Dalam hadis Ghadir khum, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yanga aku menjadi kekasihnya, maka Ali adalah kekasihnya.”
Pernyataan ini selanjutnya dijadikan dasar oleh syiah bahwa Ali telah diangkat sebagai Khalifah di Khum. Namun para penduduk madinah tidak amanah, dan mengkhianati pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Khum. Sehingga yang ditunjuk sebagai khalifah sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan Ali tapi Abu Bakr.
Ada beberapa catatan untuk menyatakan bahwa kesimpulan syiah tentang hadis ghadir khum adalah kesimpulan yang ngawur,
Pertama, Catatan Sisi Geografis
Bagi syiah, masalah kepemimpinan
merupakan masalah paling penting. Sampai mereka berani mengkafirkan Abu
Bakr, Umar, Utsman, dan beberapa sahabat lainnya, sebabnya kembali pada
masalah kepemimpinan.
Karena ini masalah sangat penting, seharusnya Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam akan menyampaikannya kepada seluruh umat manusia, sebelum beliau meninggal. Bagi Syiah, di Ghadir Khum, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
menyampaikan khutbah tentang Ali, dengan maksud kekhalifahan, yang
berarti Rasulullah menginginkan agar Ali menjadi khalifah sepeninggal
beliau.
Sanggahan Untuk Syiah
Jika kepemimpinan Ali adalah satu hal yang sangat penting sekali, bukankah seharusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyampaikan pesan ini kepada seluruh jamaah haji ketika di arafah?
Karena ketika di Arafah, semua jamaah haji dari berbagai negeri
berkumpul. Tidak hanya penduduk madinah, tapi seluruh penjuru jazirah
arab. Sehingga apabila penduduk Madinah berkhianat, dan mereka lebih
memilih Abu Bakr sebagai khalifah, maka umat muslim yang lainnya dari
luar Madinah bisa menjadi saksi akan hal itu.
Sementara jarak lembah Khum
dengan Mekah sekitar 250 km. Dan jarak antara Mekah dan Madinah adalah
400 km. Artinya, beliau telah melakukan separuh perjalanan, lebih dekat
dengan kota Madinah. Sehingga bisa dipastikan, jamaah haji dari Mekah,
atau pelosok daerah lainnya, tidak mengetahui kejadian di ghadir khum.
Sebagaian tokoh Syiah menyanggah, bahwa ketika itu (di hari Arafah) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
takut menyampaikan masalah khilafah ini kepada seluruh jamaah haji.
Beliau takut sabdanya ditolak, dan beliau takut pada jamaah haji yang
jumlahnya ribuan, sehingga tidak beliau sampaikan, dan hanya
menyampaikannya kepada penduduk Madinah.
Anda yang mendengar, tentu akan berkomentar, Pantaskah seorang Nabi takut pada para sahabat?
Kedua, Catatan Sisi Moral
Mereka yang mendengar khutbah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
ketika di Khum adalah masyarakat Madinah. Sehingga pesan ini didengar
oleh Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali sendiri, dan para sahabat senior
lainnya.
Menurut syiah, ada dua kemungkinan mengapa Ali bin Abi Thalib tidak
diangkat sebagai khalifah pertama oleh para penduduk Madinah, (1) Para
sahabat tidak paham dengan pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam khutbah tersebut. (2) Para sahabat berkhianat terhadap pesan
tersebut, sehingga mereka tidak mengangkat Ali sebagai khalifah pertama.
Dan dua kemungkinan ini jelas tidak bisa diterima.
Apakah mungkin semua sahabat yang tinggal bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
di Madinah tidak memahami maksud pesan beliau di Khum? Para sahabat
tidak paham, sementara syiah paham? Berarti para sahabat yang berada di
sekitar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang bodoh, sampai
pesan yang demikian penting mereka tidak pahami.
Kata syiah, mereka paham, tapi mereka berkhianat. Allahu akbar…
Berarti manusia yang berada di sekitar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah para pengkhianat. Yang itu berarti Allah membiarkan nabi-Nya bersama para pengkhianat.??
Para sahabat adalah para pengkhianat, dan syiah manusia paling amanah??!!
Ketiga, Catatan Latar Belakang Khutbah Ghadir Khum
Berikutnya kita perlu mengetahui latar belakang mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Barang siapa yanga aku menjadi kekasihnya, maka Ali adalah kekasihnya.” Karena salah satu cara untuk memahami maksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah memahami sababul wurud hadis. Dengan demikian, kita bisa memahami hadis lebih komprehensif.
Ada dua analisis yang dijelaskan para ulama menganai latar belakang khutbah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Ghadir Khum.
Analisis pertama, disimpulkan dari dua hadis berikut,
Hadis pertama, Dari Imran bin Hushoin radhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengirim pasukan. Dan beliau meminta Ali untuk mengambil harta rampasan
perangnya. Beliaupun menemui pasukan perang itu, dan mengambil seorang
tawana (budak) wanita, kemudian beliau menyetubuhinya. Para sahabatpun
mengingkari sikap Ali bin Abi Thalib. Dan ada 4 sahabat yang berjanji,
’Jika kita telah sampai Madinah, akan kita sampaikan apa yang dilakukan
Ali.’ Kebiasaan kaum muslimin, sepulang mereka dari safar, mereka mulai
dengan menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, memberi salam beliau, kemudian baru kembali ke rumahnya masing-masing.
Ketika pasukan perang ini sampai di Madinah, mereka memberi salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan salah satu dari 4 sahabat tadi melaporkan,
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَمْ تَرَ إِلَى عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ صَنَعَ كَذَا وَكَذَا
”Wahai Rasulullah, tahukan anda bahwa Ali telah melakukan tindakan demikian dan demikian”
Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling dan tidak mengindahkan laporan mereka. Orang kedua gantian melaporkan yang sama, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mempedulikannya. Orang ketiga juga demikian, dan terakhir orang keempat. Semuanya diacuhkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memandangi mereka dan nampak ada suasana marah di wajah beliau,
مَا تُرِيدُونَ مِنْ عَلِيٍّ؟ مَا تُرِيدُونَ
مِنْ عَلِيٍّ؟ مَا تُرِيدُونَ مِنْ عَلِيٍّ؟ إِنَّ عَلِيًّا مِنِّي
وَأَنَا مِنْهُ، وَهُوَ وَلِيُّ كُلِّ مُؤْمِنٍ مِنْ بَعْدِي
”Apa
yang kalian inginkan terhadap Ali? Apa yang kalian inginkan terhadap
Ali? Apa yang kalian inginkan terhadap Ali? Sesungguhnya Ali bagian
dariku dan aku bagian darinya. Dia menjadi kekasih setiap mukmin
sepeninggalku.” (HR. Turmudzi 3712 dan dishahihkan al-Albani).
Hadis kedua, kasus sama dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu
agar mendatangi Khalid, untuk mengambil seperlima. Dan aku menjadi
benci dengan Ali, karena dia telah mandi junub (karena menyetubuhi
tawanan/budak). Akupun menyampaikannya kepada Khalid, ’Lihat apa yang
dilakukan Ali.’
Sesampainya kami kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, akupun ceritakan kejadian itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau bersabda,
«يَا بُرَيْدَةُ أَتُبْغِضُ عَلِيًّا؟» فَقُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: «لاَ تُبْغِضْهُ فَإِنَّ لَهُ فِي الخُمُسِ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ»
”Hai Buraidah, apakah kamu membenci Ali.” Aku jawab: ‘Ya.’ Beliau
bersabda, “Janganlah kamu membencinya, karena dia berhak mendapatkan
seperlima yang lebih banyak dari pada seorang budak itu.” (HR. Bukhari 4350).
Cerita Selengkapnya
Sebelum berangkat haji, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
masih berada di Madinah, beliau telah mengirim Khalid bin walid ke
Yaman untuk suatu pertempuran. Setelah Khalid bin Walid menang dalam
tugas jihadnya, dia mengirim berita kepada Nabi, “Sesungguhnya kami
menang dan mendapatkan harta rampasan. Maka kirimkanlah orang kepada
kami untuk mengambil seperlima dari harta rampasan perang ini.” Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Ali bin Abi Thalib ke Yaman untuk
mengambil seperlima ghanimah itu dan memerintahkannya agar segera
kembali untuk bisa bersama beliau ke mekah melaksanakan haji.
Dalam aturan jihad, ghanimah
tersebut, dibagi menjadi lima: 4/5nya untuk para pejuang, sedangkan
1/5nya untuk dibawa Ali. Harta ghanimah yang dibawa Ali itupun akan
dibagi menjadi lim lagi: 1/5 untuk Allah dan Rasul, 1/5 untuk kerabat
Rasul, 1/5 untuk anak-anak yatim, 1/5 untuk kaum miskin dan 1/5 untuk
Ibnu Sabil.
Ali mengambil bagian yang
menjadi hak kerabat Nabi, karena dia pemimpin kerabat beliau. Wujudnya
adalah hewan seperti kuda, bighal, onta, sapi, kambing dan juga tawanan
(budak) wanita, anak-anak, atau laki-laki dewasa. Ali mengambil seorang
tawanan wanita lalu menggaulinya.
Sebagian sahabat, termasuk
Buraidah, menjadi marah dengan sikap Ali. Bagaimana bisa Ali melakukan
hal tersebut? Dia mengambil seorang tawanan wanita dari bagian kerabat
Rasulullah. Harusnya di Madinah dia mengambil tawanan itu, bukan di
sini.
Berita tentang Ali ini sangat
memungkinkan tersebar di seluruh penjuru Madinah. Sehingga untuk
mengembalikan nama baik Ali bin Abi Thalib, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam membenarkan sikap beliau, dan menyatakan, ”Dia menjadi
kekasih setiap mukmin sepeninggalku” (Syubuhat Syi’iyah, hlm. 49 – 50)
Analisis kedua, disimpulkan dari riwayat al-Baihaqi dari
hadis Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa setelah Ali pulang
dari Yaman, beliau langsung menuju Mekah. Sementara Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bertolak dari Madinah menuju Mekah untuk berhaji. Ali
membawa beberapa onta zakat dan pakaian.
Di perjalanan, Ali menunjuk salah satu sahabat untuk menggantikan
posisi beliau dan Ali menyuruh rombongan untuk mendahului beliau. Beliau
melarang semua sahabat menaiki onta-onta tersebut dan melarang memakai
pakain yang dibawa rombongan.
Setelah Ali menyusul, ternyata
beberapa onta telah dinaiki dan beberapa kain telah dipakai para
sahabat. Alipun memarahi mereka dengan keras, sehingga membuat beberapa
sahabat merasa tidak nyaman dengan sikap Ali. Diantaranya Abu Said
al-Khudri. Setelah mereka ketemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Merekapun menyampaikan sikap Ali ini. Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam membenarkan sikap Ali, dan bersabda kepada mereka,
فإني علمت أن عليا قد أحسن فلا تبغضوا عليا
“Saya tahu sikap Ali, dia benar dalam bersikap, karena itu, janganlah kalian marah kepada Ali.”
Al-Hafidz Ibnu Katsir menilai riwayat Baihaqi ini sanadnya shahih. Kemudian beliau menjelaskan,
أنه
عليه السلام خطب بمكان بين مكة والمدينة مرجعه من حجة الوداع قريب من
الجحفة يقال له غدير خم فبين فيها فضل علي بن أبي طالب وبراءة عرضه مما كان
تكلم فيه بعض من كان معه بأرض اليمن بسبب ما كان صدر منه اليهم من المعدلة
التي ظنها بعضهم جورا وتضييقا وبخلا والصواب كان معه في ذلك
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkhutbah di lembah antara Mekah dan Madinah, sepulang dari haji
Wada’, dekat dengan daerah juhfah, namanya Ghadir Khum. Di sana, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan keutamaan Ali bin Abi Thalib
dan beliau membersihakn nama Ali, dari setiap komentar beberapa sahabat
yang bersama beliau dari Yaman, karena kebijakan Ali terhadap mereka,
yang mereka anggap sebagai tindakan kedzaliman dan sikap bakhil. Padahal
yang benar adalah sikap Ali.
Kemudian Ibnu Katsir kembali menegaskan,
ولهذا
لما تفرغ عليه السلام من بيان المناسك ورجع الى المدينة بين ذلك في أثناء
الطريق فخطب خطبة عظيمة في اليوم الثامن عشر من ذي الحجة عامئذ وكان يوم
الأحد بغدير خم تحت شجرة هناك فبين فيها أشياء وذكر من فضل علي وأمانته
وعدله وقربه اليه ما أزاح به ما كان في نفوس كثير من الناس منه
Karena itu, setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
selesai manasik, dan kembali ke Madinah, di tengah jalan pada tanggal
18 Dzulhijjah di tahun yang sama, bertepatan dengan hari Ahad di Ghadir
Khum, di bawah pepohon, beliau menyampaikan khutbah yang sangat
menyentuh. Beliau jelaskan beberapa hal, dan menyebutkan keutamaan Ali,
bagaimana amanahnya Ali, keadilannya, dan kedekatannya dengan beliau.
Yang ini akan menghilangkan ketidak-nyamanan di hati banyak sahabat
terhadap Ali radhiyallahu ‘anhum. (al-Bidayah wa an-Nihayah, 5/208).
Berdasarkan keterangan ini, kita
bisa mengambil kesimpulan bahwa tujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyampaikan khutbah di ghadir Khum, bukan dalam rangka
menobatkan Ali sebagai khalifah sepeninggal beliau. Jelas ini kesimpulan
yang salah. Tapi dalam rangka membersihkan nama baik Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu.
Allahu a’lam
Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Pengasuh KonsultasiSyariah.com)
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer