Menjalin persatuan dan meninggalkan perpecahan merupakan salah satu prinsip dasar agama Islam dan tujuan syari’at yang mulia ini. Sungguh banyak sekali dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang memerintahkan kita untuk menjalin persaudaraan dan membangun persatuan. Di antaranya, firman Allah Ta’ala yang artinya: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” [QS. Ali ‘Imran: 103] Dan firman Allah Ta’ala yang artinya: “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” [QS. A-Hujurat: 10]

Dalam hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, ia tidak menzhaliminya, dan tidak membiarkannya untuk disakiti. Barangsiapa menolong saudaranya, maka Allah akan menolongnya; barangsiapa yang menghilangkan kesusahan seorang muslim, maka Allah akan menghilangkan salah satu dari kesusahannya pada hari kiamat; barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutup (aib)nya pada hari kiamat.” [HR. Bukhori dan Muslim]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Sesungguhnya orang mukmin dengan mukmin lainnya seperti satu bangunan yang saling menguatkan satu sama lain.” (kemudian) Beliau menganyam jari-jemarinya. [HR. Bukhori dan Muslim]
Persatuan juga merupakan tuntutan dan kebutuhan setiap insan karena manusia adalah makhluk sosial dan karena kemaslahatan hidup mereka di dunia dan akhirat sangat tergantung kepada kebersaman, kesatuan, dan sikap saling tolong menolong.
LANDASAN PERSATUAN
Persatuan adalah salah satu kewajiban agama, sama halnya dengan kewajiban agama lainnya. Sebagaimana landasan dalam beragama adalah Al-Qur’an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman salafush sholeh, begitu juga persatuan, ia wajib dibangun di atas Al-Qur’an dan Sunnah, serta akidah yang shohih (benar); bukan di atas slogan-slogan hizbiyyah, dan atribut-atribut jahiliyyah, serta prinsip-prinsip yang bid’ah (tidak ada landasannya dalam agama).
Al-Qur’an dan Sunnah, serta aqidah yang shohih, itulah yang akan menyatukan hati, visi, dan misi kita. Hal itulah yang akan merajut tali persahabatan dan kasih sayang, serta menjalin kebersamaan antara kaum Muslimin. Hal itu juga akan menyelamatkan mereka dari kesesatan. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian sesuatu yang sekiranya kalian berpegang teguh kepadanya, niscaya kalian tidak akan tersesat sepeninggalku, yaitu; Kitabullah dan Sunnahku”. [HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah]
Adapun selainnya yang berupa simbol-simbol yang menyelisihi syari’at dan prinsip-prinsip yang bertentangan dengan akidah islamiyyah, maka tidak lain keberadaannya hanya akan mempertajam perbedaan, memperluas perpecahan, serta memperdalam perselisihan, sebagaimana yang terjadi sebelumnya antara kaum jahiliyyah dan sekte-sekte yang menyimpang dari Sunnah. Imam Malik rahimahullah mengatakan: “Tidaklah menjadi baik (keadaan) akhir umat ini, kecuali apa yang telah menjadikan baik (keadaan) generasi sebelumnya.”
KIAT KIAT MEMBANGUN DAN MENJALIN PERSATUAN UMAT
Sebelum kita menjelaskan kiat-kiat untuk menjalin persatuan umat, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu dua perkara yang tidak boleh luput dari ingatan kita dalam mewujudkan seluruh kebaikan, yaitu;
Pertama: Bahwa seluruh kebaikan hanya ada di tangan Allah.
Di antara kebaikan tersebut adalah persatuan. Ia adalah nikmat yang mulia. Allah-lah yang menyatukan hati hamba-hamba-Nya. Allah Ta’ala yang artinya: “Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mukmin. Dan yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [QS. Al-Anfal: 62-63]
Kedua: Bersungguh-sungguh untuk mewujudkan persatuan dan menjalin kebersaman.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bersungguh-sungguhlah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu, dan mintalah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusanmu,) serta janganlah sekali-kali kamu merasa lemah.” [HR. Muslim]
Di antara faktor utama untuk menjalin persatuan umat sebagai berikut:
1- Do’a
Do’a adalah senjata kaum muslimin untuk mendapatkan kebaikan yang ada di sisi Allah Ta’ala. Allah-lah yang menyatukan hati hamba-hamba-Nya sebagaimana dalam ayat di atas. Diantara do’a tasyahhud yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para Sahabatnya.
2- Mengikuti sunnah
Sunnah adalah pemersatu, sebagaimana bid’ah (lawan dari sunnah) adalah pemecah-belah. Oleh karena itu, dinamakanlah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (persatuan) dan Ahlul Bid’ah wal Furqoh (perpecahan). Dalam hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya siapa yang masih hidup di antara kalian sepeninggalku, maka ia akan melihat perselisihan (perpecahan) yang banyak. Maka dari itu, wajib atas kalian berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafa-ur Rasyidin al-Mahdiyyin (para Khalifah yang lurus lagi mendapat petunjuk). Gigitlah Sunnah tersebut dengan gigi-gigi geraham (peganglah ia dengan erat). Dan berhati-hatilah terhadap perkara-perkara yang baru yang diada-adakan (dalam agama), karena sesungguhnya setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” [HR. Abu Dawud dan Tirmidzi]
3- Mengikuti jama’ah kaum muslimin dan mena’ati pemimpin.
Tidaklah tegak agama ini, kecuali dengan persatuan. Tidaklah terjalin persatuan, kecuali dengan adanya pemimpin. Dan tidaklah berarti seorang pemimpin, kecuali bila ia dita’ati. Maka tidak mungkin terjalin persatuan umat, kecuali jika setiap individu muslim mengikuti jama’ah kaum muslimin yang telah berbai’at kepada seorang imam (pemimpin), dan tidak memisahkan diri dari mereka, sekalipun pemimpin tersebut berbuat zhalim. Akan tetapi, hendaklah mereka bersabar atas hal itu karena sesuatu yang tidak diinginkan dalam jama’ah (persatuan), lebih baik daripada sesuatu yang disukai dalam perpecahan.
Oleh karenanya, terdapat dalam banyak hadits tentang perintah untuk mengikuti jama’ah dan mentaati pemimpin, serta tidak memisahkan diri dari ketaatan kepadanya, sekalipun ia berbuat zhalim. Di antaranya, hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Akan terjadi setelahku berbagai macam fitnah. Maka barangsiapa yang kalian lihat memisahkan diri dari jama’ah, atau ingin memecah belah umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedang mereka telah bersatu, maka bunuhlah dia siapapun orangnya. Karena sesungguhnya tangan Allah bersama jama’ah, dan sesungguhnya setan bersama orang yang memisahkan diri dari jama’ah.” [HR. Nasa-i dan Ahmad, dishohihkan Syaikh Albani]
Maksudnya, barangsiapa yang memisahkan diri dari jama’ah kaum muslimin, maka setan akan selalu bersamanya dan mengajaknya untuk selalu melakukan kejahatan serta mendorongnya untuk melakukan kerusakan dan kesesatan.
4- Mewaspadai sebab sebab munculnya perpecahan
Berikut ini sebagian faktor yang dapat menimbulkan perpecahan yang harus diketahui dan diwaspadai oleh kaum muslimin demi menjalin persatuan dan membangun persaudaraan di kalangan mereka.
a) Kebodohan
Kebodohan adalah faktor utama seluruh kejahatan, kerusakan dan kesesatan. Jika kebodohan telah merajalela,  maka akan muncul orang-orang jahil (bodoh) yang berbicara tentang agama. Mereka itu sesat dan menyesatkan. Sebagaimana dalam hadits, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus dari manusia. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu dengan cara memwafatkan para ulama, hingga apabila sudah tidak tersisa ulama, maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Ketika mereka ditanya, mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan.” [HR. Bukhari dan Muslim]
b) Fanatisme
Ia adalah salah satu corak kejahilan. Hakikatnya adalah menjadikan seseorang atau sesuatu (berupa aliran, madzhab, atau pemahaman) sebagai standarisasi untuk menilai kebenaran dan kebathilan, serta membangun di atasnya loyalitas dan permusuhan.
Dan apa yang terjadi dalam sepanjang sejarah kehidupan kaum muslimin, munculnya sekte-sekte dengan pemikiran yang berbeda-beda. Mereka fanatik terhadapan ideologi dan pemikirannya masing-masing. Mereka membangun loyalitas dan kasih sayang serta kebencian di atasnya, sehingga menjadikan mereka saling membenci, memvonis, dan mengkafirkan. Begitu juga apa yang terjadi pada setiap pengikut madzhab yang empat, mereka saling bermusuhan dan membenci disebabkan oleh sikap fanatisme mereka yang tercela. Kenyatan itu semua merupakan bukti nyata dan saksi jujur yang menjelaskan bahayanya sikap fanatisme, dikarenakan ia merupakan penyebab utama permusuhan, perpecahan dan kebencian di kalangan kaum muslimin terdahulu maupun dewasa ini.
c) Bid’ah
Bid’ah adalah sumber perpecahan dan permusuhan, sebagaimana sunnah adalah faktor persatuan dan kebersamaan. Oleh karenanya, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi di atas) mengabarkan akan terjadinya perpecahan yang banyak, Beliau memperingatkan umat dari perbuatan bid’ah. Hal ini menjelaskan apabila muncul bid’ah, maka akan terjadi perpecahan (permusuhan). Sebaliknya, apabila muncul sunnah maka akan terwujud persatuan.
d) Berpegang kepada akal dan mengedepankannya di atas dalil
Akal berfungsi sebagai alat untuk memahami, bukan sebagai dalil dan sumber pengambilan hukum dalam agama. Oleh karenanya, Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat bahwa sumber pengambilan hukum dalam agama bukanlah akal, melainkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman salafush sholeh. Adapun berpegang kepada akal dan mengedepankannya di atas naql (dalil), hal itu merupakan faktor kesesatan dan perpecahan. Hal itu dikarenakan setiap individu manusia mempunyai akal yang berbeda-beda. Jika kita berpegang kepada akal, maka akal siapakah yang akan dijadikan sebagai pegangan dan rujukan?? Namun sebaliknya, jika kita berpegang kepada dalil (wahyu) yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, tentu akan terwujudnya persatuan. Karena di dalam wahyu tidak terdapat kontroversi sedikitpun, sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya: “Sekiranya Al Qur’an datang dari selain Allah, tentu kamu akan dapatkan di dalamnya perbedaan yang banyak.” [QS. An-Nisa’: 82]
Inilah faktor utama dan rahasia persatuan dan kebersamaan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mereka seluruhnya bersatu untuk kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Lain halnya dengan ahlul bid’ah, mereka kembali kepada akal, logika, dan analogi semata, serta menjadikannya sebagai landasan dalam beragama untuk menimbang Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan itulah faktor utama dan rahasia perpecahan dan kebencian antara ahlul bid’ah.
Jadi, untuk menjalin persatuan dan membangun kebersamaan, kita wajib kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah dan meninggalkan akal dan logika semata.
Semoga Allah Ta’ala selalu membimbing kita dan seluruh kaum muslimin untuk berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman salafush sholeh karena hal ini merupakan faktor utama berjayanya kaum muslimin dan bersatunya mereka. Semoga Allah Ta’ala juga selalu melindungi kita semua dari perkara bid’ah yang merupakan sebab terbesar timbulnya perpecahab, kebencian, dan kehinaan.
Wallaahu a’lam.
Diringkas dari makalah Tabligh Akbar “Persatuan Umat, antara Harapan dan Kenyataan” yang telah diselengarakan di Masjid al-Qolam UNMUH Jember, pada 21 Rabiul Akhir 1432 H oleh DR. Muhammad Nur Ihsan, M.A.




Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers