Merayakan Hari Lahir dan Ulang Tahun Tanya : Bagaimana hukum yang berkaitan dengan perayaan hari ulang tahun perkawinan dan hari lahir anak-anak ?
Jawaban : Tidak pernah ada (dalam syar’iat tentang) perayaan dalam Islam kecuali hari Jum’at yang merupakan Ied (hari Raya) setiap pekan, dan hari pertama bulan Syawaal yang disebut hari Ied al-Fitr dan hari kesepuluh Dzulhijjah atau disebut Ied Al-Adhaa – atau sering disebut hari ‘ Ied Arafah – untuk orang yang berhaji di ‘Arafah dan hari Tasyriq (tanggal ke 11, 12, 13 bulan Dzul-Hijjah) yang merupakan hari ‘Ied yang menyertai hari Iedhul ‘Adhaa.
Perihal hari lahir orang-orang atau anak-anak atau hari ultah perkawinan dan semacamnya, semua ini tidak disyariatkan dalam (Islam) dan merupakan bid’ah yang sesat. (Syaikh Muhammad Salih Al ‘ Utsaimin)
Sumber :
Al-Bid’u wal-Muhdatsaat wa maa laa Asla Lahu- Halaman 224; Fataawa fadhilatusy-Syaikh Muhammad As-Saalih Al-’Utsaimin- Jilid 2, Halaman 302.
(Diterjemahkan dari tulisan Syaikh Muhammad As-Saalih Al-’Utsaimin, url sumber http://www.fatwa-online.com/fataawa/innovations/celebrations/cel003/0010428_1.htm oleh tim Salafy.or.id)
Jawaban : Tidak pernah ada (dalam syar’iat tentang) perayaan dalam Islam kecuali hari Jum’at yang merupakan Ied (hari Raya) setiap pekan, dan hari pertama bulan Syawaal yang disebut hari Ied al-Fitr dan hari kesepuluh Dzulhijjah atau disebut Ied Al-Adhaa – atau sering disebut hari ‘ Ied Arafah – untuk orang yang berhaji di ‘Arafah dan hari Tasyriq (tanggal ke 11, 12, 13 bulan Dzul-Hijjah) yang merupakan hari ‘Ied yang menyertai hari Iedhul ‘Adhaa.
Perihal hari lahir orang-orang atau anak-anak atau hari ultah perkawinan dan semacamnya, semua ini tidak disyariatkan dalam (Islam) dan merupakan bid’ah yang sesat. (Syaikh Muhammad Salih Al ‘ Utsaimin)
Sumber :
Al-Bid’u wal-Muhdatsaat wa maa laa Asla Lahu- Halaman 224; Fataawa fadhilatusy-Syaikh Muhammad As-Saalih Al-’Utsaimin- Jilid 2, Halaman 302.
(Diterjemahkan dari tulisan Syaikh Muhammad As-Saalih Al-’Utsaimin, url sumber http://www.fatwa-online.com/fataawa/innovations/celebrations/cel003/0010428_1.htm oleh tim Salafy.or.id)
* * *
Kesesatan Qaradhawi – Sikap Kebid’ahan, pada Syi’ah
Penulis: Ahmad bin Muhammad bin Manshur Al ‘Udaini hafidzahullah11. Qaradhawi Dan Perayaan-Perayaan Bid’ah Telah diketahui bahwasanya tidak ada dalam agama kita hari raya yang lebih banyak dari hari-hari raya yang telah disyariatkan Allah dan Rasul-Nya, yaitu Idul Adhha, Idul Fithri, dan hari Jum’at. Adapun perayaan-perayaan yang bersumber dari musuh-musuh Islam adalah hari raya yang kita tidak mengakuinya dan tidak mengimaninya dengan dua catatan :
1. Bila merayakan hari-hari raya mereka dalam rangka beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah maka ini adalah bid’ah dalam din Allah selain hal itu juga berarti tasyabbuh (menyerupai) mereka.
2. Bila merayakan tidak dengan maksud beribadah akan tetapi hanya meniru dan mencontoh mereka dalam hari raya mereka maka di sini terdapat perbuatan tasyabbuh dengan mereka dan itu diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Adapun Qaradhawi telah ditanya seputar masalah hari-hari raya ini maka ia memberi fatwa yang bertentangan dengan Al Kitab dan As Sunnah serta para ulama ummat. Inilah pernyataannya ketika salah seorang wartawan bertanya :
“Apakah Anda merayakan hari kelahiran istri Anda?” Dia menjawab :
2. Bila merayakan tidak dengan maksud beribadah akan tetapi hanya meniru dan mencontoh mereka dalam hari raya mereka maka di sini terdapat perbuatan tasyabbuh dengan mereka dan itu diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Adapun Qaradhawi telah ditanya seputar masalah hari-hari raya ini maka ia memberi fatwa yang bertentangan dengan Al Kitab dan As Sunnah serta para ulama ummat. Inilah pernyataannya ketika salah seorang wartawan bertanya :
“Apakah Anda merayakan hari kelahiran istri Anda?” Dia menjawab :
Aku menyukai setiap hal-hal yang bersangkutan dengan istriku, aku merayakan hari perkawinanku setiap tahun akan tetapi aku mempunyai pendapat dalam masalah perayaan hari kelahiran (ulang tahun). Aku tidak mengatakan itu adalah haram akan tetapi aku melihat bahwa itu adalah semacam taklid buta terhadap orang-orang Barat dalam adat dan kebiasaan mereka. Kita tidak diharuskan merayakan hari lahir setiap tahun. Akan tetapi aku berpendapat wajib bagi setiap insan untuk merenung pada hari ulang tahunnya untuk mengintrospeksi diri apa yang telah aku kerjakan untuk kehidupanku.
Kebaikan apakah yang telah aku sia-siakan. Seperti yang di dalam ilmu ekonomi dinamakan sebagai perhitungan akhir.
Kebaikan apakah yang telah aku sia-siakan. Seperti yang di dalam ilmu ekonomi dinamakan sebagai perhitungan akhir.
Akan tetapi berkaitan dengan anak-anak maka terdapat perayaan-perayaan yang syar’i. Apabila anak tersebut dilahirkan, kita merayakannya setelah satu minggu. Kita menyembelih seekor atau dua ekor kambing sebagai akikah. Dan aku berpendapat bahwa anak setelah berusia tujuh tahun kita merayakan si anak dan mengatakan kepadanya ini adalah saat untuk shalat. Kita berikan padanya mainan dan manisan (kembang gula) dan hadiah yang sesuai. Pada saat usia sepuluh tahun, kita rayakan perayaan yang lain seraya berkata padanya ini perayaan masa dipukulnya engkau, engkau telah dan tidak hanya diperintahkan untuk shalat. Akan tetapi engkau akan kena pukul apabila engkau melalaikannya. Ini adalah sebagai pengamalan terhadap hadits :
“Perintahkan anak-anakmu untuk melakukan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun dan pukullah mereka tatkala berumur sepuluh tahun (jika tidak mengerjakannya).”
Yang dimaksud perayaan di sini adalah tertanamnya kesadaran dalam benak anak tersebut bahwa shalat tersebut adalah hal yang penting. Maka kita adakan perayaan baginya. Dan pada saat umur kelima belas, kita mengadakannya kembali dan berkata ini adalah usia dimana engkau telah terkena taklif (kewajiban). Engkau bertanggung jawab di hadapan Allah atas segala tindak-tandukmu dan akan dituliskan bagimu kebaikan dan keburukan. Dan apabila ia berhasil atau telah menunaikan pekerjaan yang bagus atau memenangkan perlombaan, kita adakan perayaan. Akan tetapi ini bukanlah halangan apabila seorang suami merayakan hari ulang tahun istrinya dengan mengucapkan selamat ulang tahun dan semoga Anda tetap sehat. Ataupun memberikan hadiah kepadanya setiap lima atau sepuluh tahun sekali. Adapun atribut-atribut dalam perayaan ulang tahun seperti lilin-lilin, semua ini tidak aku senangi terjadi pada diri seorang Muslim jika ia mengharuskan diri dengannya hingga menjadi kebiasaan dan menjadi ibadah resmi yang diakui. (Harian Ar Raayah nomor 597, 20 Jumadil Akhir 1419)
Yang dimaksud perayaan di sini adalah tertanamnya kesadaran dalam benak anak tersebut bahwa shalat tersebut adalah hal yang penting. Maka kita adakan perayaan baginya. Dan pada saat umur kelima belas, kita mengadakannya kembali dan berkata ini adalah usia dimana engkau telah terkena taklif (kewajiban). Engkau bertanggung jawab di hadapan Allah atas segala tindak-tandukmu dan akan dituliskan bagimu kebaikan dan keburukan. Dan apabila ia berhasil atau telah menunaikan pekerjaan yang bagus atau memenangkan perlombaan, kita adakan perayaan. Akan tetapi ini bukanlah halangan apabila seorang suami merayakan hari ulang tahun istrinya dengan mengucapkan selamat ulang tahun dan semoga Anda tetap sehat. Ataupun memberikan hadiah kepadanya setiap lima atau sepuluh tahun sekali. Adapun atribut-atribut dalam perayaan ulang tahun seperti lilin-lilin, semua ini tidak aku senangi terjadi pada diri seorang Muslim jika ia mengharuskan diri dengannya hingga menjadi kebiasaan dan menjadi ibadah resmi yang diakui. (Harian Ar Raayah nomor 597, 20 Jumadil Akhir 1419)
Pembaca, ini adalah perkataan Qaradhawi sesuai dengan teksnya. Demi menjelaskan penyelisihannya terhadap Al Qur’an dan As Sunnah dan yang terkandung di dalamnya maka aku katakan :
Pertama, tentang kebiasaan Qaradhawi merayakan hari perkawinannya bersama istrinya setiap tahun maka tidaklah ada hari raya yang dinamakan hari raya pernikahan di dalam Islam. Dan merayakan hari pernikahan setiap tahun belumlah pernah terjadi di zaman Salaf, baik dari para shabahat ataupun para pengikutnya dari kalangan ulama ataupun para imam. Tidak lain perayaan tersebut berasal dari perbuatan Yahudi dan Nashara. Kedua, perkataannya :
Aku tidak mengatakan bahwa merayakan ulang tahun adalah haram akan tetapi aku berpendapat bahwa itu adalah semacam taklid buta terhadap orang-orang Barat dalam adat serta kebiasaan mereka.
Pembaca, saya kira pertentangan yang ada dalam perkataan Qaradhawi jelas sekali. Hal itu karena ia tidak berpendapat haramnya perayaan-perayaan tersebut. Tetapi di sisi lain ia berpendapat bahwa itu adalah semacam taklid kepada Barat. Berdasarkan hal ini maka mungkin saja ia (Qaradhawi) berpendapat bahwa taklid buta kepada Barat tidak haram dan ini tidaklah mengherankan karena ia telah mengajak untuk mencintai mereka dan ini menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah serta ijma’ umat Islam sebagaimana akan dijelaskan secara rinci. Atau ia berpendapat bahwa tidak boleh mengikuti (taklid) kepada orang kafir dalam perbuatan-perbuatan mereka dan perayaan-perayaan mereka maka terjadilah pertentangan dalam perkataannya.
Ketiga, perkataannya :
Akan tetapi berkaitan dengan anak-anak maka kita mempunyai perayaan-perayaan yang syar’i.
Maka kami menjawabnya, dari manakah Anda dapatkan dalil tentang disyariatkannya perayaan-perayaan yang tidak ada sedikitpun perintah Allah ini?! Apakah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah merayakannya untuk Al Hasan dan Al Husain, tuannya para pemuda penduduk surga dengan perayaan-perayaan yang kau sebutkan ini?!!!
Lagipula, adakah salah seorang shahabat merayakannya, baik para khalifahnya (dari Khulafa’ur Rasyidin, peny.) ataupun yang lainnya? Adakah salah seorang imam dari imam-imam kaum Muslimin merayakannya? Jawabnya adalah tidak! Maka seandainya hal ini belum pernah terjadi di masa mereka maka dari manakah letak disyariatkannya? Kecuali apabila ia menginginkan bahwa perayaan tersebut disyariatkan dalam ajaran Ahli Kitab. Karena ia tidak menyukai untuk menyesakkan hati-hati mereka dan menjadikan mereka marah maka ia mengajak untuk melakukan perayaan dengan tujuan mencari keridhaan Ahli Kitab.
Maka kami katakan padanya, benar, sesungguhnya hal tersebut memang termasuk dari bualan mereka, maka itu adalah urusanmu dan Ahlul Kitab. Adapun Muslimin mereka berpendapat tentang haramnya tasyabbuh dengan mereka setelah mereka mengetahui dalil-dalil yang mengharamkan hal tersebut. Diantaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad) raa’ina tetapi katakanlah unzhurna dan dengarlah. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih.” (QS. Al Baqarah : 104)
Al Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam menafsirkan ayat ini :
“Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman dari perbuatan menyerupai orang-orang kafir dalam perkataan dan perbuatan mereka. Hal ini karena Yahudi mementingkan perkataan yang mengandung tauriyah (dalamnya buruk, zahirnya baik) dengan maksud merendahkan Muslimin, bagi merekalah laknat Allah.”
Allah berfirman :
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (QS. Al An’am : 159)
Dan firman Allah :
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Bagi mereka azab yang pedih.” (QS. Ali Imran : 105)
Yang dimaksud dengan kalimat, dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai adalah Ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani.
Dan firman Allah :
“Dan tidaklah berpecah-belah orang-orang yang didatangkan Al Kitab (kepada mereka) melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata.” (QS. Al Bayyinah : 4)
Syaikhul Islanm rahimahullah berkata :
“Sungguh Allah telah berfirman kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
Tidaklah engkau bertanggung jawab kepada mereka sedikitpun.
Ini menunjukkan berlepas dirinya Nabi dari mereka dalam segala hal. Dan barangsiapa yang mengikuti selain Nabi dalam perkara-perkara yang beliau ajarkan maka ia termasuk golongan orang tersebut dalam masalah itu.” (Iqtidha As Shirath Al Mustaqiim, halaman 46)
Diantaranya, sebagaimana tersebut dalam Shahih Bukhari dari Ibnu Umar dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bahwa beliau bersabda :
“Berbedalah dengan orang-orang musyrik.”
Dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu ia berkata, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Berbedalah dengan orang Majusi.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata :
“Lafaz mukhalafat al musyrikin (berbeda dengan orang musyrik) adalah dalil bahwa semua jenis dari sikap berbeda adalah dimaksudkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Iqtidha As Shirath Al Mustaqiim : 59)
Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memerintahkan untuk menyelisihi mereka dalam masalah ibadah dalam hadits dari Syaddad bin Aus radliyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Berbedalah dengan Yahudi, maka sesungguhnya mereka tidak shalat dengan menggunakan sandal ataupun sepatu mereka.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Abu Daud I:28 nomor 607)
Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu Rasulullah bersabda :
“Agama ini akan selalu menang selama manusia (Muslimin) menyegerakan berbuka karena Yahudi dan Nasrani mengakhirkan berbuka.” (HR. Abu Daud dishahihkan oleh Albani dalam Shahih Abu Daud I:448 nomor 2063)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :
“Ini adalah nas yang menyebutkan bahwa kemenangan yang dicapai agama ini adalah dengan menyegerakan berbuka dalam rangka menyelisihi Yahudi dan Nasrani. Apabila perbedaan dengan mereka adalah sebab kemenangan agama dan maksud dari diutusnya para rasul adalah dimenangkannya agama Allah diatas agama-agama yang lain maka berbeda dengan mereka adalah diantara tujuan yang paling besar dari bi’tsah (diutusnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam).” (Iqtidha As Shirath Al Mustaqiim, halaman 60)
Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim disebutkan :
Dari Anas bahwasanya Yahudi apabila istri mereka sedang haidh mereka tidak memberinya makan dan tidak menggaulinya di rumah. Maka para shahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bertanya kepada beliau, maka Allah menurunkan ayat :
“Dan mereka bertanya padamu tentang haidh, katakanlah itu adalah penyakit, maka jauhilah istri-istrimu pada saat haidh … .” Sampai akhir ayat.
Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Lakukanlah segala sesuatu kecuali nikah.”
Maka sampailah hal tersebut kepada Yahudi maka mereka berkata :
”Tidaklah orang ini mendapati sesuatu pun dari urusan kami kecuali ia menyelisihinya.” (HR. Muslim)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :
“Hadits ini menunjukkan akan banyaknya hal yang disyariatkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Nabi-Nya dari perkara-perkara yang sifatnya menyelisihi Yahudi. Bahkan beliau menyelisihi mereka dalam setiap urusan-urusan mereka. Hingga mereka berkata :
‘Tidaklah dia mendapati sesuatu pun dari urusan kami kecuali ia menyelisihinya.’” (Iqtidha As Shirath Al Mustaqiim, halaman 62)
Hadits dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Daud)
Syaikhul Islam berkata dalam kitab yang sama halaman 83 :
[ Hadits ini paling tidak menunjukkan ketentuan diharamkannya tasyabbuh dengan mereka walaupun zahir hadits tersebut menunjukkan kafirnya orang yang menyerupai mereka sebagaimana dalam firman Allah :
“Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (QS. Al Ma’idah : 51) ]
Al Hafidz Ibnu Katsir berkata ketika menyebutkan hadits ini :
“Hadits ini menunjukkan larangan yang keras dan ancaman berbuat tasyabbuh dengan orang-orang kafir dalam perkataan, perbuatan, pakaian, perayaan, dan peribadatan mereka, dan lain sebagainya dari perkara-perkara yang tidak disyariatkan bagi kita dan kita tidak mengakuinya.” (Tafsir Ibnu Katsiir I:262)
Syaikhul Islam telah menyebutkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan wajibnya menyelisihi Ahli Kitab dan orang kafir selain mereka. Lalu beliau berkata :
“Kami telah menyebutkan dalil-dalil dari Al Kitab dan As Sunnah, ijma’ dan atsar serta pendapat para ulama yang menunjukkan bahwa tasyabbuh dengan mereka termasuk sesuatu yang dilarang. Dan menyelisihi gaya hidup mereka ada yang wajib dan ada yang sunnah sesuai kondisinya dan telah dijelaskan oleh perintah Allah dan Rasulullah bahwa menyelisihi mereka adalah disyariatkan. Baik perbuatan tersebut dimaksudkan oleh pelakunya dalam rangka tasyabbuh dengan mereka ataupun tidak dan begitu juga larangan A1lah untuk menyerupai mereka mencakup apabila dilakukan dengan maksud menyerupai mereka atau tanpa maksud menyerupai karena kebanyakan amalan tersebut kaum Muslimin tidak bermaksud menyerupai mereka.” (Iqtidha As Shirath Al Mustaqiim, halaman 177-178)
Pembaca yang budiman, apabila hal tersebut telah diketahui, jelaslah olehmu bahwa keikutsertaan bersama mereka dan merayakan hari-hari besar mereka adalah termasuk perbuatan menyerupai mereka. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga mengatakan :
Pertama, tentang kebiasaan Qaradhawi merayakan hari perkawinannya bersama istrinya setiap tahun maka tidaklah ada hari raya yang dinamakan hari raya pernikahan di dalam Islam. Dan merayakan hari pernikahan setiap tahun belumlah pernah terjadi di zaman Salaf, baik dari para shabahat ataupun para pengikutnya dari kalangan ulama ataupun para imam. Tidak lain perayaan tersebut berasal dari perbuatan Yahudi dan Nashara. Kedua, perkataannya :
Aku tidak mengatakan bahwa merayakan ulang tahun adalah haram akan tetapi aku berpendapat bahwa itu adalah semacam taklid buta terhadap orang-orang Barat dalam adat serta kebiasaan mereka.
Pembaca, saya kira pertentangan yang ada dalam perkataan Qaradhawi jelas sekali. Hal itu karena ia tidak berpendapat haramnya perayaan-perayaan tersebut. Tetapi di sisi lain ia berpendapat bahwa itu adalah semacam taklid kepada Barat. Berdasarkan hal ini maka mungkin saja ia (Qaradhawi) berpendapat bahwa taklid buta kepada Barat tidak haram dan ini tidaklah mengherankan karena ia telah mengajak untuk mencintai mereka dan ini menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah serta ijma’ umat Islam sebagaimana akan dijelaskan secara rinci. Atau ia berpendapat bahwa tidak boleh mengikuti (taklid) kepada orang kafir dalam perbuatan-perbuatan mereka dan perayaan-perayaan mereka maka terjadilah pertentangan dalam perkataannya.
Ketiga, perkataannya :
Akan tetapi berkaitan dengan anak-anak maka kita mempunyai perayaan-perayaan yang syar’i.
Maka kami menjawabnya, dari manakah Anda dapatkan dalil tentang disyariatkannya perayaan-perayaan yang tidak ada sedikitpun perintah Allah ini?! Apakah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah merayakannya untuk Al Hasan dan Al Husain, tuannya para pemuda penduduk surga dengan perayaan-perayaan yang kau sebutkan ini?!!!
Lagipula, adakah salah seorang shahabat merayakannya, baik para khalifahnya (dari Khulafa’ur Rasyidin, peny.) ataupun yang lainnya? Adakah salah seorang imam dari imam-imam kaum Muslimin merayakannya? Jawabnya adalah tidak! Maka seandainya hal ini belum pernah terjadi di masa mereka maka dari manakah letak disyariatkannya? Kecuali apabila ia menginginkan bahwa perayaan tersebut disyariatkan dalam ajaran Ahli Kitab. Karena ia tidak menyukai untuk menyesakkan hati-hati mereka dan menjadikan mereka marah maka ia mengajak untuk melakukan perayaan dengan tujuan mencari keridhaan Ahli Kitab.
Maka kami katakan padanya, benar, sesungguhnya hal tersebut memang termasuk dari bualan mereka, maka itu adalah urusanmu dan Ahlul Kitab. Adapun Muslimin mereka berpendapat tentang haramnya tasyabbuh dengan mereka setelah mereka mengetahui dalil-dalil yang mengharamkan hal tersebut. Diantaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad) raa’ina tetapi katakanlah unzhurna dan dengarlah. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih.” (QS. Al Baqarah : 104)
Al Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam menafsirkan ayat ini :
“Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman dari perbuatan menyerupai orang-orang kafir dalam perkataan dan perbuatan mereka. Hal ini karena Yahudi mementingkan perkataan yang mengandung tauriyah (dalamnya buruk, zahirnya baik) dengan maksud merendahkan Muslimin, bagi merekalah laknat Allah.”
Allah berfirman :
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (QS. Al An’am : 159)
Dan firman Allah :
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Bagi mereka azab yang pedih.” (QS. Ali Imran : 105)
Yang dimaksud dengan kalimat, dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai adalah Ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani.
Dan firman Allah :
“Dan tidaklah berpecah-belah orang-orang yang didatangkan Al Kitab (kepada mereka) melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata.” (QS. Al Bayyinah : 4)
Syaikhul Islanm rahimahullah berkata :
“Sungguh Allah telah berfirman kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
Tidaklah engkau bertanggung jawab kepada mereka sedikitpun.
Ini menunjukkan berlepas dirinya Nabi dari mereka dalam segala hal. Dan barangsiapa yang mengikuti selain Nabi dalam perkara-perkara yang beliau ajarkan maka ia termasuk golongan orang tersebut dalam masalah itu.” (Iqtidha As Shirath Al Mustaqiim, halaman 46)
Diantaranya, sebagaimana tersebut dalam Shahih Bukhari dari Ibnu Umar dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bahwa beliau bersabda :
“Berbedalah dengan orang-orang musyrik.”
Dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu ia berkata, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Berbedalah dengan orang Majusi.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata :
“Lafaz mukhalafat al musyrikin (berbeda dengan orang musyrik) adalah dalil bahwa semua jenis dari sikap berbeda adalah dimaksudkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Iqtidha As Shirath Al Mustaqiim : 59)
Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memerintahkan untuk menyelisihi mereka dalam masalah ibadah dalam hadits dari Syaddad bin Aus radliyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Berbedalah dengan Yahudi, maka sesungguhnya mereka tidak shalat dengan menggunakan sandal ataupun sepatu mereka.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Abu Daud I:28 nomor 607)
Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu Rasulullah bersabda :
“Agama ini akan selalu menang selama manusia (Muslimin) menyegerakan berbuka karena Yahudi dan Nasrani mengakhirkan berbuka.” (HR. Abu Daud dishahihkan oleh Albani dalam Shahih Abu Daud I:448 nomor 2063)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :
“Ini adalah nas yang menyebutkan bahwa kemenangan yang dicapai agama ini adalah dengan menyegerakan berbuka dalam rangka menyelisihi Yahudi dan Nasrani. Apabila perbedaan dengan mereka adalah sebab kemenangan agama dan maksud dari diutusnya para rasul adalah dimenangkannya agama Allah diatas agama-agama yang lain maka berbeda dengan mereka adalah diantara tujuan yang paling besar dari bi’tsah (diutusnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam).” (Iqtidha As Shirath Al Mustaqiim, halaman 60)
Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim disebutkan :
Dari Anas bahwasanya Yahudi apabila istri mereka sedang haidh mereka tidak memberinya makan dan tidak menggaulinya di rumah. Maka para shahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bertanya kepada beliau, maka Allah menurunkan ayat :
“Dan mereka bertanya padamu tentang haidh, katakanlah itu adalah penyakit, maka jauhilah istri-istrimu pada saat haidh … .” Sampai akhir ayat.
Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Lakukanlah segala sesuatu kecuali nikah.”
Maka sampailah hal tersebut kepada Yahudi maka mereka berkata :
”Tidaklah orang ini mendapati sesuatu pun dari urusan kami kecuali ia menyelisihinya.” (HR. Muslim)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :
“Hadits ini menunjukkan akan banyaknya hal yang disyariatkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Nabi-Nya dari perkara-perkara yang sifatnya menyelisihi Yahudi. Bahkan beliau menyelisihi mereka dalam setiap urusan-urusan mereka. Hingga mereka berkata :
‘Tidaklah dia mendapati sesuatu pun dari urusan kami kecuali ia menyelisihinya.’” (Iqtidha As Shirath Al Mustaqiim, halaman 62)
Hadits dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Daud)
Syaikhul Islam berkata dalam kitab yang sama halaman 83 :
[ Hadits ini paling tidak menunjukkan ketentuan diharamkannya tasyabbuh dengan mereka walaupun zahir hadits tersebut menunjukkan kafirnya orang yang menyerupai mereka sebagaimana dalam firman Allah :
“Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (QS. Al Ma’idah : 51) ]
Al Hafidz Ibnu Katsir berkata ketika menyebutkan hadits ini :
“Hadits ini menunjukkan larangan yang keras dan ancaman berbuat tasyabbuh dengan orang-orang kafir dalam perkataan, perbuatan, pakaian, perayaan, dan peribadatan mereka, dan lain sebagainya dari perkara-perkara yang tidak disyariatkan bagi kita dan kita tidak mengakuinya.” (Tafsir Ibnu Katsiir I:262)
Syaikhul Islam telah menyebutkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan wajibnya menyelisihi Ahli Kitab dan orang kafir selain mereka. Lalu beliau berkata :
“Kami telah menyebutkan dalil-dalil dari Al Kitab dan As Sunnah, ijma’ dan atsar serta pendapat para ulama yang menunjukkan bahwa tasyabbuh dengan mereka termasuk sesuatu yang dilarang. Dan menyelisihi gaya hidup mereka ada yang wajib dan ada yang sunnah sesuai kondisinya dan telah dijelaskan oleh perintah Allah dan Rasulullah bahwa menyelisihi mereka adalah disyariatkan. Baik perbuatan tersebut dimaksudkan oleh pelakunya dalam rangka tasyabbuh dengan mereka ataupun tidak dan begitu juga larangan A1lah untuk menyerupai mereka mencakup apabila dilakukan dengan maksud menyerupai mereka atau tanpa maksud menyerupai karena kebanyakan amalan tersebut kaum Muslimin tidak bermaksud menyerupai mereka.” (Iqtidha As Shirath Al Mustaqiim, halaman 177-178)
Pembaca yang budiman, apabila hal tersebut telah diketahui, jelaslah olehmu bahwa keikutsertaan bersama mereka dan merayakan hari-hari besar mereka adalah termasuk perbuatan menyerupai mereka. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga mengatakan :
“Sesungguhnya mengagungkan hari-hari besar mereka dan yang semisalnya menyetujuinya adalah salah satu jenis penghormatan kepada mereka maka sesungguhnya mereka bergembira dan bersuka ria dengan hari tersebut sebagaimana mereka merasa gundah apabila perihal agama mereka yang bathil tidak dipedulikan.” (Iqtidha halaman 124)
Dan beliau berkata juga tentang hari-hari besar Ahli Kitab :
[ Menyerupai mereka pada hari-hari besar mereka tidaklah diperbolehkan dikarenakan dua alasan :
Dan beliau berkata juga tentang hari-hari besar Ahli Kitab :
[ Menyerupai mereka pada hari-hari besar mereka tidaklah diperbolehkan dikarenakan dua alasan :
Yang pertama, bahwa hal ini adalah menyetujui Ahli Kitab dalam hal-hal yang tidak ada dalam agama kita dan bukan termasuk kebiasaan para pendahulu kita dari kalangan Salaf. Sehingga disini terdapat mafsadat berupa penyerupaan dengan mereka dan dalam meninggalkannya terdapat maslahat yaitu menyelisihi mereka. Dan meskipun dalam perkara yang disepakati bukan merupakan sesuatu yang diambil dari mereka pastilah yang disyariatkan bagi kita adalah menyelisihi mereka karena dengan menyelisihi mereka ada maslahatnya sebagaimana telah diisyaratkan sebelumnya. Barangsiapa serupa dengan mereka maka hilanglah pada dirinya kemaslahatan ini walaupun tidak mendatangkan mafsadah. Lalu bagaimana kalau ia menggabungkan keduanya?! Adapun alasan yang kedua, khusus dalam hari-hari besar orang-orang kafir itu sendiri maka telah ada dalil-dalil dari Al Kitab, As Sunnah, dan Ijma’ dan pandangan ulama. Adapun dalil-dalil dari Al Kitab :
“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu (Az Zuur) dan jika mereka bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui saja dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al Furqan : 72) ]
Kemudian beliau menyebut beberapa ulama Salaf yang menafsirkan kata az zuur dalam ayat di atas dengan makna hari-hari raya orang musyrik, di antara mereka adalah Ibnu Sirrin, Ikrimah, Ad Dhahhak, Mujahid dan ‘Atha bin Yasar. Kemudian beliau berkata :
[ Adapun dalil dari As Sunnah, Anas bin Malik radliyallahu 'anhu meriwayatkan :
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam datang ke Madinah dan mereka mempunyai dua hari saat bersenang-senang maka beliau berkata : “Apakah dua hari tersebut?” Kami menjawab : “Itu adalah hari di mana kita bersenang-senang di zaman jahiliyah.” Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah telah menggantikannya untukmu yang lebih baik, hari Adha dan hari raya Fitri.” (HR. Abu Daud)
Sisi pendalilan dari hadits ini adalah dua hari raya di masa jahiliyah tidak diakui Rasulullah dan beliau tidak membiarkan mereka bersenang-senang seperti biasanya. Sebaliknya beliau bersabda :
“Sesungguhnya Allah telah menggantikan hari tersebut dengan yang lebih baik.”
Dan pengganti dari sesuatu mengharuskan untuk meninggalkan yang digantikan karena pengganti dan yang diganti tidak bisa bersatu. ]
Lalu beliau (Ibnu Taimiyah) menyebutkan dalil-dalil dari As Sunnah lainnya selain yang telah kami sebutkan. Kemudian beliau berkata :
[ Adapun dalil ijma’ dan atsar adalah dari berbagai sisi, salah satunya yang telah aku isyaratkan bahwa Yahudi, Nasrani, serta Majusi tatkala masih tinggal di negeri-negeri Muslim membayar jizyah. Mereka merayakan hari besar mereka dan segala ketentuan yang mereka rayakan adalah bersemayam dalam banyak jiwa manusia.
Dan tidak pernah terjadi pada kaum Muslimin terdahulu ikut serta dengan mereka dalam hal-hal semacam itu. Kalaulah tidak karena kebencian dan larangan yang menghalangi kalbu-kalbu mereka pastilah hal itu akan sering mereka lakukan. Karena suatu perbuatan bisa terjadi dengan adanya faktor pemicu dan tanpa adanya faktor penghalang. Faktor pemicunya adalah realita sedangkan faktor penghalangnya adalah agama Islam. Islamlah yang menghalangi penyerupaan tersebut dan itulah yang seharusnya. ]
Kemudian beliau menyebutkan banyak atsar dari para shahabat dan yang lainnya dalam melarang tasyabbuh dengan orang-orang kafir musyrik dan ikut serta dalam hari-hari raya mereka.
Pembaca, dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah tersebut cukup sebagai hidayah bagi para pencari Al Haq yang menjauhi dari kesesatan. Agar tidak berkepanjangan, kami sarankan Anda membaca kitab Syaikhul Islam yang tiada bandingnya, Iqtidha’ As Shiraathil Mustaqiim Mukhaalafati Ashaabul Jahiim. Ini adalah buku yang paling bagus dalam masalah tasyabbuh bil kuffar, rujuklah buku ini.
“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu (Az Zuur) dan jika mereka bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui saja dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al Furqan : 72) ]
Kemudian beliau menyebut beberapa ulama Salaf yang menafsirkan kata az zuur dalam ayat di atas dengan makna hari-hari raya orang musyrik, di antara mereka adalah Ibnu Sirrin, Ikrimah, Ad Dhahhak, Mujahid dan ‘Atha bin Yasar. Kemudian beliau berkata :
[ Adapun dalil dari As Sunnah, Anas bin Malik radliyallahu 'anhu meriwayatkan :
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam datang ke Madinah dan mereka mempunyai dua hari saat bersenang-senang maka beliau berkata : “Apakah dua hari tersebut?” Kami menjawab : “Itu adalah hari di mana kita bersenang-senang di zaman jahiliyah.” Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah telah menggantikannya untukmu yang lebih baik, hari Adha dan hari raya Fitri.” (HR. Abu Daud)
Sisi pendalilan dari hadits ini adalah dua hari raya di masa jahiliyah tidak diakui Rasulullah dan beliau tidak membiarkan mereka bersenang-senang seperti biasanya. Sebaliknya beliau bersabda :
“Sesungguhnya Allah telah menggantikan hari tersebut dengan yang lebih baik.”
Dan pengganti dari sesuatu mengharuskan untuk meninggalkan yang digantikan karena pengganti dan yang diganti tidak bisa bersatu. ]
Lalu beliau (Ibnu Taimiyah) menyebutkan dalil-dalil dari As Sunnah lainnya selain yang telah kami sebutkan. Kemudian beliau berkata :
[ Adapun dalil ijma’ dan atsar adalah dari berbagai sisi, salah satunya yang telah aku isyaratkan bahwa Yahudi, Nasrani, serta Majusi tatkala masih tinggal di negeri-negeri Muslim membayar jizyah. Mereka merayakan hari besar mereka dan segala ketentuan yang mereka rayakan adalah bersemayam dalam banyak jiwa manusia.
Dan tidak pernah terjadi pada kaum Muslimin terdahulu ikut serta dengan mereka dalam hal-hal semacam itu. Kalaulah tidak karena kebencian dan larangan yang menghalangi kalbu-kalbu mereka pastilah hal itu akan sering mereka lakukan. Karena suatu perbuatan bisa terjadi dengan adanya faktor pemicu dan tanpa adanya faktor penghalang. Faktor pemicunya adalah realita sedangkan faktor penghalangnya adalah agama Islam. Islamlah yang menghalangi penyerupaan tersebut dan itulah yang seharusnya. ]
Kemudian beliau menyebutkan banyak atsar dari para shahabat dan yang lainnya dalam melarang tasyabbuh dengan orang-orang kafir musyrik dan ikut serta dalam hari-hari raya mereka.
Pembaca, dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah tersebut cukup sebagai hidayah bagi para pencari Al Haq yang menjauhi dari kesesatan. Agar tidak berkepanjangan, kami sarankan Anda membaca kitab Syaikhul Islam yang tiada bandingnya, Iqtidha’ As Shiraathil Mustaqiim Mukhaalafati Ashaabul Jahiim. Ini adalah buku yang paling bagus dalam masalah tasyabbuh bil kuffar, rujuklah buku ini.
Menghadiri Perayaan Mengenang Khomeini
Karena Al Qaradhawi tidak mengharamkan perayaan-perayaan yang berasal dari Yahudi dan Nashara maka dia pun telah menghadiri banyak perayaan tersebut. Misalnya, ia menghadiri perayaan tahunan mengenang kepergian Khumaini. Kedutaan Iran merayakan pesta di Dafnah dalam rangka mengenang tewasnya Khumaini. Tentang perayaan tersebut diberitakan oleh harian yang terbit tanggal 17 Muharram 1417 H. Inilah teksnya :
Perayaan dihadiri oleh banyak tamu, di antaranya oleh Dr. Syaikh Yusuf Al Qaradhawi dan para diplomat … .
Perayaan tersebut mencakup ceramah-ceramah agama dan qasidah-qasidah mengenang Imam Al Khumaini yang dilantunkan dengan dua bahasa, Arab dan Persia, setelah itu diiringi pesta makan malam. Perayaan yang diadakan oleh kedutaan ini diselenggarakan sore hari kemarin di kediaman mereka di pemukiman diplomat di Dafnah dalam rangka mengenang tewasnya Imam Al Khumaini di tahun yang ketujuh. Saudaraku yang mulia, perayaan mengenang perginya seorang pemimpin seperti ini dan yang sejenisnya adalah bid’ah. Tidak ada sedikitpun perintah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan belum pernah terjadi di masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Serta belum pernah shahabat mengadakan perayaan dalam rangka mengenang kepergian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, imam manusia seluruhnya. Demikian juga para imam kaum Muslimin setelah mereka. Adapun perbuatan Qaradhawi semacam ini termasuk bersekutu dalam kebid’ahan, bid’ah yang baru, dan taklid kepada Barat.
Perayaan tersebut mencakup ceramah-ceramah agama dan qasidah-qasidah mengenang Imam Al Khumaini yang dilantunkan dengan dua bahasa, Arab dan Persia, setelah itu diiringi pesta makan malam. Perayaan yang diadakan oleh kedutaan ini diselenggarakan sore hari kemarin di kediaman mereka di pemukiman diplomat di Dafnah dalam rangka mengenang tewasnya Imam Al Khumaini di tahun yang ketujuh. Saudaraku yang mulia, perayaan mengenang perginya seorang pemimpin seperti ini dan yang sejenisnya adalah bid’ah. Tidak ada sedikitpun perintah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan belum pernah terjadi di masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Serta belum pernah shahabat mengadakan perayaan dalam rangka mengenang kepergian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, imam manusia seluruhnya. Demikian juga para imam kaum Muslimin setelah mereka. Adapun perbuatan Qaradhawi semacam ini termasuk bersekutu dalam kebid’ahan, bid’ah yang baru, dan taklid kepada Barat.
Tentang ini telah disebutkan dalil-dalil mengenai keharamannya. Begitu juga perbuatan ini termasuk turut serta memperbesar syi’ar Rafidhah (Syiah). Sesungguhnya Al Khumaini –orang yang Qaradhawi turut serta dalam perayaan bid’ahnya dalam rangka mengenang matinya– adalah orang jahat yang telah mencela shahabat Nabi dan mengkafirkan sebagian mereka sedang ia sendiri adalah salah seorang imam dari firqah Itsna ‘Asyariyah, firqah Syiah yang meyakini bahwa terdapat Al Qur’an yang turun kepada Fatimah, selain Al Qur’an yang diketahui para Muslimin.
Al Khumaini mempunyai perkataan yang karenanya ia dikafirkan oleh para ulama. Diantaranya ia mengatakan :
Al Khumaini mempunyai perkataan yang karenanya ia dikafirkan oleh para ulama. Diantaranya ia mengatakan :
Sesungguhnya Imam (yakni Imam Syiah) mempunyai maqam (kedudukan) yang dipuja dan derajat yang tinggi dan kekuasaan takwiniyah (membina, mengelola) yang seluruh penghuni alam semesta tunduk kepada kekuasaannya. (Wilaayah Kauniyah, halaman 52) Ia berkata tentang para imam Syiah Itsna ‘Asyariyah sebagai berikut :
Sesungguhnya yang termasuk kepercayaan pokok mazhab kita adalah bahwa para imam kita mempunyai maqam (kedudukan) yang tidak dimiliki baik oleh malaikat yang dekat dengan Allah ataupun seorang nabi yang diutus.
Bahkan ia menjadikan ajaran-ajaran imam mereka sama seperti ajaran-ajaran Al Qur’an di mana ia mengatakan :
Sesungguhnya ajaran-ajaran para imam adalah sama seperti ajaran-ajaran Al Qur’an yang tidak dikhususkan bagi satu generasi saja. Dan sesungguhnya ia merupakan ajaran bagi semua orang di setiap masa dan setiap negeri sampai hari Kiamat maka wajib untuk melaksanakan dan mengikutinya.
Dan sungguh ia telah menuduh Abu Bakar As Shiddiq dan Al Faruq Umar bin Khattab dengan kemunafikan.
Pembaca yang budiman, bukanlah tujuanku di sini untuk memaparkan biografi Al Khumaini, akan tetapi sebagai peringatan akan kejahatannya. Bersamaan dengan itu seorang yang dianggap sebagai ahli fiqh umat Islam, yakni Qaradhawi, adalah orang yang dengan serta merta menghadiri perayaan yang diadakan dalam rangka mengenang matinya orang jahat ini!
Dan ini tidaklah aneh jika disandarkan kepada seorang Qaradhawi yang menganut pemahaman Ikhwani. Karena mereka sejak zaman dahulu kala telah berdakwah untuk mendekatkan antara Syiah dan Ahlus Sunnah. Qaradhawi sendiri adalah salah satu dari dai-dai mereka sebagaimana akan datang penjelasannya nanti.
12. Propaganda Pendekatan Sunnah Dan Syiah
Dakwah pendekatan antara Sunnah dan Syiah adalah dakwah pembauran dua hal yang berlawanan dan penggabungan yang mustahil, dakwah yang berpanjikan persatuan dan menentang perpecahan, bekerja sama dalam permasalahan-permasalahan kontemporer yang sebagai imbalannya adalah mempertaruhkan kehormatan para shahabat radliyallahu ‘anhum bahkan akidah Salaf.
Inilah dakwah yang menghancurkan pondasi yang besar dari pokok-pokok keyakinan Muslimin yaitu Al Wala’ wal Bara’. Dakwah yang muncul dari manusia-manusia jahat yang menyimpang dari As Shirathal Mustaqim dan petunjuk yang benar seperti Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh Al Mishri, dan para pengikutnya seperti pemimpin hizib Ikhwan, Hasan Al Banna lalu bersambung kepada Al Ghazali, As Siba’i, dan Qaradhawi.
Mereka perbudak pena-pena mereka, mimbar-mimbar, serta karangan-karangan mereka untuk mencapai tujuan mereka. Lalu mereka menghiasinya dengan panji-panji yang mengkilat dan kata-kata manis hingga para Muslimin yang awam tertipu dengannya. Berikutnya, sejenak kita berbincang dengan salah satu dai tersebut, yaitu Qaradhawi.
Sungguh ia telah melontarkan ceramahnya dalam upacara wisuda yang ditulis oleh Harian Akhbarul Khalij yang terbit tanggal 20/9/1998. Inilah nukilan tulisan wartawan tersebut :
“Yang mulia Syaikh Doktor Qaradhawi telah mengisyaratkan kepada sikap dan toleransinya terhadap pelbagai mazhab Sunni dan mazhab lainnya seperti Syiah, Zaidiyah, dan Ibadhiyah. Dia berkata :
Sesungguhnya kita tidak merasa sesak dengan perbedaan mazhab sebagaimana lslam tidak merasa sesak dengan perbedaan agama, maka perbedaan itu suatu hal yang pasti terjadi khususnya furu’ (cabang) dalam sebagian masalah-masalah (fiqh, peny.) dan furu’ dalam masalah akidah. Karena dasar-dasarnya –Alhamdulillah– masih disepakati, kita adalah pemeluk agama yang satu dan kiblat kita satu dan kadang perbedaan tersebut terjadi di seputar masalah-masalah yang berkenaan dengan af’alil ibad (perbuatan hamba) dan tanggung jawab mereka terhadapnya. Dan menyangkut masalah kemakshuman para imam Syiah dan imamiyah itu semua pada dasarnya adalah masalah furu’ dalam akidah akan tetapi perkara yang mendasar tetap disepakati, maka tidaklah berbahaya perbedaan dan perselisihan dalam masalah furu’ dan semua dapat digabungkan menjadi satu.
Qaradhawi menguatkan bahwa perbedaan mazhab adalah hal yang harus terjadi dalam agama, bahasa, kemanusiaan, dan sunnah kauniyah. Ia memberikan beberapa contoh tentang itu. Yakni tidak perlu orang yang bermadzhab Syiah untuk meninggalkan Syiahnya akan tetapi ajakan untuk pendekatan merupakan tuntutan bagi kita untuk menyatukan sikap dalam menghadapi persoalan-persoalan masa kini.”
Untuk mempermudah memahami perkataan Qaradhawi di atas kami akan meringkasnya menjadi beberapa poin :
Sesungguhnya yang termasuk kepercayaan pokok mazhab kita adalah bahwa para imam kita mempunyai maqam (kedudukan) yang tidak dimiliki baik oleh malaikat yang dekat dengan Allah ataupun seorang nabi yang diutus.
Bahkan ia menjadikan ajaran-ajaran imam mereka sama seperti ajaran-ajaran Al Qur’an di mana ia mengatakan :
Sesungguhnya ajaran-ajaran para imam adalah sama seperti ajaran-ajaran Al Qur’an yang tidak dikhususkan bagi satu generasi saja. Dan sesungguhnya ia merupakan ajaran bagi semua orang di setiap masa dan setiap negeri sampai hari Kiamat maka wajib untuk melaksanakan dan mengikutinya.
Dan sungguh ia telah menuduh Abu Bakar As Shiddiq dan Al Faruq Umar bin Khattab dengan kemunafikan.
Pembaca yang budiman, bukanlah tujuanku di sini untuk memaparkan biografi Al Khumaini, akan tetapi sebagai peringatan akan kejahatannya. Bersamaan dengan itu seorang yang dianggap sebagai ahli fiqh umat Islam, yakni Qaradhawi, adalah orang yang dengan serta merta menghadiri perayaan yang diadakan dalam rangka mengenang matinya orang jahat ini!
Dan ini tidaklah aneh jika disandarkan kepada seorang Qaradhawi yang menganut pemahaman Ikhwani. Karena mereka sejak zaman dahulu kala telah berdakwah untuk mendekatkan antara Syiah dan Ahlus Sunnah. Qaradhawi sendiri adalah salah satu dari dai-dai mereka sebagaimana akan datang penjelasannya nanti.
12. Propaganda Pendekatan Sunnah Dan Syiah
Dakwah pendekatan antara Sunnah dan Syiah adalah dakwah pembauran dua hal yang berlawanan dan penggabungan yang mustahil, dakwah yang berpanjikan persatuan dan menentang perpecahan, bekerja sama dalam permasalahan-permasalahan kontemporer yang sebagai imbalannya adalah mempertaruhkan kehormatan para shahabat radliyallahu ‘anhum bahkan akidah Salaf.
Inilah dakwah yang menghancurkan pondasi yang besar dari pokok-pokok keyakinan Muslimin yaitu Al Wala’ wal Bara’. Dakwah yang muncul dari manusia-manusia jahat yang menyimpang dari As Shirathal Mustaqim dan petunjuk yang benar seperti Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh Al Mishri, dan para pengikutnya seperti pemimpin hizib Ikhwan, Hasan Al Banna lalu bersambung kepada Al Ghazali, As Siba’i, dan Qaradhawi.
Mereka perbudak pena-pena mereka, mimbar-mimbar, serta karangan-karangan mereka untuk mencapai tujuan mereka. Lalu mereka menghiasinya dengan panji-panji yang mengkilat dan kata-kata manis hingga para Muslimin yang awam tertipu dengannya. Berikutnya, sejenak kita berbincang dengan salah satu dai tersebut, yaitu Qaradhawi.
Sungguh ia telah melontarkan ceramahnya dalam upacara wisuda yang ditulis oleh Harian Akhbarul Khalij yang terbit tanggal 20/9/1998. Inilah nukilan tulisan wartawan tersebut :
“Yang mulia Syaikh Doktor Qaradhawi telah mengisyaratkan kepada sikap dan toleransinya terhadap pelbagai mazhab Sunni dan mazhab lainnya seperti Syiah, Zaidiyah, dan Ibadhiyah. Dia berkata :
Sesungguhnya kita tidak merasa sesak dengan perbedaan mazhab sebagaimana lslam tidak merasa sesak dengan perbedaan agama, maka perbedaan itu suatu hal yang pasti terjadi khususnya furu’ (cabang) dalam sebagian masalah-masalah (fiqh, peny.) dan furu’ dalam masalah akidah. Karena dasar-dasarnya –Alhamdulillah– masih disepakati, kita adalah pemeluk agama yang satu dan kiblat kita satu dan kadang perbedaan tersebut terjadi di seputar masalah-masalah yang berkenaan dengan af’alil ibad (perbuatan hamba) dan tanggung jawab mereka terhadapnya. Dan menyangkut masalah kemakshuman para imam Syiah dan imamiyah itu semua pada dasarnya adalah masalah furu’ dalam akidah akan tetapi perkara yang mendasar tetap disepakati, maka tidaklah berbahaya perbedaan dan perselisihan dalam masalah furu’ dan semua dapat digabungkan menjadi satu.
Qaradhawi menguatkan bahwa perbedaan mazhab adalah hal yang harus terjadi dalam agama, bahasa, kemanusiaan, dan sunnah kauniyah. Ia memberikan beberapa contoh tentang itu. Yakni tidak perlu orang yang bermadzhab Syiah untuk meninggalkan Syiahnya akan tetapi ajakan untuk pendekatan merupakan tuntutan bagi kita untuk menyatukan sikap dalam menghadapi persoalan-persoalan masa kini.”
Untuk mempermudah memahami perkataan Qaradhawi di atas kami akan meringkasnya menjadi beberapa poin :
1. Tuduhannya bahwa Islam bertoleransi dengan madzhab-madzhab seperti Syiah, Zaidiyah, dan Ibadhiyah.
2. Pengakuannya bahwa ia tidak merasa sesak dengan perbedaan mazhab sebagaimana Islam tidak merasa sesak dengan perbedaan agama.
3. Ia membagi akidah menjadi furu’ (cabang) dan ushul (pokok).
4. Tuduhannya bahwa keimanan Ahlus Sunnah dan Syiah, Zaidiyah, Ibadiyah adalah satu.
5. Tuduhannya bahwa masalah kemakshuman dalam Imamiyah adalah termasuk furu’ dalam akidah adapun pokoknya adalah sama.
6. Ia tidak meminta seorang Syiah untuk meninggalkan ajaran Syiah.
7. Ajakan dia untuk taqrib (pendekatan).
2. Pengakuannya bahwa ia tidak merasa sesak dengan perbedaan mazhab sebagaimana Islam tidak merasa sesak dengan perbedaan agama.
3. Ia membagi akidah menjadi furu’ (cabang) dan ushul (pokok).
4. Tuduhannya bahwa keimanan Ahlus Sunnah dan Syiah, Zaidiyah, Ibadiyah adalah satu.
5. Tuduhannya bahwa masalah kemakshuman dalam Imamiyah adalah termasuk furu’ dalam akidah adapun pokoknya adalah sama.
6. Ia tidak meminta seorang Syiah untuk meninggalkan ajaran Syiah.
7. Ajakan dia untuk taqrib (pendekatan).
Poin pertama, yaitu tuduhannya bahwa Islam bertoleransi dengan pelbagai mazhab seperti Syiah, Ibadhiyah, dan Zaidiyah maka kami katakan pada Qaradhawi :
Sesungguhnya kalimat Islam apabila dilontarkan tidak dimaksudkan kecuali Islam yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang berjalan sesuai dengan ajaran-ajaran Salafus Shalih dari para sahabat radliyallahu ‘anhum dan para pengikut setelah mereka. Oleh karena itu tidak ada toleransi antara mereka dengan orang-orang yang disebut dari firqah-firqah bid’ah. Karena hal ini bertentangan dengan ajaran Islam dalam banyak permasalahan ushul, baik masalah keyakinan ataupun hukum. Dan apabila yang dimaksud dengan Islam adalah Islam yang berdiri di atas pemahaman Khalaf dari pengamalan (meninggikan) hawa nafsu dan perubahan nas-nas secara maknawi, yang ini mungkin untuk bertoleransi bersama dengan seluruh golongan-golongan mubtadi’ karena sumber mereka adalah satu. Poin kedua, bahwa ia tidak merasa sesak dengan perbedaan mazhab. Ini bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah yang menyeru pada persatuan dan membuang perpecahan dan perselisihan. Firman Allah :
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu maka sembahlah Aku.” (QS. Al Anbiya’ : 92)
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.” (QS. Ali Imran : 103)
Dan dalil-dalil yang menunjukkan hal tersebut banyak yang akan disebutkan dalam pembicaraan tentang pemecahbelahan Qaradhawi terhadap umat.
Maka apabila perpecahan diharamkan dalam agama kita dan merupakan penyebab kelemahan orang Islam dan hilangnya kekuatan mereka maka bagaimanakah seorang Muslim rela dengan perkara ini dan tidak merasa sesak sedikit pun.
Poin ketiga, ia membagi akidah menjadi furu’ (cabang) dan ushul (pokok). Pembagian ini tidaklah datang dari Allah ataupun Rasul-Nya dan belum pernah dikerjakan oleh para Salaf dan juga para pengikutnya, ulama, dan para imam bahkan mereka mengingkari Mu’tazilah yang membagi syariat menjadi ushul dan furu’. Mereka menjadikan masalah-masalah akidah sebagai ushul dan hukum-hukum syar’i sebagai furu’. Ibnul Qayyim telah menghancurkan bangunannya sampai ke dasar-dasarnya hingga runtuh menimpa mereka.
Dan diantara komentar beliau (Ibnul Qayyim) tentang pembagian ini adalah :
“Setiap pembagian yang tidak ditopang oleh Al Qur’an dan As Sunnah dan pokok-pokok syariat serta tidak diperhatikan (dikategorikan) oleh syariat maka ia adalah pembagian yang batil dan harus dicampakkan dan pembagian ini yakni pembagian agama menjadi ushul dan furu’ adalah salah satu dari dasar-dasar kesesatan mereka.” (Mukhtashar As Shawaa’iq, halaman 412)
Apabila ulama dan para imam kita mengingkari Mu’tazilah menyangkut pembagian ini maka aku tidak mengerti bagaimana bisa Qaradhawi dengan leluasa berpendapat seperti itu serta menuliskannya dalam setiap buku-buku dan menyampaikannya dalam pertemuan-pertemuannya. Terlebih lagi ia membagi akidah menjadi ushul dan furu’ yang mana kaum Mu’tazilah masih menganggapnya ushul, semua ini menunjukkan bahwa ia telah mengikuti pendapat-pendapat yang ganjil yang menyelisihi manhaj Salaf radliyallahu ‘anhum.
Poin keempat, tuduhannya bahwa keimanan Ahlus Sunnah, Syiah, Zaidiyah, dan Ibadhiyah adalah sama. Kemungkinan ia jahil dengan keyakinan firqah-firqah tersebut atau itu adalah pengkaburan terhadap Muslimin karena perbedaan antara keimanan Ahlus Sunnah dengan keimanan firqah-firqah tersebut adalah hal yang tidak samar lagi bagi siapa yang mempunyai sedikit dari ilmu yang bermanfaat (ilmu agama) terlebih lagi mereka yang dijuluki dengan gelar-gelar yang besar. Agar menjadi jelas perbedaan antara keimanan Ahlus Sunnah dengan keimanan firqah-firqah tersebut akan aku sebutkan beberapa perbedaan :
1. Sesungguhnya keimanan Ahlus Sunnah berdasarkan keyakinan bahwa Al Qur’an adalah kalamullah bukan makhluk. Sementara mereka (firqah-firqah tersebut) meyakini bahwa Al Qur’an itu makhluk.
2. Iman Ahlus Sunnah berdiri atas dasar keyakinan bahwa Mukminin akan melihat Rabb mereka sedang Zaidiyah dan Ibadhiyah tidak mengimaninya.
3. Iman Ahlus Sunnah tegak berdasar keyakinan bahwa para pelaku dosa besar adalah ahli maksiat bukan orang kafir dan mereka berada di bawah kehendak Allah, apakah Dia menyiksanya dengan azab atau mengampuninya. Sedangkan Zaidiyah mengatakan bahwa pelaku dosa besar berada pada satu tempat di antara dua tempat, manzilah baina manzilatain, bukan orang mukmin, bukan pula orang kafir. Adapun Ibadhiyah mereka meyakini bahwa pelaku dosa besar adalah kafir, oleh karena itu mereka mengkafirkan masyarakat Muslim.
Perbedaan-perbedaan di atas hanyalah sebagai contoh karena bukan di sini tempatnya untuk membeberkannya secara panjang lebar. As Syahristany mengakui bahwa keyakinan Zaidiyah adalah keyakinan Mu’tazilah di mana ia berkata :
“Adapun dalam permasalahan ushul, mereka berpendapat dengan pendapat Mu’tazilah selangkah demi selangkah.” (Al Milal Wan Nihal I:319)
Ar Razy menyebutkan hal ini juga dalam Al Mahshal halaman 248. Begitu juga disebutkan oleh Al Maqbaly dalam Al ‘Ilmu Asy Syaamikh halaman 319. Ini adalah berkenaan dengan Zaidiyah yang tergolong firqah Syiah yang paling dekat dengan Ahlus Sunnah. Maka bagaimanakah dengan firqah Syiah lainnya yang jauh menyimpang dari manhaj Ahlus Sunnah?!
Namun demikian, Qaradhawi menyamakan semua firqah ini dan pemikiran-pemikiran yang dibawanya serta keyakinan-keyakinan yang batil dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah para pemeluk keyakinan yang murni dan bersih yang disarikan dan diambil dari Kalamullah dan sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam berdasarkan pemahaman Salafus Shalih.
Poin kelima, tuduhannya bahwa kemakshuman dalam Syiah Imamiyah adalah termasuk dalam masalah furu’iyah dalam akidah.
Dan bantahan terhadap point ini dari dua sisi :
Yang pertama, penjelasan tentang hakikat keyakinan ini. Aku berkata, kemakshuman menurut Syiah tergolong permasalahan ushul yang besar yang termasuk dasar akidah mereka. Syiah meyakini bahwa para imam mereka makshum dari segala kesalahan dan kealpaan dan dari melakukan dosa-dosa besar ataupun dosa-dosa kecil. Keyakinan ini tercantum dalam banyak kitab-kitab yang mereka jadikan sebagai bahan rujukan, antara lain kitab Aqa’idul Imamiyah karangan tokoh Syiah masa kini, Muhammad Ridha Mudhaffar, An Nukatul I’tiqadiyah karangan Al Mufid, kitab Al Bihar susunan Al Majlisy. Sungguh ia telah mengisahkan bahwa kemakshuman para imam Syiah merupakan kesepakatan mereka. Tidak cukup di situ saja bahkan mereka menjadikan para imam mereka berkedudukan yang lebih tinggi dari kedudukan para nabi dan malaikat.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Al Khumaini :
Merupakan hal pokok dalam mazhab kita bahwa para imam kita mempunyai kedudukan yang tidak bisa diraih oleh malaikat yang dekat ataupun nabi-nabi yang diutus.” (Al Wilayah At Takwiiniyah, halaman 52)
Inilah kemakshuman menurut Syiah.
Yang kedua, penjelasan tentang kebatilan keyakinan yang rusak ini dan itu dilihat juga dari dua sisi :
a. Bahwasanya kemakshuman yang dijadikan oleh Syiah bagi para imam mereka tidak terdapat pada para Nabi. Allah berfirman menceritakan tentang Nabi Adam ‘Alaihis Salam :
“Dan durhakalah Adam kepada Rabbnya dan sesatlah ia. Kemudian Rabbnya memilihnya maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk.” (QS. Thaha : 121-122)
Allah juga berfirman :
Keduanya berkata : “Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al A’raf : 23)
Dan inilah rasul kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, Allah berfirman tentang beliau :
“Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang) sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam keuzurannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta.” (QS. At Taubah : 43)
Allah juga berfirman :
“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa).” (QS. Abasa : 1-4)
Dahulu orang-orang musyrik menawarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam agar menjadikan bagi mereka suatu hari dimana para hamba sahaya seperti Ibnu Mas’ud dan Bilal tidak bisa menghadirinya. Hal tersebut sempat terbersit dalam hati Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam akan tetapi Allah menurunkan ayat :
“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi hari dan petang hari sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya.” (QS. Al An’am : 52)
Allah berfirman :
“Dan (ingatlah) ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya : ‘Tahanlah terus istrimu dan bertaqwalah kepada Allah.’ Sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya dan kamu takut kepada manusia sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti.” (QS. Al Ahzab : 37)
Terdapat hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang menunjukkan bahwa beliau tidak makshum secara mutlak. Beliau bersabda :
“Tidak lain aku hanyalah seorang manusia biasa, kadang datang padaku sebuah perkara. Maka barangkali sebagian dari mereka lebih pandai menyampaikan dari yang lainnya. Maka aku menyangka bahwa ialah yang benar (jujur) maka aku memenangkannya. Dan barangsiapa yang telah aku menangkan perkaranya dengan mengorbankan hak seorang Muslim maka tidak lain itu adalah percikan api neraka maka hendaklah ia menanggungnya atau meninggalkannya.” (HR. Muslim)
Dalam dalil ini terdapat penjelasan bahwa para nabi kadang jatuh dalam kesalahan hanya saja mereka tidak membenarkan kesalahan tersebut. Ini adalah kebalikan dari apa yang diyakini Syiah tentang para imam mereka bahwa mereka tidak mungkin melakukan kesalahan, baik disengaja ataupun lalai.
b. Bahwa keyakinan yang diakui oleh Syiah tentang para imam mereka, membawa mereka dalam hal-hal sebagai berikut :
v Setiap perkataan yang muncul dari para imam mereka yang dua belas adalah sama kedudukannya seperti firman Allah dan sabda Nabi. Oleh karena itu bahan rujukan mereka dalam hadits sanad-sanadnya kebanyakan berhenti pada salah satu imam mereka.
v Ketika mereka berselisih dan bersengketa maka mereka merujuk kepada perkataan imam mereka. Ini bertentangan dengan Al Qur’an di mana Allah telah berfirman :
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa’ : 59)
v Berlebih-lebihan dalam kubur-kubur mereka dan menjadikannya tempat ziarah dan perayaan. Mereka menjadikan perbuatan ini sebagai dasar-dasar keyakinan mereka dan membuat bab-bab khusus tentang masalah ini dalam buku-buku dan karangan karangan mereka.
Pembaca, setelah mengetahui apa arti kemakshuman menurut mereka (Syiah) dan penyelisihan mereka dengan akidah yang benar, yakni akidah Salafus Shalih, masihkah dikatakan bahwa ‘ishmah termasuk masalah furu’ dalam akidah? Maha Suci Allah, ini adalah kebohongan yang besar! Allah berfirman :
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah atau mendustakan yang hak tatkala yang hak itu datang kepadanya?” (QS. Al Ankabut : 68)
Allah juga berfirman : “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengadakan dusta terhadap Allah sedang dia diajak kepada agama Islam.” (QS. As Shaff : 7)
Adapun tuduhannya bahwa hal-hal yang mendasar telah disepakati adalah dakwaan yang sangat jelas kebatilannya. Karena Syiah dan sekte-sektenya seperti Zaidiyah dan Ibadhiyah dan sebagainya mempunyai ushul yang berbeda dengan ushul Ahlus Sunnah, baik dalam hukum ataupun dalam akidah.
Dan telah disebutkan beberapa perbedaan Ahlus Sunnah dengan firqah-firqah yang disebutkan Qaradhawi, maka aku tidak mengerti hal-hal mendasar apakah yang disepakati oleh Ahlus Sunnah dan Syiah menurut pemahaman Qaradhawi.
Seandainya apa yang dimaksud dengan hal mendasar tersebut adalah akidah maka ini tidak bisa diterima karena akidah Syiah dalam masalah Asma’ was Shifat diambil dari Mu’tazilah. Dalam masalah qadar dari Qadariah. Serta dalam masalah shahabat mereka mengkafirkan sekelompok besar dari sahabat, melaknat mereka, dan menuduh mereka dengan pelbagai kejahatan dan tidak bersandar (berpegang) dengan apa yang mereka riwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Dan seandainya ia bermaksud dengan assasiyat (hal-hal mendasar, asasi) adalah bahwa dasar-dasar Syiah yang dijadikan rujukan oleh mereka adalah dasar-dasar Ahlus Sunnah, itu sama batilnya dengan yang sebelumnya. Dasar-dasar Syiah bukanlah dasar-dasar Ahlu Sunnah! Dasar-dasar Ahlus Sunnah adalah Al Qur’an dan dua kitab shahih milik Bukhari-Muslim dan apa-apa yang shahih dari sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang dicatat oleh para ulama umat Islam seperti Sunan Abu Dawud, Sunan Tirmidzi, An Nasai, Ibnu Majah, Musnad Ahmad, dan kitab-kitab sunan yang lain.
Adapun Syiah tidak menjadikan semua ini sebagai dasar-dasar mereka. Tentang sikap mereka terhadap Al Qur’anul Karim, adapun penganut Itsna ‘Asyariyah berkeyakinan bahwa Al Qur’an sudah diselewengkan sedangkan Al Qur’an yang sempurna adalah yang diturunkan kepada Fatimah setelah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Mereka menamakannya Al Qur’an yang lain itu Mushaf Fatimah dan ini diakui dalam kitab-kitab Syiah Imamiyah serta dijelaskan secara terang-terangan. Seperti dalam kitab Al Kaafi milik Al Kailani dan lain sebagainya. Orang-orang ini (Syiah) tidaklah memahami Al Qur’an dengan pemahaman shahabat bahkan mereka menakwilnya dengan takwilan batiniyah sebagaimana yang sudah dikenal dari mereka.
Pembaca, setelah Anda mengetahui penyelisihan Syiah dengan Ahlus Sunnah dalam masalah akidah dan dalam dasar-dasar rujukan, Anda mengerti bahwa tidak ada kata sepakat antara Ahlus Sunnah dan Syiah. Tuduhan Qaradhawi bahwa ada hal-hal mendasar yang disepakati adalah tuduhan sesat dan batil yang jelas serta merupakan pemutarbalikan fakta yang semua itu ditujukan dalam rangka dakwah taqrib (pendekatan) antara Syiah dan Sunnah, dakwah pendekatan antara tauhid dan syirik, petunjuk dan kesesatan, kegelapan dan cahaya, sunnah dan bid’ah! Dakwah yang berusaha mendekatkan kecintaan pada shahabat dan meneladani mereka dengan pelaknatan dan pencelaan terhadap mereka dan ajaran-ajaran syar’i yang mereka bawa. Dakwah yang mengupayakan penyatuan dua hal yang berlawanan!
Dakwah ini tidak bertujuan untuk mendekatkan Syiah kepada Sunnah, hal ini tidaklah diinginkan oleh Qaradhawi seperti apa yang diakuinya. Katanya :
Tidaklah diharapkan dari seorang yang bermadzhab Syiah untuk meninggalkan Syiahnya akan tetapi ajakan untuk pendekatan … . Dan seterusnya.
Benarlah perkataan Syaikh Ihsan Ilahi Dzahir :
“Maka menjauhlah persatuan yang didirikan dengan mengorbankan Islam dan celakalah persatuan yang dibangun atas dasar pencelaan terhadap Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para sahabatnya radliyallahu ‘anhum.” (As Sunnah wasy Syiah halaman 7)
Benarlah perkataan Muhaddits masa kini, Syaikh Al Albaniy :
“Jauh sekali kemungkinan pendekatan dan saling memahami bersama mereka (Syiah) bahkan setiap usaha untuk mencapainya akan gagal. Dan hanya pada Allah kita memohon pertolongan.” (Ad Dha’iifah, hadits nomor 1893)
Pembaca, ketahuilah bahwa pertentangan nyata terjadi antara Ahlus Sunnah dan Syiah.
“Tidak ada jalan untuk menghapus perbedaan itu dan membenarkan upaya pendekatan antara Ahlus Sunnah dengan Syiah sementara mereka (Syiah-Rafidhah) masih terus bertahan dalam keganjilan mereka menjauhi jamaa’atul Muslimin. Dan tidaklah mungkin mempertemukan Ahlus Sunnah dan Syiah mencapai suatu hasil, apakah melalui acara dialog, diskusi atau muktamar-muktamar dalam rangka memhahas perselisihan kita dengan mereka dalam masalah dasar-dasar aqidah dan hukum (Dalam tanda kutip adalah perkataan penulis Kitab Masalah At Taqrib Baina As Sunnah wa Asy Syi’ah.) .” Sesungguhnya orang-orang yang berjalan dalam rangka mendekati mereka dan berdakwah kepada yang demikian adalah para dai yang menyeru pada kesesatan dan penyimpangan dari jalan yang lurus!!
(Sumber : Kitab Raf’ul Litsaam ‘An Mukhaalaafatil Qaradhawi Li Syari’atil Islaam, edisi Indonesia Membongkar Kedok Al Qaradhawi, Bukti-bukti Penyimpangan Yusuf AL Qardhawi dari Syari’at Islam. Penerbit Darul Atsar Yaman. Diambil dari www.assunnah.cjb.net)
Sesungguhnya kalimat Islam apabila dilontarkan tidak dimaksudkan kecuali Islam yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang berjalan sesuai dengan ajaran-ajaran Salafus Shalih dari para sahabat radliyallahu ‘anhum dan para pengikut setelah mereka. Oleh karena itu tidak ada toleransi antara mereka dengan orang-orang yang disebut dari firqah-firqah bid’ah. Karena hal ini bertentangan dengan ajaran Islam dalam banyak permasalahan ushul, baik masalah keyakinan ataupun hukum. Dan apabila yang dimaksud dengan Islam adalah Islam yang berdiri di atas pemahaman Khalaf dari pengamalan (meninggikan) hawa nafsu dan perubahan nas-nas secara maknawi, yang ini mungkin untuk bertoleransi bersama dengan seluruh golongan-golongan mubtadi’ karena sumber mereka adalah satu. Poin kedua, bahwa ia tidak merasa sesak dengan perbedaan mazhab. Ini bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah yang menyeru pada persatuan dan membuang perpecahan dan perselisihan. Firman Allah :
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu maka sembahlah Aku.” (QS. Al Anbiya’ : 92)
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.” (QS. Ali Imran : 103)
Dan dalil-dalil yang menunjukkan hal tersebut banyak yang akan disebutkan dalam pembicaraan tentang pemecahbelahan Qaradhawi terhadap umat.
Maka apabila perpecahan diharamkan dalam agama kita dan merupakan penyebab kelemahan orang Islam dan hilangnya kekuatan mereka maka bagaimanakah seorang Muslim rela dengan perkara ini dan tidak merasa sesak sedikit pun.
Poin ketiga, ia membagi akidah menjadi furu’ (cabang) dan ushul (pokok). Pembagian ini tidaklah datang dari Allah ataupun Rasul-Nya dan belum pernah dikerjakan oleh para Salaf dan juga para pengikutnya, ulama, dan para imam bahkan mereka mengingkari Mu’tazilah yang membagi syariat menjadi ushul dan furu’. Mereka menjadikan masalah-masalah akidah sebagai ushul dan hukum-hukum syar’i sebagai furu’. Ibnul Qayyim telah menghancurkan bangunannya sampai ke dasar-dasarnya hingga runtuh menimpa mereka.
Dan diantara komentar beliau (Ibnul Qayyim) tentang pembagian ini adalah :
“Setiap pembagian yang tidak ditopang oleh Al Qur’an dan As Sunnah dan pokok-pokok syariat serta tidak diperhatikan (dikategorikan) oleh syariat maka ia adalah pembagian yang batil dan harus dicampakkan dan pembagian ini yakni pembagian agama menjadi ushul dan furu’ adalah salah satu dari dasar-dasar kesesatan mereka.” (Mukhtashar As Shawaa’iq, halaman 412)
Apabila ulama dan para imam kita mengingkari Mu’tazilah menyangkut pembagian ini maka aku tidak mengerti bagaimana bisa Qaradhawi dengan leluasa berpendapat seperti itu serta menuliskannya dalam setiap buku-buku dan menyampaikannya dalam pertemuan-pertemuannya. Terlebih lagi ia membagi akidah menjadi ushul dan furu’ yang mana kaum Mu’tazilah masih menganggapnya ushul, semua ini menunjukkan bahwa ia telah mengikuti pendapat-pendapat yang ganjil yang menyelisihi manhaj Salaf radliyallahu ‘anhum.
Poin keempat, tuduhannya bahwa keimanan Ahlus Sunnah, Syiah, Zaidiyah, dan Ibadhiyah adalah sama. Kemungkinan ia jahil dengan keyakinan firqah-firqah tersebut atau itu adalah pengkaburan terhadap Muslimin karena perbedaan antara keimanan Ahlus Sunnah dengan keimanan firqah-firqah tersebut adalah hal yang tidak samar lagi bagi siapa yang mempunyai sedikit dari ilmu yang bermanfaat (ilmu agama) terlebih lagi mereka yang dijuluki dengan gelar-gelar yang besar. Agar menjadi jelas perbedaan antara keimanan Ahlus Sunnah dengan keimanan firqah-firqah tersebut akan aku sebutkan beberapa perbedaan :
1. Sesungguhnya keimanan Ahlus Sunnah berdasarkan keyakinan bahwa Al Qur’an adalah kalamullah bukan makhluk. Sementara mereka (firqah-firqah tersebut) meyakini bahwa Al Qur’an itu makhluk.
2. Iman Ahlus Sunnah berdiri atas dasar keyakinan bahwa Mukminin akan melihat Rabb mereka sedang Zaidiyah dan Ibadhiyah tidak mengimaninya.
3. Iman Ahlus Sunnah tegak berdasar keyakinan bahwa para pelaku dosa besar adalah ahli maksiat bukan orang kafir dan mereka berada di bawah kehendak Allah, apakah Dia menyiksanya dengan azab atau mengampuninya. Sedangkan Zaidiyah mengatakan bahwa pelaku dosa besar berada pada satu tempat di antara dua tempat, manzilah baina manzilatain, bukan orang mukmin, bukan pula orang kafir. Adapun Ibadhiyah mereka meyakini bahwa pelaku dosa besar adalah kafir, oleh karena itu mereka mengkafirkan masyarakat Muslim.
Perbedaan-perbedaan di atas hanyalah sebagai contoh karena bukan di sini tempatnya untuk membeberkannya secara panjang lebar. As Syahristany mengakui bahwa keyakinan Zaidiyah adalah keyakinan Mu’tazilah di mana ia berkata :
“Adapun dalam permasalahan ushul, mereka berpendapat dengan pendapat Mu’tazilah selangkah demi selangkah.” (Al Milal Wan Nihal I:319)
Ar Razy menyebutkan hal ini juga dalam Al Mahshal halaman 248. Begitu juga disebutkan oleh Al Maqbaly dalam Al ‘Ilmu Asy Syaamikh halaman 319. Ini adalah berkenaan dengan Zaidiyah yang tergolong firqah Syiah yang paling dekat dengan Ahlus Sunnah. Maka bagaimanakah dengan firqah Syiah lainnya yang jauh menyimpang dari manhaj Ahlus Sunnah?!
Namun demikian, Qaradhawi menyamakan semua firqah ini dan pemikiran-pemikiran yang dibawanya serta keyakinan-keyakinan yang batil dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah para pemeluk keyakinan yang murni dan bersih yang disarikan dan diambil dari Kalamullah dan sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam berdasarkan pemahaman Salafus Shalih.
Poin kelima, tuduhannya bahwa kemakshuman dalam Syiah Imamiyah adalah termasuk dalam masalah furu’iyah dalam akidah.
Dan bantahan terhadap point ini dari dua sisi :
Yang pertama, penjelasan tentang hakikat keyakinan ini. Aku berkata, kemakshuman menurut Syiah tergolong permasalahan ushul yang besar yang termasuk dasar akidah mereka. Syiah meyakini bahwa para imam mereka makshum dari segala kesalahan dan kealpaan dan dari melakukan dosa-dosa besar ataupun dosa-dosa kecil. Keyakinan ini tercantum dalam banyak kitab-kitab yang mereka jadikan sebagai bahan rujukan, antara lain kitab Aqa’idul Imamiyah karangan tokoh Syiah masa kini, Muhammad Ridha Mudhaffar, An Nukatul I’tiqadiyah karangan Al Mufid, kitab Al Bihar susunan Al Majlisy. Sungguh ia telah mengisahkan bahwa kemakshuman para imam Syiah merupakan kesepakatan mereka. Tidak cukup di situ saja bahkan mereka menjadikan para imam mereka berkedudukan yang lebih tinggi dari kedudukan para nabi dan malaikat.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Al Khumaini :
Merupakan hal pokok dalam mazhab kita bahwa para imam kita mempunyai kedudukan yang tidak bisa diraih oleh malaikat yang dekat ataupun nabi-nabi yang diutus.” (Al Wilayah At Takwiiniyah, halaman 52)
Inilah kemakshuman menurut Syiah.
Yang kedua, penjelasan tentang kebatilan keyakinan yang rusak ini dan itu dilihat juga dari dua sisi :
a. Bahwasanya kemakshuman yang dijadikan oleh Syiah bagi para imam mereka tidak terdapat pada para Nabi. Allah berfirman menceritakan tentang Nabi Adam ‘Alaihis Salam :
“Dan durhakalah Adam kepada Rabbnya dan sesatlah ia. Kemudian Rabbnya memilihnya maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk.” (QS. Thaha : 121-122)
Allah juga berfirman :
Keduanya berkata : “Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al A’raf : 23)
Dan inilah rasul kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, Allah berfirman tentang beliau :
“Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang) sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam keuzurannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta.” (QS. At Taubah : 43)
Allah juga berfirman :
“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa).” (QS. Abasa : 1-4)
Dahulu orang-orang musyrik menawarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam agar menjadikan bagi mereka suatu hari dimana para hamba sahaya seperti Ibnu Mas’ud dan Bilal tidak bisa menghadirinya. Hal tersebut sempat terbersit dalam hati Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam akan tetapi Allah menurunkan ayat :
“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi hari dan petang hari sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya.” (QS. Al An’am : 52)
Allah berfirman :
“Dan (ingatlah) ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya : ‘Tahanlah terus istrimu dan bertaqwalah kepada Allah.’ Sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya dan kamu takut kepada manusia sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti.” (QS. Al Ahzab : 37)
Terdapat hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang menunjukkan bahwa beliau tidak makshum secara mutlak. Beliau bersabda :
“Tidak lain aku hanyalah seorang manusia biasa, kadang datang padaku sebuah perkara. Maka barangkali sebagian dari mereka lebih pandai menyampaikan dari yang lainnya. Maka aku menyangka bahwa ialah yang benar (jujur) maka aku memenangkannya. Dan barangsiapa yang telah aku menangkan perkaranya dengan mengorbankan hak seorang Muslim maka tidak lain itu adalah percikan api neraka maka hendaklah ia menanggungnya atau meninggalkannya.” (HR. Muslim)
Dalam dalil ini terdapat penjelasan bahwa para nabi kadang jatuh dalam kesalahan hanya saja mereka tidak membenarkan kesalahan tersebut. Ini adalah kebalikan dari apa yang diyakini Syiah tentang para imam mereka bahwa mereka tidak mungkin melakukan kesalahan, baik disengaja ataupun lalai.
b. Bahwa keyakinan yang diakui oleh Syiah tentang para imam mereka, membawa mereka dalam hal-hal sebagai berikut :
v Setiap perkataan yang muncul dari para imam mereka yang dua belas adalah sama kedudukannya seperti firman Allah dan sabda Nabi. Oleh karena itu bahan rujukan mereka dalam hadits sanad-sanadnya kebanyakan berhenti pada salah satu imam mereka.
v Ketika mereka berselisih dan bersengketa maka mereka merujuk kepada perkataan imam mereka. Ini bertentangan dengan Al Qur’an di mana Allah telah berfirman :
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa’ : 59)
v Berlebih-lebihan dalam kubur-kubur mereka dan menjadikannya tempat ziarah dan perayaan. Mereka menjadikan perbuatan ini sebagai dasar-dasar keyakinan mereka dan membuat bab-bab khusus tentang masalah ini dalam buku-buku dan karangan karangan mereka.
Pembaca, setelah mengetahui apa arti kemakshuman menurut mereka (Syiah) dan penyelisihan mereka dengan akidah yang benar, yakni akidah Salafus Shalih, masihkah dikatakan bahwa ‘ishmah termasuk masalah furu’ dalam akidah? Maha Suci Allah, ini adalah kebohongan yang besar! Allah berfirman :
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah atau mendustakan yang hak tatkala yang hak itu datang kepadanya?” (QS. Al Ankabut : 68)
Allah juga berfirman : “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengadakan dusta terhadap Allah sedang dia diajak kepada agama Islam.” (QS. As Shaff : 7)
Adapun tuduhannya bahwa hal-hal yang mendasar telah disepakati adalah dakwaan yang sangat jelas kebatilannya. Karena Syiah dan sekte-sektenya seperti Zaidiyah dan Ibadhiyah dan sebagainya mempunyai ushul yang berbeda dengan ushul Ahlus Sunnah, baik dalam hukum ataupun dalam akidah.
Dan telah disebutkan beberapa perbedaan Ahlus Sunnah dengan firqah-firqah yang disebutkan Qaradhawi, maka aku tidak mengerti hal-hal mendasar apakah yang disepakati oleh Ahlus Sunnah dan Syiah menurut pemahaman Qaradhawi.
Seandainya apa yang dimaksud dengan hal mendasar tersebut adalah akidah maka ini tidak bisa diterima karena akidah Syiah dalam masalah Asma’ was Shifat diambil dari Mu’tazilah. Dalam masalah qadar dari Qadariah. Serta dalam masalah shahabat mereka mengkafirkan sekelompok besar dari sahabat, melaknat mereka, dan menuduh mereka dengan pelbagai kejahatan dan tidak bersandar (berpegang) dengan apa yang mereka riwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Dan seandainya ia bermaksud dengan assasiyat (hal-hal mendasar, asasi) adalah bahwa dasar-dasar Syiah yang dijadikan rujukan oleh mereka adalah dasar-dasar Ahlus Sunnah, itu sama batilnya dengan yang sebelumnya. Dasar-dasar Syiah bukanlah dasar-dasar Ahlu Sunnah! Dasar-dasar Ahlus Sunnah adalah Al Qur’an dan dua kitab shahih milik Bukhari-Muslim dan apa-apa yang shahih dari sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang dicatat oleh para ulama umat Islam seperti Sunan Abu Dawud, Sunan Tirmidzi, An Nasai, Ibnu Majah, Musnad Ahmad, dan kitab-kitab sunan yang lain.
Adapun Syiah tidak menjadikan semua ini sebagai dasar-dasar mereka. Tentang sikap mereka terhadap Al Qur’anul Karim, adapun penganut Itsna ‘Asyariyah berkeyakinan bahwa Al Qur’an sudah diselewengkan sedangkan Al Qur’an yang sempurna adalah yang diturunkan kepada Fatimah setelah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Mereka menamakannya Al Qur’an yang lain itu Mushaf Fatimah dan ini diakui dalam kitab-kitab Syiah Imamiyah serta dijelaskan secara terang-terangan. Seperti dalam kitab Al Kaafi milik Al Kailani dan lain sebagainya. Orang-orang ini (Syiah) tidaklah memahami Al Qur’an dengan pemahaman shahabat bahkan mereka menakwilnya dengan takwilan batiniyah sebagaimana yang sudah dikenal dari mereka.
Pembaca, setelah Anda mengetahui penyelisihan Syiah dengan Ahlus Sunnah dalam masalah akidah dan dalam dasar-dasar rujukan, Anda mengerti bahwa tidak ada kata sepakat antara Ahlus Sunnah dan Syiah. Tuduhan Qaradhawi bahwa ada hal-hal mendasar yang disepakati adalah tuduhan sesat dan batil yang jelas serta merupakan pemutarbalikan fakta yang semua itu ditujukan dalam rangka dakwah taqrib (pendekatan) antara Syiah dan Sunnah, dakwah pendekatan antara tauhid dan syirik, petunjuk dan kesesatan, kegelapan dan cahaya, sunnah dan bid’ah! Dakwah yang berusaha mendekatkan kecintaan pada shahabat dan meneladani mereka dengan pelaknatan dan pencelaan terhadap mereka dan ajaran-ajaran syar’i yang mereka bawa. Dakwah yang mengupayakan penyatuan dua hal yang berlawanan!
Dakwah ini tidak bertujuan untuk mendekatkan Syiah kepada Sunnah, hal ini tidaklah diinginkan oleh Qaradhawi seperti apa yang diakuinya. Katanya :
Tidaklah diharapkan dari seorang yang bermadzhab Syiah untuk meninggalkan Syiahnya akan tetapi ajakan untuk pendekatan … . Dan seterusnya.
Benarlah perkataan Syaikh Ihsan Ilahi Dzahir :
“Maka menjauhlah persatuan yang didirikan dengan mengorbankan Islam dan celakalah persatuan yang dibangun atas dasar pencelaan terhadap Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para sahabatnya radliyallahu ‘anhum.” (As Sunnah wasy Syiah halaman 7)
Benarlah perkataan Muhaddits masa kini, Syaikh Al Albaniy :
“Jauh sekali kemungkinan pendekatan dan saling memahami bersama mereka (Syiah) bahkan setiap usaha untuk mencapainya akan gagal. Dan hanya pada Allah kita memohon pertolongan.” (Ad Dha’iifah, hadits nomor 1893)
Pembaca, ketahuilah bahwa pertentangan nyata terjadi antara Ahlus Sunnah dan Syiah.
“Tidak ada jalan untuk menghapus perbedaan itu dan membenarkan upaya pendekatan antara Ahlus Sunnah dengan Syiah sementara mereka (Syiah-Rafidhah) masih terus bertahan dalam keganjilan mereka menjauhi jamaa’atul Muslimin. Dan tidaklah mungkin mempertemukan Ahlus Sunnah dan Syiah mencapai suatu hasil, apakah melalui acara dialog, diskusi atau muktamar-muktamar dalam rangka memhahas perselisihan kita dengan mereka dalam masalah dasar-dasar aqidah dan hukum (Dalam tanda kutip adalah perkataan penulis Kitab Masalah At Taqrib Baina As Sunnah wa Asy Syi’ah.) .” Sesungguhnya orang-orang yang berjalan dalam rangka mendekati mereka dan berdakwah kepada yang demikian adalah para dai yang menyeru pada kesesatan dan penyimpangan dari jalan yang lurus!!
(Sumber : Kitab Raf’ul Litsaam ‘An Mukhaalaafatil Qaradhawi Li Syari’atil Islaam, edisi Indonesia Membongkar Kedok Al Qaradhawi, Bukti-bukti Penyimpangan Yusuf AL Qardhawi dari Syari’at Islam. Penerbit Darul Atsar Yaman. Diambil dari www.assunnah.cjb.net)
Sumber URL : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=652
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer