Muqaddimah
Segala puji hanya milik Allah, hanya kepada-Nya kami memuji, meminta pertolongan, dan memohon ampunan.
Kami berlindung kepada Allah dari semua kejelekan jiwa dan keburukan perbuatan kami. Barangsiapa yang diberikan petunjuk oleh-Nya, niscaya tidak akan ada orang yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang disesatkan oleh-Nya, niscaya tidak akan ada orang yang dapat memberikan petunjuk kepadanya.
Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata, yang tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.
Amma ba’du:
Di hadapan anda ini wahai para pembaca adalah fatwa-fatwa yang mulia Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baaz rahimahullah, tepatnya fatwa-fatwa beliau yang berhubungan dengan rumah sakit dan siapa saja yang ada di dalamnya; orang sakit, dokter dan para perawat. Hanya kepada Allah aku memohon semoga kaum muslimin bisa mengambil manfaat darinya, dan semoga Allah menjadikannya sebagai amal yang tulus bagi wajah-Nya Yang Mahamulia, sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan doa. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
Muwwadh ‘A-idh al-Lihyani
Makkah – Rumah Sakit Raja ‘Abdul ‘Aziz
20-1-1413 H.


BAGIAN PERTAMA [1]

Pertanyaan Ke-1 : Shalat Bagi Pasien yang Hendak Dioperasi

Sebagaimana diketahui bahwa pasien setelah dioperasi berada dalam keadaan tidak sadarkan diri sampai batas waktu tertentu, dan setelah itu dia akan merasa sakit dalam beberapa jam, apakah dia wajib melakukan shalat sebelum operasi dilakukan walaupun waktu shalat belum masuk, ataukah dia mengakhirkannya sehingga dia bisa melakukannya dengan adanya kesadaran walaupun dengan mengakhirkannya dalam satu hari atau lebih?
Jawaban:
Kewajiban pertama ditujukan kepada para dokter, hendaknya mempertimbangkan keadaan sebelum operasi dilakukan, jika memungkinkan pengobatan (operasi) diakhirkan sehingga masuk waktu shalat, seperti waktu Zhuhur sehingga orang yang sakit bisa melakukan shalat Zhuhur dan ‘Ashar dengan jama’ terlebih dahulu ketika waktu Zhuhur telah masuk. Demikian pula pada waktu malam, dia bisa melakukan shalat Maghrib dan ‘Isya’ dengan jama’ terlebih dahulu jika matahari telah tenggelam sebelum operasi dimulai.
Adapun jika pengobatan dilakukan pada waktu dhuha, kala itu si sakit dalam keadaan udzur, maka jika sadar, dia harus mengganti shalat yang tidak bisa dia lakukan dalam waktu satu hari atau dua hari, kapan saja dia sadar dia harus menggantinya dan segala puji hanya bagi Allah serta tidak ada kewajiban lain baginya, karena sesungguhnya ia bagaikan orang yang tertidur, ketika dia sadar, dia wajib melakukan shalat yang tertinggal pada waktu itu pula dengan tertib, Zhuhur kemudiam ‘Ashar dan seterusnya sampai dia bisa menggantikan semuanya, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Barangsiapa yang tertidur (pingsan) sehingga tidak melakukan shalat atau terlupa, maka lakukanlah shalat kapan saja dia mengingatnya, tidak ada kaffarat baginya kecuali hal itu saja.” (Muttafaq ‘alaihi)
Demikian pula orang yang hilang kesadaran (pingsan) karena obat atau pengobatan, sesungguhnya hukum kedua orang tersebut seperti hukum orang yang tertidur jika ia tidak sadar dalam waktu yang tidak lama. Adapun jika lama sehingga lebih dari tiga hari, maka gugurlah kewajiban mengqadha shalat, dan hukumnya menjadi seperti orang yang hilang akalnya sehingga kembali akalnya, lalu dia memulai shalatnya setelah akalnya kembali, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Pena diangkat [2] dari tiga orang: dari orang tidur sehingga dia bangun, anak kecil sehingga dia baligh, dan orang gila sehingga dia sadar.”
Beliau tidak menetapkan mengqadha shalat bagi orang gila dan anak kecil, yang ada hanyalah ketetapan hukum mengqadha bagi orang yang tertidur dan yang lupa. Hanya Allah-lah yang bisa memberikan pertolongan.

Pertanyaan Ke-2 : Tayammum Bagi Orang Sakit

Aku tidak bisa berwudhu sendiri dan tidak ada seorang pun yang bisa membantuku, bolehkah aku bertayammum padahal aku tahu bahwa tembok-tembok di rumah sakit, demikian pula lantainya dan tempat tidurnya dibersihkan setiap hari, artinya bagaimana aku bertayammum padahal keadaannya seperti itu?
Jawaban:
Jika bagi orang sakit tidak ada yang membantunya untuk berwudhu dan tidak bisa berwudhu sendiri, maka disyariatkan baginya tayammum, hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“…Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu…” (QS. Al-Maa-idah: 6)
Sedangkan orang yang tidak bisa menggunakan air, juga tidak mungkin untuk bertayammum, maka dia wajib melakukan shalat pada waktu itu juga walaupun tanpa berwudhu dan bertayammum, hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu…” (QS. At-Taghaabun: 16)
Demikian pula sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Jauhilah segala hal yang aku larang, dan lakukanlah segala hal yang aku perintahkan semampumu.”
Demikian pula sebagian para sahabat pernah melakukan shalat di dalam perjalanan bersama Nabi tanpa berwudhu dan tanpa bertayammum tetapi tidak dingkari oleh Nabi. Hal itu terjadi di dalam perjalanan ketika ‘Aisyah kehilangan kalungnya, dimana sebagian sahabat pergi untuk mencarinya karena perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, akan tetapi mereka tidak mendapatkannya. Lalu datanglah waktu shalat tanpa memungkinkan mereka untuk berwudhu, sedangkan tayammum belum disyariatkan saat itu, bahkan disyariatkannya tayammum karena peristiwa tersebut. Dan inilah yang wajib bagi dirinya, karena orang sakit jika tidak mungkin baginya memakai air dan tidak ada seorang pun yang membantunya berwudhu, maka wajib baginya bertayammum dengan adanya debu bersih di bawah ranjang, di dalam wadah yang bisa digunakan untuk bertayammum, dan hal itu bisa menggantikan berwudhu, bahkan tidak dibenarkan lalai di dalam masalah ini, hendaklah rumah sakit memperhatikan masalah ini dengan baik.
Sebelum berwudhu atau bertayammum, wajib bagi orang yang sakit untuk bersuci dari buang air kecil atau buang air besar, bisa juga bersuci dengan menggunakan batu, bukan hanya air yang bisa dia gunakan, akan tetapi cukup baginya hanya menggunakan sapu tangan (atau tissu) yang suci atau yang lainnya seperti batu, tanah, batu bata, kayu dan yang serupa dengannya sehingga kotoran tersebut hilang, dan diwajibkan tidak kurang dari tiga buah, jika tidak suci juga, maka dia bisa menggunakannya lebih dari itu sampai bersih, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Barangsiapa akan beristijmar, maka hendaklah dia menggunakan (batu) dengan jumlah yang ganjil.”
Demikian pula hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang bersuci dengan kurang dari tiga batu, dan tentang larangan bersuci dengan menggunakan kotoran binatang atau tulang, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Keduanya tidak bisa mensucikan.”

Pertanyaan Ke-3 : Jika Anggota Wudhu Ada Luka atau Memakai Gips

Jika pada salah satu tangan saya atau keduanya terdapat gips, atau ada luka yang tidak boleh terkena air, maka bagaimanakah aku bertayammum? Dan apakah batasan muka di dalam bertayammum sama dengan batasannya ketika berwudhu?
Jawaban:
Betul, batasan muka di dalam bertayammum sama dengan batasannya ketika berwudhu, dia mengusap mukanya dengan tanah dari kening bagian atas sampai tempat tumbuhnya jenggot (dagu), dan dari batas telinga ke batas telinga yang sebelahnya. Dia mengusap kedua tangan bagian dalam juga bagian luarnya dari pergelangan sampai ke ujung jari-jemari. Dan jika pada kedua tangannya ada gips atau luka, maka cukup baginya mengusap dengan tanah di atas gips atau di atas keduanya jika ada luka pula. Sedangkan jika salah satu dari kedua tangannya dalam keadaan normal dan yang lainnya luka atau memakai gips, maka dia membasuh tangannya yang normal dan mengusap tangan yang terluka atau memakai gips, seperti jika salah satu tangannya diperban karena luka atau yang serupa dengannya. Tegasnya jika penggunaan air bisa memberikan dampak tidak baik baginya atau karena tidak ada air, maka dia bisa bertayammum.
Sumber :  http://fadhlihsan.wordpress.com/2010/08/29/fatwa-fatwa-bagi-orang-sakit-yang-ada-di-rumah-sakit-dan-para-pekerja-yang-ada-di-sana-bag-1/

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers