Pada edisi yang lalu telah dibahas bahwa keluarga akan merasa sakinah dan mawaddah bila punya anak yang sholih dan sholihah. Sebaliknya, alangkah sedih dan ruginya bila anak durhaka kepada Alloh Subhaanahu wa ta’aala, Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan durhaka kepada kedua orang tuanya, na’udzubillahi min dzalik. Lalu bagaimanakah upaya kita agar anak menjadi sholih dan sholihah, bahagia dunia dan akhirat?

Sholih dan sholihah adalah takdir Alloh ‘Azza wa Jalla
Di antara hal yang harus kita imani ialah, baik dan buruknya anak sudah ditentukan oleh Alloh ‘Azza wa Jalla sejak dia di rahim ibu. Hanya Alloh-lah yang menjadikan sesuatu dan yang menentukan semua urusan. Perkara ini harus kita yakini agar kita tidak sombong dan membanggakan diri bila berhasil mendidik anak, dan tidak putus asa bila kita sudah berusaha mendidik semaksimal mungkin namun anak belum menjadi baik. Misalnya anak Nabi Nuh ‘Alaihissalam yang durhaka padahal orang tuanya sudah mendidiknya.

Dan Nuh memanggil anaknya sedang anak itu (berada di tempat yang terpencil): “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu bersama orang-orang yang kafir.” Anaknya menjawab: “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!” (QS. Hud [11]: 42-43)
Dalam ayat ini terdapat teladan agar kita tidak putus asa ketika belum berhasil mendidik anak.
Adapun dalil wajibnya kita mengimani takdir ialah hadits Abdulloh bin Mas’ud Radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata: Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bercerita kepada kami—dan beliau adalah orang yang jujur dan bisa dipercaya:
“Sesungguhnya setiap kalian telah mengalami proses penciptaan dalam perut ibunya selama empat puluh hari (sebagai nuthfah). Kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga kemudian menjadi segumpal daging selama itu pula. Selanjutnya Alloh mengutus malaikat untuk meniupkan roh ke dalamnya dan diperintah untuk menulis empat perkara, yaitu: menentukan rezekinya, ajalnya, amalnya serta sengsara atau bahagianya. Demi Dzat yang tiada sembahan selain Dia, sesungguhnya ada salah seorang di antara kalian yang telah melakukan amalan penghuni surga sampai jaraknya dengan surga hanya tinggal sehasta, namun karena sudah didahului takdir, maka ia pun melakukan perbuatan ahli neraka, lalu masuklah ia ke dalam neraka. Dan sungguh ada pula salah seorang di antara kalian yang telah melakukan perbuatan ahli neraka sampai jaraknya dengan neraka hanya tinggal sehasta, namun karena sudah didahului takdir, maka ia pun melakukan perbuatan ahli surga, dan masuklah ia ke dalam surga.” (Shohih Muslim 4781)

Orang tua wajib berikhtiar
Orang yang beriman kepada takdir bukan berarti meninggalkan usaha, karena Alloh ‘Azza wa Jalla memerintah kita agar berilmu lalu beramal. Bukankah Alloh ‘Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk mengerjakan sholat? Bukankah kita disuruh menikah agar punya anak? Bukankah kita diperintah untuk menuntut ilmu agar menjadi orang yang berilmu dan beramal? Bukankah anak yang pandai membaca al-Qur’an karena dia belajar? Bukankah Alloh melarang kita mengikuti jalan menuju neraka? Baca surat at-Tahrim ayat no. 6.
Dari Abu Huroiroh Radhiyallaahu ‘anhu bahwa Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) :
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Lalu kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi. Sebagaimana seekor hewan yang melahirkan anak tanpa cacat, apakah kamu merasakan hidungnya ada yang terpotong?” (Shohih Muslim 4803)
Hadits ini menerangkan bahwa kita tidak cukup bergantung pada takdir, namun kita wajib berusaha. Sebagaimana orang yang sakit, dia tidak hanya bergantung pada takdir, tapi pergi ke dokter untuk berobat. Orang tua yang menginginkan anaknya sholih pun hendaknya berusaha pula.
Imam Badruddin berkata: Kedua orang tualah yang mengajarinya beragama Yahudi atau Nasrani dan yang memalingkan dari fitrahnya sehingga dia mengikuti agama orang tuanya. (Umdatul Qori’ Syarah Bukhori 13/39)
Oleh karena itu, kami berwasiat kepada diri kami sendiri dan kepada pembaca seluruhnya, hendaknya kita berhati-hati ketika memutuskan ke mana kita akan menyekolahkan anak, mulai dari taman kanak-kanak sampai sekolah lanjutan. Mengapa? Karena guru, teman bergaul dan pelajaran sekolah akan sangat mempengaruhi pendidikan anak. Bukankah anak yang diajari menyanyi dia pun akan menyanyi, dan yang diajari membaca al-Qur’an dia pun membaca al-Qur’an? Tentunya ini semua bila kita ingin memiliki anak yang sholih dan sholihah.
Dari Abul Abbas Abdulloh bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata: Suatu hari aku berada di belakang Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau bersabda (yang artinya):
“Wahai Anak, aku akan ajarkan kepadamu beberapa patah kata: Jagalah Alloh, niscaya Dia akan senantiasa menjagamu. Bila engkau meminta sesuatu, mintalah kepada Alloh, dan bila engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Alloh. Ketahuilah, jika semua umat manusia bersatu padu untuk memberikan suatu kebaikan kepadamu, niscaya mereka tidak dapat melakukannya kecuali bila sesuatu itu telah ditulis oleh Alloh bagimu. Dan jika semua umat manusia bersatu padu untuk mencelakaimu, niscaya mereka tidak dapat mencelakaimu kecuali bila sesuatu itu telah ditulis oleh Alloh bagimu. Pena telah diangkat dan catatan-catatan (amal) telah mengering.” (HR. at-Tirmidzi, hadits shohih, Silsilah ash-Shohihah 5/381)
Adapun maksud menjaga Alloh ‘Azza wa Jalla adalah dengan cara menjaga hak-Nya, yaitu menjalankan yang wajib dan sunnah dan menjauhi larangan-Nya. Sedangkan yang dimaksud dengan penjagaan Alloh ‘Azza wa Jalla terhadap manusia ada dua bentuk: Alloh menjaga urusan dunianya dengan menyehatkan badannya, melapangkan rezekinya, menjaga anak dan istrinya, dan lain-lain. (Tuhfatul Ahwadzi 6/308)
Ini adalah satu contoh pendidikan anak yang dicontohkan oleh Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yaitu hendaknya ketika anak masih kecil diajari tauhid sehingga ia mengenal Robbnya.

Hubungan antara takdir dengan ikhtiar (usaha)
Mungkin kita bertanya: Bagaimana kita menghubungkan antara takdir dengan usaha? Karena ayat atau hadits tidak mungkin bertentangan satu sama lain, karena keduanya merupakan wahyu Alloh yang diturunkan kepada Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullaah berkata: Sebagian ulama berkata: “Takdir adalah rahasia Alloh ‘Azza wa Jalla kepada makhluknya. Kita tidak mungkin mengetahuinya melainkan setelah peristiwa itu terjadi, yang baik atau yang buruk.” (al-Qoulul mufid ala kitabit tauhid 2/396)
Ali bin Abu Tholib Radhiyallaahu ‘anhu berkata: Ketika kami sedang mengiring jenazah di Baqi’ Ghorqod (sebuah tempat pemakaman di Madinah), datanglah Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menghampiri kami. Beliau segera duduk dan kami pun ikut duduk di sekeliling beliau yang ketika itu memegang sebatang tongkat kecil. Beliau menundukkan kepalanya dan mulailah membuat goresan-goresan kecil di tanah dengan tongkatnya itu, kemudian beliau bersabda: “Tidak ada seorang pun dari kamu sekalian atau tidak ada satu jiwa pun yang hidup kecuali telah Alloh tentukan kedudukannya, di surga ataukah di neraka, serta apakah ia akan sengsara ataukah bahagia.”
Lalu seorang lelaki tiba-tiba bertanya: Wahai Rosululloh, kalau begitu apakah tidak sebaiknya kita berserah diri kepada takdir kita dan meninggalkan amal-usaha? Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang telah ditentukan sebagai orang yang bahagia, maka dia akan mengarah kepada perbuatan orang-orang yang berbahagia. Dan barangsiapa yang telah ditentukan sebagai orang yang sengsara, maka dia akan mengarah kepada perbuatan orang-orang yang sengsara.” Kemudian beliau melanjutkan sabdanya: “Beramallah! Karena setiap orang akan dipermudah. Adapun orang-orang yang ditentukan sebagai orang yang bahagia, maka mereka akan dimudahkan untuk melakukan amalan orang-orang bahagia. Adapun orang-orang yang ditentukan sebagai orang yang sengsara, maka mereka juga akan dimudahkan untuk melakukan amalan orang-orang sengsara.”
Kemudian beliau membacakan surat al-Lail ayat 5-10 berikut (yang artinya): Adapun orang yang memberikan hartanya di jalan Alloh dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar. (Shohih Muslim 4786)
Inilah hubungan antara takdir dan usaha. Akhirnya, semoga Alloh ‘Azza wa Jalla memberi kemampuan kepada kita semuanya untuk bersungguh-sungguh dan bersabar mendidik anak menuju jalan yang diridhoi-Nya, amin.
[ Oleh: Ust. Aunur Rofiq bin Ghufron ]

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers