Kami menyambut kelahiranmu dengan bahagia. Meski pun kau bukan anak yang pertama, tapi kau seakan membawa sesuatu yang baru buat kami. Kehangatan baru, berbeda dan tak pernah kami alami sebelumnya. Istimewa seperti dirimu yang telah memberikan kami kebahagiaan yang sangat. Kau terlahir sempurna, sesempurna seperti yang kami harapkan.
Satu hari berlalu, dan berikutnya kau adalalah anak yang cerdas, lucu dan selalu bertanya tentang apapun. Kami yakin saat itu, kau adalah anugrah titipan Tuhan yang akan memberi kami sesuatu yang berbeda. Dan ketidak samaan itu pun semakin terlihat, saat kau tak mau disamakan dengan yang lain. Hingga adik-adikmu terlahir kau tetap menjadi seorang anak yang selalu mendapat perhatian lebih, karna kamu memang berbeda. Kau tetap menjadi yang utama buat kami, anak yang istimewa dengan segala keberanianmu membela sesuatu yang kau anggap benar. Kau adalah harapan kami, yang suatu saat akan memberikan kami sesuatu yang besar. Sebuah kebanggan.

Harapan itu semakin kuat, saat kau ucapkan sendiri bahwa akan memberi kami kejutan. Sesuatu yang besar namun entah apa, karena sengaja dirahasiakan agar pemberian itu berkesan. Kami menunggu nak! Kami tetap berdoa kau akan menjadi kebanggan buat kami. Keluarga dan bangsa ini menunggumu berbuat sesuatu, yang bisa membuat aku sebagai ayah merasa bangga. Aku menunggu mengumumkan kepada semua orang. “Bahwa aku adalah ayahmu“.
****
Dikemudian hari harapan itu kian terkikis, ketika perubahan di dirimu menjadi tak terkendali. Tak senada dengan kata bangga yang dulu sempat bergelora didadaku. Tak lagi membuatku berharap kau akan menjadi seseorang yang begitu besar, karena kini kau mulai membuatku panik dengan perbedaan itu. Resah dan gelisah kini menemaniku menghadapi hari.
Dari sekian hari yang telah kulalui sebelumnya, kini kau semakin membuatku takut, karena keberadaanmu membuat mereka geram. Ketika ucapanmu membuat tetangga kita memalingkan wajahnya dariku. Saat temanku berkata tentang seseorang yang membuat hatinya terluka, dan seseorang itu adalah kamu. Anakku yang aku banggakan.
Kau memang benar-benar telah berubah, hingga menganggapku sebagai sosok yang tak berharga lagi. Pemahaman itukah yang kau dapatkan dari hasilmu belajar selama ini. Hingga tak peduli lagi dengan perasaan orang tuamu yang malu dan sakit hati, karena ucapan itu memang membutku menyesal terlalu membebaskanmu belajar. Ilmu semacam apa yang kau pelajari? Sehingga sebutan kafir itu tertuju kepadaku. Dari mulutmu yang dulu kuajari berkata-kata.
****
Sungguh tak pernah aku bayangkan sebelumnya, aku harus menyambutmu kembali saat ini. Setelah sekian lama kau tak terlihat, kini kau kembali dengan rombongan yang tak pernah aku harapkan. Siapa mereka aku tak tau. Darimana mereka datang aku juga tak pernah bertanya. Dan aku tak ingin menanyakannya, bahkan aku tak berharap kalian datang seperti saat ini. Sungguh aku tak berharap akan menyambutmu sebagai mayat, dengan tubuh yang tak utuh lagi.
Kehadiranmu saat ini yang tanpa nyawa, memberikan kami suasana yang tak menentu. Beribu Tanya dan cemooh mereka tertuju, bukan hanya tetangga teman dan kerabat saja. Tapi semuanya yang aku tak kenal pun mencela, mengawasi dan dan mewaspadai kehidupanku sebagai ayah pelaku bom bunuh diri.
Aku bukan Teroris seperti yang mereka kira, tapi mereka memberikan kecurigaan itu karena aku ayahmu. Yang merawat dan mendidikmu hingga dewasa. Apa hendak dikata? Sekian telunjuk itu mengarah tepat di hidungku. Karena aku ayahmu, yang kini harus menguburkanmu. Meski dengan tubuh yang tak lengkap lagi.
Nyawamu memang telah tiada, yang tergantikan dengan lahirnya kebencian yang baru. Menjadi benih yang di semai di hati mereka. Tentang aku yang memiliki anak seorang teroris.
****
Jauh dalam lubuk hatiku yang paling dalam. Kau tetap anakku yang aku cintai, aku mencintaimu. Tak perlu kau ragukan kasih sayangku untukmu. Aku memaafkanmu nak! Pergilah dengan tenang! Ayah disini akan selalu mendoakanmu! Karna kamu memang anakku yang aku cintai.
Dari sekian banyak nasihatku untukmu, ingin aku memberikan nasihat terakhir untukmu. Ikutilah ayah! Karena kesederhanaan ilmu yang ayah miliki, tak akan menjadikanmu membenci saudara-saudaramu yang kini meregang nyawa. Dan semua pelajaran yang akan ayah berikan, adalah memahami bahwa kebenaran itu bukanlah membunuh dirimu dan mereka yang entah memiliki dosa apa.
Seandainya kau masih bisa mendengarku, kan kubisikkan kata-kata perpisahan. Dan bawalah bersamamu segenggam doa yang ayah berikan ini, tuk menjadi bekal untukmu di alam sana. Semoga kau diterima disisi-Nya. Amiin…
****
Aku tidak membencimu nak!. Karena kebencian ayah adalah perasaan sesal saja. Untuk mereka yang telah mencuci otakmu. Hingga kesesatan itu telah membawamu dalam kematian yang tak wajar.
****0****
Tulisan ini terinspirasi dari tangisan Abdul Gofur, ayah Muhammad Syarif pelaku Bom bunuh diri di Cirebon. Saat wawancara di salah satu siaran televisi beberapa jam yang lalu. Semoga semua keluarga beliau diberi ketabahan. Amiin….
sumber:http://fiksi.kompasiana.com/prosa/2011/04/19/ketika-seorang-ayah-menerima-serpihan-tubuh-anaknya/

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers