“Dikit-dikit bid’ah, dikit-dikit bid’ah,”
“apa semua yang ada sekarang itu bid’ah?!” “kalau memang maulidan
bid’ah, kenapa kamu naik motor, itukan juga bid’ah.” Kira-kira kalimat
seperti inilah yang akan terlontar dari mulut sebagian kaum muslimin
ketika mereka diingatkan bahwa perbuatan yang mereka lakukan adalah
bid’ah yang telah dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.
Semua ucapan ini dan yang senada
dengannya lahir, mungkin karena hawa nafsu mereka dan mungkin juga
karena kejahilan mereka tentang definisi bid’ah, batasannya dan nasib
jelek yang akan menimpa pelakunya.
Karenanya berikut uraian tentang difinisi bid’ah dan bahayanya dari hadits Aisyah yang masyhur, semoga bisa meluruskan pemahaman kaum muslimin tentang bid’ah sehingga mereka mau meninggalkannya di atas ilmu, Allahumma amin.
Karenanya berikut uraian tentang difinisi bid’ah dan bahayanya dari hadits Aisyah yang masyhur, semoga bisa meluruskan pemahaman kaum muslimin tentang bid’ah sehingga mereka mau meninggalkannya di atas ilmu, Allahumma amin.
Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
وَفِي رِوَايَةٍ : مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak”.
Dalam satu riwayat, “Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada tuntunan kami di atasnya maka amalan itu tertolak”.
Takhrij Hadits:
Hadits ini dengan kedua lafadznya berasal
dari hadits shahabiyah dan istri Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam ‘A`isyah radhiallahu Ta’ala ‘anha.
Adapun lafadz pertama diriwayatkan oleh
Imam Al-Bukhari (2/959/2550-Dar Ibnu Katsir) dan Imam Muslim
(3/1343/1718-Dar Ihya`ut Turots).
Dan lafadz kedua diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari secara mu’allaq (2/753/2035) dan (6/2675/6918) dan Imam Muslim (3/1343/1718).
Dan juga hadits ini telah dikeluarkan
oleh Abu Ya’la dalam Musnadnya (4594) dan Abu ‘Awanah (4/18) dengan
sanad yang shohih dengan lafadz, “Siapa saja yang mengadakan perkara
baru dalam urusan kami ini apa-apa yang tidak ada di dalamnya (urusan
kami) maka dia tertolak”.
Kosa Kata Hadits:
- “Dalam urusan kami”, maksudnya dalam agama kami, sebagaimana dalam firman Allah –Ta’ala-,
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (٦٣)
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi urusannya (Nabi) takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih.”. (QS. An-Nur: 63)
2. “Tertolak”, (Arab: roddun) yakni tertolak dan tidak teranggap.
[Lihat Bahjatun Nazhirin hal. 254 dan Syarhul Arba’in karya Syaikh Sholih Alu Asy-Syaikh]
Komentar Para Ulama :
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Pondasi
Islam dibangun di atas 3 hadits: Hadits “setiap amalan tergantung
dengan niat”, hadits ‘A`isyah “Barangsiapa yang mengadakan perkara baru
dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak” dan
hadits An-Nu’man “Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas””.
Imam Ishaq bin Rahawaih rahimahullah berkata, “Ada empat hadits yang merupakan pondasi agama: Hadits ‘Umar “Sesungguhnya setiap amalan hanyalah dengan niatnya”, hadits “Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas”, hadits “Sesungguhnya penciptaan salah seorang di antara kalian dikumpulkan dalam perut ibunya selam 40 hari” dan hadits “Barangsiapa yang berbuat dalam urusan kami apa-apa yang bukan darinya maka hal itu tertolak”.
Dan Abu ‘Ubaid rahimahullah berkata, “Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam mengumpulkan seluruh urusan akhirat dalam
satu ucapan (yaitu) “Barangsiapa yang mengadakan perkara baru dalam
urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak”.
[Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam syarh hadits pertama]
Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, “Hadits
ini adalah asas yang sangat agung dari asas-asas Islam, sebagaimana
hadits “Setiap amalan hanyalah dengan niatnya” adalah parameter amalan
secara batin maka demikian pula dia (hadits ini) adalah parameternya
secara zhohir. Maka jika setiap amalan yang tidak diharapkan dengannya
wajah Allah –Ta’ala-, tidak ada pahala bagi pelakunya, maka demikian
pula setiap amalan yang tidak berada di atas perintah Allah dan RasulNya
maka amalannya tertolak atas pelakunya. Dan setiap perkara yang
dimunculkan dalam agama yang tidak pernah diizinkan oleh Allah dan
RasulNya, maka dia bukan termasuk dari agama sama sekali”.
Syaikh Salim Al-Hilaly hafizhohullah berkata dalam Bahjatun Nazhirin, “Hadits
ini termasuk hadits-hadits yang Islam berputar di atasnya, maka wajib
untuk menghafal dan menyebarkannya, karena dia adalah kaidah yang agung
dalam membatalkan semua perkara baru dan bid’ah (dalam agama)”.
Dan beliau juga berkata, “… maka hadits ini adalah asal dalam membatalkan pembagian bid’ah menjadi sayyi`ah (buruk) dan hasanah (terpuji)”.
Dan Syaikh Sholih bin ‘Abdil ‘Aziz Alu Asy-Syaikh hafizhohullah berkata dalam Syarhul Arba’in, “Hadits
ini adalah hadits yang sangat agung dan diagungkan oleh para ulama, dan
mereka mengatakan bahwa hadits ini adalah asal untuk membantah semua
perkara baru, bid’ah dan aturan yang menyelisihi syari’at”.
Dan beliau juga berkata dalam mensyarh kitab Fadhlul Islam karya Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab, “Hadits
ini dengan kedua lafadznya merupakan hujjah dan pokok yang sangat agung
dalam membantah seluruh bid’ah dengan berbagai jenisnya, dan
masing-masing dari dua lafadz ini adalah hujjah pada babnya
masing-masing, yaitu:
a. Lafadz yang pertama (ancamannya)
mencakup orang yang pertama kali mencetuskan bid’ah tersebut walaupun
dia sendiri tidak beramal dengannya.
b. Adapun lafadz kedua (ancamannya)
mencakup semua orang yang mengamalkan bid’ah tersebut walaupun bukan dia
pencetus bid’ah itu pertama kali”. Selesai dengan beberapa perubahan.
Syarh :
Setelah membaca komentar para ulama
berkenaan dengan hadits ini, maka kita bisa mengatahui bahwa hadits ini
dengan seluruh lafazhya merupakan ancaman bagi setiap pelaku bid’ah
serta menunjukkan bahwa setiap bid’ah adalah tertolak dan tercela, tidak
ada yang merupakan kebaikan. Dua pont inilah yang –insya Allah- kita
akan bahas panjang lebar, akan tetapi sebelumnya kita perlu mengetahui
definisi dari bid’ah itu sendiri agar permasalahan menjadi tambah jelas.
Maka kami katakan:
A. Definisi Bid’ah.
Bid’ah secara bahasa artinya memunculkan
sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya, sebagaimana dalam firman Allah
-Subhanahu wa Ta’ala-:
بَدِيعُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Allah membuat bid’ah terhadap langit dan bumi”.(QS. Al-Baqarah: 117 dan Al-An’am: 101)
Yakni Allah menciptakan langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya yang mendahului. Dan Allah -‘Azza wa Jalla- berfirman :
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ
“Katakanlah: “Aku bukanlah bid’ah dari para Rasul”. (QS. Al-Ahqaf: 9)
Yakni : Saya bukanlah orang pertama yang
datang dengan membawa risalah dari Allah kepada para hamba, akan tetapi
telah mendahului saya banyak dari para Rasul. Lihat: Lisanul ‘Arab
(9/351-352)
Adapun secara istilah syari’at –dan
definisi inilah yang dimaksudkan dalam nash-nash syari’at- bid’ah adalah
sebagaimana yang didefinisikan oleh Al-Imam Asy-Syathiby dalam kitab
Al-I’tishom (1/50):
طَرِيْقَةٌ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٌ, تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ وَيُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا الْمُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُّدِ اللهَ سُبْحَانَهُ
“Bid’ah
adalah suatu ungkapan untuk semua jalan/cara dalam agama yang
diada-adakan, menyerupai syari’at dan dimaksudkan dalam pelaksanaannya
untuk berlebih-lebihan dalam menyembah Allah Subhanah”.
Penjelasan Definisi.
Setelah Imam Asy-Syathiby rahimahullah
menyebutkan definisi di atas, beliau kemudian mengurai dan menjelaskan
maksud dari definisi tersebut, yang kesimpulannya sebagai berikut:
1. Perkataan beliau “jalan/cara dalam agama”. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa saja yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak”. (HSR. Bukhary-Muslim dari ‘A`isyah)
Dan urusan Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam tentunya adalah urusan agama karena pada urusan dunia beliau telah mengembalikannya kepada masing-masing orang, dalam sabdanya:
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأُمُوْرِ دُنْيَاكُمْ
“Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian”. (HSR. Bukhory)
Maka bid’ah adalah memunculkan perkara baru dalam agama
dan tidak termasuk dari bid’ah apa-apa yang dimunculkan berupa perkara
baru yang tidak diinginkannya dengannya masalah agama akan tetapi
dimaksudkan dengannya untuk mewujudkan maslahat keduniaan, seperti
pembangunan gedung-gedung, pembuatan alat-alat modern, berbagai jenis
kendaraan dan berbagai macam bentuk pekerjaan yang semua hal ini tidak
pernah ada zaman Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. Maka
semua perkara ini bukanlah bid’ah dalam tinjauan syari’at walaupun
dianggap bid’ah dari sisi bahasa. Adapun hukum bid’ah dalam perkara
kedunian (secara bahasa) maka tidak termasuk dalam larangan berbuat
bid’ah dalam hadits di atas, oleh karena itulah para Shahabat
radhiallahu ‘anhum mereka berluas-luasan dalam perkara dunia sesuai
dengan maslahat yang dibutuhkan.
2. Perkatan beliau “yang diada-adakan”,
yaitu sesungguhnya bid’ah adalah amalan yang tidak mempunyai landasan
dalam syari’at yang menunjukkan atasnya sama sekali. Adapun
amalan-amalan yang ditunjukkan oleh kaidah-kaidah syari’at secara umum
–walaupun tidak ada dalil tentang amalan itu secara khusus- maka
bukanlah bid’ah dalam agama. Misalnya alat-alat tempur modern yang
dimaksudkan sebagai persiapan memerangi orang-orang kafir , demikian
pula ilmu-ilmu wasilah dalam agama ; seperti ilmu bahasa Arab (Nahwu
Shorf dan selainnya) , ilmu tajwid , ilmu mustholahul hadits dan
selainnya, demikian pula dengan pengumpulan mushaf di zaman Abu Bakar
dan ‘Utsman radhiallahu ‘anhuma . Maka semua perkara ini bukanlah bid’ah
karena semuanya masuk ke dalam kaidah-kaidah syari’at secara umum.
3. Perkataan beliau “menyerupai syari’at”,
yaitu bahwa bid’ah itu menyerupai cara-cara syari’at padahal hakikatnya
tidak demikian, bahkan bid’ah bertolak belakang dengan syari’at dari
beberapa sisi:
a. Meletakkan batasan-batasan tanpa
dalil, seperti orang yang bernadzar untuk berpuasa dalam keadaan berdiri
dan tidak akan duduk atau membatasi diri dengan hanya memakan makanan
atau memakai pakaian tertentu.
b. Komitmen dengan kaifiat-kaifiat atau
metode-metode tertentu yang tidak ada dalam agama, seperti berdzikir
secara berjama’ah, menjadikan hari lahir Nabi Shollallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wasallam sebagai hari raya dan yang semisalnya.
c. Komitmen dengan ibadah-ibadah tertentu
pada waktu-waktu tertentu yang penentuan hal tersebut tidak ada di
dalam syari’at, seperti komitmen untuk berpuasa pada pertengahan bulan
Sya’ban dan sholat di malam harinya.
4. Perkataan beliau “dimaksudkan dalam
pelaksanaannya untuk berlebih-lebihan dalam menyembah Allah Subhanah”.
Ini merupakan kesempurnaan dari definisi bid’ah, karena inilah maksud
diadakannya bid’ah. Hal itu karena asal masuknya seseorang ke dalam
bid’ah adalah adanya dorongan untuk konsentrasi dalam ibadah dan adanya
targhib (motivasi berupa pahala) terhadapnya karena Allah -Ta’ala-
berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Maka seakan-akan mubtadi’ (pelaku bid’ah)
ini menganggap bahwa inilah maksud yang diinginkan (dengan bid’ahnya)
dan tidak belum jelas baginya bahwa apa yang diletakkan oleh pembuat
syari’at (Allah dan RasulNya) dalam perkara ini berupa aturan-aturan dan
batasan-batasan sudah mencukupi.
B. Dalil-Dalil Akan Tercelanya Bid’ah Serta Akibat Buruk yang Akan Didapatkan Oleh Pelakunya.
1. Bid’ah merupakan sebab perpecahan.
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini
adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kalian
mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu akan
mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Itulah yang Dia diwasiatkan
kepada kalian agar kalian bertakwa”. (QS. Al-An’am: 153)
Berkata Mujahid rahimahullah dalam menafsirkan makna “jalan-jalan” : “Bid’ah-bid’ah dan syahwat”. (Riwayat Ad-Darimy no. 203)
2. Bid’ah adalah kesesatan dan mengantarkan pelakunya ke dalam Jahannam.
Allah -’Azza wa Jalla- berfirman:
وَعَلَى اللَّهِ قَصْدُ السَّبِيلِ وَمِنْهَا جَائِرٌ وَلَوْ شَاءَ لَهَدَاكُمْ أَجْمَعِينَ
“Dan hak bagi Allah (menerangkan)
jalan yang lurus, dan di antara jalan-jalan ada yang bengkok. Dan
jikalau Dia menghendaki, tentulah Dia memimpin kamu semuanya (kepada
jalan yang benar).”. (QS. An-Nahl: 9)
Berkata At-Tastury : “’Qosdhus sabil’
adalah jalan sunnah ‘di antaranya ada yang bengkok’ yakni bengkok ke
Neraka yaitu agama-agama yang batil dan bid’ah-bid’ah”.
Maka bid’ah mengantarkan para pelakunya
ke dalan Neraka, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dalam khutbatul hajah:
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
وَفِي رِوَايَةٍ : وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
وَفِي رِوَايَةِ النَّسَائِيِّ : وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ
“Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik
perkataan adalah Kitab Allah, dan sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan
Muhammad, dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dan setiap
bid’ah adalah kesesatan”. (HSR. Muslim dari Jabir radhiallahu ‘anhuma)
Dalam satu riwayat, “Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah”.
Dan dalam riwayat An-Nasa`iy,
“Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dan setiap yang
diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan dan semua
kesesatan berada dalam Neraka”.
Dan dalam hadits ‘Irbadh bin Sariyah secara marfu’:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Dan hati-hati kalian dari perkara
yang diada-adakan karena setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan
setiap bid’ah adalah kesesatan”. (HR. Ashhabus Sunan kecuali An-Nasa`iy)
3. Bid’ah itu tertolak atas pelakunya siapapun orangnya.
Allah –’Azza wa Jalla- menegaskan:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain
agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)
daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (QS. Ali ‘Imran: 85)
Dan bid’ah sama sekali bukan bahagian
dari Islam sedikitpun juga, sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits
yang sedang kita bahas sekarang.
4. Allah melaknat para pelaku bid’ah dan orang yang melindungi/menolong pelaku bid’ah.
Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam menegaskan:
فَمَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا أَوْ آوَى مُحْدِثًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ لَا يُقْبَلُ مِنْهُ عَدْلٌ وَلَا صَرْفٌ
“Barangsiapa yang
memunculkan/mengamalkan bid’ah atau melindungi pelaku bid’ah, maka
atasnya laknat Allah, para malaikat dan seluruh manusia, tidak akan
diterima dari tebusan dan tidak pula pemalingan”. (HSR. Bukhary-Muslim dari ‘Ali dan HSR. Muslim dari Anas bin Malik)
5. Para pelaku bid’ah jarang diberikan taufiq untuk bertaubat –nas`alullaha as-salamata wal ‘afiyah-.
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda:
إِنَّ اللهَ احْتَجَزَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَهَا
“Sesungguhnya Allah mengahalangi taubat dari setiap pelaku bid’ah sampai dia meninggalkan bid’ahnya”. (HR. Ath-Thobarony dan Ibnu Abi ‘Ashim dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah no. 1620)
Berkata Syaikh Bin Baz ketika ditanya tentang makna hadits di sela-sela pelajaran beliau mensyarah kitab Fadhlul Islam, “…Maknanya
adalah bahwa dia (pelaku bid’ah ini) menganggap baik bid’ahnya dan
menganggap dirinya di atas kebenaran, oleh karena itulah kebanyakannya
dia mati di atas bid’ah tersebut –wal’iyadzu billah-, karena dia
menganggap dirinya benar. Berbeda halnya dengan pelaku maksiat yang dia
mengetahui bahwa dirinya salah, lalu dia bertaubat, maka kadang Allah
menerima taubatnya”.
6. Para pelaku bid’ah akan menanggung
dosanya dan dosa setiap orang yang dia telah sesatkan sampai hari Kiamat
–wal’iyadzu billah-.
Allah-Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:
لِيَحْمِلُوا أَوْزَارَهُمْ كَامِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمِنْ أَوْزَارِ الَّذِينَ يُضِلُّونَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ أَلَا سَاءَ مَا يَزِرُونَ
“(ucapan mereka) menyebabkan mereka
memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat, dan
sebahagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui
sedikitpun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, amat buruklah dosa yang
mereka pikul itu”. (QS. An-Nahl: 25)
Dan Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah bersabda:
وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنْ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
“Dan barangsiapa yang mengajak kepada
kesesatan, maka atasnya dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya,
tanpa mengurangi dari dosa mereka sedikitpun”. (HSR. Muslim dari Abu Hurairah)
7. Setiap pelaku bid’ah akan diusir dari telaga Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.
Beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda:
أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ وَلَيُرْفَعَنَّ مَعِي رِجَالٌ مِنْكُمْ ثُمَّ لَيُخْتَلَجُنَّ دُونِي فَأَقُولُ يَا رَبِّ أَصْحَابِي فَيُقَالُ إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ
“Saya menunggu kalian di telagaku,
akan didatangkan sekelompok orang dari kalian kemudian mereka akan
diusir dariku, maka sayapun berkata : “Wahai Tuhanku, (mereka adalah)
para shahabatku”, maka dikatakan kepadaku : “Engkau tidak mengetahui apa
yang mereka ada-adakan setelah kematianmu”. (HSR. Bukhary-Muslim dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu)
8. Para pelaku bid’ah menuduh Nabi
Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah berkhianat
dalam menyampaikan agama karena ternyata masih ada kebaikan yang belum
beliau tuntunkan.
Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata
-sebagaimana dalam kitab Al-I’tishom (1/64-65) karya Imam Asy-Syathiby
rahimahullah-, “Siapa saja yang membuat satu bid’ah dalam Islam yang dia
menganggapnya sebagai suatu kebaikan maka sungguh dia telah menyangka
bahwa Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah
mengkhianati risalah, karena Allah Ta’ala berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagi kalian”.
(QS. Al-Ma`idah: 3)
Maka perkara apa saja yang pada hari itu bukan agama maka pada hari inipun bukan agama”.
9. Dalam bid’ah ada penentangan kepada Al-Qur`an.
Al-Imam Asy-Syaukany rahimahullah berkata
dalam kitab Al-Qaulul Mufid fii Adillatil Ijtihad wat Taqlid (hal. 38)
setelah menyebutkan ayat dalam surah Al-Ma`idah di atas, “Maka bila
Allah telah menyempurnakan agamanya sebelum Dia mewafatkan NabiNya, maka
apakah (artinya) pendapat-pendapat ini yang di munculkan oleh para
pemikirnya setelah Allah menyempurnakan agamanya?!. Jika
pendapat-pendapat (bid’ah ini) bahagian dari agama –menurut keyakinan
mereka- maka berarti Allah belum menyempurnakan agamanya kecuali dengan
pendapat-pendapat mereka, dan jika pendapat-pendapat ini bukan bahagian
dari agama maka apakah faidah dari menyibukkan diri pada suatu perkara
yang bukan bahagaian dari agama ?!”.
10. Para pelaku bid’ah akan mendapatkan kehinaan dan kemurkaan dari Allah Ta’ala di dunia.
Allah –’Azza wa Jalla- menegaskan:
إِنَّ الَّذِينَ اتَّخَذُوا الْعِجْلَ سَيَنَالُهُمْ غَضَبٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَذِلَّةٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُفْتَرِينَ
“Sesungguhnya orang-orang yang
menjadikan anak lembu (sebagai sembahannya), kelak akan menimpa mereka
kemurkaan dari Tuhan mereka dan kehinaan dalam kehidupan di dunia.
Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang membuat-buat
kedustaan”. (QS. Al-A’raf: 152)
Ayat ini umum, mencakup mereka para
penyembah anak sapi dan yang menyerupai mereka dari kalangan ahli
bid’ah, karena bid’ah itu seluruhnya adalah kedustaan atas nama Allah
Ta’ala, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam Sufyan bin ‘Uyainah
rahimahullah.
{Lihat : Mauqif Ahlis Sunnah (1/89-92), Al-I’tishom (1/50-53 dan 61-119) dan Al-Hatstsu ‘ala Ittiba’is Sunnah (25-35)} http://al-atsariyyah.com/meluruskan-pemahaman-tentang-bidah.html
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer