Mengenai hal ini kita bisa menarik pelajaran dari hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا شَرِبَ الْكَلْبُ فِى إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعًا
“Jika anjing minumm di salah satu bejana di antara kalian, maka cucilah bejana tersebut sebanyak tujuh kali” (HR. Bukhari no. 172 dan Muslim no. 279).
Dalam riwayat lain disebutkan,
أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ
“Yang pertama dengan tanah (debu)” (HR. Muslim no. 279)
Dalam hadits ‘Abdullah bin Mughoffal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِى الإِنَاءِ فَاغْسِلُوهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ وَعَفِّرُوهُ الثَّامِنَةَ فِى التُّرَابِ
“Jika
anjing menjilat (walagho) di salah satu bejana kalian, cucilah sebanyak
tujuh kali dan gosoklah yang kedelapan dengan tanah (debu)” (HR. Muslim no. 280).
Pelajaran penting dari hadits di atas:
Pertama: Kata
“إِذَا” (jika) merupakan kata bantu dalam kalimat syarat. Yang bisa
dipahami dari kalimat ini adalah jika anjing minum dari bejana atau
menjilat, maka hendaklah bejana tersebut dicuci 7 kali. Selain dari
meminum atau menjilat tidaklah disebutkan dalam hadits di atas, maka
tidak wajib mencuci tujuh kali. Seandainya anjing tersebut hanya
meletakkan tangannya di bejana atau mencelupkan tangan di air dan tidak
meminumnya, maka tidak wajib mencuci bejana tersebut tujuh kali. Karena syariba (meminum) adalah dengan menghirup air dan walagho
(menjilat) adalah dengan memasukkan lidah ke dalam air. Termasuk pula
jika air liur anjing jatuh di sesuatu yang bukan zat cair, tidak pula
diwajibkan mencuci tujuh kali.
Sama
halnya pula jika anjing menjilat atau menyentuh tangan manusia, maka
tidak ada kewajiban mencuci tujuh kali. Karena yang dibacarakan dalam
hadits hanyalah menjilat atau meminum, tidak untuk yang lainnya.
Sehingga yang lainnya tidak berlaku hukum tujuh kali.
Air liurnya tetap najis, namun tidak diharuskan dicuci tujuh kali ketika tangan atau badan kita dijilat anjing.
Kedua: Mencuci
bejana tujuh kali di atas hanya berlaku untuk anjing saja, tidak untuk
babi atau binatang lainnya. Tidak berlaku qiyas dalam hal ini karena
kita sendiri tidak diberitahukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kenapa bejana harus dicuci ketika dijilat anjing.
Ketiga: Wajib
mencuci bejana seperti piring, gelas, dan ember yang telah dijilat
anjing dan pencuciannya sebanyak tujuh kali. Karena dalam hadits di atas
digunakan kata perintah “فَلْيَغْسِلْهُ”, yang bermakna “cucilah”,
bermakna wajib. Inilah yang menjadi pendapat jumhur ulama, yaitu
Syafi’iyah, Hambali dan Hanafiyah.
Keempat: Dalam
hadits di atas disebutkan “أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ”, yang awal dengan
tanah. Dalam riwayat Abu Hurairah disebutkan “إِحْدَاهُنَّ
بِالتُّرَابِ”, salah satunya dengan tanah. Pada riwayat Tirmidzi dari
Abu Hurairah disebutkan “أُولاَهُنَّ أَوْ أُخْرَاهُنَّ بِالتُّرَابِ”,
yang awal atau terakhir dengan tanah. Syaikhuna –guru kami- Dr. Sa’ad
bin Nashir Asy Syitsri menyatakan, “Pernyataan hadits dengan pertama
atau kedua, itu bukanlah keharusan, hanya pilihan. Karena jika ada
lafazh mutlak yang di tempat lain disebutkan dua sifat berbeda (yaitu
disebut pertama atau terakhir), maka lafazh tersebut tidak terkait
dengan dua sifat tersebut. …. Jadi boleh saja pencucian dengan tanah itu
dilakukan di awal, atau pada pencucian kedua, atau terakhir.”
Kelima: Dalam riwayat lain disebutkan “وَعَفِّرُوهُ الثَّامِنَةَ فِى التُّرَابِ”, cucilah sebanyak tujuh kali dan gosoklah yang kedelapan dengan tanah (debu). Yang
dimaksud di sini adalah salah satu cucian bisa dengan campuran tanah
dan air. Jika kita pisah campuran tersebut, maka jadinya tanah dan air
itu sendiri-sendiri. Sehingga jadi delapan cucian, padahal yang ada
hanyalah tujuh.
Keenam: Apakah pencucian di sini hanya dibatasi dengan turob
atau debu? Ulama Hambali menyatakan boleh menggunakan sabun atau
shampoo sebab tujuannya untuk membersihkan dan sabun semisal dengan debu
bahkan lebih bersih nantinya dari debu. Sedangkan ulama lainnya
berpendapat hanya boleh dengan debu atau tanah karena tidak diketahui ‘illah (sebab) mengapa dengan tanah.
Ketujuh: Kita
tahu di sini bahwa anjing menjilat bejana yang ada airnya. Dan kita
diperintahkan untuk mencuci bejana tersebut dan itu berarti airnya
dibuang. Di sini dapat dipahami bahwa air tersebut sudah tidak suci
lagi. Padahal jilatan anjing belum tentu merubah keadaan air walau itu
sedikit. Namun tetap mesti dibuang. Menurut Syaikh Asy Syitsri, hal ini
berlaku untuk masalah jilatan anjing saja. Sedangkan untuk masalah
lainnya jika ada najis yang jatuh pada air yang sedikit –kurang dari dua
qullah (200 liter)-, maka tidak berlaku demikian. Namun dikembalikan
kepada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَىْءٌ
“Sesungguhnya air itu suci, tidak ada yang dapat menajiskannya.”
(HR. Tirmidzi, Abu Daud, An Nasa’i, Ahmad. Hadits ini dikatakan shohih
oleh Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih no. 478). Artinya, jika
air itu –sedikit atau banyak- berubah rasa, bau atau warnanya karena
najis, barulah air tersebut dihukumi najis. Jika tidak, maka tetap suci.
Inilah beberapa pelajaran yang
kami peroleh dari kitab yang sangat kami kagumi, dari ulama yang amat
cerdas sebagaimana pujian Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz kepadanya. Syaikh
Ibnu Baz berkata mengenai beliau, “Huwa azkar rojul fil ardh, beliau adalah orang tercerdas di muka bumi”. Beliau adalah Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syitsri hafizhohullah yang dulunya masuk dalam jajaran Hay-ah Kibaril Ulama, kumpulan ulama besar di Kerajaan Saudi Arabia dan sangat pakar dalam Ushul Fiqih.
Kitab yang jadi rujukan kami adalah dari ceramah kajian beliau yang
dibukukan, Syarh ‘Umdatul Ahkam, 1: 22-28, terbitan Dar Kanuz
Isy-biliya, cetakan pertama, tahun 1429 H.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 16 Rabiul Awwal 1433 H
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer