Islam dengan syari’atnya yang agung memerintahkan seluruh bentuk perilaku yang baik dalam pergaulan dengan sesama manusia. Apapun yang layak dilakukan terhadap orang lain maka diperintahkan. Di antaranya ialah agar seseorang bersikap lapang menghadapi perilaku sesamanya. Ini salah satu bentuk perilaku baik yang dianjurkan oleh Islam. Ialah menjadikan sesuatu yang dirasa melapangkan jiwa dan memudahkan perkara untuk ditunaikan dan disikapi maka itulah yang dikehendaki oleh syari’at Islam. Seseorang tidak boleh membebani diri sendiri maupun orang lain dengan sesuatu yang tidak sanggup ditanggung oleh tabiat jiwanya.
Oleh karenanya, seluruh manusia hendaknya bersyukur atas apa yang dia dapati dari orang lain berupa perilaku yang baik maupun tutur kata yang santun. Dan seluruh orang hendaknya memaklumi segala bentuk kekurangan serta bisa bersikap santun terhadap yang lebih rendah kebaikannya atas kerendahannya tersebut dan tidak memburukkannya atas kekurangannya. Seperti tidak merendahkan si fakir karena kefakirannya, tidak merendahkan si buruk karena keburukan rupanya. Namun ia harus bisa bergaul dengan seluruh manusia dengan kelembutan, dan membalas setiap kebaikan dengan yang setimpal sesuai dengan situasi dan kondisinya berdasarkan pada kelapangan dada-dada semuanya. Alloh azza wajalla berfirman (artinya):
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (QS. al-A’rof [7]: 199)
Ibnu Jarir ath-Thobari rahimahullahu ta’ala meriwayatkan di dalam tafsirnya, dari Sufyan ibnu Uyainah dari Umayya berkata, “Tatkala Alloh azza wajalla menurunkan ayat tersebut (QS. al-A’rof [7]: 199), Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, ‘Apa maksudnya ini, wahai Jibril?’ Kemudian Jibril mengatakan, ‘Sesungguhnya Alloh subhanahu wata’ala memerintahkanmu untuk memaafkan siapa saja yang menganiayamu, dan agar kamu memberi siapa yang tidak mau memberimu, dan agar kamu menghubungi siapa saja yang tidak mau menghubungimu.’”

Islam memerintahkan kebajikan
Dengan keagungan syari’atnya, Islam tidak hanya menganjurkan sikap berlapang-lapang terhadap sesama, namun Islam memerintahkan setiap kebajikan. Islam memerintahkan setiap ucapan dan tutur kata yang baik, perbuatan yang baik, akhlak dan perangai yang baik terhadap sesama manusia, baik yang dekat kekerabatannya maupun yang jauh.
Sehingga Islam memerintahkan segala sesuatu yang bisa ditunaikan oleh seseorang kepada orang lain berupa kebaikan apapun. Semisal mengajarkan ilmu, menganjurkan berbuat kebaikan, menghubungi dan menyambung silaturohim, berbuat baik kepada kedua orang tua, mendamaikan perseteruan dua manusia, memberi nasihat yang baik, memberikan pendapat yang tepat, tolong-menolong dalam menunaikan kebaikan dan takwa, menunjukkan yang keji dan mencelanya, dan termasuk mengarahkan orang lain agar mendapatkan kebaikan dalam urusan dunia maupun urusan akhiratnya. Semua itu termasuk bentuk kebaikan yang dianjurkan oleh Islam. Alloh azza wajalla berfirman (artinya):
Sesungguhnya Alloh menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Alloh melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. an-Nahl [16]: 90)
Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ

“Sesungguhnya, Alloh mewajibkan berlaku baik dalam segala urusan.” (HR. Muslim1955)
Imam an-Nawawi rahimahullahu ta’ala tatkala mengomentari hadits ini berkata: “Hadits ini termasuk di antara hadits-hadits yang memuat kaidah-kaidah Islam.” (Syarah an-Nawawi 6/445)
Yaitu kaidah harus berbuat baik dalam segala perkara dan setiap urusan. Wallohu a’lam.
Bersungguh-sungguh dalam kebaikan
Dengan kesempurnaan hikmah-Nya azza wajalla, Alloh subhanahu wata’ala menetapkan bahwa tidak setiap orang yang menyatakan beriman dan berbuat kebajikan dengan mudahnya ia melakukan kebajikan dan iman yang ia nyatakan. Namun ada banyak rintangan dan ujian dari-Nya subhanahu wata’ala. Oleh karenanya, untuk berbuat kebajikan harus dikerahkan kesungguhan dan kesabaran. Setiap diri yang beriman harus bersungguh-sungguh dalam melakukan setiap kebajikan. Hal ini sebab Alloh azza wajalla akan menguji di antara hamba-hamba-Nya yang mengaku beriman dan hendak melakukan kebajikan untuk dinyatakan siapa di antara para hamba yang benar iman dan benar tekad berbuat kebajikannya. Alloh azza wajalla berfirman (artinya):
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka. Maka sesungguhnya Alloh mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (QS. al-Ankabut [29]: 2-3)
Alloh akan menguji setiap orang yang beriman dengan hal yang membahagiakan dan hal yang menyusahkan, dengan kemudahan maupun kesulitan, dengan rasa malas dan giat serta semangatnya, dengan kekayaan dan dengan kefaqirannya. Terkadang juga dengan musuh yang melawan, baik melawan dengan perbuatan atau yang melawan dengan perkataan. Semuanya adalah bentuk ujian yang kembalinya kepada ujian syubuhat yang menghadang lurusnya jalannya akidah, serta ujian syahwat yang menghadang jalannya kehendak dan kemauan.
Oleh karenanya, siapa saja yang tetap teguh imannya dan tidak guncang tatkala ujian syubuhat menimpanya, ia mampu menolaknya dengan kebenaran yang ia miliki, dan tetap teguh pendiriannya tatkala ujian syahwat yang menyerukan kemaksiatan dan dosa, atau hendak memalingkan dari berbuat ketaatan kepada Alloh dan Rosul-Nya, dia tetap melakukan keimanan dan bersungguh-sungguh melawan syahwatnya, hal ini menunjukkan benarnya imannya. Sebaliknya, siapa saja yang tatkala syubuhat mengusik hatinya dengan membisikkan keragu-raguan, dan tatkala syahwat menghadang jalannya dan memalingkannya menuju kemaksiatan atau membenturkannya dengan kewajiban-kewajiban, maka menunjukkan tidak benarnya imannya.
Jadi, manusia dalam hal ini tidak sama. Ada yang derajatnya lebih mulia, ada juga yang lebih rendah. Tidak ada yang mengetahui bilangannya selain Alloh subhanahu wata’ala. Ini menunjukkan wajibnya bersungguh-sungguh dalam kebajikan dan iman untuk mendapatkan tempat yang tinggi di sisi Alloh azza wajalla, di surga. Alloh azza wajalla juga berfirman (artinya):
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Alloh orang-orang yang berjihad di antaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar. (QS. Ali Imron [3]: 142)
Berjihad dapat berarti berperang untuk menegakkan Islam dan melindungi orang-orang Islam, juga berarti memerangi hawa nafsu dan memberantas yang batil dan menegakkan yang hak.
Bila berusaha berbuat kebajikan dengan dasar iman saja tidak lepas dari ujian yang mengukur kesungguhan dan benarnya iman, bagaimana seandainya seseorang tidak peduli dengan imannya dan tak perhatian dengan amalannya? Padahal Alloh azza wajalla berfirman (artinya):
Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Alloh, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Alloh itu pasti datang. Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakaya (tidak membutuhkan apapun) dari semesta alam. (QS. al-Ankabut [29]: 5-6)
Islam menyuruh kita menjauhi perilaku jail
Mengapa harus pakem dengan aturan syari’at? Mengapa kita tidak boleh melakukan apa yang kita sukai? Apa peduli kita dengan perbuatan kita? Yang sudah berlalu ya sudah, tinggal kenangan.
Begitu mungkin yang ada di benak dan pikiran sebagian kaum yang masih saja tak peduli dengan amalannya. Kebanyakan manusia yang kecenderungan keinginannya hanya untuk melakukan keburukan dengan kejahilannya serta melakukan berbagai kesalahan memang menyangka bahwa amal perbuatan mereka tak kan diperhitungkan, alias hanya berlalu begitu saja. Coba perhatikanlah firman Alloh azza wajalla berikut (artinya):
Ataukah orang-orang yang mengerjakan kejahatan itu mengira bahwa mereka akan luput (dari adzab) kami? Amatlah buruk apa yang mereka tetapkan itu. (QS. al-Ankabut [29]: 4)
Persangkaan bahwa Alloh azza wajalla akan mendiamkan dan melalaikan amal perbuatan mereka, dan bahwa mereka akan luput dari perhitungan, yang demikian itulah yang menjadikan mereka terus melakukan apa yang mereka lakukan dengan mudah dan ringannya. Padahal betapa buruk persangkaan mereka itu. Persangkaan itu berarti mengingkari takdir Alloh dan kuasa-Nya atas hamba-Nya. Mengingkari hikmah kekuasaan Alloh subhanahu wata’ala di atas makhluk-Nya. Semua itu sebab kejahilan seorang hamba atas Penciptanya, Alloh azza wajalla. Sebab itulah Islam mengharamkan seluruh bentuk kejailan.
Kejailan melemahkan iman
Dalam sebuah hadits dari Abu Syuraih radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

واللهِ لَا يُؤْمِنُ واللهِ لَا يُؤْمِنُ واللهِ لَا يُؤْمِنُ . قِيْلَ وَمَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ : اَلَّذِيْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

“Demi Alloh, tidaklah beriman! Demi Alloh, tidaklah beriman! Demi Alloh, tidaklah beriman!” Ditanyakan oleh para sahabat: “Siapa wahai Rosululloh?” Beliau bersabda: Orang yang siapa saja yang ada di sisinya tidak merasa aman dari bawa’iq-nya. (HR. al-Bukhori 5670)
Disebutkan bahwa makna bawa’iq ialah bentuk plural dari ba’iqoh, artinya kezholiman dan kekejian serta segala sesuatu yang menyakitkan. Bisa dipahami bahwa semua makna di atas kembali kepada makna kejailan.
Lalu perhatikanlah, bagaimana Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan bahwa kejailan itu akan melemahkan iman. Bahkan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersumpah demi Alloh azza wajalla sebanyak tiga kali akan berkurangnya iman pelaku kejailan tersebut. Naudzubillahi min dzalik.
Kejailan tidak dibalas dengan kejailan
Hal yang telah dimaklumi, bahwa siapa saja yang memerintahkan kebaikan tentu mendapati tantangan. Kebanyakan tantangan itu muncul dari orang-orang yang jahil terhadap ilmu. Oleh karenanya, apabila seseorang sedang mengajak manusia menuju jalan kebaikan lalu mendapatkan tantangan dari orang-orang jail, maka Alloh subhanahu wata’ala memerintahkan agar kejailan dibalas dengan berpaling saja dari mereka. Dia azza wajalla melarang kejailan dibalas dengan kejailan.
Oleh karenanya, siapa saja di antara kita yang sedang disakiti atau dijaili oleh orang lain dengan perkataannya dan atau perbuatannya, janganlah membalas dengan sesuatu yang mengganggunya. Terhadap siapa saja yang tidak mau memberimu jangan kamu balas dengan tidak mau memberinya, dan siapa saja yang memutuskan hubungan denganmu maka hubungilah, siapa saja yang berbuat curang terhadapmu maka balaslah dengan berbuat adil kepadanya. Oleh karenanya, Dia azza wajalla menyebutkan dalam akhir ayat di awal pembahasan di atas perintah agar berpaling dari kaum yang berlaku jail. Maksudnya, apabila ada seseorang yang jail yang melakukan aksi jailnya terhadap kita, hendaknya janganlah dibalas dengan kejailan serupa. Alloh azza wajalla juga berfirman di dalam ayat yang lain (artinya):
Dan hamba-hamba ar-Rohman (Alloh) ialah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati. Dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. (QS. al-Furqon [25]: 63)
Imam Mujahid (Tafsir al-Baghowi 6/93) menafsirkan kata ‘salaman dalam ayat tersebut dengan kata-kata yang sesuai dengan situasi dan kondisinya (sidadan minal qouli). Penafsiran ini dikuatkan oleh imam ath-Thobari rahimahullahu ta’ala (Tafsir ath-Thobari 19/34).
Tentulah bahwa yang dimaksudkan dengan perkataan yang sesuai dengan situasi dan kondisinya ialah perkataan yang selamat dari risiko, terutama risiko dosa dan risiko menjadikan orang jahil akan membalas dengan kejailan serupa atau lebih buruk lagi. (Tafsir al-Baghowi 6/93, as-Sa’di 1/586)
Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam berlindung dari kejailan
Sebagai penutup nasihat ini, kita perhatikan dengan mata hati nurani, bagaimana hamba yang mulia dan Rosul yang tak didustakan, yang akhlaknya ialah al-Qur’an, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, ternyata berlindung dari keburukan perilaku jail dan dijaili.
Di dalam sebuah do’a yang beliau panjatkan dengan kekhusyu’an dan kesungguhan seorang hamba yang meminta, sebagaimana yang dituturkan oleh istri beliau yang dicintai, Ummu Salamah radhiyallahu anha, beliau radhiyallahu anha menceritakan: “Tidaklah Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dari rumahku melainkan beliau angkat pandangannya ke langit seraya memanjatkan do’a:

« اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَضِلَّ أَوْ أُضَلَّ أَوْ أَزِلَّ أَوْ أُزَلَّ أَوْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ أَوْ أَجْهَلَ أَوْ يُجْهَلَ عَلَىَّ »

“Ya Alloh, sungguh aku berlindung dengan-Mu dari tersesat maupun disesatkan, dari tergelincir maupun digelincirkan dalam kesalahan, dari menganiaya maupun dianiaya, dan dari melakukan perbuatan orang-orang jahil maupun ditimpakan kejahilan atasku.” (HR. Abu Dawud 5094, at-Tirmidzi 3427, an-Nasa’i 8/268, Ibnu Majah 3884, dishohihkan oleh syaikh al-Albani rahimahullahu ta’ala di dalam Shohih at-Tirmidzi 3/152 dan Shohih Ibnu Majah 3/336)
Bila demikian, bagaimana dengan kita? Wallohu huwal hadi ila sabili rohmatihi.
Sumber : http://alghoyami.wordpress.com/


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers