Pertanyaan:
Apakah
najis orang yang junub/keluar mani tapi tidak mandi jinabah sebab belum
tahu printah mandi tersb? Apakah shalat-shalatnya wajib diulangi?
Dari: Luthfi
Dari: Luthfi
Jawaban:
Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Sebagai kaum muslimin, sudah
sepantasnya untuk memahami setiap kewajiban yang menjadi beban hidupnya.
Terutama yang terkait dengan tugas akhirat. Karena itu merupakan syarat
untuk bisa menuju taqwa. Bagaimana tidak, seseorang baru bisa bertaqwa
ketika dia melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah. Sementara
tidak mungkin dia bisa memahami perintah dan larangan Allah, tanpa
mempelajari keduanya.
Untuk itulah, Allah memerintahkan
kita agar mendasari semua usaha dan amal kita dengan ilmu dan pemahaman
yang benar. Allah berfirman,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
“Ilmuilah
bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan mintalah
ampunan untuk dosa-dosamu, serta dosa orang mukmin laki-laki dan wanita.” (QS. Muhammad: 19).
Imam Bukhari ketika menafsirkan ayat ini, beliau mengatakan,
العِلْمُ قَبْلَ القَوْلِ وَالعَمَلِ
“Memahami ilmunya sebelum berkata dan beramal.” (Shahih Bukhari, 1:24)
Lebih tegas lagi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan bahwa menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim.
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu, wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ahmad, Ibn Majah dan dishahihkan Al-Albani).
Tentu saja, Anda tidak dituntut
mempelajari semua ilmu agama, dari A sampai Z, karena itu tidak mungkin.
Namun Anda dituntut untuk mempelajari ilmu wajib yang harus diketahui
setiap muslim. Disebut ilmu wajib karena membahas kewajiban setiap
muslim, baik kewajiban agama atau aturan terkait aktivitas dunianya. Tak
terkecuali, mandi wajib. Karena suci dari hadats, merupakan syarat sah
shalat.
Mengenai tata cara mandi wajib, anda bisa pelajari di: Cara Mandi Wajib dan Tata Cara Mandi Wajib Khusus Wanita
Wajibkah Mengulang Shalatnya?
Kita akan menyimpulkan beberapa dalil berikut untuk mendapatkan jawabannya:
Pertama, hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah masuk masjid. Kemudian bersamaan dengan itu ada orang yang juga
masuk masjid. Orang ini pun melakukan shalat. Seusai shalat, orang ini
menghampiri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyampaikan salam. Setelah menjawab salamnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh orang ini, “Ulangi shalatmu, karena kamu belum shalat dengan benar.” Orang ini pun kembali melakukan shalat seperti shalat sebelumnya. Selesai shalat, beliau mengahampiri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, menyampaikan salam dan dijawab oleh Nabi. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap menyuruh yang sama: “Ulangi shalatmu, karena kamu belum shalat dengan benar.”
Dan itu terjadi sampai tiga kali. Sampai akhirnya, orang inipun
menyerah. Dia mengatakan, “Demi Allah yang telah mengutus Anda dengan
membawa kebenaran, aku tidak mampu shalat yang lebih baik dari ini,
karena itu, ajarilah aku.” Beliau pun mengajari sahabat ini:
إذا قمت إلى الصلاة فكبر ثم اقرأ ما تيسر معك من القرآن ثم اركع حتى تطمئن راكعا…..
“Apabila
kamu shalat, bertakbirlah kemudian baca ayat Alquran yang kamu hafal,
kemudian rukuklah sampai kamu betul-betul thuma’ninah ketika rukuk….” (HR. Bukhari 724 dan Muslim 367).
Hadis ini sering dikenal dengan
istilah hadits al-musi’ shalatuhu (hadis tentang orang yang shalatnya
salah). Dalam praktek shalatnya, sahabat ini tidak thumakninah dalam
melaksanakan rukun shalat. Hadis ini meruapakan hadis standar tentang
tata cara shalat yang benar. Karena dalam hadis ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan cara shalat minimal yang harus dilakukan seorang muslim.
Catatan penting yang terkait dengan pembahasan ini, dalam hadis al-musi’ shalatuhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak memerintahkan orang ini untuk mengulangi shalat-shalatnya yang
telah dia kerjakan sebelum peristiwa itu. Padahal bisa dipastikan shalat
orang ini batal, karena selalu tidak thuma’ninah, sebagaimana yang dia
nyatakan sendiri, ” Demi Allah…, aku tidak mampu shalat yang lebih baik
dari ini…” Keterangan yang ada, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya memerintahkan orang itu untuk mengulangi shalat yang saat itu baru dia kerjakan.
Kedua, dari Abdurrahman bin Abza, beliau menceritakan,
Ada seseorang yang datang kepada
Umar, dia bertanya, “Saya junub dan saya tidak mendapatkan air.” Spontan
Ammar bin Yasir berkata kepada Umar, “Masih ingatkah kamu, ketika kita
melakukan safar kemudian junub dan kita tidak mendapatkan air. Kamu
tidak shalat, sementara aku bergulung-gulung di tanah, lalu shalat.
Sepulang ke Madimah, aku tanyakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. kemudian beliau mengjari aku cara tayamum yang benar.” (HR. Bukhari 331 dan Muslim 368).
Pada hadis di atas, sahabt Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu,
tidak mengerjakan shalat karena junub, sebab dia tidak memahami tentang
kewajiban tayamum bagi orang yang junub dan tidak mendapatkan air.
Berbeda dengan Ammar bin Yasir. Beliau bergulung-gulung di tanah sebagai
pengganti mandi karena tidak tahu tata cara tayamum yang benar.
Terkait masalah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah memerintahkan kedua sahabat tersebut untuk mengulangi shalatnya.
Syaikhul Islam menjelaskan,
… وعلى
هذا لو ترك الطهارة الواجبة لعدم بلوغ النص ، مثل : أن يأكل لحم الإبل ولا
يتوضأ ثم يبلغه النص ويتبين له وجوب الوضوء ، أو يصلي في أعطان الإبل ثم
يبلغه ويتبين له النص : فهل عليه إعادة ما مضى ؟ فيه قولان هما روايتان عن
أحمد . ونظيره : أن يمس ذَكَره ويصلى ، ثم يتبين له وجوب الوضوء من مس
الذكر .
…Berdasarkan keterangan tersebut,
jika ada orang yang bersuci (mandi atau wudhu), karena belum sampai
dalil kepadanya, misalnya, ada orang yang makan daging onta, kemudian
tidak berwudhu ketika hendak shalat, karena tidak tahu dalilnya. Setelah
itu, dia baru tahu bahwa dia harus wudhu (setelah makan daging onta),
atau orang yang shalat di tempat menderum onta (karena tidak tahu),
kemudian dia mendapatkan hadisnya. Apakah dalam kasus-kasus di atas,
seseorang wajib mengulang shalat yang dulu dia lakukan? Ada dua
pendapat, dan keduanya diriwayatkan dari Imam Ahmad. Termasuk dalam hal
ini adalah, orang yang menyentuh kemaluannya (dengan syahwat) kemudian
shalat. Setelah itu dia tahu dalilnya, bahwa diwajibkan untuk wudhu
karena menyentuh kemaluan.
Syaikhul Islam kemudian menegaskan pendapat yang lebih kuat:
والصحيح
في جميع هذه المسائل : عدم وجوب الإعادة ؛ لأن الله عفا عن الخطأ والنسيان ؛
ولأنه قال { وما كنا معذبين حتى نبعث رسولا } ، فمن لم يبلغه أمر الرسول
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ في شيءٍ معيَّنٍ : لم يثبت حكم وجوبه
عليه ، ولهذا لم يأمر النبي صلى الله عليه وسلم عمر وعمَّاراً لما أجْنبا
فلم يصلِّ عمر وصلَّى عمار بالتمرغ أن يعيد واحد منهما ، وكذلك لم يأمر أبا
ذر بالإعادة لما كان يجنب ويمكث أياماً لا يصلي ، وكذلك لم يأمر مَن أكل
من الصحابة حتى يتبين له الحبل الأبيض من الحبل الأسود بالقضاء ، كما لم
يأمر مَن صلى إلى بيت المقدس قبل بلوغ النسخ لهم بالقضاء .
Yang benar dalam semua kasus di
atas: tidak wajib mengulangi shalat yang telah dia lakukan. Karena Allah
memaafkan perbuatan yang dilakukan karena kesalahan atau lupa. Dan
karena Allah telah berfirman, yang artinya: “Aku tidak akan memberi
adzab sampai Aku mengutus seroang rasul.” Sehingga siapa saja yang belum
mengetahui tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
amal tertentu, dia tidak dihukumi wajib melakukannya. Karena itulah,
ketika Umar bin Khatab dan Ammar bin Yasir keduanya mengalami junub,
kemudian Umar tidak shalat, sementara Ammar melakukan shalat setelah
bergulung di tanah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan mereka berdua untuk mengulangi shalatnya. Demikian pula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan Abu Dzar untuk mengqadha shalatnya, ketika dia junub dan tidak shalat beberapa hari. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga tidak memerintahkan sahabat yang masih makan sahur, padahal sudah
masuk waktu subuh, karena berpatokan dengan batas benang putih dan
benang hitam sudah kelihatan, untuk mengqadha puasanya. Termasuk,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan
orang yang shalat menghadap baitul maqdis karena tidak tahu bahwa itu
sudah diubah, untuk mengqadha shalat mereka… (Majmu’ Fatawa, 22:101 – 102)
Menyimpulkan dari keterangan
Syaikhul islam, pada kasus di atas, orang tersebut tidak diwajibkan
mengulangi semua shalat yang dilakukan dalam kondisi junub, selain
shalat yang masih dia jumpai waktunya.
Allahu a’lam
Sumber: Fatwa Islam, no. 45648
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer