Memang sangat berbeda sekali sikap seorang yang berilmu dengan orang
yang tidak berilmu dalam menghadapi perbedaan pendapat. Semoga tiga
kisah berikut memberikan masukan tersendiri bagi kita semua.
1).
Contoh nyata dari ulama abad ke 20, yaitu perselisihan yang terjadi
Syaikh al-Albani dengan Syaikh Hamud at-Tuwaijiri rahimahumallah dalam
beberapa permasalahan. Satu sama lain saling membantah, setiap orang
memiliki pandangan sendiri-sendiri. Suatu ketika Syaikh al-Albani datang
ke kota Riyadh, tepatnya pada tahun 1410 H, dan ditemui oleh Syaikh
Hamud at-Tuwaijiri pada acara perjamuan makan malam di rumah seorang
ulama. lalu Syaikh Hamud mengundang Syaikh al-Albani untuk berkunjung ke
rumahnya, Syaikh al-Albani pun memenuhi undangannya. Datanglah Syaikh
al-Albani ke rumah Syaikh Hamud, dan ternyata keduanya saling
menghormati satu sama lain dan saling mengutamakan saudaranya. Lenyaplah
perselisihan dan yang tersisa adalah persaudaraan dan saling sayang.
Sekiranya engkau bercerita bahwa Syaikh al-Albani pernah berkunjung ke rumah Syaikh Hamud niscaya cerita ini tidak akan percaya, karena selama ini yang masyhur dari keduanya adalah adanya perselisihan dalam beberapa permasalahan.
Lebih dari itu, salah satu putra Syaikh Hamud bercerita bahwa di antara hal yang membuat takjub para tamu undangan adalah, bahwa beliau sangat menghormati Syaikh al-Albani, beliau sendiri yang menyuguhkan makanan kepadanya dan lebih mengutamakan tamunya dari pada dirinya sendiri, dan ketika pulang beliau mengantar Syaikh al-Albani sampai depan pintu. Semoga Allah merahmati keduanya. (Ma’aalim fi Thariq Thalab al-‘Ilmi, Syaikh as-Sadhan)
2). Syaikh Ali
al-Halabi hafizhahullah bercerita: “Adapun yang kedua ialah kisah
bersama Syaikh kita al-Albani rahimahullah, yakni sikap beliau terhadap
Ustadz kami Syaikh Muhammad Nasib ar-Rifa’i rahimahullah, Syaikh
al-Albani tidak mau menegur Syaikh Muhammad Nasib beberapa tahun
dikarenakan permasalahan keyakinan/akidah dalam ranah ijtihad. Meski
demikian Syaikh al-Albani sangat tahu bahwa pada waktu itu kami sering
mendatangi Syaikh Muhammad Nasib dan menyusun jadwal kajian yang diisi
oleh beliau. Kami juga ikut membantu beliau dalam merampungkan beberapa
tulisannya, sebagaimana kami pun pernah berkunjung ke rumah beliau
dengan beberapa tamu mulia dari sana sini, dst. Namun, demi Allah, tidak
pernah kami melihat Syaikh al-Albani suatu hari marah dengan sikap kami
tersebut, beliau juga tidak meminta kami untuk mengubah sikap tersebut,
tidak mengancam atau menguji kami, dan tidak pula mengharuskan kami
mengikuti beliau rahimahullah, apalagi sampai tidak tegur sapa dengan
kami dan meragukan manhaj salaf kami, serta tidak pula beliau
merendahkan kedudukan kami atau memperingatkan umat dari kami
(mentahdzir kami).” (Manhaj as-Salaf ash-Shalih, cerita dari Syaikh Ali
bin Hasan al-Halabi)
3). Adalah al-’Allamah Syaikh Abdulhay
al-Laknawi rahimahullah, salah seorang tokoh ulama besar yang sezaman
dengan Syaikh Shiddiq Hasan Khan (ulama India Abad 13 H), ia sering
membantah dan mengkritik Syaikh Shiddiq dalam risalah dan kitab yang
ditulisnya, baik dengan isyarat maupun secara terang-terangan. Namun,
ketika mendengar kabar kematian Syaikh al-Laknawi, beliau mendoakan
rahmat untuknya.
as-Sayyid Ali Hasan, putra Syaikh Shiddiq
bertutur: “Tatkala berita kematian al-’Allamah Abdulhay bin Abdulhalim
al-Laknawi sampai kepada ayahku, beliau meletakkan tangannya ke dahi.
Sejenak ia menundukkan kepala lalu mengangkatnya kembali dengan air mata
berlinang di pipi. Ia mendoakan kebaikan dan rahmat untuk Syaikh
al-Laknawi dan berkata: “Hari ini, matahari ilmu telah tenggelam.” Ia
melanjutkan: “Sesungguhnya perselisihan yang terjadi di antara kami
hanya sebatas penelitian beberapa permasalahan saja.” Dan Syaikh tidak
mau makan pada malam berkabungnya itu.”
Semoga Allah senantiasa merahmati mereka dan memudahkan jalan menuju surga.
Oleh: Abu Musa Jauhari
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer