereka
terdesak melakukan perang di bulan Muharram, mereka mengganti kesucian
bulan Muharram karena berperang tersebut dengan bulan Shafar. Kebiasaan
ini disebut “an-nasi’” (menunda). (Al-Qamus Al-Fiqh, hlm. 351)
Allah mencela keras sikap mereka ini, sebagaimana disebutkan dalam Alquran. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya,
menunda bulan haram itu adalah menambah kekafiran. Orang-orang yang
kafir disesatkan dengan sikap menunda-nunda itu; mereka menghalalkannya
pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka
dapat menyesuaikan dengan bilangan yang Allah haramkan, maka mereka
menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah.” (QS. At-Taubah:37)
Masyarakat jahiliah juga menganggap bulan
ini sebagai bulan sial. Mereka tidak berani mengadakan acara penting
dan perjalanan jauh di bulan ini. Ketika Islam datang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menghapus keyakinan ini.
Hadis sahih seputar bulan Shafar
1. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada penyakit menular, tidak ada shafar, dan tidak ada hammah.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
2. Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak
ada penyakit menular, tidak ada shafar. Allah menciptakan segala
sesuatu serta Allah tetapkan jatah usianya, rezekinya, dan musibahnya.” (HR. Ahmad dan At-Turmudzi; dinilai sahih oleh Al-Albani)
Keterangan:
Perselisihan ulama tentang makna kata ”shafar” dalam hadis
Pertama: Makna “shafar”
pada hadis di atas adalah ‘penyakit yang merusak perut, yang bentuknya
seperti cacing’. Menurut orang Arab, penyakit ini lebih parah
dibandingkan kudis. Mereka meyakini, barang siapa yang terkena penyakit shafar, pasti sebentar lagi akan mati. Adapun kaitannya dengan makna hadis “tidak ada shafar” adalah untuk menolak keyakinan masyarakat jahiliah, bahwa setiap yang terkena shafar pasti mati.
Kedua: Makna “shafar”
pada hadis di atas adalah bulan Shafar (bulan kedua di tahun kamariah).
Ulama, yang memilih pendapat ini, berselisih pendapat tentang makna
“tidak ada shafar”:
1. Maksudnya, bahwa masyarakat jahiliah
dilarang untuk berperang di “bulan haram”, salah satunya adalah bulan
Muharram. Namun, jika perang mereka belum selesai ketika hilal bulan
Muharram tiba, mereka membuat aturan sendiri dengan tetap melanjutkan
peperangan, dan mereka menunda larangan perang ke bulan Shafar.
Kemudian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menghilangkan aturan penundaan ini. Keterangan ini adalah pendapat Imam Malik bin Anas rahimahullah.
2. Masyarakat jahiliah memiliki keyakinan tentang kesialan tentang bulan Shafar. Kemudian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menghapus keyakinan ini. Keterangan ini merupakan pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Rajab.
Hadis daif seputar bulan Shafar
“Barang siapa yang memberi kabar gembira kepadaku akan datangnya bulan Shafar maka aku beri kabar gembira untuknya dengan surga.” (Hadis palsu, sebagaimana keterangan Asy-Syaukani di Al-Fawaid Al-Majmu’ah, hlm. 215)
Amalan di bulan Shafar
Tidak ada amalan khusus terkait bulan
shafar. Yang ada hanya amalan yang umumnya dilaksanakan setiap bulan,
seperti: puasa tiga hari setiap bulan. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Kekasihku
(Rasulullah)–shallallahu ‘alaihi wa sallam–berwasiat kepadaku dengan
tiga hal: puasa tiga hari setiap bulan, dua rakaat duha, dan witir
sebelum tidur.” (HR. Al-Bukhari)
Bid’ah seputar bulan Shafar
Masyarakat jahiliah menjadikan bulan ini sebagai bulan sial. Keyakinan dan sikap semacam ini disebut “ath-thiyarah”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa thiyarah (berkeyakinan sial) adalah kesyirikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Thiyarah itu kesyiriank, thiyarah itu kesyirikan ….” (HR. Abu Daud dan At-Turmudzi; dinilai sahih oleh Al-Albani)
Orang yang terjangkiti penyakit thiyarah
dalam hatinya harus berusaha menolaknya dan mengabaikannya, dengan
bertawakal kepada Allah. Jika tidak, dia akan terjerumus ke dalam
perbuatan syirik kecil. Ibnu Mas’ud mengatakan, “Tidak seorang pun di antara kami (para sahabat) kecuali dia terjangkiti penyakit thiyarah
(dalam hatinya). Hanya saja, Allah menghilangkannya dengan tawakal.”
(HR. Abu Daud dan At-Turmudzi; dinilai sahih oleh Al-Albani)
Barang siapa yang merasa sial dengan hari
atau bulan tertentu, kemudian itu menyebabkan dia menggagalkan
kegiatannya, berarti dia telah melakukan tindakan kesyirikan. Hendaknya,
dia bertobat dan melakukan amal penebusnya, yaitu berdoa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang
siapa yang menggagalkan kegiatannya karena thiyarah maka berarti dia
telah berbuat kesyirikan. Kafarahnya (penebusnya) adalah membaca,
اللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ، وَلاَ طِيَرَ إِلاَّ طِيَرُكَ، وَ لاَ إِلَهَ غَيرُكَ
“Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali
kebaikan dari-Mu, tidak ada kesialan kecuali yang telah Engkau
takdirkan, dan tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Engkau.” (HR. Ahmad; dinilai sahih oleh Al-Albani)
Artikel www.Yufidia.com
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer