PRINSIP AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH DALAM MASALAH DIEN DAN IMAN
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Prinsip Ahlus Sunnah tentang iman adalah sebagai berikut: [1]
1. Iman adalah meyakini dengan hati, mengucapkannya dengan lisan dan mengamalkannya dengan anggota badan.
2. Amal perbuatan - dengan seluruh jenisnya yang meliputi amalan hati
dan anggota badanadalah bagian dari hakekat iman. Ahlus Sunnah tidak
mengecualikan amalan sekecil apa pun, apalagi amalan-amalan besar dan
agung.
3. Pemahaman yang menyatakan bahwa “iman adalah pembenaran dengan hati
saja”, bukan pemahaman Ahlussunnah! Begitu juga pemahaman yang
menyatakan bahwa “iman itu pembenaran dengan pengucapan lisan saja”
tanpa amalan anggota badan!” Barangsiapa berpendapat demikian, maka ia
telah sesat dan menyesatkan. Pemahaman seperti ini adalah paham sesat
aliran Murji’ah.
4. Iman memiliki cabang-cabang serta tingkatantingkatan. Sebagian di
antaranya jika ditinggalkan, maka bisa menyebabkan kekufuran; sebagian
yang lain jika ditinggalkan akan menimbulkan dosa –kecil atau besar-,
tapi tidak sampai kederajat kufur; dan sebagian yang lain jika
ditinggalkan akan menyebabkan hilangnya kesempatan memperoleh pahala
dan menyia-nyiakan ganjaran.
5. Iman akan bertambah dengan sebab perbuatan taat sehingga bisa
mencapai derajat sempurna. Dan iman dapat berkurang karena perbuatan
maksiat. Jika terus berkurang bisa menyebabkan iman menjadi sirna,
tidak tersisa sedikit pun.
6. Yang benar dalam masalah iman dan amal, serta hubungan antara
keduanya (dalam masalah pengurangan atau peningkatan iman, ada atau
sirnanya) yaitu yang terdapat dalam perkataan Syaikhul Islam. Perkataan
beliau rahimahullah : “Dasar keimanan itu ada dalam hati, yakni ucapan
dan amalan hati yang berupa pengakuan, pembenaran, cinta dan kepatuhan.
Iman yang berada dalam hati ini akan terlihat buktinya (konsekuensinya)
dalam amalan anggota badan. Jika konsekuensi iman ini tidak dikerjakan,
(maka ini menunjukkan imannya tidak ada atau lemah). Oleh karena itu
perbuatan fisik itu merupakan konsekuensi dan tuntutan keimanan hati.
Perbuatan fisik adalah salah satu bagian dari iman muthlaq (Iman yang
sempurna). Keimanan yang berada dalam hati adalah dasar (pokok)nya dari
amalan lahiriyah anggota badan.” [2]
7. Ahlus Sunnah tidak mengkafirkan Ahlul Qiblat (kaum Muslimin) secara
mutlak dengan sebab perbuatan maksiat dan dosa besar yang mereka
lakukan selama hati mereka tidak menghalalkan perbuatan maksiat
tersebut, sebagaimana yang dilakukan oleh Khawarij. Bahkan persaudaraan
iman mereka tetap terpelihara, meskipun berbuat maksiat. Allah Ta’ala
berfirman, yang artinya: “Dan jika ada dua golongan dari orang-orang
mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya.”[al-Hujurât: 9] [3]
Imam Abu Ja’far ath-Thahawi (wafat th. 321 H) rahimahullah berkata,
“Kami tidak mengkafirkan seorang pun dari ahli kiblat lantaran
dosa-dosa yang dilakukan, selama dia tidak menghalalkan perbuatan dosa
tersebut.” Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Bâz rahimahullah menjelaskan
perkataan Imam Abu Ja’far ath-Thahawi di atas, “Perkataan beliau, ‘Kami
tidak mengkafirkan seorang pun dari ahlul kiblat lantaran dosa yang
mereka kerjakan selama mereka tidak menghalalkannya.’ Maksud beliau
rahimahullah adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak mengkafirkan seorang
Muslim yang bertauhid serta beriman kepada Allah dan hari Akhir.
Seseorang tidak boleh divonis kafir hanya dikarenakan berbuat dosa,
misalnya berzina, minum khamr, riba, durhaka kepada kedua orang tua,
dan sejenisnya, selama pelakunya tidak menganggap perbuatan dosa itu
halal. Namun apabila pelakunya telah menganggap perbuatan dosa itu
halal, maka dia telah kafir. Karena dengan demikian berarti dia telah
mendustakan Allah dan Rasul-Nya serta keluar dari agama. Apabila dia
tidak menganggap perbuatan dosanya halal, (menurut pemahaman Ahlus
Sunnah wal Jama’ah) maka dia tidak bisa divonis kafir. Dia dianggap
seorang mukmin yang lemah imannya. Untuk orang ini, diberlakukan
hukuman pelaku kemaksiatan yaitu dinyatakan sebagai orang fasiq dan
ditegakkan hukuman hadd padanya, sebagaimana diatur dalam syari’at yang
suci. Inilah pernyataan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang berbeda dengan
pemahaman golongan Khawarij, Mu’tazilah, dan pengikut jalan mereka yang
batil.
Kaum Khawarij menganggap pelaku dosa besar telah kafir sedang
Mu’tazilah (tidak mengkafirkannya), namun menempatkannya pada
“manzilatun bainal manzilatain” yaitu berada di antara dua tempat,
yakni antara Islam dan Kafir di dunia. Namun mengenai akibat mereka di
akhirat, pendapat Mu’tazilah sama dengan pendapat Khawarij, yaitu
menganggap pelaku dosa besar akan kekal di Neraka. Pernyataan kedua
firqah tersebut adalah batil menurut penilaian al-Qur-an, as-Sunnah,
dan ijma’ salaful ummah. Pernyataan kedua firqah tersebut telah
meracuni sebagian manusia disebabkan ilmu mereka yang dangkal. Padahal
pernyataan kedua firqah tersebut terlihat jelas kesesatannya dalam
pandangan ahlul haq sebagaimana yang telah kami jelaskan, wabillâhit
taufîq. [4]
8. Ahlus Sunnah tidak menganggap bahwa orang Islam yang fasiq dalam
agama ini tidak memiliki iman sama sekali dan Ahlussunnah tidak
menghukuminya kekal dalam Neraka, sebagaimana yang dikatakan oleh
Khawarij dan Mu’tazilah. Orang Islam yang berbuat dosa besar dan
maksiat hanya disebut imannya tidak sempurna.
Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya:
“Tidaklah seseorang melakukan perbuatan zina, sementara saat itu ia
sedang dalam keadaan beriman; Tidaklah seorang itu pencuri, sementara
saat itu ia sedang dalam keadaan beriman; Tidaklah seorang itu minum
khamr sementara saat itu ia sedang dalam keadaan beriman; Tidaklah
seseorang menjarah sesuatu yang berharga yang disaksikan oleh manusia,
dan ketika itu ia dalam keadaan beriman.” [5]
Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim (II/41) ketika menjelaskan
hadits di atas, beliau rahimahullah mengatakan : “Hadits ini termasuk
hadits yang diikhtilafkan (perselisihkan) maknanya. Dan pendapat yang
paling shahih yang dikatakan oleh para peneliti tentang maknanya adalah
seseorang tidak akan melakukan perbuatan dosa dan maksiat ketika
imannya dalam keadaan sempurna. Dan ini termasuk lafazh-lafazh yang
dipergunakan untuk menafikan sesuatu, akan tetapi yang diinginkan
adalah menafikan kesempurnaan sesuatu itu. Dan kami menafsirkan seperti
yang disebutkan di atas berdasarkan hadits Abu Dzar, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Barangsiapa yang mengucapkan
‘La ilaaha Illallah’, ia akan masuk Surga, meskipun ia berzina dan
mencuri.’”
Diriwayatkan dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
((مَا مِنْ عَبْدٍ قَالَ : لاَإِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ، ثُمَّ مَاتَ عَلَى
ذّلِكَ إِلاَّ دَخَلَ الْجَنَّةَ)) قُلْتُ : وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ؟
قَالَ : ((وَإِنْ زَنَى وَإِنْ وَإِنْ سَرَقَ)) قُلْتُ : وَإِنْ زَنَى
وَإِنْ سَرَقَ؟ قَالَ : ((وَإِنْ زَنَى وَإِنْ وَإِنْ سَرَقَ)) ثَلاَثًا
ثُمَّ قَالَ فِي الرَّابِعَةِ : ((عَلَى رَغْمِ أَنْفِ أَبِيْ ذَرٍّ))
“Tidaklah ada seorang hamba yang mengucapkan, “Laa ilaaha illallaah
kemudian ia meninggal dunia dalam keadaan seperti itu, melainkan ia
pasti masuk surga.” Aku (Abu Dzar) berkata, “Meskipun ia berzina dan
mencuri?” Beliau menjawab, “Meskipun ia berzina dan mencuri.” Aku
bertanya lagi, “Meskipun ia berzina dan mencuri?” Beliau menjawab,
“Meskipun ia berzina dan mencuri.” Beliau mengucapkannya tiga kali,
kemudian di kali keempat beliau bersabda, “Meskipun Abu Dzar tidak
suka.” [6]
Penafian iman dalam hadits di atas (hadits pada point 8-red) tidak
berarti juga menafikan Islam. Karena iman itu lebih khusus daripada
Islam. Allah berfirman yang artinya:
قَالَتِ الْأَعْرَابُ آمَنَّا ۖ قُل لَّمْ تُؤْمِنُوا وَلَٰكِن قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ
“Orang-orang Badui itu berkata: ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah
(kepada mereka): ‘Kamu belum beriman,’tetapi katakanlah: ‘Kami telah
tunduk (patuh), karena iman itu belum masuk ke dalam
hatimu.......’”[al-Hujurât/49:14]. [7]
Maka, kesimpulannya, setiap Mukmin itu adalah Muslim, akan tetapi tidak setiap Muslim itu adalah Mukmin. [8]
Ahlus Sunnah mengatakan: “Orang yang berbuat fasiq itu berkurang
imannya, atau beriman dengan imannya, dan fasiq dengan sebab dosa
besarnya. Dia tidak dianggap beriman dengan keimanan yang sempurna
(iman secara mutlak) dan juga tidak dianggap tidak beriman sama sekali
(secara mutlak).”
Dalil-dalil dari ayat al-Qur ’ân al-Karîm tentang iman itu bisa
bertambah terdapat dalam surat Ali ‘Imrân/3:173, al-Anfâl/8:2,
at-Taubah/9:124, al-Ahzâb/33:22, al-Fath/48:4 dan al-Muddatstsir/74:31.
Para ulama Ahlus Sunnah berdalil dengan ayat-ayat di atas tentang
bahwasanya iman itu bisa bertambah dan berkurang. Imam Sufyân bin
‘Uyainah rahimahullah pernah ditanya: “Apakah iman bisa bertambah dan
berkurang?” Beliau menjawab: “Tidakkah kalian membaca ayat al-Qur’ân?”
الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ
فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ
وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
“(Yaitu orang-orang yang mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya) yang
dikatakan kepada mereka : ‘Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan
pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka.’ Maka
perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: ‘Cukuplah
Allah menjadi penolong kami dan Allah-lah sebaik-baik pelindung.’” [Ali
‘Imrân/3:173]
Dan firman Allah Azza wa Jalla :
نَّحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُم بِالْحَقِّ ۚ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى
“Kami ceritakan kisah mereka kepadamu (Muhammad) dengan
sebenar-benarnya . Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang
beriman kepada Rabb mereka dan Kami tambahkan kepada mereka
petunjuk.”[al-Kahfi/18:13]
Kemudian Sufyân rahimahullah ditanya lagi: “Apa dalil bahwa iman itu
bisa berkurang?” Beliau menjawab : “Tidak ada sesuatu yang bisa
bertambah melainkan ia juga bisa berkurang.” [9]
Hal ini juga sesuai dengan apa yang dilakukan Imam al-Bukhari
rahimahullah dalam Shahîhnya yang memuat bab “Ziyâdatul Iimân wa
Nuqshânuhu (Bertambah dan Berkurangnya Iman).”[10]
Di antara dalil tentang pertambahan dan pengurangan iman adalah firman Allah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا ۖ
فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ
بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ
“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di
antara hambahamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri
mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara
mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah.
Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” [Fâthir/35: 32]
Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa Allah Azza wa Jalla membagi kaum Mukminin menjadi tiga tingkatan, yaitu:
Pertama: Tingkatan orang yang bergegas mengerjakan kebaikan (سَابِقٌ
بِالْخَيْرَاتِ ). Yaitu yang melaksanakan yang wajib-wajib dan sering
melakukan amalan sunnah, meninggalkan yang haram dan yang makruh.
Merekalah almuqarrabun (orangorang yang didekatkan) kepada Allah Azza
wa Jalla.
Kedua: Tingkatan sedang (مُّقْتَصِدٌ ). Mereka adalah orang-orang yang
hanya melaksanakan hal-hal yang diwajibkan atas mereka dan meninggalkan
hal-hal yang diharamkan buat mereka.
Ketiga: Tingkatan orang-orang yang menzhalimi dirinya (ظَالِمٌ
لِّنَفْسِهِ ). Mereka adalah orang-orang yang lancang melakukan
sebagian masalah yang diharamkan dan melalaikan sebagian perkara yang
diwajibkan atas mereka, sementara pokok iman masih tetap ada dalam diri
mereka. [11]
Dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
الْإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَ سِتُوْنَ ِثُعْبِةً،
فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَا طَةُ
اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ اْلإِيْمَانِ
Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang
yang paling tinggi adalah perkataan ‘Laa ilaaha illallaah,’ dan yang
paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu adalah
salah satu cabang Iman.” [12]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIII/1431H/2010M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Lihat at-Tanbîhât al-Lathîfah (hal. 84-89), Mujmal Masâ-il Iimân
wal Kufri al-‘Ilmiyyah fii Ushûlil ‘Aqîdah as-Salafiyyah (hal. 21-27,
cet. II, 1424 H) dan Mujmal Ushûl Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah fil ‘Aqîdah
(hal. 18-19), dan kitab-kitab lainnya.
[2]. Lihat Majmû’ Fatâwâ (VII/644) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[3]. Allah menyebutkan kata ‘saudara’ (sesama Mukmin), meskipun ia
khilaf telah membunuh seorang Mukmin, padahal ini merupakan dosa besar.
Lihat Qs. al-Baqarah/2:178 dan an-Nisaa’/4:92.
[4]. Al-‘Aqiidah ath-Thahawiyah bi Hasyiah Syaikh Muhammad bin Maani’ (hal. 52).
[5]. HR. Al-Bukhari (no. 2475, 5578), Muslim (no. 57), Abu Dawud (no.
4689), dan at-Tirmidzi (no. 2625), dari Sahabat Abu Hurairah
radhiyallaahu ‘anhu.
[6]. HR. Muslim (no. 94 (154)). Maksudnya, “Meskipun Abu Dzar tidak
suka dengan perbuatan dosa besar tersebut.” [Syarh Shahiih Muslim
(II/96)]
[7]. Syarah ‘Aqidah al-Waasithiyah karya Khalil Hirras (hal. 236)
[8]. Syarah Shahih Muslim (I/145).
[9]. Lihat asy-Syarî’ah, Imaam al-Ajurri (II/604-605, no. 239-240) dan al-Ibânah, Imam Ibnu Baththah al-Ukbari (no. 1142).
[10]. Lihat Fat-hul Bâri (I/103).
[11]. Lihat at-Tanbîhatul Lathîfah (hal. 86) dan Taisîr Karîmir Rahmân
fî Tafsîri Kalâmil Mannân (hlm. 738), cet. I-Maktabah al-Ma’ârif, th.
1420 H.
[12]. HR. Al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (no. 598), Muslim (no. 35), Abu Dâwud (no. 4676), an-Nasî’i (VIII/110) dan Ibnu
Mâjah (no. 57), dari Sahabat Abu Hurairah t . Lihat Shahîhul Jâmi’ ash-Shaghîr (no. 2800).
Free Template Blogger
collection template
Hot Deals
BERITA_wongANteng
SEO
theproperty-developer
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.
Jumlah Pengunjung
1319434
Blog Archive
-
▼
2011
(1346)
-
▼
August
(158)
- Menyatukan Hari Raya
- Fatwa-Fatwa Seputar Berhari Raya dengan Pemerintah
- Salah Memaknai Idul Fitri
- Hari Raya dan Makna Dalam Islam
- Orang Yang Berbahagia di Hari Raya
- Etika Makan ( dalam Perspektif Al Qur'an dan As Su...
- Prinsip Ahlus Sunnah Wal Jama'ah dalam Masalah Die...
- Jangan Biarkan Hati Menderita Karena Hasad
- Koreksi Terhadap Sebagian Adat yang Digiatkan di B...
- Keutamaan Ilmu Syar'i dan Mempelajarinya
- Berbahagialah Mengemban Amanah
- Bimbimgan Berhari Raya Idul Fitri
- Kata Mutiara dari Al Quran dan Hadist
- Peran Keluarga Dalam Pertumbuhan Anak
- Enam Keistimewaan Wanita di Surga
- Jaminan Masuk Syurga yang Mengikuti Paham Ahlus Su...
- Lupa Bernazar?????
- Bolehkah Meletakkan Musyaf di Lantai??
- Kadar Zakat Fitrah
- Penjelasan Serba Serbi Lailatul Qadar
- Saat Sholat,Kencing Keluar Sedikit
- Perbedaan Zakat Fitrah dan Zakat Fitri
- Ketika Agama Telah Mengharamkan
- Jika Mengeluarkan Mani saat Puasa Ramadhan
- Jika Membayar Fidyah tidak Boleh dengan Uang
- Lailatul Qadar untuk Wanita Haid
- Ijab Qabul Harus Satu Nafas
- Minta Fatwa pada Hatimu
- 1 Kesulitan, 2 Kemudahan
- Nasihat Syaikh Rabi’ Al-Madkhali bagi Salafiyin: J...
- Dahsyatnya Ibadah Di Kala “Kelalaian” Mendominasi ...
- Berkat Takwa bagi Orang Yang lalai
- Kemuliaan Ilmu Atas Harta
- BERHAJI DI BAWAH BIMBINGAN RASULULLAH
- Hukum Membaca Al Qur'an Melalui Komputer Atau Mush...
- Menyambut Hari Fithri
- Waktu-Waktu Terkabulnya
- Seseorang Berhubungan dengan Istrinya Waktu Siang ...
- Imunisasi Dengan Vaksinnya Dari Enzim Babi
- Penyesalan Berkepanjangan
- Seputar I’tikaf
- Bercanda Yang Syar'i
- Konsultasi Syariat: Tidak Diadzab Asal Tidak Syirik
- Pahala Kurban untuk orang yang sudah wafat
- Hukum I’tikaf di Selain Masjid yang Tiga
- Apakah Qunut Witir Hanya Dilakukan pada Setengah B...
- Bolehkah Menirukan Suara Dalam Shalat Tarawih?
- Bagaimana Ketaatan Kepada Ibu yang Beragama Katolik?
- Perlukah Membaca Basmalah Ketika Hendak Berwudhu?
- Semuanya Merugi Kecuali....
- Indahnya Pertemuan Itu
- Apa Hukum Sutrah dalam Shalat ?
- Ternyata Bukan Najis
- Fatwa-fatwa bagi Orang Sakit yang Ada di Rumah Sak...
- Pentingnya ilmu dalam pernikahan
- Adakah shalat taubat?
- Jangan salah meminta syafa'at
- Tahlilan Dalam Timbangan Islam
- Janganlah Buat Sia-Sia Puasamu
- Tugas-Tugas Seorang Mukmin di Bulan Ramadhan
- Mengenal Masjid Al Haram
- Jika Terlanjur Salah Dalam Mengeluarkan Zakat Kepa...
- Ada Apa Dengan Doaku?
- Hukum hormat bendera
- Kosakata Arab: Anggota Tubuh Manusia
- Melakukan Onani di Bulan Ramadan karena Tidak Tahu
- Kapan Harus Mulai Menghentikan Sahur?
- 7Tuduhan keji ahlul Kitab kepada para Nabi dan Rosul
- Cara Nyamuk Memilih Darah Manusia
- Fatwa Ulama Zakat Firi dalam bentuk Uang Tunai
- Waspadai studi islam di barat
- Nasehat pernikahan untuk putriku
- Aliran Sesat Disebut Menduiti
- Google Luncurkan Fitur Jadwal Waktu Salat Seluruh ...
- Apa Yang Harus Anda Lakukan Ketika Kondisi Berikut...
- Legalkah Hubungan Kami?
- Tanda Cinta Dari Sang Terkasih
- MERAIH AMPUNAN ALLAH AL-GHAFUR DI BULAN RAMADHAN Y...
- Waspada! Buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahab...
- Menimbang bisnis warnet
- Hal-Hal yang Dapat Mendukung Wanita untuk Mencapai...
- Ruginya Tidur Setelah Subuh
- Zakat Fitrah
- Ebook Gratis: “Mengapa Kita Shalat?” | Mengkritisi...
- Membelakangi Al-Quran, Masalah Besar
- Pacaran Saat Puasa
- Hukum Menunda Zakat sampai Ramadan
- Fidyah Tidak Boleh Diganti Uang
- Mendapat SIM Tanpa Sogok
- Ucapan “Alhamdulillah ‘ala Kulli Hal”
- Jangan Lupa Oleh-Oleh
- Kerusakan Petasan dan Kembang Api
- BOLEHKAH LAKI-LAKI MEMAKAI SUTERA “SINTETIS”? | Ba...
- Safar Maksiat
- keutamaan silaturahmi
- Menjawab Tuduhan Idahram: Siapakah Syaikh Muhammad...
- Konsumsi Obat Penghalang Haidh Ketika Ramadhan
- Hukum Shalat Sunnah Setelah Witir
- Hukum Orang Yang Tidak Mau Memaafkan
- Puasa Bagi Wanita Yang Baru Tahu Suci Setelah Subuh
-
▼
August
(158)