Hujan membasahi kota Yogyakarta beberapa hari ini. Akan tetapi, hati ini lebih terbasahi lagi setelah kami kedatangan seorang wanita dengan langkah gontai beserta isakan air matanya. Bukan hanya terbasahi, bahkan meleleh hati kami dibuatnya…

Seorang ibu penjual es keliling…
Keriput hampir saja menyeruak seluruh tubuhnya, berusaha kembali memaknai hidup dari musim ke musim.  Bukan apa, ia berpacu dengan waktu membesarkan anaknya yang berusia dua tahun. Ia rindu hingga ngilu,
suaminya telah pergi entah kemana semenjak kandungannya genap tiga bulan.
Penghasilanya hanya seala kadar, hanya mendapatkan untung sekitar Rp. 20.000 per hari. Itu pun mesti dibagi lagi untuk biaya kulakan penjualan di hari berikutnya.
“Untuk susu bayi mas, saya cuma bisa menanti bantuan untuk warga kurang mampu dari SGM.”
Kembali dia menyentak,
“Kalaupun kadang bila tak dipasok, maka anak saya pun tak dapat minum susu”, ujar wanita yang baru saja masuk islam pada 22 Maret 2011 yang lalu ini.
Yang kami haru dibuatnya ialah, kegigihannya meneruskan hidupnya. Sepanjang hari ia jajakkan es keliling bersama waktu dan es yang meleleh. Pikir kami, mungkin ia sempat cemas, akankah tubuhnya akan meleleh sebagaiman waktu dan es?

Isak tangis masih terbagi ketika ia mencurahkan keluh kesahnya kepada kami, siang itu. Seolah ia ragu apakah bisa menyeberangi jasadnya sendiri. Sepanjang hari ia membolak-balikkan lembaran kehidupannya. Kadang gundah, kadang resah, dengan penantian yang penuh debar, kapan ia bisa mengkhatamkan halaman terkahir kitab peraduan?

Ia tidak tahu, karena kitabnya tak punya halaman. Ia hanya bercerita dan membayangkan,
“Anakku bagaimana akan sekolah, sedangkan untuk buat akta kelahiran pun susah. Obat obatan sampai asupan gizi pun sejauh ini menanti belas kasih sesama ”
Waktu kini telah menguap menjadi embun, tetesnya telah hinggap di wajah kami.
Di lantai dingin Masjid Pogung Dalangan ini …
Kipasnya masih mengencangkan putarannya…
Lamanya durasi menit bicara, menjadi saksi betapa seorang wanita bernama ‘Fransiska Baharida’ benar benar butuh bantuan sesama.
Apalagi ketika ia gumamkan pinta yang buat kami semakin pilu. Kami menunduk. Ia pun merunduk.
“Begini mas, bulan ini kontrakan saya di Giwangan belum lunas. Rp. 200.000,00 perbulannya. Akan tetapi, baru terbayar Rp. 120.000,00 Ehm… kiranya…” | Belum selesai isak tangisnya, sebagian kami, takmir Masjid Pogung Dalangan langsung mengulurkan sedikit bantuan untuknya. Kami yang mendengarnya saja terhanyut lemas. Maka, terlebih lagi dengan dirinya.
“Sebenarnya bisa saja saya mencari kontrakkan yang biayanya Rp. 100.000 perbulan di Giwangan.“ Ia melanjutkan bicaranya dengan tenang.
“Akan tetapi, di sana lingkungannya buruk. Banyak peminum dan pemabuk.” Ah, ini ibu luar biasa sekali, sesempit keadaannya masih bisa berfikir akan kelapangan jiwa bersihnya. Lagi lagi kami terlarut mendengar kisahnya.
Gumam kami di dalam hati. Allahu Akbar, sebenarnya masih banyak lagi bu Ida bu Ida lain di muka dunia ini. Lalu dimana kita sebagai sesama saudaranya? Betapa sering perut ini kenyang tanpa terpikirkan betapa mereka kesulitan mencari sekepal nasi di tangan. Seringnya diri kita bertanya “Hendak makan di mana siang ini?”
Berbeda sekali dengan mereka yang bertanya “Bisa makan apa hari ini?”
–00–
Tiba tiba Bu Ida memutus lamunan kami, “Mas, terima kasih atas bantuan dananya.”
Sambil sesekali ia seka air matanya.  “Jikalau boleh saya meminta, izinkan untuk meminta satu hal lagi.“
Kami sedikit intip matanya yang baru saja sembab sehabis menangis. Kami anggukkan kepala, isyarat menyetujuinya. Akan tetapi, kata kata perpisahan darinya lebih membuat kami membuat kami merasa langit runtuh dan bumi menghimpit.
“Saya tiap sholat harus selalu ke masjid, mas. Bukan apa, karena saya tak punya mukena barang satu helai pun.“
Subhanallah, kami memekik pelan dengan hati menjerit.
 
[Erlan Iskandar, 14 April 2013]
 
—————
Catatan Redaksi Peduli Muslim:
Tulisan di atas merupakan catatan dari shahabat kami, Erlan Iskandar, mahasiswa Teknik Kimia ’10 UGM, yang juga menyibukkan diri sebagai Takmir Masjid Pogung Dalangan Yogyakarta, serta volunteer Peduli Muslim. Apa yang ditulis di atas memang berdasar kisah nyata yang beliau alami sendiri, ketika ibu Ida datang ke Masjid Pogung Dalangan Yogyakarta.
Apa yang terjadi pada bu Ida di atas, hanyalah satu contoh kasus yang ada di tengah masyarakat kita. Di luar sana, tentu ada banyak saudari-saudari kita yang mengalami nasib yang sama, atau lebih buruk dari bu Ida (semoga Allah ta’ala memperbaiki kondisi kita). Apa yang mereka alami, adalah perkara yang harus menjadi perhatian kita bersama, sebagai sesama muslim, untuk kita bantu pecahkan solusinya, sesuai kemampuan kita masing-masing.


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers