A. Jangan Kau Duakan Ibadahmu
Kesyirikan tidak hanya terjadi
pada zaman jahiliah saat Rasulullah belum diutus. Kesyirikan juga merebak di
masa kini meski dikemas dengan bungkus baru. Kehati-hatian agar tidak terjatuh
pada perbuatan syirik sangatlah penting karena Allah menyebut perbuatan ini
sebagai dosa besar yang paling besar dan tidak akan memberi ampunan bagi
pelakunya kecuali jika ia telah bertaubat.
Awal Terjadinya Kesyirikan
Allah menciptakan jin dan manusia
dengan suatu tujuan, yang dengannya Allah mempersiapkan segala sesuatu yang
dibutuhkan manusia dalam mewujudkan tujuan tersebut. Dalam Al-Qur’an, Allah
menyebut tujuan penciptaan jin dan manusia:
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin
dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menginginkan
dari mereka sedikit pun dari rezeki. Dan Aku tidak menginginkan sedikit pun
dari mereka untuk memberi-Ku makan. Sesungguhnya Dia, Allah Maha Pemberi
rezeki, Pemilik kekuatan lagi sangat kokoh.” (adz-Dzariyat: 56—58)
Sesungguhnya, tugas yang diemban
jin dan manusia sangatlah ringan bila dibandingkan dengan segala jenis
kenikmatan yang telah Allah limpahkan. Akan tetapi untuk mewujudkan perkara
yang ringan ini, butuh pengorbanan dan perjuangan yang sangat besar, karena
rintangan dan penghalang di jalan ini juga sangatlah besar.
Dengan tugas ini, bukan berarti
Allah butuh kepada hamba sehingga kita diperintah untuk sujud dan ruku’ di
hadapan-Nya. Akan tetapi sebagai perwujudan semata-mata kebutuhan kita kepada
Allah. Karena kita sadar bahwa setiap saat, tidak ada satu makhluk pun yang
tidak membutuhkan-Nya. Oleh karena itu, Allah menetapkan bahwa di sana ada tali
penghubung antara diri hamba-Nya dengan Allah. Itulah ibadah.
Amanat ibadah ini diakui oleh
semua orang. Namun dalam praktiknya sangat terkait dengan fitrah yang diberikan
Allah kepada setiap manusia. Artinya, apabila fitrahnya belum disentuh oleh
penyimpangan dan segala bentuk noda yang mengotori, tentu dia akan menyambut
tugas tersebut sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah. Sebaliknya, bila
fitrah itu rusak maka perwujudan ibadah akan bisa diarahkan kepada selain
Pemiliknya. Allah menjelaskan keberadaan fitrah ini dalam firman-Nya:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan
lurus kepada agama (Allah). (Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.” (ar-Rum:
30)
Rasulullah bersabda:
“Setiap anak dilahirkan
di atas kesucian, kedua orang tuanyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani,
atau Majusi.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 1278 dan Muslim no. 2658 dari hadits
Abu Hurairah)
Ayat dan hadits di atas, secara
gamblang menjelaskan bahwa asal kehidupan seseorang di muka bumi ini adalah
kesucian fitrah yaitu Islam. Ini sebagai bantahan untuk kelompok Mu’tazilah
yang mengatakan bahwa asal kehidupan manusia adalah kufur.
Di atas kemurnian fitrah inilah,
Allah menurunkan kemurnian agama-Nya yang meliputi ajaran dan aturan, perintah
dan larangan, keterangan tentang tauhid dan syirik, serta sunnah dan bid’ah. Di
atas kesucian fitrah ini pula, setiap orang akan menyambut seruan syariat
tersebut.
Adapun orang yang telah ternodai
fitrahnya, ia akan mengelak dengan berbagai cara untuk bisa keluar dari
larangan, ancaman, dan perintah sehingga bebas merdeka tanpa ada aturan yang
mengikat. Berjalan sekehendaknya, melakukan apa yang diinginkan tanpa
mengindahkan aturan-aturan yang ada.
Siapakah yang menjadi dalang
kerusakan ini? Kapankah kerusakan itu mulai terjadi? Kerusakan terbesar apakah
yang menimpa fitrah seseorang?
Dalang kerusakan fitrah manusia
itu adalah iblis dan bala tentaranya dari kalangan jin dan manusia. Allah
menerangkan dalam firman-Nya:
“Demikianlah Kami jadikan bagi
tiap-tiap nabi itu musuh yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan jin.
Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang
indah untuk menipu manusia.” (al-An’am: 112)
“Demikianlah Kami jadikan bagi
setiap nabi itu musuh dari orang-orang yang berdosa.” (al-Furqan: 31)
Kesyirikan di Masa Nabi Nuh
Usaha iblis dan tentaranya untuk
merusak fitrah manusia dimulai ketika dia dijauhkan dari rahmat Allah menjadi terkutuk
dan terlaknat, serta divonis menjadi calon penghuni neraka. Keberhasilan yang
“gemilang” adalah pada kurun kesepuluh masa Nabi Nuh. Dengan kata lain,
terjadinya penyimpangan fitrah besar-besaran adalah pada generasi Nabi Nuh.
Ibnu ‘Abbas berkata ketika
menafsirkan firman Allah:
“Dan mereka berkata, ‘Jangan
sekali-kali kalian meninggalkan penyembahan tuhan-tuhan kalian dan jangan
sekali-kali kalian meninggalkan Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr’.” (Nuh:
23)
“Berhala-berhala yang dulu
disembah oleh kaum Nabi Nuh telah menjadi (sesembahan) di negeri Arab
setelahnya. Wadd adalah (sesembahan) Bani Kalb di Daumatul Jandal, Suwa’ adalah
(sesembahan) Bani Hudzail, Yaghuts adalah sesembahan Bani Murad dan Bani
Guthaif di Jauf (negeri Saba’), Ya’uq (sesembahan) Bani Hamdan, dan Nasr
(sesembahan) Bani Himyar pada keluarga Dzil Kala’. Mereka adalah nama
orang-orang saleh pada kaum Nabi Nuh. Ketika mereka meninggal, setan
membisikkan kepada orang-orang agar membuat berhala/gambar di majelis-majelis
mereka dan memerintahkan, ‘Namakanlah dengan nama-nama mereka (orang-orang
saleh tersebut).’
Mereka melakukannya dan (pada
waktu itu berhala tersebut) belum disembah hingga mereka (para pembuat berhala)
binasa dan ilmu terlupakan (dihapus), maka berhala itu menjadi sesembahan.”
(Sahih, HR. al-Bukhari no. 4599)
Inilah kerusakan paling besar dan
yang pertama kali menimpa fitrah manusia di masa Nabi Nuh. Yaitu kerusakan
i’tiqad (keyakinan) yang berwujud kesyirikan kepada Allah. Kerusakan ini pula
yang menimpa umat Rasulullah sampai hari kiamat. Pada akhirnya, di atas
kerusakan ini mereka mendapat kehinaan dan penghinaan, kerendahan dan
perendahan, malapetaka demi malapetaka, kehancuran, kerusakan, kemunduran, dan
sebagainya. Sunnatullah ini telah menimpa umat Rasulullah sehingga hidup mereka
harus terwarnai dengan kesyirikan di dunia. Bahkan apa yang mereka lakukan
telah mencapai puncaknya di mana menjadikan kesyirikan sebagai wujud ketauhidan
kepada Allah dan kecintaan kepada wali-wali Allah.
Tentang kebenaran sunnatullah
ini, dijelaskan Rasulullah di dalam haditsnya:
“Kalian benar-benar
akan mengikuti langkah umat-umat sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan
sehasta demi sehasta. Kalaupun seandainya mereka masuk ke lubang binatang dhab
(semacam biawak), niscaya kalian akan memasukinya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no.
3456, Muslim no. 2669 dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri)
Kesyirikan Sebelum Diutusnya Rasulullah
Sejengkal demi sejengkal dan
sehasta demi sehasta, umat ini akan terus mengikuti langkah umat sebelumnya.
Tentunya juga tidak terlepas dari mengikuti mereka dalam peribadatan kepada
selain Allah. Hal yang demikian ini akan terjadi sampai hari kiamat. Rasulullah
bersabda:
“Tidak akan terjadi
hari kiamat sampai kabilah-kabilah dari umatku mengikuti orang-orang musyrik.”
(HR. Abu Dawud no. 4252, Ibnu Majah no. 3952, serta disahihkan oleh asy-Syaikh
al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud, 3/801 no. 3577 dan dalam Shahih Ibnu
Majah, 2/352 no. 3192 dari sahabat Tsauban)
Sebelum Rasulullah
diutus, bangsa Arab terbagi menjadi dua. Satu kelompok mengikuti agama-agama
terdahulu seperti agama Yahudi, Nasrani, dan Majusi. Sedangkan satu kelompok
lagi mengikuti agama Nabi Ibrahim yang lurus, terlebih di negeri Hijaz, Makkah
al-Mukarramah. Sampai pada akhirnya muncul seseorang yang bernama ‘Amr bin
Luhai al-Khuza’i, seorang pemuka di negeri Hijaz. Dia dikenal sebagai ahli
ibadah, saleh, dan sebagainya.
Suatu waktu, ia pergi
ke negeri Syam untuk berobat. ‘Amr bin Luhai melihat penduduk negeri Syam
menyembah berhala dan dia menganggap baik perbuatan tersebut. Pulang dari Syam,
‘Amr bin Luhai membawa patung, lantas setelahnya juga membawa patung yang
digali dari peninggalan kaum Nuh. Lalu dia membagikannya kepada kabilah Arab
dan memerintahkan untuk menyembahnya. Orang-orang pun menyambut dan menerima
seruan tersebut hingga akhirnya kesyirikan memasuki negeri Hijaz dan negeri
lainnya.
Rasulullah bersabda
tentang ‘Amr bin Luhai al-Khuza’i,
“Aku menyaksikan ‘Amr
bin Luhai al-Khuza’i menarik isi perutnya di dalam neraka.” (Sahih, HR.
al-Bukhari no. 3521 dan Muslim no. 2856 dari sahabat Abu Hurairah, lihat Syarah
Masa’il al-Jahiliah karya asy-Syaikh Shalih Fauzan dan Mukhtashar Sirah karya
asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, hlm. 12)
Islam dan Syirik
Syirik merupakan suatu praktik
ibadah kepada selain Allah. Dengan kata lain, menjadikan tandingan bagi Allah
dalam sebuah wujud peribadatan. Atau memalingkan peribadatan yang semestinya
diberikan kepada Allah kepada selain-Nya. Ini merupakan wujud kezaliman dan
kegelapan karena memberikan hak peribadatan kepada selain Allah.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya kesyirikan adalah
kezaliman yang besar.” (Luqman: 13)
Islam adalah agama rahmat, agama
keselamatan, dan agama yang terang-benderang, malamnya seperti siangnya.
Diturunkan Allah sebagai agama nikmat yang telah diridhai-Nya.
“Pada hari ini Aku sempurnakan
agama kalian dan Aku cukupkan atas kalian nikmat-Ku, dan Aku ridha Islam sebagai
agama kalian.” (al-Maidah: 3)
“Sesungguhnya agama yang benar di
sisi Allah adalah Islam.” (Ali ‘Imran: 19)
“Barang siapa mencari selain
Islam sebagai agama maka tidak akan diterima oleh Allah dan dia termasuk
orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran: 85)
Islam sangat menentang segala
bentuk kesyirikan, memerangi segala bentuk kezaliman, dan menyinari kegelapan
hidup dengan lentera wahyu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kesyirikan bukan dari Islam
sedikit pun sehingga (tidak pantas) dihidupkan. Kesyirikan bukan lambang tauhid
yang harus diperjuangkan. Kesyirikan adalah agama iblis dan tentara-tentaranya.
Kesyirikan adalah kesesatan, kehinaan, kerendahan, kegelapan, kezaliman,
kegagalan, dan kehancuran dunia akhirat.
Wallahu a’lam.
Sumber: http://www.asysyariah.com/
B. Hati-Hati Dari Sikap Berlebihan Pada Orang Sholih
Salah satu prinsip Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah adalah memberikan sikap loyalitas (cinta) kepada siapa saja yang
dicintai oleh Allah Ta’ala. Dan orang-orang shalih termasuk suatu tho’ifah
(golongan) terbaik dari umat Islam, sehingga mereka mendapatkan kecintaan,
pujian dan nikmat dari Allah Ta’ala karena telah berhasil meniti shirathal
mustaqim (jalan yang lurus).
Allah Ta’ala berfirman :
Allah Ta’ala berfirman :
(artinya): “Maka mereka itu akan
bersama-sama orang-orang yang Allah anugerahi nikmat atas mereka, dari kalangan
para Nabi, shiddiqin (orang-orang yang benar keimanannya), syuhada’, dan
orang-orang shalih, dan mereka itu adalah sebaik-baik teman”. (QS. An Nisa’ :
69)
Maka mereka termasuk orang-orang yang berhak mendapatkan wala’ (loyalitas) dari kaum muslimin. Namun yang wajib diketahui, bahwa sikap wala’ yang akan mendapatkan ridha Allah Ta’ala dan balasan di sisi-Nya, bukan wala’ (kecintaan) yang dilandasi dengan hawa nafsu, akan tetapi suatu kecintaan yang dilandasi Al Qur’an dan As Sunnah.
Umat manusia dalam menilai keberadaan orang-orang shalih terbagi menjadi tiga golongan.
Maka mereka termasuk orang-orang yang berhak mendapatkan wala’ (loyalitas) dari kaum muslimin. Namun yang wajib diketahui, bahwa sikap wala’ yang akan mendapatkan ridha Allah Ta’ala dan balasan di sisi-Nya, bukan wala’ (kecintaan) yang dilandasi dengan hawa nafsu, akan tetapi suatu kecintaan yang dilandasi Al Qur’an dan As Sunnah.
Umat manusia dalam menilai keberadaan orang-orang shalih terbagi menjadi tiga golongan.
Pertama : Golongan yang
meremehkan atau merendahkan kedudukan yang Allah berikan kepada mereka
(tafrith).
Kedua : Golongan yang memiliki sikap pengkultusan dan pengagungan melebihi batas dari apa yang Allah Ta’ala karuniakan kepada mereka (ifrath).
Ketiga : Golongan yang adil dan tidak berbuat tafrith (meremehkan) maupun ifrath terhadap mereka.
Sesungguhnya Allah Ta’ala mencintai sikap adil didalam menyikapi orang-orang shalih, yaitu tidak menghinakan dan merendahkan kedudukan orang-orang shalih, bahkan memuliakan dan memuji mereka dengan tidak melebihi ketentuan syariat. Sebagaimana Allah Ta’ala menjelaskan dalam banyak ayat-Nya, diantaranya :
Kedua : Golongan yang memiliki sikap pengkultusan dan pengagungan melebihi batas dari apa yang Allah Ta’ala karuniakan kepada mereka (ifrath).
Ketiga : Golongan yang adil dan tidak berbuat tafrith (meremehkan) maupun ifrath terhadap mereka.
Sesungguhnya Allah Ta’ala mencintai sikap adil didalam menyikapi orang-orang shalih, yaitu tidak menghinakan dan merendahkan kedudukan orang-orang shalih, bahkan memuliakan dan memuji mereka dengan tidak melebihi ketentuan syariat. Sebagaimana Allah Ta’ala menjelaskan dalam banyak ayat-Nya, diantaranya :
(artinya): “Sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang berbuat adil”. (Al Hujuraat: 9)
Dan juga firman-Nya :
Dan juga firman-Nya :
(artinya): “Dan demikianlah Kami
jadikan kalian menjadi umat yang adil”. (Al Baqarah: 143)
Demikian pula Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wassalam melarang perbuatan ghuluw (ekstrim). Allah Ta’ala berfirman :
Demikian pula Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wassalam melarang perbuatan ghuluw (ekstrim). Allah Ta’ala berfirman :
(artinya): “Wahai Ahlul Kitab
janganlah kalian berbuat ghuluw (ekstrim) dalam beragama, dan jangan pula
kalian mengatakan tentang Allah kecuali di atas kebenaran”. (An Nisa’: 171)
Ghuluw adalah sikap melampaui batas dalam memuji dan mencela (sesuatu/seseorang).
Ghuluw adalah sikap melampaui batas dalam memuji dan mencela (sesuatu/seseorang).
Asy Syaikh Abdurrahman bin Hasan
Alu Syaikh berkata: “Walaupun khitob (sasaran) mengarah kepada Ahlul Kitab
(Yahudi dan Nashara), namun khitob (sasaran) ini bersifat umum mencakup seluruh
umat, sebagai tahdzir (peringatan) dari sikap Nashara terhadap Isa Ibnu Maryam
(mereka meyakini Isa anak Allah atau tiga dari yang satu -trinitas- red) dan
sikap Yahudi terhadap Uzair (meyakini Uzair anak Allah atau menganggap Isa
adalah anak pezina - red).(Fathul Majid jilid 1, hal. 21)
Mengingat siapa saja yang diantara umat ini yang menyerupai Yahudi dan Nashara, dan berbuat ghuluw di dalam beragama dengan cara ifrath (melampaui batas) atau pun tafrith (meremehkannya), maka sungguh ia telah menyerupai mereka. Hal ini sesuai yang diungkapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Fathul Majid jilid 1, hal. 272)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam berkata :
Mengingat siapa saja yang diantara umat ini yang menyerupai Yahudi dan Nashara, dan berbuat ghuluw di dalam beragama dengan cara ifrath (melampaui batas) atau pun tafrith (meremehkannya), maka sungguh ia telah menyerupai mereka. Hal ini sesuai yang diungkapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Fathul Majid jilid 1, hal. 272)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam berkata :
“Barangsiapa yang menyerupai
suatu kaum, maka ia termasuk dari mereka”.
Oleh karena itu beliau
Shallallahu ‘alaihi wassalam mewanti-wanti kepada umatnya, supaya jangan
berbuat ghuluw kepada diri beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam sendiri. Seperti
halnya Yahudi dan Nashara telah terjatuh dalam perbuatan ghuluw. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wassalam berkata :
“Janganlah kalian berbuat ghuluw
kepadaku sebagaimana Nashara telah berbuat ghuluw kepada Ibnu Maryam. Aku ini
hanyalah seorang hamba, maka katakanlah Abdullah dan Rasul-Nya”. (Muttafaqun
‘Alaihi)
“Berhati-hatilah kalian dari
bersikap ghuluw, karena sesungguhya celakanya orang-orang sebelum kalian adalah
karena berbuat ghuluw.” (HR. Al Bukhari)
“Binasalah orang-orang yang
melampaui batas (ghuluw), (beliau berkata sampai tiga kali)”. (HR. Muslim)
Awal Mula Terjadinya Kesyirikan
Awal Mula Terjadinya Kesyirikan
Awal mula munculnya kesyirikan di
muka bumi adalah sikap ghuluw (ekstrim) kepada orang-orang shalih, sebagaimana
yang dipaparkan oleh Abdullah bin Abbas Radiyallahu ‘anhu dalam riwayat Al Imam
Al Bukhari, ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala (artinya):
“Dan mereka berkata : “Janganlah
kalian meninggalkan sesembahan-sesembahan kalian, dan jangan pula meninggalkan
wad, suwa’, yaghuts, ya’uq,dan nasr”. Beliau Radiyallahu ‘anhu berkata : “Ini
adalah nama-nama orang shalih dari kaum Nabi Nuh, tatkala mereka meninggal,
syaithan membisikkan kepada kaumnya: “Buatlah patung-patung mereka di
majlis-majlis mereka dahulu (seperti monomen-monomen- red), dan namailah
patung-patung tersebut dengan nama-nama mereka. Kemudian kaum tersebut
melakukannya dan belum sampai pada penyembahannya, hingga akhirnya kaum itu
meninggal (digantikan oleh kaum berikutnya – red) dan dihapuskanlah ilmu, maka
patung-patung tersebut pun disembah”.
Berkata Ibnul Qoyyim: “Lebih dari seorang dari ulama’ Salaf berkata: “Tatkala orang-orang shalih tersebut telah meninggal, manusia pun beri’tikaf dan membikin gambar atau patung di samping kuburan mereka, kemudian setelah berganti dari generasi ke genarasi berikutnya, mereka pun menyembahnya”. (Lihat Fathul Majid: 264)
Bagaimana Bentuk-Bentuk Ghuluw Dan Akibatnya ?
Berkata Ibnul Qoyyim: “Lebih dari seorang dari ulama’ Salaf berkata: “Tatkala orang-orang shalih tersebut telah meninggal, manusia pun beri’tikaf dan membikin gambar atau patung di samping kuburan mereka, kemudian setelah berganti dari generasi ke genarasi berikutnya, mereka pun menyembahnya”. (Lihat Fathul Majid: 264)
Bagaimana Bentuk-Bentuk Ghuluw Dan Akibatnya ?
Pada pembahasan kali ini hanya
mengacu kepada akibat dari sikap ghuluw (ekstrim) yang menyebabkan pelakunya
terjatuh ke dalam kesyirikan atau perkara-perkara sebagai wasilah (perantara)
menuju kesyirikan, karena jenis-jenis ghuluw terhadap mereka sangat banyak
sekali. Bentuk-bentuk ghuluw yang terjadi dan bisa dicermati sendiri oleh kaum
muslimin, diantaranya:
1. Menganggap bahwa
beribadah seperti sholat atau berdo’a dihadapan gambar, patung, kuburan orang
shalih lebih mendatangkan rasa khusu’ dan khudhu’ kepada Allah Ta’ala. Ini
merupakan bentuk ibadah yang bid’ah, munkar dan tidak pernah dicontohkan oleh
Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam dan para sahabatnya radiyallahu ‘anhum.
Sebatas membuat gambar atau patung dari benda yang bernyawa saja, dia telah
melanggar peringatan keras dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam, beliau
Shallallahu ‘alaihi wassalam berkata :
“Sesungguhnya adzab yang paling
pedih pada hari kiamat nanti adalah para tukang gambar”. (Muttafaqun ‘Alaihi)
Juga menentang perkataan
Rasulllah Shallallahu ‘alaihi wassalam:
“Dan sesungguhnya orang-orang
sebelum kalian, mereka dahulu menjadikan kuburan para Nabi sebagai
masjid-masjid, maka ketahuilah janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai
masjid-masjid, sesungguhnya aku melarang dari perbuatan seperti itu”. (HR.
Muslim)
Dan setiap tempat yang digunakan
untuk sholat, maka dinamakan sebagai masjid, walaupun tidak ada bangunannya,
sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam berkata:
“Telah dijadikan bumi untukku
sebagai masjid dan untuk bersuci”. (Muttafaqun ‘Alaihi)
2. Berkeyakinan bahwa berdo’a kepada Allah Ta’ala sambil bertawasul dengan orang shalih yang sudah mati lebih diterima oleh Allah Ta’ala. Hal ini juga merupakan perkara yang bathil dan haram, karena tidak pernah dilakukan oleh para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam, bahkan Umar Radiyallahu ‘anhu ketika di jamannya ditimpa paceklik, beliau tidak bertawasul kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam karena beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam sudah wafat, namun Umar Radiyallahu ‘anhu meminta kepada paman Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam untuk berdo’a kepada Allah Ta’ala.(Fatawa Arkanul Islam lisy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin hal. 182)
2. Berkeyakinan bahwa berdo’a kepada Allah Ta’ala sambil bertawasul dengan orang shalih yang sudah mati lebih diterima oleh Allah Ta’ala. Hal ini juga merupakan perkara yang bathil dan haram, karena tidak pernah dilakukan oleh para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam, bahkan Umar Radiyallahu ‘anhu ketika di jamannya ditimpa paceklik, beliau tidak bertawasul kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam karena beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam sudah wafat, namun Umar Radiyallahu ‘anhu meminta kepada paman Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam untuk berdo’a kepada Allah Ta’ala.(Fatawa Arkanul Islam lisy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin hal. 182)
Padahal Allah Ta’ala berfirman :
(artinya): “Dan jika hamba-Ku
bertanya kepadamu tentang-Ku, maka sesungguhnya Aku amat dekat dan Aku
mengabulkan orang yang berdo’a jika dia berdo’a kepada-Aku”. (QS. Al Baqarah:
186)
Bahkan Allah Ta’ala mengolok-olok orang-orang yang lalai lagi bodoh ketika menjadikan sebagian hamba-Nya sebagai wasilah, padahal orang-orang shalih tersebut butuh pada wasilah berupa ketaatan (amalan shalih) kepada-Nya dan tidak ada cara lain yang bisa mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala :
Bahkan Allah Ta’ala mengolok-olok orang-orang yang lalai lagi bodoh ketika menjadikan sebagian hamba-Nya sebagai wasilah, padahal orang-orang shalih tersebut butuh pada wasilah berupa ketaatan (amalan shalih) kepada-Nya dan tidak ada cara lain yang bisa mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala :
(artinya): “Mereka orang-orang
yang diseru juga mencari wasilah menuju kepada Robb-Nya! siapa yang lebih dekat
(kepada Allah- red) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan adzab-Nya”. (QS.
Al Isra’: 58)
3. Meyakini bahwa para wali atau orang shalih mengetahui ilmu ghaib.
3. Meyakini bahwa para wali atau orang shalih mengetahui ilmu ghaib.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassalam adalah imam para rasul, tidaklah mengetahui perkara yang ghaib atau
perkara yang akan terjadi apalagi mereka yang bukan termasuk dari kalangan para
Nabi. Allah Ta’ala berfirman :
(artinya): “Katakanlah: “Aku
tidak berkuasa menarik kemanfatan pada diriku dan tidak pula mampu menolak
kemudhorotan kecuali yang di kehendaki oleh Allah. Dan sekiranya aku mengetahui
yang ghaib, tentulah aku akan membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku
tidak akan ditimpa kemudhoratan”. (Al A’raf: 188)
4. Meyakini bahwa wali atau orang shalih mampu mendatangkan manfaat dan menolak mudhorot atau mampu menjawab do’anya orang yang berdo’a kepada mereka ketika masih hidup ataupun sudah mati. Hal ini merupakan kesyirikan yang nyata dan jelas-jelas menentang dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan para nabi dan rasul. Allah Ta’ala berfirman :
4. Meyakini bahwa wali atau orang shalih mampu mendatangkan manfaat dan menolak mudhorot atau mampu menjawab do’anya orang yang berdo’a kepada mereka ketika masih hidup ataupun sudah mati. Hal ini merupakan kesyirikan yang nyata dan jelas-jelas menentang dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan para nabi dan rasul. Allah Ta’ala berfirman :
(artinya): “Maka janganlah kamu
berdo’a (beribadah) selain dari Allah yang tidak bisa mendatangkan manfaat dan
pula memberi mudhorot padamu, kalau sekiranya kamu kerjakan sungguh kamu
termasuk orang-orang yang dholim”. (QS. Yunus: 106)
Dan juga Allah Ta’ala berfirman :
(artinya): “Dan siapakah yang
lebih sesat daripada orang yang menyembah sesembahan-sesembahan selain Allah,
yang tiada dapat memperkenakan (do’anya) sampai hari kiamat dan mereka lalai
dari (memperhatikan) do’a mereka”?. (Al Ahqaf:5)
Ini hanya sebagian kecil dan masih banyak lagi dari perbuatan dhahir (mu’amalah) ataupun i’tiqodiyyah (amalan batin) yang melampaui batas (ghuluw) terhadap orang-orang shalih.
Tanya-Jawab
Ini hanya sebagian kecil dan masih banyak lagi dari perbuatan dhahir (mu’amalah) ataupun i’tiqodiyyah (amalan batin) yang melampaui batas (ghuluw) terhadap orang-orang shalih.
Tanya-Jawab
Tanya : Bagaimana rihlah atau
safar hanya dalam rangka ziarah ke kubur Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wassalam , para wali dan sunan?
Jawab : Hal itu tidak boleh,
karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam berkata :
“Janganlah kalian berkeinginan
untuk safar kecuali ke tiga masjid, Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil
Aqsho”. (Muttafaqun ‘Alaihi)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam tidaklah melarang kecuali ada hikmahnya, yaitu sebagai bentuk saddudz dzari’ah (tindakan preventif) supaya tidak terjatuh dalam perbuatan ghuluw dan ini menunjukkan kasih sayang beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam kepada umat Islam. Dan sebaliknya jika kaum muslimin melanggar anjuran beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam, maka pasti akan terjatuh ke dalam fitnah. Maka apabila para pembaca mencermati apa yang dilakukan para peziarah ke kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam atau wali-wali, bukan hanya berdo’a dan istighotsah saja bahkan sampai ruku’ dan sujud semata-mata untuk ahli kubur dalam keadaan khusyu’ dan khudhu’ (penghinaan diri) yang tidak bisa dihadirkan kondisi seperti itu ketika beribadah di masjid-masjid Allah Ta’ala . Wallahul Musta’an.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam tidaklah melarang kecuali ada hikmahnya, yaitu sebagai bentuk saddudz dzari’ah (tindakan preventif) supaya tidak terjatuh dalam perbuatan ghuluw dan ini menunjukkan kasih sayang beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam kepada umat Islam. Dan sebaliknya jika kaum muslimin melanggar anjuran beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam, maka pasti akan terjatuh ke dalam fitnah. Maka apabila para pembaca mencermati apa yang dilakukan para peziarah ke kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam atau wali-wali, bukan hanya berdo’a dan istighotsah saja bahkan sampai ruku’ dan sujud semata-mata untuk ahli kubur dalam keadaan khusyu’ dan khudhu’ (penghinaan diri) yang tidak bisa dihadirkan kondisi seperti itu ketika beribadah di masjid-masjid Allah Ta’ala . Wallahul Musta’an.
Sumber: www.salafy.or.id
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer