Di susun oleh: Abu Ammar al-Ghoyami
Add caption

Keluarga Bahagia
Pembahasan kita kali ini adalah pembahasan yang sangat penting karena keutamaan bab yang kita bahas ini sangat banyak. Bab ini ialah bab yang membahas apa yang pernah disabdakan oleh Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam:

{ أما والله إني لأخشاكم لله، وأتقاكم له، لكني أصوم وأفطر، وأصلي وأرقد، وأتزوج النساء، فمن رغب عن سنتي فليس مني } [متفق عليه].

‘Demi Alloh, ketahuilah, aku adalah orang yang paling takut dan paling bertaqwa kepada Alloh, namun begitu aku pun terkadang berpuasa (sunnah) dan terkadang tidak berpuasa, (waktuku kubagi untuk) sholat dan tidur, dan akupun menikahi beberapa kaum wanita, maka siapa yang membenci sunahku ia bukan termasuk golonganku’ (Muttafaqun alaihi)
Iya. Bab yang kita bahas adalah bab rumah tangga yang di awali dengan sebuah pernikahan. Bab ini penting sebab pernikahan merupakan sunnah Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam yang tiada seorang muslim pun yang boleh membencinya lalu meninggalkannya. Sebagaimana dalam sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam di atas.

Selain itu, pembahasan rumah tangga ialah pembahasan tentang dunia pernikahan yang sangat luas dan komplek permasalahannya. Dan pernikahan merupakan bentuk pemenuhan seruan Alloh, Dzat Mahamencipta azza wajalla yang berfirman:
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS an-Nur 32)
Sedemikian pentingnya pernikahan ini, sampai Alloh azza wajalla menjamin kecukupan hidup bagi siapa saja yang menikah karena-Nya subhanahu wata’ala. Yaitu yang segera menikah karena hendak memelihara diri dari bermaksiat kepada-Nya azza wajalla. Sebagaimana jelas disebutkan di dalam firman-Nya di atas. Seperti yang hendak menikah sebab ingin menahan diri dari seruan nafsu syahwatnya terhadap wanita, dan lainnya.
Namun hal ini bukan berarti bahwa pernikahan itu dilangsungkan hanya untuk mengharap kecukupan hidup semata. Apalagi hanya diharapakan kecukupan materi, alias harta. Kehidupan yang ideal setelah pernikahan bukan terletak pada materi. Oleh karenanya kebahagiaan hidup berumah tangga pun tidak didasarkan kepadanya, namun didasarkan pada ada atau tidak adanya sakinah, mawaddah dan rohmah dalam rumah tangga tersebut.
Rumah Tangga Ideal
Rumah tangga ideal ialah yang terwujud padanya nilai-nilai agung dalam firman Alloh subhanahu wata’ala:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS.ar-Rum[30]: 21)
Syeikh Abdurrohman as-Sa’di berkata: .. supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang…dengan adanya beberapa hal yang terwujud atas adanya pernikahan yang menjadi sebab-sebab mawaddah, cinta dan rohmah kasih sayang. Dimana dengan adanya istri terdapat kesenangan bersama, kelezatan serta manfaat yang didapatkan dengan adanya anak-anak serta mendidik mereka. terdapat pula ketenangan jiwa terhadap istri, yang tidak didapati mawaddah, cinta dan rohmah, kasih sayang antara siapa saja umumnya sebagaimana antara dua orang pasutri”
Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَمْ يُرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلُ النِّكَاحِ

Tidak pernah didapati bunga-bunga cinta antara dua orang yang memadu cinta sebagaimana pada dua orang yang telah menikah[1]
Sementara kita semua maklum, bahwa ketenangan jiwa, ketentramannya, serta cinta dan kasih sayang itu tak bisa dibeli dengan materi. Bahkan sebaliknya, semua itu bisa saja dimiliki oleh mereka-mereka yang hidup berumah tangga meski dengan sedikit materi atau tanpanya sekali pun. Hal ini menunjukkan bahwa kebahagaiaan hidup berumah tangga dan kesejahteraannya tidak diukur dengan banyak atau sedikitnya harta.
Kebahagiaan dan Kesejahteraan Keluarga Muslim
Banyak orang menyangka bahwa kebahagiaan keluarga muslim dan kesejahteraannya di ukur dengan materi. Artinya mereka berpendapat bahwa apabila ada materi keluarga pun akan bahagaia dan sejahtera dan apabila tidak ada maka tidak ada pula kebahagaiaan dan kesejahteraan. Benarkah pernyataan dan pemahaman demikian?
Disebutkan oleh Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa standar kebahagiaan dan kesejahteraan ideal seorang mukmin ada pada empat perkara. Beliau bersabda:

أربع من السعادة : المرأة الصالحة ، والمسكن الواسع ، والجار الصالح ، والمركب الهنيء ، وأربع من الشقاوة : الجار السوء ، والمرأة السوء ، والمسكن الضيق ، والمركب السوء

“empat perkara standar kebahagiaan; istri sholihah, tempat tinggal yang lapang, tetangga yang baik, dan kendaraan yang nyaman. Dan empat perkara standar kesengsaraan; tetangga yang buruk (akhlak), istri yang buruk (akhlak), tempat tinggal yang sempit, dan kendaraan yang buruk” (Shohih ibnu Hibban no:  4107, dishohihkan oleh al-Albani dalam shohihut targhib no: 2576)
Namun itu adalah standar umumnya, bukan yang harus. Artinya umumnya sebuah keluarga apabila ada empat hal tersebut akan bahagia, meski ada, dan mungkin banyak juga keluarga yang keempat hal tersebut ada papadanya namun tidak terwujud di dalamnya kebahagiaan dan kesejahteraan.
Ini menunjukkan bahwa keempat hal tersebut bukan hal yang menentukan sebuah kepastian. Oleh karenanya Alloh tidak menjadikan kaum mukminin seluruhnya memiliki empat hal tersebut. Dan Dia azza wajalla pun tidak menjadikan seluruh kaum mukminin miskin dari keempat hal tersebut. Namun ada sebagian yang memiliki seperti ada pula sebagiannya yang lain yang tidak memilikinya. Namun tetap saja banyak di antara rumah tangga dari masing-masing keadaan tersebut yang juga bisa meraup kebahagiaan.
Oleh karena itulah di dalam riwayat yang lain, beliau menyebutkan standar minimal kebahagiaan seorang mukmin dengan sabda beliau:

مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا بِحَذَافِيرِهَا

“siapa yang berpagi-pagi dalam keadaan aman pada rumah, harta, dan keluarganya, sehat badannya, memiliki bekal makanan yang cukup di hari itu, seolah-olah dunia telah dikumpulkan buatnya seluruhnya” (HR Tirmidzi no: 2346, dihasankan oleh al-Albani dalam shohihut targhib no: 833)
Artinya, bahwa tanpa sesuatu atau materi yang lebih melebihi kebutuhan sehari saja pun seorang yang beriman akan bisa meraup kebahagiaan dan kesejahteraan. Ini jelas sekali menunjukkan bahwa kebahagiaan dan kesehjahteraan itu tidak di ukur dengan materi. Oleh karena itu, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyebutkan standar kebahagiaan dan kesejahteraan seorang mukmin terkait dengan materi, namun kebahagiaan dan kesejahteraan seorang mukmin sangat terkait dengan qona’ah hati.
Diriwayatkan dari Abu Huroiroh radhiyallahu anhu, bahwa Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

« لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ »

“kecukupan bukan pada banyaknya harta, namun kecukupan itu adalah kecukupan jiwa” (HR Bukhori no: 6081 dan Muslim no: 1051)
Jadi, kebahagiaan sebuah keluarga muslim terletak pada qona’ah, terletak pada ada dan tidak adanya iman dan taqwa. Semakin kuat iman dan semakin tinggi takwa, semakin bahagia dan sejahteralah sebuah keluarga. Dan sebaliknya, semakin rapuh iman dan semakin lemah taqwa, sebanyak apapun materi yang telah dikumpulkan kiranya takkan bisa membeli kebahagiaan dan kesejahteraan. Ini disebabkan telah hilangnya jiwa qona’ah mereka.
Boleh juga dikatakan, bahwa tidak akan mendapatkan kebahagiaan selain  sebuah rumah tangga yang dibangun di atas asas islam. Ialah rumah tangga muslim yang beriman dan bertaqwa. Itulah rumah tangga yang akan berbahagia dan sejahtera.
Allohumma, ya Alloh. Karuniakanlah kepada keluarga kami kebahagiaan dan kesejahteraan sebagaimana yang Engkau kehendaki, bukan kebahagiaan dan kesejahteraan yang banyak diimpikan manusia. Amin.

[1] HR. Ibnu Majah (no: 1847), al-Hakim (II/160), dan al-Baihaqi (VII/78) dishohihkan oleh Syeikh al-Albani v\ dalam Shohih Ibnu Majah (no: 1497)
sumber: http://alghoyami.wordpress.com/


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers