Ada sebuah inti sari hikmah yang dipetik oleh para ulama tentang keutamaan shalat tarawih di akhir malam dibandingkan dengan shalat sunnah yang dikerjakan pada selain waktu tersebut. Kata mereka, akhir malam adalah waktu di mana manusia tengah terlelap, sehingga bisa dipastikan rasio perbandingan antara mereka yang bangun beribadah di waktu tersebut dengan yang tidak adalah sangat minim. Pada momentum seperti itulah, para musafir pencari cinta dan ridha Allah melakukan “pencurian start”. Mereka jauh mendahului kita dalam hal raihan “bonus” akhirat—bahkan dunia—di saat kita tengah asyik tidur dalam buaian selimut hangat.
DALIL-DALIL KEUTAMAAN IBADAH DI SAAT KEBANYAKAN MANUSIA LALAI DARINYA
Semakna dengan di atas—sebagaimana penjelasan Imam Ibnu Rajab—adalah keinginan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengakhirkan shalat ‘Isya sampai menjelang tengah malam. Tatkala pada suatu malam yang larut beliau keluar menuju masjid untuk menemui para Sahabat yang sudah menanti beliau sejak lama demi menunaikan shalat ‘Isya berjamaah, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka,

مَا يَنْتَظِرُهَا أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الأَرْضِ غَيْرُكُمْ

“Tak ada satu pun orang—saat ini—dari penduduk bumi yang menunggu shalat ‘Isya ini kecuali kalian.” [Shahih Bukhari, no. 569, 570] (Hadits ini juga mengisyaratkan tentang keutamaan para Sahabat radhiallaahu’anhum ajma’iin. Sekaligus hujjah yang mendukung pendapat wajibnya shalat berjamaah di masjid bagi laki-laki).
Imam Ibnu Rajab rahimahullah memberikan komentar terhadap hadits tersebut,

وَفِيْ هَذَا إِشَارَةٌ إلَى فَضِيْلَةِ التَّفَرُّدِ بِذِكْرِ اللهِ فِيْ وَقْتٍ مِنَ الأَوْقَاتِ لاَ يُوْجَدُ فِيْهِ ذَاكِرٌ لَهُ

Di sini terdapat isyarat tentang keutamaan menyendiri dalam berzikir pada Allah, di saat tidak ada orang yang berzikir pada-Nya.” [Lathaa-iful Ma’aarif, hal. 251-252]
Hanya saja beliau tidak melazimkan atau merutinkan shalat ‘Isya saat larut malam, karena khawatir akan memberatkan umatnya.
Dalam sebuah hadits tentang keutamaan berpuasa di bulan Sya’ban, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammenjelaskan alasan beliau mengamalkannya,

شَعْبَان بَيْنَ رَجَب وَرَمَضَانَ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ تُرْفَعُ فِيْهِ أَعْمَالُ الْعِبَادِ، فَأَحَبُّ أَنْ لاَ يُرْفَعَ عَمَلِيْ إِلاَّ وَأَنَا صَائِمٌ

“Bulan Sya’ban itu berada di antara Rajab dan Ramadhan, banyak manusia yang melalaikannya. Saat itu (Sya’ban) amal-amal hamba diangkat, dan aku menyukai jika amal-amalku tidaklah diangkat melainkan aku tengah berpuasa.” [Hadits Hasan, lihat Ash-Shahiihah, no. 1898, dan Shahiih Targhiib wat Tarhiib, no. 1022, oleh al-Albani rahimahullaah]
Imam Ibnu Rajab rahimahullaah mengatakan, “pada hadits tersebut terdapat dalil tentang dicintainya amalan yang dikerjakan saat manusia dalam keadaan lalai dari ketaatan…” [Lathaa-iful Ma’aarif, hal. 251]
TIGA MANFAAT IBADAH, DI SAAT WABAH “LALAI” MELANDA
Setidaknya ada tiga manfaat luar biasa yang bisa diraih dari peribadatan kepada Allah di saat kelalaian melanda mayoritas manusia (disarikan dari Lathaa-iful Ma’aarif, hal. 252-254):
Pertama: Ibadah yang dilakukan sudah pasti tersembunyi, dan amalan yang punya sifat demikian, sangat-sangat dicintai Allah. Kalaupun tampak di mata orang lain, sungguh hal tersebut terkesan asing alias tidak lazim di tengah mayoritas manusia yang hanyut dalam kelupaan akan statusnya sebagai hamba Allah. Nah, di sinilah nilai lebihnya, menunjukkan betapa kuatnya kadar cinta dan keikhlasan seorang hamba kepada pencipta-Nya.
Jika keikhlasan sudah mengakar di hati, bisa dipastikan segenap fadhilah ikhlas yang dijanjikan Allah melalui Alquran ataupun melalui lisan Rasul-Nya, akan bisa digapai.
Dan demikianlah para Salaf dahulu, mereka sangat senang menyembunyikan amalan sunnah mereka agar senantiasa menjadi rahasia antara hamba dan Allah saja. Diriwayatkan bahwa Qotadah rahimahullah pernah memberikan nasihat,

يُسْتَحَبُّ لِلصَّائِمِ أَنْ يَدَّهَنَ حَتَّى تَذْهَبَ عَنْهُ غُبْرَةُ الصِّيَامِ

“Dianjurkan bagi yang berpuasa untuk membasahi diri (sehingga tampak segar) demi menghilangkan kesan lusuh karena puasa (agar amalan puasa tersebut tetap tersembunyi dari dugaan manusia).” [dinukil dari Lahtaa-iful Ma’aarif, hal. 252]
Kedua: Ganjaran kebaikan yang akan diraih dari ibadah di saat kebanyakan manusia lalai, lebih besar. Karena para ulama menjelaskan bahwa ganjaran suatu amal akan bertambah besar seiring bertambah besarnya pengorbanan, kesabaran jiwa, dan kepayahan yang dirasakan demi menunaikan amal tersebut, tentunya selama hal tersebut merupakan konsekuensi lazim suatu amalan, bukan pengorbanan dan kepayahan yang sengaja dicari-cari [lihat Al-Majmuu’ al-Fataawa: 10/620-622, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah].
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan hal ini dalam sabdanya kepada Ibunda ‘Aisyahradhiallaahu’anha saat ingin menyempurnakan umrahnya.

وَلَكِنَّهَا عَلَى قَدْرِ نَصَبِكِ

“Hanya saja (ganjaran) ibadah itu bergantung pada kadar kepayahan yang engkau alami.” [Shahih Muslim, no. 1211]
Jika kita cermati, jiwa manusia cenderung merasa berat untuk melaksanakan amal-amal kebajikan ketika mayoritas orang—pada saat yang sama—tengah merayakan kesenangan yang melalaikan mereka dari ibadah. Jiwa manusia condong ingin merasakan apa yang tengah dirasakan oleh kebanyakan orang.
Renungkanlah keunikan ibadah puasa! Saat Ramadhan, boleh dibilang segenap kaum muslimin menunaikannya tanpa ada rasa berat yang berarti, sebabnya sederhana, selain digerakkan oleh iman, juga dikarenakan kita tidak sendiri dalam menahan lapar dan dahaga. Namun giliran tiba sunnah puasa 6 hari di bulan Syawwal, yang melakukannya di antara kita mungkin bisa dihitung dengan jari. Jiwa kita cenderung merasa berat untuk menanggung rasa lapar—demi ridha Allah—seorang diri, sementara di sekitar kita orang-orang tengah berpesta dengan beragam makanan dan aneka kue lebaran. Kiranya inilah salah satu sebab mengapa puasa 6 hari di bulan Syawwal begitu besar ganjarannya di sisi Allah.
Ketiga: Menyendiri dalam ibadah di kala kebanyakan manusia tenggelam dalam dosa dan kelalaian, bisa menjadi tameng dari azab Allah yang bersifat menyeluruh atas segenap manusia. Allah berfirman,

وَلَوْلا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَفَسَدَتِ الأرْضُ وَلَكِنَّ اللَّهَ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْعَالَمِينَ

“…seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.” [Q.S. Al-Baqarah: 25]
Di antara para ulama—termasuk Imam Ibnu Rajab rahimahullah—, ada yang menafsirkan ayat di dengan ungkapan; “terhalangnya kehancuran di muka bumi akibat dosa-dosa manusia, disebabkan kemurahan Allah atas orang-orang taat yang masih hidup di tengah-tengah mereka para pelaku maksiat.” [Lathaa-iful Ma’aarif, hal. 256]
Dahulu, sebagian Salaf mengatakan,

ذَاكِرُ اللهِ فِي الْغَافِلِيْنَ كَمَثَلِ الَّذِيْ يَحْمِي الْفِئَةَ الْمُنْهَزِمَةَ، وَلَوْلاَ مَنْ يَذْكُرُ اللهَ فِي غَفْلَةِ النَّاسِ لَهَلَكَ النَّاسُ

“Mereka yang berzikir pada Allah di tengah kelalaian banyak orang, seperti perisai yang melindungi sekelompok masyarakat yang tengah menjadi target serangan musuh. Jika saja bukan karena orang yang berzikir pada Allah saat lalainya manusia, niscaya manusia akan binasa.”
***
Referensi utama:
Lathaa-iful Ma’aarif, Ibnu Rajab al-Hambali, Cet.-5, Daar Ibn Katsir, 1420
Al-Majmuu’ al-Fataawaa, Ibnu Taimiyyah, Majma’ al-Malik Fahd, 1416
Shahih al-Bukhaari & Shahih Muslim, li asy-Syaikhain
Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib, al-Albani, Cet.-5, Daar al-Ma’aarif
Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah, al-Albani, Cet.1, Daar al-Ma’aarif
Penulis: Ustadz Johan Saputra Halim (Pengajar Ma’had Abu Hurairah, Mataram, NTB)
Artikel www.pengusahamuslim.com


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers