Tanya:
Jika
istri bekerja, apakah suami berhak menikmati penghasilan istri?. Misal,
istri baru mendapat insentif dari perusahaan d luar gaji. Kmd suami
minta sebagian uang istri utk beli iPad. Trim’s
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Tanggung jawab terbesar suami yang menjadi hak istri adalah memberikan nafkah.
Terdapat banyak dalil yang menunjukkan tanggung jawab memberi nafkah istri, diantaranya,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Lelaki adalah pemimpin
bagi wanita, disebabkan kelebihan yang Allah berikan kepada sebagian
manusia (lelaki) di atas sebagian yang lain (wanita) dan disebabkan
mereka memberi nafkan dengan hartanya ….” (Q.S. An-Nisa’:34)
Allah juga berfirman,
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Merupakan
kewajiban bapak (orang yang mendapatkan anak) untuk memberikan nafkah
kepada istrinya dan memberinya pakaian dengan cara yang wajar ….” (Q.S. Al-Baqarah:233)
Dalam hadis dari Muawiyah bin Haidah radhiyallahu ‘anhu, beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‘Ya Rasulullah, apa hak istri yang menjadi tanggung jawab kami?’
Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَنْ
تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ أَوْ
اكْتَسَبْتَ وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ
إِلَّا فِي الْبَيْتِ
“Engkau
memberinya makan apabila engkau makan, memberinya pakaian apabila
engkau berpakaian, janganlah engkau memukul wajah, jangan engkau
menjelek-jelekkannya (dengan perkataan atau cacian), dan jangan engkau
tinggalkan kecuali di dalam rumah.” (HR. Ahmad 20013, Abu Daud no. 2142, Ibnu Majah 1850, dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).
Nafkah Suami kepada Istri Bernilai Sedekah
Nafkah yang diberikan suami
kepada istrinya, merupakan ibadah terbesar suami terhadap keluarganya.
Karena memberikan nafkah keluarga merupakan beban kewajiban syariat
untuk para suami.
Dari Abu Mas’ud al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا أَنْفَقَ المُسْلِمُ نَفَقَةً عَلَى أَهْلِهِ، وَهُوَ يَحْتَسِبُهَا، كَانَتْ لَهُ صَدَقَةً
”Apabila seorang muslim memberikan nafkah kepada keluarganya dan dia mengharap pahala darinya maka itu bernilai sedekah.” (HR.Bukhari 5351).
Dalam hadis lain dari Sa’d bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّكَ مَهْمَا أَنْفَقْتَ مِنْ نَفَقَةٍ، فَإِنَّهَا صَدَقَةٌ، حَتَّى اللُّقْمَةُ الَّتِي تَرْفَعُهَا إِلَى فِي امْرَأَتِكَ
“Semua nafkah yang engkau berikan, itu bernilai sedekah. Hingga suapan yang engkau ulurkan ke mulut istrimu.” (HR. Bukhari 2742 dan Muslim 1628).
Apa Cakupan Nafkah?
Dalam Fatawa Islam ditegaskan,
والنفقة تشمل : الطعام والشراب والملبس والمسكن ، وسائر ما تحتاج إليه الزوجة لإقامة مهجتها ، وقوام بدنها
Nafkah mencakup: makanan,
minuman, pakaian, tempat tinggal, dan segala sarana yang menjadi
kebutuhan istri untuk hidup dengan layak. (Fatawa Islam no. 3054).
Harta Istri
Berdasarkan keterangan di
atas, kita menyimpulkan bahwa dari setiap penghasilan yang diperoleh
suami, di sana ada jatah nafkah istri yang harus ditunaikan.
Ini berbeda dengan harta
istri. Allah menegaskan bahwa harta itu murni menjadi miliknya, dan
tidak ada seorangpun yang boleh mengambilnya kecuali dengan kerelaan
istri. Dalil kesimpulan ini adalah ayat tentang mahar,
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Berikanlah
maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian
dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (QS. An-Nisa: 4)
Fatawa Syabakah Islamiyah menjelaskan tafsir ayat ini,
والآية
الكريمة علقت جواز أخذ مال الزوجة على أن يكون بطيب النفس وهو أبلغ من
مجرد الإذن، فإن المرأة قد تتلفظ بالهبة والهدية ونحو ذلك بسبب ضغط الزوج
عليها مع عدم رضاها بإعطائه، وعلم من هذا أن المعتبر في تحليل مال الزوجة
إنما هو أن يكون بطيب النفس
Ayat di atas menjelaskan
bahwa suami boleh mengambil harta istri jika disertai kerelaan hati. Dan
kerelaan hati itu lebih dari sebatas izin. Karena terkadang ada wanita
yang dia menghibahkan atau menghadiahkan hartanya atau semacamnya,
disebabkan tekanan suami kepadanya. Sehingga diberikan tanpa kerelaan.
Disimpulkan dari sini, bahwa yang menjadi acuan tentang halalnya harta
istri adalah adanya kerelaan hati. (Fatawa Syabakah Islamiyah, no.
32280)
Jika harta mahar, yang itu
asalnya dari suami diberikan kepada istrinya, tidak boleh dinikmati
suami kecuali atas kerelaan hati sang istri, maka harta lainnya yang
murni dimiliki istri, seperti penghasilan istri atau warisan milik istri
dari orang tuanya, tentu tidak boleh dinikmati oleh suaminya kecuali
atas kerelaan istri juga.
Dalam Fatwa Islam ditegaskan,
وأما بخصوص راتب الزوجة العاملة : فإنه من حقها ، وليس للزوج أن يأخذ منه شيئاً إلا بطِيب نفسٍ منها
”Khusus masalah gaji istri
yang bekerja, semuanya menjadi haknya. Suami tidak boleh mengambil harta
itu sedikitpun, kecuali dengan kerelaan hati istrinya.” (Fatwa Islam,
no. 126316) .
Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer