JAWAB :
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن اتبع هداه إلى يوم الدين
أما بعد:
Firqah “Al-Ikhwanul Muslimun”
mulai didirikan pada tahun 1347 H, atau bertepatan dengan 1920 M,
melalui seorang yang berasal dari Mesir yang bernama: Hasan Ahmad
Abdurrahman Muhammad Al-banna As-Sa’ati, atau yang lebih populer dengan
penyebutan: Hasan Al-banna. Ia mendirikannya bersama enam pemuda di daerah Isma’iliyah.
Para
pengikut Al-Ikhwanul Muslimun sangat memuliakan sosok Hasan Al-Banna,
bahkan diantara mereka ada yang mensifati Hasan Al-Banna dan kelompoknya
sebagai kelompok yang terbebas dari berbagai kekeliruan dan
penyimpangan, seperti ucapan salah seorang dari mereka mengatakan:
إن للإخوان صرحا كل ما فيه حسن لا تسلني من بناه إنه البنا حسن
“Sesungguhnya Al-Ikhwan memiliki bangunan tinggi (Jama’ah), yang semuanya didalamnya baik
Jangan engkau bertanya kepadaku siapa yang membangunnya, Sesungguhnya Ia adalah Al-Banna Hasan.”
Para
pengikutnya biasa menyebutnya dengan “Ustadz hasan Al-Banna”, kadang
pula disebut dengan “Syaikh Hasan Al-Banna”, dan sering pula disebut
“Al-Imam Hasan Al-Banna”, dan tidak jarang diberi gelar “Al-Imam
Asy-Syahid Hasan Al-Banna”.
Bahkan
penyebutan “Imam” lebih sering disematkan kepadanya dari penyebutan
“Ustadz” atau “Syaikh”, hal ini disebabkan karena Ikhwaniyun (orang yang
menisbatkan dirinya kepada Al-Ikhwanul Muslimun) ketika itu meyakininya
sebagai Imam yang wajib untuk dibai’at oleh seluruh kaum muslimin.
(Lihat kitab : Al-Adhwa’ As-Salafiyah, Ummu Ayyub Nurah Bintu Ahsan,hal:15)
Sebagaimana
tokoh-tokoh yang lain dari Al-Ikhwanul Muslimun juga kerap disebut
dengan panggilan “Ustadz”, “Syaikh”, “Imam” atau mungkin yang lainnya.
Namun perlu diketahui bahwa istilah-istilah tersebut bukanlah merupakan
ciri khas Al-Ikhwanul Muslimun, yang manakala jika ada seseorang
dipanggil dengan sebutan “ustadz”, atau “Syaikh”, atau “Imam”, berarti
dia telah mengikuti kebiasaan “Hizbiyah Al-Ikhwanul Muslimun”. Siapa
yang menganggapnya demikian, tentu saja hal ini merupakan salah satu
statemen yang “nyeleneh”.
Mengenal istilah Al-Imam
Biasanya
istilah ini disematkan kepada seseorang yang dijadikan sebagai panutan
dan yang diikuti, baik dalam kebaikan atau keburukan. Allah Ta’ala
berfirman:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
“Dan
Kami jadikan di antara mereka itu Imam-imam yang memberi petunjuk
dengan perintah Kami ketika mereka sabar . Dan adalah mereka meyakini
ayat-ayat Kami.” (QS.As-Sajadah: 24)
Demikian pula firman-Nya:
وَجَعَلْنَاهُمْ
أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ
الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءَ الزَّكَاةِ وَكَانُوا لَنَا
عَابِدِينَ
“Kami
telah menjadikan mereka itu sebagai Imam-imam yang memberi petunjuk
dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka, agar mereka
mengerjakan kebajikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan hanya
kepada Kamilah mereka selalu menyembah.”
(QS. Al-Anbiya’: 73)
Diantara dalil yang menunjukkan kata “Imam” digunakan dalam keburukan seperti firman Allah:
فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ
“Perangilah imam- imam kekufuran.” (QS. At-Taubah: 12)
Dan firman-Nya:
وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ
“Kami jadikan mereka sebagai imam- imam yang menyeru kepada Neraka.” (QS. Al-Qashash: 41)
Didalam
Islam, penyebutan Imam tidak ditujukan kecuali kepada mereka yang
pantas dijadikan sebagai panutan dalam berislam yang benar, baik dalam
perkara aqidah, manhaj, fikih, mu’amalah, dan aspek kehidupan lainnya,
dimana dia dikenal sebagai orang yang kokoh diatas kebenaran dan
memiliki ilmu yang luas.
Oleh
karenanya, menggunakan istilah imam kepada seseorang tanpa melihat
kondisi orang tersebut apakah ia pantas mendapatkannya, merupakan hal
yang kurang tepat. Diantara yang memberi peringatan dalam masalah ini
adalah Al-Allamah Muhammad bin Saleh Al-Utsaimin Rahimahullah, ketika
disebutkan gelar “Imam” didepan nama Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah, Beliau
berkata:
“ini
termasuk sikap memudah-mudahkan dalam sebagian perkara, sebab
Al-Muwaffaq bukanlah seperti Imam Ahmad, atau Asy-Syafi’i, atau Malik,
atau Abu Hanifah, namun Beliau seorang Imam dalam perkara tertentu, ada
yang mendukung pendapatnya dan berpegang dengannya, sehingga dia disebut
imam dari sisi ini. Adapun imamah (kepemimpinan) yang kedudukannya
seperti yang dimiliki Imam Ahmad dan yang semisalnya, Beliau tidak
sampai kepada tingkatan tersebut.
Pada
masa-masa belakangan ini, semakin banyak penyebutan gelar “Imam”
dikalangan manusia, bahkan gelar tersebut disematkan kepada yang
terendah dari tingkatan para ulama. Hal ini, kalau hanya sekedar
penggunaan lafazh semata, itu perkara yang ringan. Namun ternyata
berpengaruh sampai kepada maknanya. Sebab seseorang, jika melihat ada
yang diberi gelar imam, maka ucapan-ucapannya pun dijadikan sebagai
qudwah (panutan), padahal dia orang yang tidak berhak mendapatkannya.
Hal ini seperti ucapan mereka sekarang ini terhadap orang yang terbunuh
dalam peperangan: bahwa dia mati syahid. Ini adalah haram,
tidak diperbolehkan dipersaksikan kepada setiap orang secara individu
bahwa dia mati syahid. Al-Bukhari Rahimahullah menyebutkan bab dalam
permasalahan ini dengan : Bab: tidak boleh mengatakan: sifulan Syahid.
Bersabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam:
والله أعلم بمن يجاهد في سبيله والله أعلم بمن يكلم في سبيله
“Allah lebih mengetahui siapa yang berjihad dijalan-Nya, Allah lebih mengetahui siapa yang terluka dijalan-Nya.”
Demikian pula Umar bin Khaththab Radhiallahu anhu melarang dari hal tersebut.
Iya,
boleh disebut: siapa yang terbunuh dijalan Allah maka dia syahid, siapa
yang terbunuh karena terkena reruntuhan, atau tenggelam maka dia
syahid, namun tidak boleh dipersaksikan secara individu tertentu.” (Asy-Syarhul mumti’:1/16-17)
Walhasil,
penyebutan Imam kepada seseorang yang layak merupakan hal yang hukumnya
boleh, asal ditempatkan pada tempatnya. Jangan hanya karena Al-Ikhwanul
muslimin terbiasa menyebut pemimpinnya dengan sebutan “Imam” lalu
menghukumi itu sebagai kebiasaan ikhwani, lalu siapa yang melakukannya
maka dia telah terjatuh kedalam hizbiyah, atau mengikuti kebiasaan
hizbiyah. Namun hendaknya tidak terlalu memperluas dalam penggunaan
istilah ini, seperti perbuatan sebagian mereka yang terlalu mudah
memberi pujian kepada yang sepemikiran dengannya, bahkan terkadang
pujian itu dinilai sangat berlebihan. Namun dalam menyikapi orang yang
berselisih dengan mereka, terlalu mudah untuk melemparkan caci maki dan
celaan yang mungkin kita tidak pernah mendengar yang sejenis cacian
tersebut kecuali dari anak-anak jalanan, preman dan centeng pasar,
adapun penuntut ilmu??, saya tidak mengira ada yang berbuat seperti itu.
Satu
contoh saja, pernah kami diperlihatkan pamflet pengumuman pengajian
yang akan diisi oleh “Imam Ahlus sunnah Wal-jama’ah”!!!. Wah luar biasa,
dengan dasar apa diberi gelar “Imam Ahlus sunnah”?, apakah di indonesia
ini sudah ada Imam ahlus sunnah wal jama’ah yang patut dijadikan
sebagai panutan dalam segala hal, atau termasuk yang disebutkan oleh
Ibnu Utsaimin Rahimahullah bahwa itu termasuk bermudah-mudahan dalam
penggunaannya?. Kalaulah setiap Imam shalat boleh digelari “Imam” setiap
namanya disebutkan, maka alangkah banyaknya para imam Ahlussunnah di
negeri kita ini, wallahul musta’an.
Mengenal istilah “Syaikh”
Demikian
pula istilah syaikh, ini merupakan penggunaan yang sangat masyhur,
khususnya dizaman kita sekarang ini. Biasanya gelar ini diberikan kepada
seseorang yang dihormati, dan dianggap memiliki keutamaan dan kelebihan
dalam pengetahuan agamanya, meskipun terkadang pada hakekatnya tidak
demikian. Seperti penyebutan “Syaikh Sayyid Quthub, Syaikh Umar
Tilmisani, Syaikh Sa’id Hawwa”, dan yang lainnya dari penyebutan
Al-Ikhwanul Muslimun dalam menghormati tokoh-tokohnya, merupakan hal
yang sangat masyhur dari mereka. Namun bukan berarti yang menggunakan
istilah ini dikalangan Ahlus sunnah Wal-jama’ah, dihukumi bahwa dia
mengikuti kebiasaan Al-Ikhwanul Muslimun atau telah terjatuh kedalam
hizbiyah.
Dikalangan
Jama’ah Tabligh pun demikian, seringkali panggilan “Syaikh” diucapkan
kepada sesama mereka, namun bukan berarti siapa yang menggunakannya
dikalangan ahlus sunnah, berarti telah menyerupai kebiasaan jama’ah
tabligh atau telah terjatuh kedalam hizbiyah.
Dikalangan
Shufiyyah, juga istilah “Syaikh” merupakan istilah yang sangat populer
untuk guru-guru atau yang mereka anggap sebagai Wali. Bahkan mereka
menyebut Ibnu Arabi dengan sebutan “Asy-Syaikhul Akbar”. Namun bukan
berarti jika istilah ini digunakan dikalangan ahlus sunnah, kemudian
divonis tasyabbuh dengan mereka atau telah terjatuh kedalam bid’ah dan
hizbiyah. Sebab jika demikian, begitu banyak ulama Ahlus sunnah yang
terjatuh dalam penyimpangan karena seringnya mereka menyebut istilah ini
kepada orang-orang yang mereka hormati.
Mengenal istilah “Ustadz”
Lalu
bagaimana dengan istilah ustadz? Nah, inilah letak permasalahannya,
yang dengannya sebagian ahlus sunnah dituduh mengikuti cara-cara
al-ikhwanul muslimun dalam memanggil para da’inya. Benarkan demikian?. Mari kita mengikuti pembahasan berikut ini:
-Suatu
ketika, Imam Muslim bin Al-Hajjaj Rahimahullah mendatangi Imam Bukhari
Rahimahullah lalu mencium diantara kedua mata Beliau, dan berkata :
دَعْنِي حَتَّى أُقَبِّلَ رِجْلَيْكَ يَا أُسْتَاذَ الأُسْتَاذِيْنَ وَسَيِّدَ المُحَدِّثِيْنَ وَطَبِيْبَ الحَدِيْثِ فِي عِلَلِهِ
“Ijinkan aku mencium kedua kakimu wahai “ustadz-nya para ustadz”, pemimpin para muhaddits, dan dokternya hadits dalam meneliti penyakit-penyakitnya.”
(Tarikh Baghdad: 13/102, taghliq at-ta’liq: 5/429, ma’rifatu uluumil hadits:114, An-Nukat Ala Ibnis shalaah: 2/717)
Perhatikan ucapan Imam Muslim “Ustadz-nya para ustadz” yang
Beliau tujukan kepada Imam Bukhari, sangat nampak menunjukkan bahwa
istilah “ustadz” dijaman Beliau merupakan istilah yang sangat populer,
sehingga Beliau menggelari Imam Bukhari dengan sebutan “ustadz”. Makna
dari ucapan Imam Muslim –Rahimahullah- adalah: “orang- orang yang
disebut ustadz itu banyak, akan tetapi Engkau wahai Imam Bukhari adalah
ustadz yang terbaik dalam hal ilmu dibanding ustadz- ustadz lainnya.”
Imam
Muslim wafat pada tahun 261 H, bulan Rajab, hari Ahad sore, dan
dimakamkan pada keesokan harinya. Bandingkan dengan awal mula
didirikannya Al-Ikhwanul Muslimun ditahun 1347 H, mungkinkah Imam Muslim
–Rahimahullah- atau Imam Bukhari –Rahimahullah- pernah terlibat dalam
pergerakan Al-Ikhwanul Muslimun?, Orang yang berakal tentu saja akan menjawab: ada- ada saja.....
Tahukah anda dengan kitab “Ulumul hadits” karya Abu Amr Ibnus Shalaah –Rahimahullah Ta’ala, yang lebih dikenal dengan nama “Muqaddamah Ibnis Shalaah”,
bagi seorang penuntut ilmu, terkhusus yang menggeluti ilmu mustalah
hadits tentu kitab ini bukanlah kitab yang asing baginya. Pada halaman
144, tatkala Beliau menjelaskan tentang sahnya riwayat perawi yang
sedang menulis sementara Syaikh Muhaddits sedang membacakan hadits
riwayatnya, Ibnus Shalaah berkata:
“...dan Al-Ustadz Abu Ishaq Al-Isfarayini Al-Faqih Al-Ushuli....”
Ibnus Shalah meninggal pada tahun 643H, kurang lebih 800 tahun sebelum pendiri Al-Ikhwanul Muslimun lahir kedunia ini.
Kenalkah anda dengan kitab “Al-Ba’its Al-Hatsits Syarah Ikhtishar Uluumil hadits”,
karya Al-Hafizh Al-Mufassir Ibnu Katsir Rahimahullah?, seorang pemula
dalam menuntut ilmu hadits tentu saja mengenal kitab yang sangat masyhur
ini. Ketika Al-Hafizh Ibnu Katsir membahas tentang hukum “Mursal
shahabah” , Beliau mengatakan:
“...dan mazhab ini dihikayatkan pula dari Al-Ustadz Abu Ishaq Al-Isfarayini..... “
(Al-Ba’its:58).
Al-Hafizh Ibnu Katsir meninggal tahun 774, lebih 600 tahun, jauh sebelum munculnya pergerakan Al-Ikhwanul Muslimun.
As-Suyuthi,
dalam muqaddimah kitabnya “Al-Itqan fii Uluumil qur’an” menyebut salah
seorang gurunya yang bernama Abu Abdillah Muhyiddin Al-Kafiji dengan
sebutan “Ustadz al-ustadzin”, yang artinya ustadznya para ustadz.
(Al-Itqan,As-Suyuthi:1/4)
Abdurrahman bin Abi Bakar As-Suyuthi Rahimahullah, meninggal dimalam
jum’at diwaktu sahur, tanggal 19 jumadal Ula, tahun 911 H, 400 tahun
lebih, jauh sebelum didirikannya Al-Ikhwanul Muslimun. Kapankah
As-Suyuthi Rahimahullah terlibat dalam gerakan Al-Ikhwanul Muslimun,
sehingga Beliau memanggil gurunya dengan penyebutan ustadz?
Sesungguhnya
masih banyak dan masih banyak lagi penyebutan istilah ustadz yang biasa
digunakan oleh para ulama terdahulu, jauh sebelum Al-Ikhwanul Muslimun
terlahir ke dunia ini. dan apa yang kami sebutkan ini ibarat setetes air
bila dibandingkan dengan air laut yang demikian luas. Kalaulah kami
harus menyebutkan dari setiap kitab penggunaan para ulama terhadap
istilah ini, mungkin kami membutuhkan dua jilid kitab untuk
menyelesaikannya, bahkan mungkin lebih.....
Sebagai faedah...
Salah
satu cara para ulama salaf terdahulu, jika ingin menyingkap kedustaan
para perawi yang berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasallam, tatkala diantara mereka ada yang mengaku pernah bertemu
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan mendengar langsung darinya,
atau mengaku bertemu dengan salah seorang sahabat, atau bertemu salah
seorang perawi, dan yang semisalnya, maka ketika para Ulama al-jarah wat
ta’dil hendak meneliti kebenaran berita dari perawi tersebut, mereka
menggunakan “perhitungan waktu dan masa hidup” untuk membandingkan
apakah memungkinkan terjadi pertemuan antara kedua periwayat hadits
tersebut. Jika tidak, maka dipastikan bahwa pengakuan itu hanya
merupakan dusta belaka.
Berkata Sufyan Ats-Tsauri Rahimahullah:
لما استعمل الرواة الكذب استعملنا لهم التاريخ
“Tatkala para perawi menggunakan cara dusta, kami menggunakan “perhitungan waktu” untuk mereka.”
(Al-Kifayah fii Ilmir Riwayah,Al-Khathib Al-Baghdadi:119)
Dengan melihat perhitungan waktu, tersingkaplah kedustaan sebagian kaum, semoga kita semua bisa mengambil pelajaran darinya.
Wallahul Muwaffiq.
Ditulis oleh: Abu Muawiyah Askari bin Jamal
9 shafar 1433 H.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer