“Dan dalam qishash
itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal,
supaya kamu bertakwa.” (al-Baqarah: 179)
Penjelasan Mufradat Ayat
Sebagian ahlul ilmi berpendapat,
kata الْقِصَاص berasal dari kata قَصَّ الْأَثَرَ , artinya mengikuti jejak (nya). Jadi,
seolah-olah pelaku pembunuhan mengikuti atau menempuh jejak suatu pembunuhan.
Hal ini sebagaimana yang tersebut dalam firman Allah:
“Musa berkata, ‘Itulah (tempat)
yang kita cari; lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula’.”
(al-Kahfi: 64)
Sebagian ada yang berpendapat
bahwa kata ini berasal dari الْقَصُّ artinya memotong atau memisahkan. Ini
seperti yang terdapat pada kalimat قَصَصْتُ مَا
بَيْنَهُمْ artinya “Saya
meng-qishash sesuatu di antara keduanya,” yakni saya memotong atau
memisahkannya. (Lihat Fathul Qadir, 1/227, al-Qurthubi, 2/245)
Al-Alusi dalam kitab tafsirnya,
Ruhul Ma’ani (2/113), mengatakan, “Bentuk kata الْقِصَاص adalah isim ma’rifah yang menggunakan الْ
menunjukkan jenis, bermakna tentang hakikat hukum ini yang meliputi hukuman
balasan berupa pukulan, pencederaan, pembunuhan dan lainnya.”
Maka dari itu, qishash adalah
salah satu bentuk pidana (hukuman) yang ditetapkan sebagai bentuk pembalasan
yang sepadan terhadap suatu perbuatan berupa pembunuhan atau pencederaan.
“(Jaminan kelangsungan) hidup.”
Mujahid berkata, “Maknanya adalah
suatu (siksaan atau hukuman) yang dijadikan peringatan bagi orang lain.”
Qatadah mengatakan, “Yaitu
hukuman dan peringatan bagi manusia yang kurang berakal dan bodoh.”
Ar-Rabi’ berkata, “Sebagai ibrah
(pelajaran/peringatan).”
Ibnu Juraij mengatakan, “Yaitu
sebagai kekuatan pencegahan.”
Abu Shalih, as-Suddi, ats-Tsauri,
dan Ibnu Zaid mengatakan, “Maknanya adalah ketetapan dan kekekalan.”
Adh-Dhahhak mengatakan, “Yaitu
kebaikan dan keadilan.”
Lihat Tafsir ath-Thabari
(3/381—383).
Al-Alusi berkata dalam tafsirnya,
Ruhul Ma’ani (2/1130), mengatakan, “Makna qishash sebagai jaminan kelangsungan
hidup adalah kelangsungan hidup di dunia dan di akhirat. Jaminan kelangsungan
hidup di dunia telah jelas karena dengan disyariatkannya qishash berarti
seseorang akan takut melakukan pembunuhan. Dengan demikian, qishash menjadi
sebab berlangsungnya hidup jiwa manusia yang sedang berkembang. Adapun
kelangsungan hidup di akhirat adalah berdasarkan alasan bahwa orang yang
membunuh jiwa dan dia telah diqishash di dunia, kelak di akhirat ia tidak akan
dituntut memenuhi hak orang yang dibunuhnya.”
Hukum Qishash
Sebagaimana yang tersebut dalam
ayat sebelum ayat di atas, Allah menetapkan (mewajibkan) hukum qishash di
antara manusia.
“Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang
merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita.
Barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya hendaklah (yang
memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf)
membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Hal itu
adalah suatu keringanan dan rahmat dari Rabb kalian. Barang siapa yang
melampaui batas sesudah itu, baginya siksa yang sangat pedih.” (al-Baqarah:
178)
Berikut ini adalah beberapa dalil
yang menunjukkan disyariatkannya hukum qishash.
“Dan Kami telah tetapkan terhadap
mereka di dalamnya (Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan
mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan
luka-luka (pun) ada qishashnya.” (al-Maidah: 45)
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa
yang diharamkan oleh Allah (membunuhnya) melainkan dengan suatu (alasan) yang
benar.” (al-Isra: 33)
Adapun di antara hadits yang
menunjukkan masalah ini adalah riwayat dari Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah
bersabda:
“Darah seorang
muslim yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain
Allah dan bersaksi bahwa aku adalah Rasulullah, tidak boleh ditumpahkan
melainkan karena tiga hal: jiwa dibalas dengan jiwa, orang yang telah menikah
yang melakukan zina, orang yang murtad dari Islam dan meninggalkan persatuan
bersama kaum muslimin.” (Muttafaqun ‘alaih)
Hukum Qishash Juga Berlaku dalam Agama Terdahulu
Pada dasarnya, qishash adalah
ketetapan hukum yang juga berlaku dalam agama-agama terdahulu sebelum Islam.
Allah berfirman:
“Dan Kami telah tetapkan terhadap
mereka di dalamnya (Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan
mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan
luka-luka (pun) ada qishashnya.” (al-Maidah: 45)
Ibnu Abbas berkata, “Dahulu di
masa Bani Israil, orang yang membunuh diberlakukan hukum qishash dan tidak ada
diyat (bayar denda).”
Qatadah berkata, “Dahulu yang
berlaku bagi para pengikut Taurat adalah qishash dan pemaafan, tidak ada diyat
(membayar denda). Adapun bagi para pengikut Injil hanya berlaku pemaafan.
Adapun bagi umat ini, Allah menetapkan hukum adanya qishash, pemaafan dan
diyat.”
Pelaksana Hukum Qishash
Al-Imam al-Quthubi mengatakan,
“Para ulama bersepakat bahwa qishash tidaklah ditegakkan melainkan oleh
penguasa. Mereka diperintah menegakkan qishash, dan hukuman-hukuman yang lain.
Hal ini karena Allah berbicara (memerintahkan) agar hukum qishash diberlakukan
kepada seluruh kaum muslimin. Kemudian Allah tidak mempersiapkan kaum muslimin
seluruhnya untuk berkumpul, melaksanakan (menegakkan) hukum qishash. Akan
tetapi, mereka menunjuk (menyerahkan) kepada penguasa untuk menegakkan hukum
qishash dan hukuman-hukuman yang lain.”
Di tempat lain, beliau menukil
riwayat dari jalan Sufyan, dari as-Suddi, dari Abu Malik, beliau berkata bahwa
makna ayat di atas adalah “Sebagian mereka tidak boleh menerapkan qishash
(membunuh) terhadap sebagian yang lain. Para ulama bersepakat bahwa tidak boleh
seorang pun menerapkan qishash, selain penguasa. Tidak diperbolehkan bagi
manusia untuk menerapkan qishash terhadap yang lain. Urusan ini adalah hanya
wewenang penguasa atau pihak yang ditunjuk oleh penguasa. Dari situlah, Allah
menjadikan penguasa berkuasa terhadap rakyatnya. Demikian pula, telah
disepakati oleh para ulama bahwa apabila seorang penguasa melakukan tindakan
pembunuhan atau penganiayaan terhadap rakyatnya, maka dia mengqishash dirinya
karena ia termasuk bagian dari mereka. Hanya saja, ada sisi perbedaan jika ditinjau
dari sisi bahwa mereka (penguasa) adalah sebagai wakil rakyat. Namun, dilihat
dari sisi bahwa mereka adalah bagian individu dari masyarakat, tidak ada
perbedaan dalam penerapan hukum-hukum Allah. Hal ini berdasarkan firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.”
(Tafsir al-Qurthubi, 2/245—256)
Pemberlakuan dan Gambaran Qishash
Qishash diberlakukan terhadap
pelaku pembunuhan atau pencederaan, bukan terhadap selain pelaku. Al-Imam al-Qurthubi
(2/245) menyebutkan gambaran qishash sebagai berikut. Seseorang yang melakukan
pembunuhan ditegakkan terhadapnya hukum qishash, apabila wali pembunuhan pasrah
kepada perintah Allah dan tunduk kepada hukum qishash yang disyariatkan. Wali
dari orang yang terbunuh diwajibkan menetapkan qishash terhadap orang yang
membunuh dan tidak melampaui batas kepada selainnya. Bukan seperti yang
dilakukan oleh bangsa Arab dahulu. Mereka melakukan perbuatan melampaui batas
sehingga membunuh orang yang bukan pelaku pembunuhan. Nabi bersabda:
“Manusia yang
paling durhaka kepada Allah pada hari kiamat ada tiga. Pertama, seseorang yang
melakukan qishash pembunuhan terhadap orang yang bukan pelakunya. Kedua,
seseorang yang melakukan pembunuhan di tanah al-haram (Makkah dan Madinah).
Ketiga, seseorang yang membunuh karena dendam jahiliah.” (HR. Ahmad)
Demikian pula, dalam qishash
keadilan tetap diperhatikan. Artinya, orang yang merdeka dengan orang yang
merdeka, budak dengan budak, dan wanita dengan wanita. (lihat Tafsir Ibnu
Katsir 1/489)
Hikmah Qishash
Allah menetapkan hukum qishash
(hukuman mati) bagi orang yang membunuh jiwa. Namun, pada hakikatnya qishash
itu sendiri adalah kelangsungan hidup bagi jiwa manusia. Hal ini ditinjau dari
akibatnya, yaitu apabila hukum qishash diberlakukan, manusia terhalangi untuk
melakukan pembunuhan terhadap manusia yang lain. Dengan demikian, kelangsungan
hidup manusia akan tetap terjaga. (Lihat Fathul Qadir 1/228)
Hukuman yang dinamakan qishash
(yang kenyataannya adalah hukuman mati), pada hakikatnya adalah jaminan
keberlangsungan hidup bagi manusia. Karena apabila seseorang mengetahui, bahwa
ia akan dibunuh secara qishash (dihukum mati) jika melakukan pembunuhan
terhadap orang lain, ia akan menahan diri dari melakukan pembunuhan. Ia menahan
diri untuk tidak bergegas/bersegera melakukannya. Ia juga akan menahan diri
agar tidak terjatuh dalam perbuatan tersebut. Hal ini diibaratkan seperti
pemberian jaminan kelangsungan hidup bagi jiwa manusia.
Al-Imam asy-Syinqithi berkata
dalam tafsir ayat:
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini
memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus.” (al-Isra: 9)
Salah satu hal yang menunjukkan
bahwa Al-Qur’an memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus adalah
masalah qishash. Jika seseorang sedang marah kemudian berkeinginan untuk
melakukan pembunuhan, ia ingat/sadar bahwa membunuh seseorang akan
mengakibatkan dirinya juga akan dibunuh. Dengan demikian, ia menjadi takut.
Akhirnya, keinginan membunuh ia tinggalkan. Dengan ini pula, menjadi hiduplah
orang yang sebelumnya ingin dia bunuh. Hidup pulalah dirinya, karena ia tidak
jadi membunuh sehingga qishash pun tidak berlaku padanya. Oleh karena itu,
pembunuhan terhadap seorang yang membunuh jiwa (sebagai bentuk balasan yang
setimpal) menjadi sebab berlangsungnya kehidupan bagi banyak jiwa, tidak ada
yang mengetahui selain Allah. Allah berfirman:
“Dan dalam qishash itu ada
(jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu
bertakwa.” (al-Baqarah: 179)
Tidak diragukan bahwa ini adalah
cara yang paling adil dan paling lurus. Oleh karena itu, telah disaksikan di
seluruh daerah di muka bumi ini, baik masa dahulu maupun sekarang, jumlah
pembunuhan di negeri yang menerapkan hukum Allah (Islam) sedikit. Hal ini
karena hukum qishash menjadi sebab penghalang terjadinya pembunuhan,
sebagaimana yang disebutkan Allah pada ayat di atas. Adapun pernyataan yang
diucapkan oleh musuh-musuh Islam bahwasanya qishash tidak sesuai dengan
hikmah—karena mengandung unsur yang membuat kegelisahan dan kerisauan bagi
sebagian masyakat dengan dibunuhnya pelaku pembunuhan—sehingga hukuman yang
sepantasnya (diberikan kepada pelaku pembunuhan) bukanlah qishash, namun
dipenjara saja. Menurut mereka, dengan dipenjara bisa jadi akan lahir darinya
seorang anak sehingga bertambahlah jumlah jiwa penduduk.
Akan tetapi, semua itu adalah
pendapat yang keliru dan salah. Tidak ada hikmahnya sama sekali. Hukuman
penjara tidak akan menjadi sebab yang akan menghalangi seorang melakukan
pembunuhan. Jika demikian halnya, pembunuhan akan semakin banyak karena
perbuatan orang-orang yang jelek budinya. Hasilnya, jumlah penduduk justru
berkurang berlipat ganda akibat pembunuhan yang merajalela. (Adhwa’ul Bayan,
3/285)
Wallahu a’lam.
Sumber: http://asysyariah.com/
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer