Penulis: Al Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi hafizhahullah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), imunisasi diartikan  “pengebalan” (terhadap penyakit). Kalau dalam istilah kesehatan,  imunisasi diartikan pemberian vaksin untuk mencegah terjadinya penyakit  tertentu. Biasanya imunisasi bisa diberikan dengan cara disuntikkan  maupun diteteskan pada mulut anak balita (bawah lima tahun).
Vaksin adalah bibit penyakit (misal cacar) yang sudah dilemahkan,  digunakan untuk vaksinasi.2 Vaksin membantu tubuh untuk menghasilkan  antibodi. Antibodi ini berfungsi melindungi terhadap penyakit. Vaksin  tidak hanya menjaga agar anak tetap sehat, tetapi juga membantu membasmi  penyakit yang serius yang timbul pada masa kanak-kanak.
Imunisasi memiliki beberapa jenis, di antaranya Imunisasi BCG,  Imunisasi DPT, Imunisasi DT, Imunisasi TT, imunisasi Campak, Imunisasi  MMR, Imunisasi Hib, Imunisasi Varicella, Imunisasi HBV, Imunisasi  Pneumokokus Konjugata. Perinciannya bisa dilihat dalam buku-buku  kedokteran, intinya jenis imunisasi sesuai dengan penyakit yang perlu  dihindari.
Vaksin secara umum cukup aman. Keuntungan perlindungan yang diberikan  vaksin jauh lebih besar daripada efek samping yang mungkin timbul.  Dengan adanya vaksin maka banyak penyakit masa kanak-kanak yang serius,  yang sekarang ini sudah jarang ditemukan.3
Jadi, imunisasi merupakan penemuan kedokteran yang sangat bagus dan  manfaatnya besar sekali dalam membentengi diri dari berbagai penyakit  kronis, padahal biayanya relatif murah.4
Hukum Asal Imunisasi
Imunisasi hukumnya boleh dan tidak terlarang, karena termasuk penjagaan diri dari penyakit sebelum terjadi. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang memakan tujuh butir kurma ajwah, maka dia akan terhindar sehari itu dari racun dan sihir”(HR. Bukhari : 5768, Muslim : 4702).
Hadits ini menunjukkan secara jelas tentang disyari’atkannya  mengambil sebab untuk membentengi diri dari penyakit sebelum terjadi.5  Demikian juga kalau dikhawatirkan terjadi wabah yang menimpa maka  hukumnya boleh sebagaimana halnya boleh berobat tatkala terkena  penyakit.6
Penggunaan Vaksin Polio Khusus (IPV)
Setelah sekelumit informasi tantang imunisasi di atas, sekarang kita  masuk kepada permasalahan inti yang menjadi polemik hangat akhir-akhir  ini, yaitu imunisasi dengan menggunakan vaksin polio khusus (IPV) yang  dalam proses pembuatannya menggunakan enzim yang berasal dari babi.  Bagaimanakah gambaran permasalahan yang sebenarnya ? Dan bagaimanakah  status hukumnya?
A.Gambaran Permasalahan
Berdasarkan surat Menteri Kesehatan RI Nomor: 1192/MENKES/IX/2002,  tanggal 24 September 2002, serta penjelasan Direktur Jenderal  Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman  Departemen Kesehatan, Direktur Bio Farma, Badan POM, LP POM-MUI, pada  rapat Komisi Fatwa, Selasa, 1 Sya’ban 1423 / 8 Oktober 2002; dapat  diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.Pemerintah saat ini sedang berupaya melakukan pembasmian penyakit  polio dari masyarakat secara serentak dengan cara pemberian dua tetes  vaksin Polio oral (melalui saluran pencernaan).
2.Penyakit (virus) Polio, jika tidak ditanggulangi, akan menyebabkan cacat fisik (kaki pincang) pada mereka yang menderitanya.
3.Terdapat sejumlah anak balita yang menderita immunocompromise (kelainan sistem kekebalan tubuh) yang memerlukan vaksin khusus yang diberikan secara injeksi (vaksin jenis suntik).
4.Jika anak-anak yang menderita immunocompromise tersebut  tidak diimunisasi maka mereka akan menderita penyakit Polio serta sangat  dikhawatirkan pula mereka akan menjadi sumber penyebaran virus.
5.Vaksin khusus tersebut (IPV) dalam proses pembuatannya menggunakan enzim yang berasal dari porcine (babi), namun dalam hasil akhir tidak terdeteksi unsur babi.
6.Sampai saat ini belum ada IPV jenis lain yang dapat menggantikan  vaksin tersebut dan jika diproduksi sendiri maka diperlukan investasi  (biaya/modal) sangat besar sementara kebutuhannya sangat terbatas. 7
B.Jembatan Menuju Jawaban
Untuk sampai kepada status hukum imunisasi model di atas, kami memandang  penting untuk memberikan jembatan terlebih dahulu dengan memahami  beberapa masalah dan kaidah berikut, setelah itu kita akan mengambil  suatu kesimpulan hukum.5
1.Masalah Istihalah
Maksud Istihalah di sini adalah berubahnya suatu benda yang  najis atau haram menjadi benda lain yang berbeda nama dan sifatnya.  Seperti khamr berubah menjadi cuka, bai menjadi garam, minyak menjadi  sabun, dan sebagainya.9
Apakah benda najis yang telah berubah nama dan sifatnya tadi bisa  menjadi suci? Masalah ini diperselisihkan ulama, hanya saya pendapat  yang kuat menurut kami bahwa perubahan tersebut bisa menjadikannya suci,  dengan dalil-dalil berikut :
a.Ijma’ (kesepakatan) ahli ilmu bahwa khamr apabila berubah menjadi cuka maka menjadi suci.
b.Pendapat mayoritas ulama bahwa kulit bangkai bisa suci dengan disamak, berdasarkan sabda Nabi “ Kulit bangkai jika disamak maka ia menjadi suci.” ( Lihat Shohihul-Jami’ : 2711)
c.Benda-benda baru tersebut – setelah perubahan – hukum asalnya adalah  suci dan halal, tidak ada dalil yang menajiskan dan mengharamkannya.
Pendapat ini merupakan madzhab Hanafiyyah dan Zhahiriyyah[10], salah  satu pendapat dalah madzhab Malik dan Ahmad[11]. Pendapat ini dikuatkan  oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah[12], Inul Qoyyim, asy-Syaukani[13],  dan lain-lain.[14]
Alangkah bagusnya ucapan Imam Ibnul-Qoyyim : “Sesungguhnya benda suci  apabila berubah menjadi najis maka hukumnya najis, seperti air dan  makanan apabila telah berubah menjadi air seni dan kotoran. Kalau benda  suci bisa berubah najis, lantas bagaimana mungkin benda najis tidak bisa  berubah menjadi suci? Allah telah mengeluarkan benda suci dari kotoran  dan benda kotor dari suci. Benda asal bukanlah patokan. Akan tetapi,  yang menjadi patokan adalah sifat benda tersebut sekarang. Mustahil  benda tetap dihukumi najis padahal nama dan sifatnya telah tidak ada,  padahal hukum itu mengikuti nama dan sifatnya.”[15]
2.Masalah Istihlak
Maksud Istihlak di sini adalah bercampurnya benda haram atau  najis dengan benda lainnya yang suci dan hal yang lebih banyak sehingga  menghilangkan sifat najis dan keharamannya, baik rasa, warna, dan  baunya.
Apabila benda najis yang terkalahkan oleh benda suci tersebut bisa  menjadi suci? Pendapat yang benar adalah bisa menjadi suci, berdasarkan  dalil berikut :
“Air itu suci, tidak ada yang menajiskannya sesuatu pun.” (Shohih. Lihat Irwa’ul-Gholil:14)
“Apabila air telah mencapai dua qullah maka tidak najis.” (Shohih. Lihat Irwa’ul-Gholil:23).
Dua hadits di atas menunjukkan bahwa benda yang najis atau haram  apabila bercampur dengan air suci yang banyak, sehingga najis tersebut  lebur tak menyisakn warna atau baunya maka dia menjadi suci.  Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Barang siapa yang memperhatikan  dalil-dalil yang disepakati dan memahami rahasia hukum syari’at, niscaya  akan jelas baginya bahwa pendapat ini paling benar, sebab najisnya air  dan cairan tanpa bisa berubah, sangat jauh dari logika.”[16]
Oleh karenanya, seandainnya ada seseorang yang meminum khomr yang bercampur dengan air yang banyak sehingga sifat khamr-nya  hilang maka dia tidak dihukumi minum khomr. Demikian juga, bila ada  seorang bayi diberi minum ASI (air susu ibu) yang telah bercampur dengan  air yang banyak sehingga sifat susunya hilang maka dia tidak dihukumi  sebagai anak persusuannya.”[17]
3.Darurat dalam Obat
 Dharurah (darurat) adalah suatu keadaan terdesak untuk  menerjang keharaman, yaitu ketika seorang memilki keyakinan bahwa  apabila dirinya tidak menerjang larangan tersebut niscaya akan binasa  atau mendapatkan bahaya besar pada badanya, hartanya atau kehormatannya.  Dalam suatu kaidah fiqhiyyah dikatakan:
“Darurat itu membolehkan suatu yang dilarang”
Namun kaidah ini harus memenuhi dua persyaratan: tidak ada pengganti lainya yang boleh (mubah/halal) dan mencukupkan sekadar untuk kebutuhan saja.
Oleh karena itu, al-Izzu bin Abdus Salam mengatakan : “Seandainya  seorang terdesak untuk makan barang najis maka dia harus memakannya,  sebab kerusakan jiwa dan anggota badan lebih besar daripada kerusakan  makan barang najis.”[20]
4.Kemudahan Saat Kesempitan
Sesungguhnya syari’at islam ini dibangun di atas kemudahan. Banyak  sekali dalil-dalil yang mendasari hal ini, bahkan Imam asy-Syathibi  mengatakan: “Dalil-dalil tentang kemudahan bagi umat ini telah mencapai  derajat yang pasti”.[20]
Semua syari’at itu mudah. Namun, apabila ada kesulitan maka akan ada  tambahan kemudahan lagi. Alangkah bagusnya ucapan Imam asy-Syafi’i  tatkala berkata :
“Kaidah syari’at itu dibangun (di atas dasar) bahwa segala sesuatu apabila sempit maka menjadi luas.”[21]
5.Hukum Berobat dengan sesuatu yang Haram
Masalah ini terbagi menjadi dua bagian :
a.Berobat dengan khamr adalah haram sebagaimana pendapat mayoritas ulama, berdasarkan dalil :
“Sesungguhnya khomr itu bukanlah obat melainkan penyakit.” (HR. Muslim:1984)
Hadist ini merupakan dalil yang jelas tentang haramnya khamr dijadikan sebagai obat.22
b.Berobat dengan benda haram selain khamr. Masalah ini diperselisihkan ulama menjadi dua pendapat :
Pertama : Boleh dalam kondisi darurat. Ini pendapat  Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Ibnu Hazm.23 Di antara dalil mereka adalah  keumuman firman Allah : “… Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya….” (QS. Al- An’am [6]:119)
Demikian juga Nabi membolehkan sutera bagi orang yang terkena  penyakit kulit, Nabi membolehkan emas bagi sahabat arfajah untuk  menutupi aibnya, dan bolehnya orang yang sedang ihrom untuk mencukur  rambutnya apabila ada penyakit di rambutnya.
Kedua: Tidak boleh secara mutlak. Ini adalah madzab Malikiyyah dan Hanabillah.24 Di antara dalil mereka adalah sabda Nabi :“Sesungguhnya allah menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah dan jangan berobat dengan benda haram” (ash-Shohihah:4/174)
Alasan lainnya karena berobat hukumnya tidak wajib menurut jumhur  ulama, dan karena sembuh dengan berobat bukanlah perkara yang yakin.
Pendapat yang kuat: Pada asalnya tidak boleh berobat  dengan benda-benda haram kecuali dalam kondisi darurat, yaitu apabila  penyakit dan obatnya memenuhi kriteria sebagai berikut :
1)Penyakit tersebut penyakit yang harus diobati
2)Benar-benar yakin bahwa obat ini sangat bermanfaat pada penyakit tersebut.
3)Tidak ada pengganti lainnya yang mubah.25
6.Fatwa-fatwa
Dalam kasus imunisasi jenis ini, kami mendapatkan dua fatwa yang kami pandang perlu kami nukil di sini :
a.Fatwa Majelis Eropa Lil-Ifta’ wal-Buhuts
Dalam ketetapan mereka tentang masalah ini dikatakan: “Setelah Majelis  mempelajari masalah ini secara teliti dan menimbang tujuan-tujuan  syari’at, kaidah-kaidah fiqih serta ucapan para ahli fiqih, maka Majelis  menetapkan :
1)Penggunaan vaksin ini telah diakui manfaatnya oleh kedokteran  yanitu melindungi anak-anak dari cacat fisik (kepincangan) dengan izin  Allah. Sebagaimana belum ditemukan adanya pengganti lainnya hingga  sekarang. Oleh karena itu, menggunakannya sebagai obat dan imunisasi  hukumnya boleh, karena bila tidak maka akan terjadi bahaya yang cukup  besar. Sesungguhnya pinti fiqih luas memberikan toleransi dari perkara  najis- kalau kita katakan bahwa cairan (vaksin) itu najis- apabila  terbukti bahwa cairan najis ini telah lebur denga memperbanyak  benda-benda lainnya. Ditambah lagi bahwa keadaan ini masuk dalam  kategori darurat atau hajat yang sederajat dengan darurat, sedangkan  termasuk perkara yang dimaklumi bersama bahwa tujuan syari’at yang  paling penting adalah menumbuhkan maslahat dan membedung mafsadat.
2)Majelis mewasiatkan kepada para pemimpin kaum muslimin dan pemimpin  markaz agar mereka tidak bersikap keras dalam masalah ijtihadiyyah  (berada dalam ruang lingkup ijtihad) seperti ini yang sangat membawa  maslahat yang besar bagi anak-anak muslim selagi tidak bertentangan  dengan dalil-dalil yang jelas.26
b.Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia)
Majelis Ulama Indonesia dalam rapat pada 1 Sya’ban 1423H, setelah mendiskusikan masalah ini mereka menetapkan :
1). Pada dasarnya, penggunaan obat-obatan, termasuk vaksin, yang  berasal dari – atau mengandung- benda najis ataupun benda terkena najis  adalah haram.
2). Pemberian vaksin IPV kepada anak-anak yang menderita  immunocompromise, pada saat ini, dibolehkan, sepanjang belum ada IPV  jenis lain yang suci dan halal.27
C.Kesimpulan dan Penutup 
Setelah keterangan singkat di atas, kami yakin pembaca sudah bisa  menebak kesimpulan kami tentang hukum imunisasi IPV ini, yaitu kami  memandang bolehnya imunisasi jenis ini dengan alasan-alasan sebagai  berikut :
1.Imunisasi ini sangat dibutuhkan sekali sebagaimana penelitian ilmu kedokteran.
2.Bahan haram yang ada telah lebur dengan bahan-bahan lainnya.
3.Belum ditemukan pengganti lainnya yang mubah.
4.Hal ini termasuk dalam kondisi darurat.
5.Sesuai dengan kemudahan syari’at di kala ada kesulitan.
Demikianlah hasil analisis kami tentang masalah ini, maka janganlah  kita meresahkan masyarakat dengan kebingungan kita tentang masalah ini.  Namun seperti yang kami isyarakatkan di muka bahwa pembahasan ini  belumlah titik, masih terbuka bagi semuanya untuk mencurahkan  pengetahuan dan penelitian baik sari segi ilmu medis maupun ilmu syar’i  agar bisa sampai kepada hukum yang sangat jelas. Kita memohon kepada  Allah agar menambahkan bagi kita ilmu yang bermanfaat. Amin.
Daftar Referensi 
1.Ahkamul-Adwiyah Fi syari’ah Islamiyyah kar. Dr. Hasan bin ahmad al-Fakki, terbetin Darul-Minhaj, KSA, cet. Pertama 1425H.
2.Al-Mawad al-Muharromah wa Najasah fil Ghidza’wad-Dawa’ kar. Dr. Nazih ahmad, terbitan Darul –Qolam, damaskus, cet. Pertama 1425 H.
3.Fiqih Shoidali Muslimin kar. Dr. Kholid abu Zaid ath-Thomawi, terbitan Dar shuma’i, KSA, cet. Pertama 1428 H
4.Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
5.dan lain-lain
Catatan Kaki :
1.Al-Mawad al-Muharromah wan-Najasah Fil-Ghidza’ wad-Dawa’ kar. Dr. Nazih Hammad hlm. 7-8
2.KBBI Edisi Ke tiga Cetakan ketiga 2005 hlm. 1258.
3.Sumber: medicastore.com. Lihat pula al-Adwa kar. Ali al-Bar hlm. 126, Ahkamul Adwiyah Fi Syari’ah Islamiyyah kar. Dr. Hasan al-Fakki hlm. 128.
4.Ahkamu Tadawi kar. Ali al-Bar hlm. 22
5.Ibnul-Arobi berkata: “Menurutku bila seorang mengetahui sebab  penyakit dan khawatir terkena olehnya, maka boleh baginya untuk  membendungnya dengan obat.” (al-Qobas: 3/1129)
6.Majmu’ Fatawa wa Maqolat Syaikh Ibnu Baz: 6/26
7.Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia hlm. 369
8.Lihat Al-Mawad al-Muharromah wan-Najasah hlm. 16-38, Ahkamul Adwiyah Fi Syari’ah Islamiyyah hlm. 187-195, Fiqh Shoidali al-Muslim kar. Dr. Khalid abu Zaid hlm. 72-84.
9.Lihat Hasyiyah Ibni Abidin:1/210
10.Roddul-Mukhtar’: 1/217, al-Muhalla: 7/422
11.al-Majmu’: 2/572 dan al-Mughni: 2/503
12.Al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyyah hlm. 23
13.Sailul-Jarror: 1/52
14.Lihat masalah ini secara luas dalam kitab al-Istihalah wa ahkamuha Fil-Fiqh Islami kar. Dr. Qodhafi ‘Azzat al-Ghonanim.
15.I’lamul-Muwaqqi’in: 1/394
16.Majmu’ Fatawa: 21/508, al-Fatawa al-Kubro: 1.256
17.Al-Fatawa al-Kubro kar. Ibnu Taimiyyah: 1/143, Taqrirul-Qowa’id kar. Ibnu Rojab: 1/173
18.Al-asybah wan-Nazho’ir Ibnu Nujaim hlm. 94 dan al-Asybah wan-Nazho’ir as-Suyuthi hlm. 84
19.Qowa’idul-Ahkam hlm. 141
20.Al-Muwafaqot kar. Asy-Syathibi: 1/231
21.Qowa’idul-Ahkam hlm. 60
22.Syarh Shahih Muslim kar. An-Nawawi: 13/153, Ma’alim Sunan kar. Al-Khoththobi: 4/205
23.Lihat Hasyiyah Ibni Abidin: 4/215, al-Majmu’ kar. An-Nawawi: 9/50, al-Muhalla kar. Ibnu Hazm: 7/426
24.Lihat al-Kafi kar. Ibnu Abdil Barr hlm. 440, 1142, al-Mughni kar. Ibnu Qudamah: 8/605
25.Ahkamul Adwiyah Fi Syari’ah Islamiyyah hlm. 187.
26.Website Majlis Eropa Lil Ifta’wal Buhuts/www.e-cfr.org, dinukil dari kitab Fiqh Shoidali al-Muslim hlm. 107.
27.Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia hlm. 370.
[Sumber : Majalah Al Forqan, Edisi 05 Th. ke - 8 1429 H/2008 M, oleh : Al Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidaw}
Free Template Blogger
collection template
Hot Deals
BERITA_wongANteng
SEO
theproperty-developer
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.
Jumlah Pengunjung
Blog Archive
- 
▼ 
2011
(1346)
- 
▼ 
August
(158)
- Menyatukan Hari Raya
- Fatwa-Fatwa Seputar Berhari Raya dengan Pemerintah
- Salah Memaknai Idul Fitri
- Hari Raya dan Makna Dalam Islam
- Orang Yang Berbahagia di Hari Raya
- Etika Makan ( dalam Perspektif Al Qur'an dan As Su...
- Prinsip Ahlus Sunnah Wal Jama'ah dalam Masalah Die...
- Jangan Biarkan Hati Menderita Karena Hasad
- Koreksi Terhadap Sebagian Adat yang Digiatkan di B...
- Keutamaan Ilmu Syar'i dan Mempelajarinya
- Berbahagialah Mengemban Amanah
- Bimbimgan Berhari Raya Idul Fitri
- Kata Mutiara dari Al Quran dan Hadist
- Peran Keluarga Dalam Pertumbuhan Anak
- Enam Keistimewaan Wanita di Surga
- Jaminan Masuk Syurga yang Mengikuti Paham Ahlus Su...
- Lupa Bernazar?????
- Bolehkah Meletakkan Musyaf di Lantai??
- Kadar Zakat Fitrah
- Penjelasan Serba Serbi Lailatul Qadar
- Saat Sholat,Kencing Keluar Sedikit
- Perbedaan Zakat Fitrah dan Zakat Fitri
- Ketika Agama Telah Mengharamkan
- Jika Mengeluarkan Mani saat Puasa Ramadhan
- Jika Membayar Fidyah tidak Boleh dengan Uang
- Lailatul Qadar untuk Wanita Haid
- Ijab Qabul Harus Satu Nafas
- Minta Fatwa pada Hatimu
- 1 Kesulitan, 2 Kemudahan
- Nasihat Syaikh Rabi’ Al-Madkhali bagi Salafiyin: J...
- Dahsyatnya Ibadah Di Kala “Kelalaian” Mendominasi ...
- Berkat Takwa bagi Orang Yang lalai
- Kemuliaan Ilmu Atas Harta
- BERHAJI DI BAWAH BIMBINGAN RASULULLAH
- Hukum Membaca Al Qur'an Melalui Komputer Atau Mush...
- Menyambut Hari Fithri
- Waktu-Waktu Terkabulnya
- Seseorang Berhubungan dengan Istrinya Waktu Siang ...
- Imunisasi Dengan Vaksinnya Dari Enzim Babi
- Penyesalan Berkepanjangan
- Seputar I’tikaf
- Bercanda Yang Syar'i
- Konsultasi Syariat: Tidak Diadzab Asal Tidak Syirik
- Pahala Kurban untuk orang yang sudah wafat
- Hukum I’tikaf di Selain Masjid yang Tiga
- Apakah Qunut Witir Hanya Dilakukan pada Setengah B...
- Bolehkah Menirukan Suara Dalam Shalat Tarawih?
- Bagaimana Ketaatan Kepada Ibu yang Beragama Katolik?
- Perlukah Membaca Basmalah Ketika Hendak Berwudhu?
- Semuanya Merugi Kecuali....
- Indahnya Pertemuan Itu
- Apa Hukum Sutrah dalam Shalat ?
- Ternyata Bukan Najis
- Fatwa-fatwa bagi Orang Sakit yang Ada di Rumah Sak...
- Pentingnya ilmu dalam pernikahan
- Adakah shalat taubat?
- Jangan salah meminta syafa'at
- Tahlilan Dalam Timbangan Islam
- Janganlah Buat Sia-Sia Puasamu
- Tugas-Tugas Seorang Mukmin di Bulan Ramadhan
- Mengenal Masjid Al Haram
- Jika Terlanjur Salah Dalam Mengeluarkan Zakat Kepa...
- Ada Apa Dengan Doaku?
- Hukum hormat bendera
- Kosakata Arab: Anggota Tubuh Manusia
- Melakukan Onani di Bulan Ramadan karena Tidak Tahu
- Kapan Harus Mulai Menghentikan Sahur?
- 7Tuduhan keji ahlul Kitab kepada para Nabi dan Rosul
- Cara Nyamuk Memilih Darah Manusia
- Fatwa Ulama Zakat Firi dalam bentuk Uang Tunai
- Waspadai studi islam di barat
- Nasehat pernikahan untuk putriku
- Aliran Sesat Disebut Menduiti
- Google Luncurkan Fitur Jadwal Waktu Salat Seluruh ...
- Apa Yang Harus Anda Lakukan Ketika Kondisi Berikut...
- Legalkah Hubungan Kami?
- Tanda Cinta Dari Sang Terkasih
- MERAIH AMPUNAN ALLAH AL-GHAFUR DI BULAN RAMADHAN Y...
- Waspada! Buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahab...
- Menimbang bisnis warnet
- Hal-Hal yang Dapat Mendukung Wanita untuk Mencapai...
- Ruginya Tidur Setelah Subuh
- Zakat Fitrah
- Ebook Gratis: “Mengapa Kita Shalat?” | Mengkritisi...
- Membelakangi Al-Quran, Masalah Besar
- Pacaran Saat Puasa
- Hukum Menunda Zakat sampai Ramadan
- Fidyah Tidak Boleh Diganti Uang
- Mendapat SIM Tanpa Sogok
- Ucapan “Alhamdulillah ‘ala Kulli Hal”
- Jangan Lupa Oleh-Oleh
- Kerusakan Petasan dan Kembang Api
- BOLEHKAH LAKI-LAKI MEMAKAI SUTERA “SINTETIS”? | Ba...
- Safar Maksiat
- keutamaan silaturahmi
- Menjawab Tuduhan Idahram: Siapakah Syaikh Muhammad...
- Konsumsi Obat Penghalang Haidh Ketika Ramadhan
- Hukum Shalat Sunnah Setelah Witir
- Hukum Orang Yang Tidak Mau Memaafkan
- Puasa Bagi Wanita Yang Baru Tahu Suci Setelah Subuh
 
 
- 
▼ 
August
(158)
 
 
 
 https://orcid.org/0000-0002-6047-3243
https://orcid.org/0000-0002-6047-3243