A. SAMAHATUL IMAM AL-’ALLAMAH
ASY-SYAIKH ‘ABDUL AZIZ BIN BAZ RAHIMAHULLAH , MUFTI BESAR KERAJAAN SAUDI ARABIA (KINI TELAH WAFAT) :
Tidak boleh bagi muslim dan muslimah untuk ikut serta dengan kaum Nashara, Yahudi, atau kaum kafir lainnya dalam acara perayaan-perayaan mereka. Bahkan wajib meninggalkannya. Karena barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk kaum tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan kita dari sikap menyerupai mereka atau berakhlaq dengan akhlaq mereka. Maka wajib atas setiap mukmin dan mukminah untuk waspada dari hal tersebut, dan tidak boleh membantu untuk merayakan perayaan-perayaan orang-orang kafir tersebut dengan sesuatu apapun, karena itu merupakan perayaan yang menyelisihi syari’at Allah dan dirayakan oleh para musuh Allah. Maka tidak boleh turut serta dalam acara perayaan tersebut, tidak boleh bekerja sama dengan orang-orang yang merayakannya, dan tidak boleh membantunya dengan sesuatu apapun, baik teh, kopi, atau perkara lainnya seperti alat-alat atau yang semisalnya.
Allah juga berfirman :
“Tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketaqwaan, dan janganlah kalian tolong menolong dalam dosa dan permusuhan” [Al-Ma`idah : 2]
Ikut serta dengan orang-orang kafir dalam acara perayaan-perayaan mereka merupakan salah satu bentuk tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan. Maka wajib atas setiap muslim dan muslimah untuk meninggalkannya.
Tidak selayaknya bagi seorang yang berakal jernih untuk tertipu dengan perbuatan-perbuatan orang lain. Yang wajib atasnya adalah melihat kepada syari’at dan aturan yang dibawa oleh Islam, merealisasikan perintah Allah dan Rasul-Nya, dan sebaliknya tidak menimbangnya dengan aturan manusia, karena kebanyakan manusia tidak mempedulikan syari’at Allah. Sebagaimana firman Allah :
“Kalau engkau mentaati mayoritas orang yang ada di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” [Al-An’am : 116]
Allah juga berfirman :
“Kebanyakan manusia tidaklah beriman walaupun engkau sangat bersemangat (untuk menyampaikan penjelasan).” [Yusuf : 103]
Maka segala perayaan yang bertentangan dengan syari’at Allah tidak boleh dirayakan meskipun banyak manusia yang merayakannya. Seorang mukmin menimbang segala ucapan dan perbuatannya, juga menimbang segala perbuatan dan ucapan manusia, dengan timbangan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Segala yang sesuai dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah atau salah satu dari keduanya, maka diterima meskipun ditinggakan manusia. Sebaliknya, segala yang bertentangan dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah atau salah satunya, maka ditolak meskipun dilakukan oleh manusia.
[Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah rahimahullahI/405]
Tidak boleh bagi muslim dan muslimah untuk ikut serta dengan kaum Nashara, Yahudi, atau kaum kafir lainnya dalam acara perayaan-perayaan mereka. Bahkan wajib meninggalkannya. Karena barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk kaum tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan kita dari sikap menyerupai mereka atau berakhlaq dengan akhlaq mereka. Maka wajib atas setiap mukmin dan mukminah untuk waspada dari hal tersebut, dan tidak boleh membantu untuk merayakan perayaan-perayaan orang-orang kafir tersebut dengan sesuatu apapun, karena itu merupakan perayaan yang menyelisihi syari’at Allah dan dirayakan oleh para musuh Allah. Maka tidak boleh turut serta dalam acara perayaan tersebut, tidak boleh bekerja sama dengan orang-orang yang merayakannya, dan tidak boleh membantunya dengan sesuatu apapun, baik teh, kopi, atau perkara lainnya seperti alat-alat atau yang semisalnya.
Allah juga berfirman :
“Tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketaqwaan, dan janganlah kalian tolong menolong dalam dosa dan permusuhan” [Al-Ma`idah : 2]
Ikut serta dengan orang-orang kafir dalam acara perayaan-perayaan mereka merupakan salah satu bentuk tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan. Maka wajib atas setiap muslim dan muslimah untuk meninggalkannya.
Tidak selayaknya bagi seorang yang berakal jernih untuk tertipu dengan perbuatan-perbuatan orang lain. Yang wajib atasnya adalah melihat kepada syari’at dan aturan yang dibawa oleh Islam, merealisasikan perintah Allah dan Rasul-Nya, dan sebaliknya tidak menimbangnya dengan aturan manusia, karena kebanyakan manusia tidak mempedulikan syari’at Allah. Sebagaimana firman Allah :
“Kalau engkau mentaati mayoritas orang yang ada di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” [Al-An’am : 116]
Allah juga berfirman :
“Kebanyakan manusia tidaklah beriman walaupun engkau sangat bersemangat (untuk menyampaikan penjelasan).” [Yusuf : 103]
Maka segala perayaan yang bertentangan dengan syari’at Allah tidak boleh dirayakan meskipun banyak manusia yang merayakannya. Seorang mukmin menimbang segala ucapan dan perbuatannya, juga menimbang segala perbuatan dan ucapan manusia, dengan timbangan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Segala yang sesuai dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah atau salah satu dari keduanya, maka diterima meskipun ditinggakan manusia. Sebaliknya, segala yang bertentangan dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah atau salah satunya, maka ditolak meskipun dilakukan oleh manusia.
[Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah rahimahullahI/405]
Sumber: http://www.darussalaf.or.id/fatwa-ulama/hukum-turut-serta-dalam-perayaan-natal-dan-tahun-baru/
B. ASY SYAIKH MUHAMMAD BIN
SHOLIH AL UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
Pertanyaan :
Apakah boleh memberikan ucapan selamat hari raya atau yang lainnya kepada orang orang Masihiyun (penganut ajaran Isa al Masih)?
Jawaban :
Yang benar adalah jika kita mengatakan : Orang-orang nasrani, karena kalimat masihiyun berarti menisbatkan syariat (yang di bawah Nabi Isa) kepada agama mereka, artinya mereka menisbatkan diri mereka kepada Al-Masih Isa bin Maryam. Padahal telah diketahui bahwa Isa bin Maryam Alaihissalam telah membawa kabar gembira untuk Bani Israil dengan(kedatangan) Muhammad.
Allah Subhanahu wa Taala berfirman: "Dan (ingatlah) ketika Isa Putra Maryam berkata: `Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)`. Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: Ini adalah sihir yang nyata" (Ash-Shaff: 6).
Maka jika mereka mengkafiri/mengingkari Muhammad Shallallahu wa `alaihi wa Sallam maka berarti mereka telah mengkafiri Isa, kerena mereka telah menolak kabar gembira yang beliau sampaikan kepada mereka. Dan oleh karena itu kita mensifati mereka dengan apa yang disifatkan Allah atas mereka dalam Al-Qur`an dan dengan apa yang disifatkan oleh Rasulullah Shallallahu wa `alaihi wa Sallam dalam As-Sunnah, dan yang disifatkan/digambarkan oleh para ulama muslimin dengan sifat ini yaitu bahwa mereka adalah nashrani sehingga kitapun mengatakan: sesungguhnya orang-orang nashrani jika mengkafiri Muhammad Shallallahu wa `alaihi wa Sallam maka sebenarnya mereka telah mengkafiri Isa bin Maryam.
Akan tetapi mereka mengatakan: Sesungguhnya Isa bin Maryam telah memberi kabar gembira kepada kami dengan seorang rasul yang akan datang sesudahnya yang namanya Ahmad, sementara yang datang namanya adalah Muhammad. Maka kami menanti (rasul yang bernama) Ahmad, sedangkan Muhammad adalah bukanlah yang dikabargembirakan oleh Isa. Maka apakah jawaban atas penyimpangan ini?
Jawabannya adalah kita mengatakan bahwa Allah telah berfirman: Maka ketika ia (Muhammad) datang kepada mereka dengan penjelasan-penjelasan. Ayat ini menunjukkan bahwa rasul tersebut telah datang; dan apakah telah datang kepada mereka seorang rasul selain Muhammad Shallallahu wa `alaihi wa Sallam setelah Isa? Tentu saja tidak, tidak seorang rasulpun yang datang sesudah Isa selain Muhammad Shallallahu wa `alaihi wa Sallam. Dan berdasarkan ini maka wajiblah atas mereka untuk beriman kepada Muhammad Shallallahu wa `alaihi wa Sallam dan juga kepada Isa `Alaihissalam.
Rasul telah beriman kepada Al-Qur`an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, Malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya dan rasul-rasulNya (mereka mengatakan): `Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasulNya. (Al-Baqarah:285)
Oleh karena itu Nabi Shallallahu wa `alaihi wa Sallam bersabda: Barangsiapa yang bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah dan bahwa Isa adalah hamba dan utusan Allah (Bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 3435 dalam kitab Ahaditsul Anbiya` bab Qauluhu Ta`ala: Ya Ahal Kitabi La Taghlul Fi Dinikum, dan oleh Muslim no. 28 dalam kitab Al-Iman bab Ad-Dalil `Alaa Inna Man Maata `Alat Tauhiid Dakhalal Jannah Qath`an dari hadits `Ubadah bin Ash-Shamit Radhiallahu Anhu).
Maka tidak sempurna iman kita kecuali dengan beriman kepada Isa Alaihissalam dan bahwa beliau adalah hamba dan utusan Allah, sehingga kita tidak mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang nashrani; bahwa ia adalah putra Allah, dan tidak (pula mengatakan) bahwa ia adalah tuhan. Dan kita tidak pula mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh orang yahudi: bahwa beliau adalah pendusta dan bukan seorang Rasul dari Allah, akan tetapi kita mengatakan bahwa Isa di utus kepada kaumnya dan bahwa syariat Isa dan nabi-nabi yang lainnya telah dihapus oleh syariat Nabi Muhammad Shallallahu wa `alaihi wa Sallam.
Adapun memberi ucapan selamat hari raya kepada orang-orang nashrani atau yahudi maka ia adalah haram berdasarkan kesepakatan para ulama sebagaimana disebutkan Ibnul Qayyim Rahimahullah dalam kitab Ahkam Ahli Adz-Dzimmah, dan silahkan anda membaca teks tulisan beliau: "Dan adapun memberikan ucapan selamat untuk syiar-syiar kekufuran yang bersifat khusus maka ia adalah haram secara ijma`, seperti mengucapkan selama untuk hari raya dan puasa mereka dengan mengatakan : "hari raya yang diberkahi untuk anda. Maka yang seperti ini kalaupun orang yang mengucapkan selamat dari kekufuran maka perbuatan itu termasuk yang diharamkan. Dan ia sama dengan memberikan selamat untuk sujudnya kepada salib. Bahkan itu lebih besar dosanya dan lebih dimurkai oleh Allah daripada memberikan selamat atas perbuatannya meminum khamar, membunuh, melakukan zina dan yang semacamnya. Dan banyak orang yang tidak memiliki penghormatan terhadap Ad-dien terjatuh dalam hal itu dan ia tidak mengetahui apa yang telah ia lakukan". Selesai tulisan beliau.
(Dinukil dari Ash-Shahwah
Al-Islamiyah, Dhawabith wa Taujihat, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin).
C.
ASY SYAIKH DR. SHALIH BIN FAUZAN AL-FAUZAN HAFIZHAHULLAH
Di negeri kaum muslimin tak
terkecuali negeri kita ini, momentum hari raya biasanya dimanfaatkan
sebaik-baiknya oleh orang-orang kafir (dalam hal ini kaum Nashrani) untuk
menggugah bahkan menggugat tenggang rasa atau toleransi –ala mereka- terhadap
kaum muslimin. Seiring dengan itu, slogan-slogan manis seperti: menebarkan
kasih sayang, kebersamaan ataupun kemanusiaan sengaja mereka suguhkan sehingga
sebagian kaum muslimin yang lemah iman dan jiwanya menjadi buta terhadap makar jahat
dan kedengkian mereka.
Maskot yang bernama Santa Claus
ternyata cukup mewakili “kedigdayaan” mereka untuk meredam militansi kaum
muslimin atau paling tidak melupakan prinsip Al Bara’ (permusuhan atau
kebencian) kepada mereka. Sebuah prinsip yang pernah diajarkan Allah dan
Rasul-Nya .
Hari Raya Orang-Orang Kafir
Identik Dengan Agama Mereka
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah berkata: “Bahwasanya hari-hari raya itu merupakan bagian dari
lingkup syariat, ajaran dan ibadah….seperti halnya kiblat, shalat dan puasa.
Maka tidak ada bedanya antara menyepakati mereka didalam hari raya mereka
dengan menyepakati mereka didalam segenap ajaran mereka….bahkan hari-hari raya
itu merupakan salah satu ciri khas yang membedakan antara syariat-syariat
(agama) yang ada. Juga (hari raya) itu merupakan salah satu syiar yang paling
mencolok.” (Iqtidha’ Shiratil Mustaqim hal. 292)
Setiap Umat Beragama Memiliki
Hari Raya
Perkara ini disitir oleh Allah
didalam firman-Nya (artinya): “Untuk setiap umat (beragama) Kami jadikan sebuah
syariat dan ajaran”. (Al Maidah: 48). Bahkan dengan tegas Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya bagi setiap kaum
(beragama) itu memiliki hari raya, sedangkan ini (Iedul Fithri atau Iedul Adha)
adalah hari raya kita.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Akan tetapi muncul sebuah
permasalahan tatkala kita mengingat bahwa orang-orang kafir (dalam hal ini kaum
Nashrani) telah mengubah-ubah kitab Injil mereka sehingga sangatlah diragukan
bahwa hari raya mereka yaitu Natal merupakan ajaran Nabi Isa ?. Kalaupun toh,
Natal tersebut merupakan ajaran beliau, maka sesungguhnya hari raya tersebut
-demikian pula seluruh hari raya orang-orang kafir- telah dihapus dengan hari
raya Iedul Fithri dan Iedul Adha. Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah
mengganti keduanya (dua hari raya Jahiliyah ketika itu-pent) dengan hari raya
yang lebih baik yaitu: Iedul Adha dan Iedul Fithri.” (H.R Abu Daud dengan sanad
shahih)
Sikap Seorang Muslim Terhadap
Hari Raya Orang-Orang Kafir
Menanggapi upaya-upaya yang keras
dari orang-orang kafir didalam meredam dan menggugurkan prinsip Al Bara’
melalui hari raya mereka, maka sangatlah mendesak untuk setiap muslim
mengetahui dan memahami perkara-perkara berikut ini:
1. Tidak Menghadiri Hari Raya
Mereka
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al
Utsaimin rahimahullah berkata: “Berbaurnya kaum muslimin dengan selain muslimin
dalam acara hari raya mereka adalah haram. Sebab, dalam perbuatan tersebut
mengandung unsur tolong menolong dalam hal perbuatan dosa dan permusuhan.
Padahal Allah berfirman (artinya): “Dan tolong menolonglah kalian dalam
kebaikan dan ketaqwaan dan janganlah kalian tolong menolong didalam dosa dan
pelanggaran.” (Al Maidah:2)…..Oleh karena itu para ulama mengatakan bahwa kaum
muslimin tidak boleh ikut bersama orang-orang kafir dalam acara hari raya
mereka karena hal itu menunjukan persetujuan dan keridhaan terhadap agama
mereka yang batil.” (Disarikan dari majalah Asy Syariah no.10 hal.8-9)
Berkaitan dengan poin yang
pertama ini, tidak sedikit dari para ulama ketika membawakan firman Allah yang
menceritakan tentang sifat-sifat Ibadurrahman (artinya): “(Yaitu) orang-orang
yang tidak menghadiri kedustaan.” (Al Furqan:73), mereka menafsirkan
“kedustaan” tersebut dengan hari-hari raya kaum musyrikin (Tafsir Ibnu
Jarir…/….)
Lebih parah lagi apabila seorang
muslim bersedia menghadiri acara tersebut di gereja atau tempat-tempat ibadah
mereka. Rasulullah mengecam perbuatan ini dengan sabdanya:
“Dan janganlah kalian menemui
orang-orang musyrikin di gereja-gereja atau tempat-tempat ibadah mereka, karena
kemurkaan Allah akan menimpa mereka.” (H.R Al Baihaqi dengan sanad shahih)
2. Tidak Memberikan Ucapan
Selamat Hari Raya
Didalam salah satu fatwanya,
beliau (Asy Syaikh Ibnu Utsaimin) mengatakan bahwa memberikan ucapan selamat
hari raya Natal kepada kaum Nashrani dan selainnya dari hari-hari raya orang
kafir adalah haram. Keharaman tersebut disebabkan adanya unsur keridhaan dan
persetujuan terhadap syiar kekufuran mereka, walaupun pada dasarnya tidak ada
keridhaan terhadap kekufuran itu sendiri. Beliau pun membawakan ayat yaitu
(artinya): “Bila kalian kufur maka sesungguhnya Allah tidak butuh kepada
kalian. Dia tidak ridha adanya kekufuran pada hamba-hamba-Nya. (Namun) bila
kalian bersyukur maka Dia ridha kepada kalian.” (Az Zumar:7). Juga firman-Nya
(yang artinya): “Pada hari ini, Aku telah sempurnakan agama ini kepada kalian,
Aku cukupkan nikmat-Ku kepada kalian dan Aku ridhai Islam menjadi agama
kalian.” (Al Maidah:3)
Beliau juga menambahkan bahwa
bila mereka sendiri yang mengucapkan selamat hari raya tersebut kepada kita
maka kita tidak boleh membalasnya karena memang bukan hari raya kita. Demikian
pula, hal tersebut disebabkan hari raya mereka ini bukanlah hari raya yang
diridhai Allah karena memang sebuah bentuk bid’ah dalam agama asli mereka. Atau
kalau memang disyariatkan, maka hal itu telah dihapus dengan datangnya agama
Islam.” (Majmu’uts Tsamin juz 3 dan Al Muntaqa min Fatawa Asy Syaikh Shalih Al
Fauzan 1/255)
Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
menjelaskan bahwa orang yang mengucapkan selamat kepada orang-orang kafir pada
hari raya mereka, kalaupun dia ini selamat dari kekufuran maka dia pasti
terjatuh kepada keharaman. Keadaan dia ini seperti halnya mengucapkan selamat
atas sujud mereka kepada salib. (Ahkamu Ahlidz Dzimmah)
3. Tidak Tukar Menukar Hadiah
Pada Hari Raya Mereka
Asy Syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahullah mengatakan: “Telah sampai kepada kami (berita) tentang sebagian
orang yang tidak mengerti dan lemah agamanya, bahwa mereka saling menukar
hadiah pada hari raya Nashrani. Ini adalah haram dan tidak boleh dilakukan.
Sebab, dalam (perbuatan) tersebut mengandung unsur keridhaan kepada kekufuran
dan agama mereka. Kita mengadukan (hal ini) kepada Allah.” (At Ta’liq ‘Ala
Iqtidha’ Shiratil Mustaqim hal. 277)
4. Tidak Menjual Sesuatu Untuk
Keperluan Hari Raya Mereka
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah menegaskan bahwa seorang muslim yang menjual barang dagangannya
untuk membantu kebutuhan hari raya orang-orang kafir baik berupa makanan,
pakaian atau selainnya maka ini merupakan bentuk pertolongan untuk mensukseskan
acara tersebut. (Perbuatan) ini dilarang atas dasar suatu kaidah yaitu: Tidak
boleh menjual air anggur atau air buah kepada orang-orang kafir untuk dijadikan
minuman keras (khamr). Demikian halnya, tidak boleh menjual senjata kepada
mereka untuk memerangi seorang muslim. (Iqtidha’ Shiratil Mustaqim hal.325)
5. Tidak Melakukan
Aktivitas-Aktivitas Tertentu Yang Menyerupai Orang-Orang Kafir Pada Hari Raya
Mereka
Didalam fatwanya, Asy Syaikh Ibnu
Utsaimin mengatakan: “Dan demikian pula diharamkan bagi kaum muslimin untuk
meniru orang-orang kafir pada hari raya tersebut dengan mengadakan
perayaan-perayaan khusus, tukar menukar hadiah, pembagian permen (secara
gratis), membuat makanan khusus, libur kerja dan semacamnya. Hal ini
berdasarkan ucapan Nabi :
“Barangsiapa yang menyerupai
suatu kaum maka dia termasuk kaum tersebut.” (H.R Abu Daud dengan sanad hasan).
(Majmu’uts Tsamin juz 3)
Dosakah Bila Melakukan Hal Itu
Dalam Rangka Mudahanah (Basa Basi)?
Selanjutnya didalam fatwa itu
juga, beliau mengatakan: “Dan barangsiapa melakukan salah satu dari perbuatan
tadi (dalam fatwa tersebut tanpa disertakan no 1,3 dan 4-pent) maka dia telah
berbuat dosa, baik dia lakukan dalam rangka bermudahanah, mencari keridhaan,
malu hati atau selainnya. Sebab, hal itu termasuk bermudahanah dalam beragama,
menguatkan mental dan kebanggaan orang-orang kafir dalam beragama.” (Majmu’uts
Tsamin juz 3)
Sedangkan mudahanah didalam
beragama itu sendiri dilarang oleh Allah . Allah berfirman (artinya): “Mereka
(orang-orang kafir) menginginkan supaya kamu bermudahanah kepada mereka lalu
mereka pun bermudahanah pula kepadamu.” (Al Qalam:9)
Orang-Orang Kafir Bergembira Bila
Kaum Muslimin Ikut Berpartisipasi Dalam Hari Raya Mereka
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah berkata: “Oleh karena itu, orang-orang kafir sangat bergembira
dengan partisipasinya kaum muslimin dalam sebagian perkara (agama) mereka.
Mereka sangat senang walaupun harus mengeluarkan harta yang berlimpah untuk
itu.” (Iqtidha’ Shiratil Mustaqim hal.39).
Bolehkah Seorang Muslim Ikut
Merayakan Tahun Baru Dan Hari Kasih Sayang (Valentine’s Day)?
Para ulama yang tergabung dalam
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta’ (Komite Tetap Kajian Ilmiah Dan
Fatwa) Arab Saudi dalam fatwanya no.21203 tertanggal 22 Dzul Qa’dah 1420
menyatakan bahwa perayaan-perayaan selain Iedul Fithri dan Iedul Adha baik yang
berkaitan dengan sejarah seseorang, kelompok manusia, peristiwa atau
makna-makna tertentu adalah perayaan-perayaan bid’ah. Tidak boleh bagi kaum
muslimin untuk berpartisipasi apapun didalamnya.
Didalam fatwa itu juga dinyatakan
bahwa hari Kasih Sayang (Valentine’s Day)- yang jatuh setiap tanggal 14
Pebruari- merupakan salah satu hari raya para penyembah berhala dari kalangan
Nashrani.
Adapun Asy Syaikh Shalih Al
Fauzan hafidzahullah (salah satu anggota komite tersebut) menyatakan bahwa
penanggalan Miladi/Masehi itu merupakan suatu simbol keagamaan mereka. Sebab,
simbol tersebut menunjukan adanya pengagungan terhadap kelahiran Al Masih (Nabi
Isa ?) dan juga adanya perayaan pada setiap awal tahunnya. (Al Muntaqa min
Fatawa Asy Syaikh Shalih Al Fauzan 1/257). Wallahu A’lam.
Sumber: http://mahad-assalafy.com/2006/09/11/sikap-seorang-muslim-terhadap-hari-raya-orang-orang-kafir/
Tambahan penjelasan berdasarkan
dalil dan penjelasan para Ulama:
A. Dari Abu Sa’id Al-Khudri
radhiallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Kalian sungguh-sungguh akan
mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta
demi sehasta, sampai seandainya mereka masuk ke lubang dhabb (Dhabb adalah
hewan melata yang hidup di padang pasir, serupa dengan biawak), niscaya kalian
akan masuk pula ke dalamnya. Kami tanyakan: "Wahai Rasulullah, apakah
mereka yang dimaksud itu adalah Yahudi dan Nashrani?" Beliau berkata:
"Siapa lagi kalau bukan mereka?"
Hadits yang mulia di atas
diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Ahaditsul Anbiya,
bab Ma Dzukira ‘an Bani Israil (no. 3456) dan Kitab Al-I‘tisham bil Kitab was
Sunnah, bab Qaulin Nabi "Latattabi‘unna sanana man kana qablakum"
(no. 7320) dan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya, Kitab Al-‘Ilmi (no. 2669) dan
diberi judul bab oleh Al-Imam An-Nawawi dalam kitab syarahnya terhadap Shahih
Muslim, bab Ittiba‘u Sananil Yahudi wan Nashara.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam juga bersabda yang senada dengan hadits di atas dalam hadits yang
dibawakan oleh Abu Hurairah radhiallahu 'anhu:
"Tidak akan tegak hari
kiamat sampai umatku mengambil jalan hidup umat sebelumnya sejengkal demi
sejengkal dan sehasta demi sehasta. Maka ditanyakan kepada beliau: "Wahai
Rasulullah, seperti Persia dan Romawi?" Beliau menjawab: "Siapa
lagi dari manusia kalau bukan mereka?" (HR. Al-Bukhari no. 7319)
Pengabaran Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam dalam dua hadits yang mulia di atas merupakan tanda dan bukti
tentang kebenaran nubuwwah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, serta merupakan
mukjizat beliau yang dzahir karena telah tampak dan telah terjadi apa yang
beliau beritakan tersebut. (Syarah Shahih Muslim, 16/219, Kitabut Tauhid, hal.
26, Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab)
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani
rahimahullah menyatakan:
“Dalam hadits di atas Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam mengkhususkan penyebutan lubang dhabb karena
lubangnya sangat sempit. Namun bersamaan dengan itu umat beliau akan mengambil
jejak umat terdahulu dan mengikuti jalan mereka, walaupun seandainya mereka
masuk ke lubang yang sesempit itu niscaya umat ini akan tetap mengikutinya.”
(Fathul Bari, 6/602)
Yang dimaksud dengan sejengkal, sehasta dan penyebutan lubang dhabb dalam hadits ini adalah untuk menggambarkan betapa semangatnya umat ini mencocoki umat terdahulu dalam penyelisihan dan maksiat, mencontoh mereka dalam segala sesuatu yang dilarang dan dicela oleh syariat. (Syarah Shahih Muslim, 16/219, Fathul Bari, 13/313)
Yang dimaksud dengan sejengkal, sehasta dan penyebutan lubang dhabb dalam hadits ini adalah untuk menggambarkan betapa semangatnya umat ini mencocoki umat terdahulu dalam penyelisihan dan maksiat, mencontoh mereka dalam segala sesuatu yang dilarang dan dicela oleh syariat. (Syarah Shahih Muslim, 16/219, Fathul Bari, 13/313)
Ibnu Baththal rahimahullah
berkata:
“Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberitahukan bahwa umat beliau akan mengikuti perkara-perkara baru (yang diada-adakan), bid’ah dan hawa nafsu sebagaimana terjadi pada umat-umat sebelum mereka. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memperingatkan hal ini dalam hadits yang banyak bahwasanya di akhir zaman akan ada kejelekan. Dan hari kiamat tidak akan datang kecuali pada sejelek-sejelek manusia dan agama ini hanya tetap tegak di sisi orang-orang yang khusus.” (Fathul Bari, 13/314)
Dalam hadits Abu Said Al-Khudri
radhiallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebut Yahudi dan
Nashrani, sedangkan dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebut Persia dan Romawi. Karena memang Romawi
identik dengan Nashrani, sementara di kalangan bangsa Persia ada orang Yahudi.
Namun dimungkinkan pula Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan
jawaban sesuai dengan tempatnya, yakni dalam perkara yang berkaitan dengan
hukum di antara manusia dan politik kemasyarakatan, umat ini akan mengikuti
Persia dan Romawi. Sedangkan dalam perkara yang berkaitan dengan agama yang
pokok maupun yang cabangnya, umat ini akan mencontoh Yahudi dan Nasrani. (Lihat
Fathul Bari, 13/314)
B. Abu Waqid Al-Laitsi radhiallahu
'anhu berkata:
Kami keluar bersama Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam menuju Hunain sementara kami ketika itu baru saja
meninggalkan kekufuran -mereka baru berislam ketika Fathu Makkah-. Abu Waqid
berkata setelah itu: Lalu kami melewati sebuah pohon, kami pun berkata:
"Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzatu Anwath (Mereka ingin
menggantungkan senjata-senjata mereka pada pohon tersebut karena mengharapkan
barakah dari pohon tersebut.) sebagaimana mereka (orang-orang kafir musyrikin)
memiliki Dzatu Anwath yang berupa sebuah pohon, tempat mereka beri’tikaf
(berdiam) di sekitarnya dan menggantungkan senjata-senjata mereka pada pohon
tersebut." Mendengar permintaan kami seperti itu, bersabdalah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Allah Maha Besar! Demi Dzat
yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh kalian telah berucap sebagaimana
ucapan Bani Israil kepada Musa: ("Buatkanlah untuk kami ilaah sebagaimana
mereka memiliki ilaah-ilaah. Musa pun berkata: "Sesungguhnya kalian ini
adalah orang-orang yang bodoh."(QS.Al A'raf : 138)) Sungguh-sungguh kalian
akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian." (HR. Ahmad dalam
Musnad-nya, 5/218, At-Tirmidzi, 6/343, Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah, no. 76,
berkata Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Zhilalul Jannah fi Takhrijis
Sunnah: "Isnadnya hasan.")
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam nyatakan dalam sabda beliau:
"Kalian sungguh-sungguh akan
mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian."
Tidaklah dimaksudkan beliau
memberikan pengesahan dan penetapan tentang bolehnya hal tersebut, namun justru
yang beliau inginkan adalah memberi tahdzir (peringatan) dari mengikuti orang
kafir dalam perkara kesesatan dan penyimpangan. (Al-Qaulul Mufid, 1/202,
I‘anatul Mustafid, 1/224)
Dalam kisah di atas jelas sekali
bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan demikian dalam rangka
peringatan dan pengingkaran beliau bila umat beliau mengikuti umat terdahulu.
Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdillah rahimahullah berkata: "Di sini ada
larangan dari perbuatan tasyabbuh dengan orang-orang jahiliyyah dari kalangan
ahlul kitab dan musyrikin." (Taisir Al-’Azizil Hamid, hal. 143)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata:
"(Hadits) ini merupakan
pengabaran tentang akan terjadinya perkara tersebut dan celaan bagi orang yang
melakukannya. Hal ini seperti pengabaran beliau tentang apa yang akan dilakukan
manusia menjelang datangnya hari kiamat sebagai tanda-tanda kiamat dan
perbuatan-perbuatan mereka nantinya berupa perkara-perkara yang diharamkan. Dengan demikian diketahui, penyerupaan (tasyabbuh) umat ini dengan
Yahudi dan Nashrani serta Persia dan Romawi termasuk perkara yang dicela oleh
Allah dan Rasul-Nya." (Iqtidha’ Ash-Shirathil Mustaqim, hal. 77)
C.
Abu Hurairah
radhiallahu 'anhu menyampaikan hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, bahwasanya beliau bersabda:
“Demi Dzat yang jiwa Muhammad di
tangan-Nya! Tidaklah mendengar dariku seseorang dari umat ini baik orang Yahudi
maupun orang Nashrani, kemudian ia mati dalam keadaan ia tidak beriman dengan
risalah yang aku bawa, kecuali ia menjadi penghuni neraka.”
Hadits yang mulia di atas diriwayatkan Al-Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya no. 153 dan diberi judul bab oleh Al-Imam An-Nawawi “Wujubul Iman bi Risalatin Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ila Jami’in Nas wa Naskhul Milali bi Millatihi” (Wajibnya seluruh manusia beriman dengan risalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan terhapusnya seluruh agama/ keyakinan yang lain dengan agamanya).
Hadits ini menunjukkan terhapusnya seluruh agama dengan diutusnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seluruh manusia (dan jin) yang menemui zaman pengutusan beliau sampai hari kiamat wajib untuk menaati beliau. Di sini Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hanya menyebut Yahudi dan Nashrani karena mereka berdua memiliki kitab (yang diturunkan dari langit). Hal ini diinginkan sebagai peringatan bagi selain keduanya, sehingga lazimnya apabila mereka (Yahudi dan Nashrani) saja harus tunduk dan menaati beliau, maka selain keduanya yang tidak memiliki kitab lebih pantas lagi untuk tunduk. (Syarah Shahih Muslim lin Nawawi, 2/188, Darur Rayyan 1407 H)
Hadits yang mulia di atas diriwayatkan Al-Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya no. 153 dan diberi judul bab oleh Al-Imam An-Nawawi “Wujubul Iman bi Risalatin Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ila Jami’in Nas wa Naskhul Milali bi Millatihi” (Wajibnya seluruh manusia beriman dengan risalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan terhapusnya seluruh agama/ keyakinan yang lain dengan agamanya).
Hadits ini menunjukkan terhapusnya seluruh agama dengan diutusnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seluruh manusia (dan jin) yang menemui zaman pengutusan beliau sampai hari kiamat wajib untuk menaati beliau. Di sini Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hanya menyebut Yahudi dan Nashrani karena mereka berdua memiliki kitab (yang diturunkan dari langit). Hal ini diinginkan sebagai peringatan bagi selain keduanya, sehingga lazimnya apabila mereka (Yahudi dan Nashrani) saja harus tunduk dan menaati beliau, maka selain keduanya yang tidak memiliki kitab lebih pantas lagi untuk tunduk. (Syarah Shahih Muslim lin Nawawi, 2/188, Darur Rayyan 1407 H)
Orang-orang Yahudi dinyatakan
oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai Al-Maghdhubu ‘alaihim (yang dimurkai
Allah) dan Nashrani sebagai Adh-Dhallun (yang tersesat), sebagaimana dinyatakan
dalam ayat terakhir Surat Al-Fatihah:
“Tunjukkanlah kami kepada jalan
yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka,
bukan jalannya orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalannya orang-orang
yang sesat.” (Al-Fatihah: 6-7)
Diterangkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana diriwayatkan dari sahabat ‘Adi ibnu Hatim radhiallahu 'anhu di dalam hadits yang panjang, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Diterangkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana diriwayatkan dari sahabat ‘Adi ibnu Hatim radhiallahu 'anhu di dalam hadits yang panjang, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Yahudi itu adalah
yang dimurkai dan Nashara adalah orang-orang yang disesatkan.” (Diriwayatkan
oleh Al-Imam At-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 4029)
Imam ahli tafsir dan ahli hadits, Ibnu Abi Hatim, berkata: “Saya tidak mendapatkan perselisihan di antara ahli tafsir bahwasanya al-maghdhub ‘alaihim (di dalam ayat itu) adalah Yahudi dan adh-dhallun adalah Nashara, dan yang mempersaksikan perkataan para imam tersebut adalah hadits ‘Adi bin Hatim.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/40)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
Imam ahli tafsir dan ahli hadits, Ibnu Abi Hatim, berkata: “Saya tidak mendapatkan perselisihan di antara ahli tafsir bahwasanya al-maghdhub ‘alaihim (di dalam ayat itu) adalah Yahudi dan adh-dhallun adalah Nashara, dan yang mempersaksikan perkataan para imam tersebut adalah hadits ‘Adi bin Hatim.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/40)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
“Kekafiran Yahudi pada prinsipnya
karena mereka tidak mengamalkan ilmu mereka. Mereka mengetahui kebenaran namun
tidak mengikutinya, baik dalam ucapan atau perbuatan, ataupun sekaligus dalam
ucapan dan perbuatan. Sementara kekafiran Nashrani dari sisi amalan mereka yang
tidak didasari ilmu, sehingga mereka bersungguh-sungguh melaksanakan berbagai
macam ibadah tanpa didasari syariat dari Allah, serta berbicara tentang Allah
tanpa didasari ilmu.” (Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, hal.23, Darul Anshar
1423 H). Lihat pula keterangan dan pendalilan beliau yang lebih panjang
mengenai dimurkainya Yahudi dan disesatkannya Nashrani dalam kitab tersebut
(hal. 22-24).
Demikian sesungguhnya keadaan
Yahudi dan Nashrani, sehingga setiap kali shalat kaum muslimin meminta perlindungan
dari mengikuti jalan keduanya (jalannya Yahudi dan Nashrani) ketika mereka
membaca ayat di dalam surat Al-Fatihah tersebut. Ayat tersebut mengandung
permohonan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar bisa berpegang dengan ajaran
Islam secara benar dan dijauhkan dari mengikuti jalan Yahudi dan Nashara. Namun
barangkali karena tidak memahami apa yang terkandung dalam doa yang dibaca atau
tidak menghadirkan hati ketika membacanya, maka kita melihat sebagian kaum
muslimin banyak yang terjatuh dalam perbuatan meniru-niru orang kafir.
BAHAYA
TASYABBUH DENGAN ORANG-ORANG KAFIR
Di antara bahaya dan dampak
negatif tasyabbuh adalah:
1. Bahwa partisipasi dalam penampilan dan akhlak akan mewarisi kesesuaian dan kecenderungan kepada mereka, yang kemudian mendorong untuk saling menyerupai dalam hal akhlak dan perbuatan.
1. Bahwa partisipasi dalam penampilan dan akhlak akan mewarisi kesesuaian dan kecenderungan kepada mereka, yang kemudian mendorong untuk saling menyerupai dalam hal akhlak dan perbuatan.
2. Bahwa menyerupai dalam
penampilan dan akhlak, menjadikan kesamaan penampilan dengan mereka, sehingga
tidak tampak lagi perbedaan secara dzahir antara umat Islam dengan Yahudi dan
Nashara (orang-orang kafir).
3. Itu terjadi pada hal-hal yang
asalnya mubah. Dan bila terjadi pada hal-hal yang menyebabkan kekafiran, maka sungguh
telah jatuh ke dalam cabang kekafiran.
4. Tasyabbuh dengan orang-orang
kafir dalam perkara-perkara dunia akan mewariskan kecintaan dan kedekatan
terhadap mereka. Lalu bagaimana dalam perkara-perkara agama? Sungguh kecintaan
dan kedekatan itu akan semakin besar dan kuat, padahal kecintaan dan kedekatan
terhadap mereka dapat meniadakan keimanan seseorang.
5. Lebih dari itu Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyatakan:
“Barangsiapa menyerupai suatu
kaum, maka ia termasuk dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud dari shahabat
Abdullah bin ‘Umar radhiallahu 'anhuma, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani
dalam Shahih Al-Jami’ no. 6025)
(Diringkas dari kitab Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim juz 1, hal. 93, 94, dan 550)
(Diringkas dari kitab Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim juz 1, hal. 93, 94, dan 550)
APAKAH
TASYABBUH HARUS DENGAN NIAT DAN CIRI KHAS MEREKA?
Suatu amalan yang menyerupai ciri
khas orang-orang kafir akan dihukumi sebagai tasyabbuh, walaupun tidak ada
niatan untuk menyerupainya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Demikian pula larangan tasyabbuh dengan mereka, mencakup perkara-perkara yang
engkau niatkan untuk menyerupai mereka dan juga yang tidak engkau niatkan untuk
menyerupai mereka.” (Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, 1/473, lihat pula
1/219-220, 226-227, dan 272).
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-’Utsaimin rahimahullah berkata:
“Tasyabbuh dengan orang-orang kafir terjadi dalam hal penampilan, pakaian, tempat makan, dan sebagainya karena ia adalah kalimat yang bersifat umum. Dalam artian, bila ada seseorang yang melakukan ciri khas orang-orang kafir, di mana orang yang melihatnya mengira bahwa ia termasuk golongan mereka (maka saat itulah disebut dengan tasyabbuh, pen).” (Majmu’ Durus Wa Fatawa Al-Haramil Makki, 3/367)
“Tasyabbuh dengan orang-orang kafir terjadi dalam hal penampilan, pakaian, tempat makan, dan sebagainya karena ia adalah kalimat yang bersifat umum. Dalam artian, bila ada seseorang yang melakukan ciri khas orang-orang kafir, di mana orang yang melihatnya mengira bahwa ia termasuk golongan mereka (maka saat itulah disebut dengan tasyabbuh, pen).” (Majmu’ Durus Wa Fatawa Al-Haramil Makki, 3/367)
HIKMAH
MENYELISIHI ORANG-ORANG KAFIR
Menyelisihi orang-orang kafir
mempunyai hikmah yang sangat besar bagi umat Islam. Di antara hikmahnya adalah:
1. Menyelisihi mereka dalam perkara-perkara yang dzahir (penampilan dan akhlak) merupakan suatu maslahat bagi orang-orang yang beriman. Dengan itu, akan tampak perbedaan penampilan yang dapat menjauhkan mereka dari perbuatan-perbuatan para penghuni An-Naar tersebut.
2. Bahwasanya cara/ jalan yang mereka miliki tidak keluar dari dua keadaan: merusak atau mempunyai kelemahan. Karena seluruh amalan yang mereka ada-adakan dalam agama dan juga yang mansukh (terhapus dengan syariat Islam) sifatnya merusak. Sedangkan amalan-amalan mereka yang tidak mansukh mempunyai banyak kelemahan, dan masih mengalami proses penambahan atau pengurangan dalam syariat Islam.
3. Menyelisihi mereka merupakan sebab jayanya agama Islam.
4. Menyelisihi mereka termasuk tujuan utama diutusnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
5. Dengan menyelisihi mereka akan terbedakan antara seorang muslim dengan seorang kafir, dan tidak saling menyerupai satu dengan yang lainnya. (Diringkas dari kitab Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, juz 1 hal. 197, 198, 209, dan 365)
1. Menyelisihi mereka dalam perkara-perkara yang dzahir (penampilan dan akhlak) merupakan suatu maslahat bagi orang-orang yang beriman. Dengan itu, akan tampak perbedaan penampilan yang dapat menjauhkan mereka dari perbuatan-perbuatan para penghuni An-Naar tersebut.
2. Bahwasanya cara/ jalan yang mereka miliki tidak keluar dari dua keadaan: merusak atau mempunyai kelemahan. Karena seluruh amalan yang mereka ada-adakan dalam agama dan juga yang mansukh (terhapus dengan syariat Islam) sifatnya merusak. Sedangkan amalan-amalan mereka yang tidak mansukh mempunyai banyak kelemahan, dan masih mengalami proses penambahan atau pengurangan dalam syariat Islam.
3. Menyelisihi mereka merupakan sebab jayanya agama Islam.
4. Menyelisihi mereka termasuk tujuan utama diutusnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
5. Dengan menyelisihi mereka akan terbedakan antara seorang muslim dengan seorang kafir, dan tidak saling menyerupai satu dengan yang lainnya. (Diringkas dari kitab Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, juz 1 hal. 197, 198, 209, dan 365)
Demikianlah
ringkasan dari beberapa artikel mudah-mudahan Allah memperbaiki kondisi umat
Islam dengan meluruskan aqidah mereka, para pemimpin mereka dan semoga artikel
tentang bahaya tasyabbuh ini menjadi secercah cahaya yang dapat menunjuki kita
untuk selalu mengikuti jejak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
menjauhkan kita dari cara/ jalan orang-orang kafir dari ahli kitab dan kaum
pagan. Amin Ya Mujibas Sailin.
Sumber bacaan dari beberapa
artikel asysyariah.com dan salafy.or.id :
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer