Oleh
Ustadz Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari
Ustadz Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari
Kalimat Lâ
ilâha illa Allâh yang diucapkan oleh seorang Muslim memiliki makna yang
sangat agung. Diantara maknanya adalah mengesakan Allâh Azza wa Jalla
dengan ketaatan dalam menghalalkan apa yang Allâh Azza wa Jalla halalkan
dan mengharamkan apa yang Allâh Azza wa Jalla haramkan.
Maka
barangsiapa mentaati selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam menghalalkan
apa yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala haramkan dan mengharamkan apa yang
Allâh Subhanahu wa Ta’ala halalkan, sedangkan dia mengetahui hal itu,
berarti dia telah menyekutukan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam ketaatan.
Allâh Azza wa Jalla berfirman memberitakan tentang orang-orang
Yahudi dan Nashâra yang telah mengangkat orang-orang ‘alim dan
rahib-rahib mereka sebagai “tuhan-tuhan” selain Allâh. Dia Azza wa Jalla
berfirman :
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا
مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا
لِيَعْبُدُوا إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ سُبْحَانَهُ
عَمَّا يُشْرِكُونَ
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan
rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allâh, dan (juga mereka
menjadikan Rabb ) al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh
beribadah kepada Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (yang berhak
diibadahi) selain Dia. Maha suci Allâh dari apa yang mereka
persekutukan. [at-Taubah/9:31]
Syaikh Muhammad bin Shâlih
al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Arbâb adalah jama’ dari rabb,
artinya: Pengatur dan Pemilik. (Bentuk) pengaturan (Allâh) ada dua
macam: pengaturan yang berkaitan dengan taqdir dan pengaturan yang
berkaitan dengan syari’at. Barangsiapa mentaati Ulama’ dalam menyelisihi
perintah atau keputusan Allâh dan Rasul-Nya, maka dia telah menjadikan
mereka sebagai rabb selain Allâh dengan penilaian pengaturan yang
berkaitan dengan syari’at, karena dia menilai mereka sebagai para
pembuat syari’at, dan menilai pembuatan syari’at itu sebagai syari’at
yang diamalkan”. [al-Qaulul Mufîd ‘ala Kitâbit Tauhîd, 2/101]
Ayat
ini dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh sahabat ‘Adi bin Hâtim Radhiyallahu anhu
sebagai berikut:
عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ قَالَ أَتَيْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي عُنُقِي صَلِيبٌ مِنْ
ذَهَبٍ فَقَالَ يَا عَدِيُّ اطْرَحْ عَنْكَ هَذَا الْوَثَنَ وَسَمِعْتُهُ
يَقْرَأُ فِي سُورَةِ بَرَاءَةَ ((اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ
وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ)) قَالَ أَمَا إِنَّهُمْ
لَمْ يَكُونُوا يَعْبُدُونَهُمْ وَلَكِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا أَحَلُّوا
لَهُمْ شَيْئًا اسْتَحَلُّوهُ وَإِذَا حَرَّمُوا عَلَيْهِمْ شَيْئًا
حَرَّمُوهُ
Dari ‘Adi bin Hatim, dia berkata, “Aku mendatangi Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sedangkan pada leherku ada (kalung)
salib yang terbuat dari emas. Maka beliau bersabda, 'Hai ‘Adi, buanglah
berhala itu darimu!” Dan aku mendengar beliau membaca (ayat al-Qur’an)
dalam surat Barâ’ah (at-Taubah, yang artinya), “Mereka (orang-orang
Yahudi dan Nashrani) menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib
mereka sebagai rabb-rabb (tuhan-tuhan) selain Allâh”, beliau bersabda,
'Sesungguhnya mereka itu (para pengikut) tidaklah beribadah kepada
mereka (orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka). Akan tetapi jika
mereka (orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka) menghalalkan sesuatu
untuk mereka, merekapun menganggap halal. Jika mereka (orang-orang
alimnya dan rahib-rahib mereka) mengharamkan sesuatu untuk mereka,
merekapun menganggap haram”. [HR. Tirmidzi, no: 3095; dihasankan oleh
Syaikh al-Albâni]
Di dalam riwayat yang lain dengan lafazh :
عَنْ
عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي عُنُقِي صَلِيبٌ مِنْ ذَهَبٍ
فَسَمِعْتُهُ يَقُوْلُ (اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ
أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّه)ِ قَالَ: قُلْتُ: يَارَسُوْلَ اللهِ!
إِنَّهُمْ لَمْ يَكُونُوا يَعْبُدُونَهُمْ. قَالَ: أَجَلْ , وَلَكِنْ
يُحِلُّوْنَ مَا حَرَّمَ اللهُ فَيَسْتَحِلُّونَهُ وَيُحَرِّمُوْنَ
عَلَيْهِمْ مَا أَحَلَّ اللهُ فَيُحَرِّمُوْنهُ , فَتِلْكَ عِبَادَتُهُمْ
لَهُمْ
Dari ‘Adi bin Hatim Radhiyallahu anhu, dia berkata: “Aku
mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sedangkan pada leherku
terdapat (kalung) salib yang terbuat dari emas. ‘Adi bin Hâtim juga
berkata: “Dan aku mendengar beliau membaca (ayat al-Qur’an, yang
artinya), “Mereka (orang-orang Yahudi dan Nashrani) menjadikan
orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb
(tuhan-tuhan) selain Allah”. ‘Adi bin Hâtim berkata, 'Wahai Rasûlullâh,
sesungguhnya mereka itu (para pengikut) tidaklah beribadah kepada mereka
(orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka)”. Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Ya, akan tetapi mereka (orang-orang alimnya dan
rahib-rahib mereka) menghalalkan apa yang Allâh haramkan, lalu merekapun
menganggapnya halal. Dan mereka (orang-orang alimnya dan rahib-rahib
mereka) mengharamkan apa yang Allâh halalkan, lalu merekapun
menganggapnya haram. Itulah peribadahan mereka (para pengikut) kepada
mereka (para pendeta)”. [HR. al-Baihaqi di dalam Sunan al-Kubra, 1/166,
dinukil dari asy-Syirku fil Qadîm wal Hadîts, hlm. 1109, karya: Abu
Bakar Muhammad Zakaria]
al-Baihaqi juga meriwayatkan dari Abul Bakhtari, dia berkata :
سُئِلَ
حُذَيْفَةُ بْنُ الْيَمَانِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ هَذِهِ الْأَيَةِ
((اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ
اللَّه)ِ أَكَانُوْا يُصَلُّوْنَ لَهُمْ ؟ قَالَ: لاَ, وَلَكِنَّهُمْ
كَانُوْا يُحِلُّوْنَ لَهُمْ مَا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِمْ
فَيَسْتَحِلُّونَهُ وَيُحَرِّمُوْنَ عَلَيْهِمْ مَا أَحَلَّ اللهُ لَهُمْ
فَيُحَرِّمُوْنهُ, فَصَارُوْا بِذَلِكَ أَرْبَابًا
Hudzaifah bin
al-Yaman Radhiyallahu anhu ditanya tentang ayat ini (yang artinya),
“Mereka (orang-orang Yahudi dan Nashrani) menjadikan orang-orang alimnya
dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb (tuhan-tuhan) selain Allah”.
Apakah mereka (para pengikut itu) melakukan shalat kepada mereka (para
pendeta) ? Beliau Radhiyallahu anhu menjawab, “Tidak ! Akan tetapi
mereka (orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka) menghalalkan apa
yang Allâh haramkan atas mereka, lalu merekapun menganggapnya halal. Dan
mereka (orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka) mengharamkan apa
yang Allâh halalkan, lalu merekapun menganggapnya haram. Sehingga dengan
sebab itu jadilah mereka (para pendeta) sebagai rabb-rabb
(tuhan-tuhan)”. [HR. al-Baihaqi di dalam Sunan al-Kubra, 1/166, dinukil
dari asy-Syirku fil Qadîm wal Hadîts, hlm. 1109, karya: Abu Bakar
Muhammad Zakaria]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “ar-Rabî’
bin Anas berkata, 'Aku bertanya kepada Abul ‘Aliyah, 'Bagaimana
rububiyah yang ada pada Bani Israil (yakni para pengikut yang menjadikan
para pendeta sebagai tuhan-pen) ?' Beliau menjawab, “Rubûbiyah (pada
mereka) itu adalah bahwa mereka mendapati dalam kitab Allâh apa-apa yang
diperintahkan dan dilarang buat mereka, lalu mereka mengatakan, “Kita
tidak akan mendahului para pendeta kita dengan sesuatupun. Apa yang
mereka perintahkan kepada kita, kita laksanakan, dan apa yang mereka
larang, kita tinggalkan, karena perkataan mereka.” Mereka meminta
nasehat kepada manusia (para tokoh mereka-pent) dan membuang kitab Allâh
di belakang punggung mereka. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menjelaskan bahwa peribadahan para pengikut itu kepada para pendeta
adalah dalam hal menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal,
bukan dengan melakukan shalat dan puasa untuk para pendeta (dan bukan
pula-red) berdo'a kepada mereka dari selain Allâh. Inilah peribadahan
(penyembahan) kepada manusia. Dan itu peribadahan kepada harta. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskannya. Dan Allâh Azza wa
Jalla menyebutkan bahwa itu merupakan kemusyrikan dengan firman-Nya.
لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Tidak
ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allâh dari apa
yang mereka persekutukan. (at-Taubah/9:31)”. [Majmû’ Fatâwâ, 7/66]
Tentang syirik taat ini, Allâh Azza wa Jalla juga menyebutkan dalam firman-Nya :
وَلَا
تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ
لَفِسْقٌ ۗ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَىٰ أَوْلِيَائِهِمْ
لِيُجَادِلُوكُمْ ۖ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
Dan
janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allâh
ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah
suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada
kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti
mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.
[al-An’âm/6:121]
Ayat ini dijelaskan oleh sahabat Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu, sebagai berikut:
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ
يُذْكَرْ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ قَالَ خَاصَمَهُمْ الْمُشْرِكُونَ
فَقَالُوا مَا ذَبَحَ اللَّهُ فَلَا تَأْكُلُوهُ وَمَا ذَبَحْتُمْ أَنْتُمْ
أَكَلْتُمُوهُ
Dari Ibnu ‘Abbas tentang firman Allâh Azza wa Jalla
(yang artinya), “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang
tidak disebut nama Allâh ketika menyembelihnya”, beliau Radhiyallahu
anhu berkata: “Orang-orang musyrik membantah orang-orang beriman, mereka
mengatakan, “Apa yang Allâh sembelih, kamu tidak mau memakannya,
sedangkan apa yang kamu sembelih sendiri kamu memakannya”. [HR.
an-Nasai, no: 4437; dishahihkan oleh al-Albani]
Imam as-Sindi
rahimahullah menjelaskan maksud hadits ini dalam syarah beliau, “Yaitu
orang-orang musyrik membantah orang-orang beriman, mereka menunjukkan
dalil kebatilan agama umat Islam dengan mengatakan, 'Kamu (umat Islam)
mengharamkan penyembelihan Allâh, yaitu bangkai, namun kamu menghalalkan
penyembelihan kamu. Ini perkara yang jauh (dari kebenaran)!” Maka Allâh
Subhanahu wa Ta’ala menurunkan firman-Nya (yang artinya), “Dan
janganlah kamu memakan...al-Ayat” untuk membantah syubhat tersebut.
Kesimpulan jawabannya adalah bahwa penyembelihan itu menjadi halal
hanyalah karena disebut nama Allâh padanya, sementara bangkai tidak
disebut nama Allâh padanya, sehingga bangkai menjadi haram.” [Syarah
Nasa'i, karya as-Sindi]
Ibnul A’rabi rahimahullah berkata,
“Seorang Mukmin menjadi musyrik hanya dengan sebab mentaati orang
musyrik dalam keyakinannya yang merupakan tempat kekafiran dan keimanan.
Jika dia mentaatinya dalam perbuatan, sedangkan keyakinannya selamat
selalu di atas tauhid dan pembenaran, maka dia orang yang bermaksiat,
maka fahamilah itu di seluruh tempat (dalam al-Qur’an-pen)”. [Ahkâmul
Qur’ân, 2/752; dinukil dari al-Hukmu bi ghairi Mâ Anzalallâh, hlm.
170-171, cet: ke 4, th: 1421 H, karya: Syaikh Dr. Khalid
al-‘Anbari]Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Ayat ini menunjukkan bahwa
barangsiapa menghalalkan sesuatu dari apa-apa yang Allâh haramkan maka
dia menjadi musyrik. Allâh Azza wa Jalla telah mengharamkan bangkai
secara tegas, maka jika ada seseorang menerima hukum halalnya bangkai
dari selain Allah, maka dia telah berbuat syirik”. [al-Jâmi’ li Ahkâmil
Qur’ân, 7/77-78; dinukil dari al-Hukmu bi ghairi Mâ Anzalallâh, hlm:
171]
Az-Zajjaj rahimahullah mengatakan, “Dalam firman Allâh Azza
wa Jalla (yang artinya), “Jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu
tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”, merupakan dalil bahwa semua
orang yang menghalalkan apa yang Allâh haramkan, atau mengharamkan apa
yang Allâh halalkan, maka dia orang musyrik. Dia dinamakan musyrik
karena dia menetapkan hakim (pembuat hukum) selain Allâh Azza wa Jalla ,
inilah perbuatan syirik”. [Mahâsinut Ta’wîl, 6/2491. Dinukil dari
al-Hukmu bi ghairi Mâ Anzalallâh, hlm: 170-171]
Namun yang perlu
diketahui bahwa ketaatan dalam menghalalkan yang haram dan mengharamkan
yang halal itu ada perincian hukum bagi pelakunya. Syaikhul Islam
rahimahullah menjelaskan masalah ini dengan gamblang dengan
perkataannya, “Mereka ini, orang-orang yang menjadikan orang-orang
alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb (tuhan-tuhan), yang
mana mereka taati dalam menghalalkan apa-apa yang Allâh haramkan, dan
mengharamkan apa-apa yang Allâh halalkan, ada dua macam :
Pertama,
mereka (para pengikut) itu tahu bahwa para pendeta telah mengganti
agama Allâh, lalu mereka mengikuti para pendeta itu dalam pergantian
ini. Sehingga mereka meyakini penghalalan apa yang Allâh haramkan dan
pengharaman apa yang Allâh halalkan, karena mengikuti pemimpin-pemimpin
mereka, padahal mereka tahu bahwa para pemimpin mereka menyelisihi agama
para Rasul, maka ini adalah sebuah kekafiran. Allâh dan Rasul-Nya telah
menghukuminya sebagai kemusyrikan, walaupun para pengikut ini tidak
melakukan shalat dan tidak bersujud untuk para pemimpin mereka. Maka
barangsiapa mengikuti orang lain dalam menyelisihi agama, padahal dia
tahu itu menyelisihi agama, dan dia meyakini apa yang dikatakan orang
lain itu, tidak meyakini apa yang telah dikatakan oleh Allâh dan
Rasul-Nya, maka dia menjadi orang musyrik seperti mereka (Yahudi dan
Nashara).
Kedua, bahwa keyakinan dan iman mereka dengan
pengharaman yang halal dan penghalalan yang haram itu tetap,[1] akan
tetapi mereka (para pengikut) mentaati mereka (para pemimpin) dalam
bermaksiat kepada Allâh, sebagaimana yang dilakukan oleh seorang Muslim
ketika melakukan kemaksiatan dengan tetap meyakini bahwa itu sebuah
kemaksiatan, maka mereka ini memiliki hukum sebagaimana pelaku maksiat
semacam mereka.
Kemudian orang yang mengharamkan yang halal dan
menghalalkan yang haram itu, jika dia seorang mujtahid yang berniat
mengikuti Rasul, akan tetapi kebenaran yang sebenarnya samar baginya,
sementara dia juga bertaqwa kepada Allâh sesuai dengan kemampuannya,
maka orang ini tidak akan disiksa oleh Allâh dengan sebab kesalahannya,
bahkan Allâh memberinya pahala atas ijtihadnya, yang dengannya dia telah
mentaati Rabbnya.
Tetapi orang yang mengetahui bahwa itu
menyalahi apa yang dibawa oleh Rasul, kemudian dia tetap mengikuti
kesalahannya itu, dan dia menyimpang dari perkataan Rasul, maka orang
ini mendapatkan bagian dari kemusyrikan yang dicela oleh Allâh Azza wa
Jalla . Apalagi jika dia mengikutkan hawa-nafsunya, membelanya dengan
lidah dan tangannya, padahal dia tahu bahwa orang yang diikuti itu
menyelisihi Rasul, maka ini merupakan kemusyrikan yang pelakunya berhak
mendapatkan hukuman atasnya”. [Majmû’ Fatâwâ, 7/70]
Setelah kita
mengetahui penjelasan-penjelasan di atas, maka alangkah banyaknya
manusia di zaman ini yang terjerumus ke dalam penyimpangan ini, baik
mereka sadari atau tidak mereka sadari. Hanya Allâh Tempat memohon
pertolongan.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun
XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197
Fax 0271-858196]
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer