Dalam
Islam, dukun santet alias tukang sihir pun hukumannya adalah hukum
bunuh. Hukuman bagi tukang sihir adalah tergantung kepada kegiatan
sihirnya. Jika pekerjaan atau ucapan yang berkaitan dengan sihirnya itu
menyebabkan kekufuran, maka ia harus dibunuh. Rasulullah
ShallallahuAlaihi wa Sallam bersabda:
حَدُّ السَّاحِرِ ضَرْبَةٌ بِالسَّيْفِ
“Hukuman bagi tukang sihir adalah ditebas dengan pedang.” (HR.
At-Tirmidzi dan Ad-Daruquthni, marfu’dan mauquf. Hadits yang mauquf
shahih, sedangkan yang marfu’ dha’if. Tetapi hadits ini diamalkan,
sejalan dengan pernyataan Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan sebagian
besar ulama sebelum mereka, baik dari para sahabat maupun dari tabi’
in).
Jika perbuatan dan perkataan yang dikaitkan dengan sihirnya itu tidak mengakibatkan kekufuran, maka si dukun itu harus dita’zir (diberikan hukuman tertentu) dan diperintahkan untuk bertaubat. Jika ia bertaubat maka tidak dibunuh), tetapi jika menolak, maka ia harus dibunuh, karena sihir itu pada akhirnya tidak akan pernah sepi dari perbuatan atau perkataan yang akan menjerumuskan kepada kekafiran, karena keumuman (pengertian) firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
“…Dan keduanya (Harut dan
Marut) tidaklah mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum
mengatakan, ‘Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu
janganlah kamu kafir, Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu
apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang
(suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi
mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun kecuali dengan izin Allah.
Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepada mereka dan
tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka teiah meyakini bahwa
barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah
baginya keuntungan di akherat, dan amat jahatlah perbuatan mereka
menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui.” (Al-Baqarah: 102)
Bahaya Fitnah Dukun
Mestinya
masyarakat mengajukan para dukun dan tukang sihir kepada pengadilan
agar diadili dan kemudian dieksekusi/dihukum mati. Tetapi yang terjadi
justru masyarakat berduyun-duyun ke dukun, termasuk di antaranya adalah
para pejabat, bahkan polisi yang tugasnya adalah menyidik tindak
kejahatan. Di sinilah rancunya perilaku masyarakat, seakan sudah di
ambang kiamat, dan manusia di muka bumi tidak ada yang beriman lagi,
yaitu seperti yang disabdakan oleh Nabi Shallalhhu Ahihi wa Sallam dalam
hadits yang panjang, di antara penggalannya adalah: “…Mereka tidak mengenal kebaikan, dan tidak mengingkari kemunkaran…” (HR. Muslim)
Coba kita lihat perilaku masyarakat dalam kaitannya dengan perdukunan. Polisi yang tugasnya menyidik kejahatan justru sering terdengar adanya hubungan dengan dukun atau paranormal. Pejabat dari tingkat desa sampai tingkat negara sering terdengar mereka main dukun alias pergi ke dukun. Sampai-sampai pejabat Departemen Agama pun main dukun, menurut Menteri Agama (1983-1993), H. Munawir Sjadzali MA, hingga beliau sempat mengeluh dan prihatin. Para pejabat yang seharusnya menjadi teladan masyarakat kok malah berdukun.
Logikanya, yang pejabat Departemen Agama saja main dukun, maka apalagi pihak-pihak yang lain. Penulis punya pengalaman tahun 1980-an, mendapat dorongan masyarakat untuk ikut ujian calon lurah/kepala desa. Ujian calon lurah saat itu dilaksanakan secara serempak se-kabupaten. Lalu masing-masing kelurahan diadakan pemilihan lurah bagi yang lulus ujian. Rakyat memilih satu orang dari beberapa calon yang telah lulus ujian. Penulis terus terang tidak lulus, jadi tidak ikut sebagai calon dalam pemilihan lurah. Sampai sekarang masih ada teman yang dulunya ujian calon lurah bersama penulis, kini ia masih jadi lurah dan jadi muballigh sambil berdagang.
Dalam hal perdukunan (tidak ada kaitan dengan teman penulis yang masih jadi lurah tersebut), ada pemandangan yang unik. Seorang calon lurah, waktu berlangsungnya pilihan lurah, dia duduk di depan, berderet dengan para calon lurah (3 orang). Dia pakai jas kroak (bagian belakang dicoak) warna hitam, lengkap dengan keris di pinggang, dan blangkon di kepala. (Blangkon adalah tutup kepala dari batik dilipat-lipat, berbentuk bulat seperti peci, di bagian belakang dibentuk bulatan agak menonjol, namanya mondolan. Kata orang sinis, itu pertanda sikap orang Jawa, di wajah tampak senyum walaupun di hati sebenarnya dongkol). Sementara itu mulut si calon lurah yang satu ini selalu mengisap cerutu terus menerus selama berlangsungnya pemilihan. Penulis heran melihatnya. Orang-orang pun berkata bahwa apa yang dilakukan si calon lurah itu adalah suruhan dukunnya. Karena, si calon itu biasanya tidak pernah mengisap cerutu, walaupun memang suka merokok. Meskipun masyarakat meyakini bahwa si calon itu adalah menjalani persyaratan dari dukun, namun ternyata masyarakat memilihnya juga, hingga menanglah dia.
Kenapa dia dipilih, padahal saat itu ada dua calon lainnya yang tidak ada tanda-tanda main dukun? Para calon itu sendiri, yang pertama adalah yang mengisap cerutu terus menerus itu, kedua adalah bekas lurah yang sudah kurang mendapat simpati massa, dan yang ketiga adalah tokoh Islam, guru agama. Di masyarakat yang 99,9% Islam di desa itu ternyata mereka lebih pilih orang yang telah diyakini main ke dukun dibanding memilih tokoh Islam. Tampaknya masyarakat muslim itu justru ingin dipimpin oleh orang yang membolehkan larangan-larangan agama, termasuk di antaranya berdukun. Hanya saja pilihan mereka itu tidak bertahan lama, karena ternyata kemudian dipecat oleh pemerintah karena menganiaya isterinya, dan isterinya melaporkannya ke atasan.
Sepotong peristiwa nyata itu menunjukkan betapa kentalnya masyarakat dari tingkat bawah sampai tingkat atas perihal perdukunan. Meskipun demikian, masih belum begitu mengejutkan dalam hal fitnah dukun. Peristiwa berikut ini cukup mengagetkan bagi saya.
Suatu ketika saya shalat di masjid sebuah pedusunan daerah Ciamis Jawa Barat, ketika saya sedang bersilaturrahim ke desa itu selama beberapa hari. Setelah para jama’ah bubar siang itu, saya ingin berlama-lama di masjid. Baru saja saya duduk sebentar, saya dipersilakan mampir ke rumah kyai samping masjid. Karena saya menghormati kyai yang sudah tua itu maka tawarannya saya penuhi. Lalu dia menceritakan tentang kebiasaannya yang rutin yaitu mengajari ngaji para imam masjid, musholla dan lainnya di rumah itu seminggu sekali. Kitab yang dikaji dia tunjukkan pada saya, ternyata berbahasa Jawa padahal bahasa di daerah itu jelas Sunda. Kitab itu bernama kitab Majmu’, bukan karangan Imam Nawawi yang terkenal itu, tapi kitab Arab Pegon (Arab Jawi) tentang fiqh. Setelah bercerita tentang kitab itu, tahu-tahu dia memanggil pembantu khususnya (bukan pembantu rumah tangga, tetapi pembantu yang belakangan saya ketahui sebagai pembantu khusus dalam hal perdukunan), seorang laki-laki pendek hitam sudah agak tua. Lalu Pak Kyai itu menghadiahi saya sebuah jimat berwarna indah, hijau tua, bertulisan warna emas. Saya pegang sebentar jimat itu, saya lihat, dan saya yakin bahwa itu jimat, maka langsung saya kembalikan, saya tolak pemberian hadiahnya itu. Pak Kyai plus dukun ini sangat kaget. Karena, menurut dia dalam cerita sebelum “acara serah tidak terima” jimat itu ada orang yang dia anggap memang kenalan saya dan sejalan dengan saya, telah datang padanya. (Sedang untuk datang ke tempat itu tidak mungkin kalau hanya sekadar mampir, karena tempatnya di pedalaman, kecuali kalau memang ada famili sebagaimana saya, atau ada acara lain di tempat itu, tetapi acara apa di sana?) Sehingga Kyai plus dukun itu tidak ragu-ragu menghadiahi saya, sebuah jimat yang menurut pembantu khususnya adalah jimat yang tingkatnya spesial, —karena ada orang yang dia pandang sejalan dengan saya dan pernah datang kepadanya.
Peristiwa itu terngiang dalam jiwa saya. Sehingga saya ingin menemui orang Jakarta yang bergerak di bidang da’wah yang ia sebutkan pernah datang padanya itu. Suatu ketika saya bertemu dengan muballigh yang disebut-sebut oleh kyai dukun itu dalam pertemuan singkat. Tetapi waktunya singkat, yaitu ketika dia bersama isterinya mencegat taksi di depan gedung pertemuan seusai menghadiri undangan pengantin bersama isterinya, maka langsung saja saya tanyakan persoalan yang disebut Kyai dukun itu. Belum sempat terjawab tuntas, dia sudah mendapatkan taksi, sehingga pembicaraan terputus. Jadinya, kasihan muballigh itu. Kalau toh dia tidak berdukun, nama dia telah dijadikan promosi oleh sang dukun. Dan seandainya berdukun, lebih fatal lagi. Tetapi sampai kini saya belum bisa tahu persis, mudah-mudahan saja tidak demikian, Hanya saja masalahnya, nama dia telah dijadikan alat promosi, itu persoalannya, dan itulah yang saya katakan padanya ketika bertemu secara singkat itu. Padahal dia duduk di beberapa lernbaga bidang dakwah. Itulah salah satu fitnah dukun. Baik muballigh itu datangnya tidak untuk berdukun maupun memang untuk berdukun, sama-sama disebarkan fitnah oleh si dukun. Kalau dia tidak berdukun, nama dia telah difitnah dan dijadikan alat promosi dan propaganda. Sedang kalau dia berdukun padahal mungkin kemudian dia bertaubat, nama dia tetap dijadikan promosi.
Dengan pengalaman itu, karena fitnah dukun itu bisa ke mana-mana, maka maaf, saya mohon kesabaran sebentar kepada para pembaca, kenapa saya bercerita tentang itu. Ini adalah untuk menghindari fitnah. Salah satunya jalan adalah menuturkan bagaimana duduk masalah sebenarnya, kenapa saya datang ke tempat dukun itu; yaitu saya habis shalat, kemudian diminta mampir, dan saya sebelumnya sama sekali tidak tahu kalau dia itu dukun. Lalu saya dihadiahi jimat berderajat spesial, langsung saya amati, setelah nyata bahwa itu jimat, maka saya tolak, saya kembalikan padanya.
Kenapa saya menolak ketika diberi jimat, padahal jimat spesial? Karena ada larangan dari Nabi Muhammad Shallaliahu Alaihi wa Sallam.
Diriwayatkan bahwa suatu ketika Abdullah bin Mas’ud masuk ke rumah, sedang di leher isterinya ada kalung (bertangkal), maka ditariknya oleh Ibnu Mas’ud dan dipotong-potongnya, kemudian ia berkata: Keluarga Abdullah harus jauh daripada menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan keterangan padanya. Kemudian ia berkata, saya (Abdullah bin Mas’ud) mendengar Rasulullah Shallaliahu Alaihi wa Sallam bersabda:
Coba kita lihat perilaku masyarakat dalam kaitannya dengan perdukunan. Polisi yang tugasnya menyidik kejahatan justru sering terdengar adanya hubungan dengan dukun atau paranormal. Pejabat dari tingkat desa sampai tingkat negara sering terdengar mereka main dukun alias pergi ke dukun. Sampai-sampai pejabat Departemen Agama pun main dukun, menurut Menteri Agama (1983-1993), H. Munawir Sjadzali MA, hingga beliau sempat mengeluh dan prihatin. Para pejabat yang seharusnya menjadi teladan masyarakat kok malah berdukun.
Logikanya, yang pejabat Departemen Agama saja main dukun, maka apalagi pihak-pihak yang lain. Penulis punya pengalaman tahun 1980-an, mendapat dorongan masyarakat untuk ikut ujian calon lurah/kepala desa. Ujian calon lurah saat itu dilaksanakan secara serempak se-kabupaten. Lalu masing-masing kelurahan diadakan pemilihan lurah bagi yang lulus ujian. Rakyat memilih satu orang dari beberapa calon yang telah lulus ujian. Penulis terus terang tidak lulus, jadi tidak ikut sebagai calon dalam pemilihan lurah. Sampai sekarang masih ada teman yang dulunya ujian calon lurah bersama penulis, kini ia masih jadi lurah dan jadi muballigh sambil berdagang.
Dalam hal perdukunan (tidak ada kaitan dengan teman penulis yang masih jadi lurah tersebut), ada pemandangan yang unik. Seorang calon lurah, waktu berlangsungnya pilihan lurah, dia duduk di depan, berderet dengan para calon lurah (3 orang). Dia pakai jas kroak (bagian belakang dicoak) warna hitam, lengkap dengan keris di pinggang, dan blangkon di kepala. (Blangkon adalah tutup kepala dari batik dilipat-lipat, berbentuk bulat seperti peci, di bagian belakang dibentuk bulatan agak menonjol, namanya mondolan. Kata orang sinis, itu pertanda sikap orang Jawa, di wajah tampak senyum walaupun di hati sebenarnya dongkol). Sementara itu mulut si calon lurah yang satu ini selalu mengisap cerutu terus menerus selama berlangsungnya pemilihan. Penulis heran melihatnya. Orang-orang pun berkata bahwa apa yang dilakukan si calon lurah itu adalah suruhan dukunnya. Karena, si calon itu biasanya tidak pernah mengisap cerutu, walaupun memang suka merokok. Meskipun masyarakat meyakini bahwa si calon itu adalah menjalani persyaratan dari dukun, namun ternyata masyarakat memilihnya juga, hingga menanglah dia.
Kenapa dia dipilih, padahal saat itu ada dua calon lainnya yang tidak ada tanda-tanda main dukun? Para calon itu sendiri, yang pertama adalah yang mengisap cerutu terus menerus itu, kedua adalah bekas lurah yang sudah kurang mendapat simpati massa, dan yang ketiga adalah tokoh Islam, guru agama. Di masyarakat yang 99,9% Islam di desa itu ternyata mereka lebih pilih orang yang telah diyakini main ke dukun dibanding memilih tokoh Islam. Tampaknya masyarakat muslim itu justru ingin dipimpin oleh orang yang membolehkan larangan-larangan agama, termasuk di antaranya berdukun. Hanya saja pilihan mereka itu tidak bertahan lama, karena ternyata kemudian dipecat oleh pemerintah karena menganiaya isterinya, dan isterinya melaporkannya ke atasan.
Sepotong peristiwa nyata itu menunjukkan betapa kentalnya masyarakat dari tingkat bawah sampai tingkat atas perihal perdukunan. Meskipun demikian, masih belum begitu mengejutkan dalam hal fitnah dukun. Peristiwa berikut ini cukup mengagetkan bagi saya.
Suatu ketika saya shalat di masjid sebuah pedusunan daerah Ciamis Jawa Barat, ketika saya sedang bersilaturrahim ke desa itu selama beberapa hari. Setelah para jama’ah bubar siang itu, saya ingin berlama-lama di masjid. Baru saja saya duduk sebentar, saya dipersilakan mampir ke rumah kyai samping masjid. Karena saya menghormati kyai yang sudah tua itu maka tawarannya saya penuhi. Lalu dia menceritakan tentang kebiasaannya yang rutin yaitu mengajari ngaji para imam masjid, musholla dan lainnya di rumah itu seminggu sekali. Kitab yang dikaji dia tunjukkan pada saya, ternyata berbahasa Jawa padahal bahasa di daerah itu jelas Sunda. Kitab itu bernama kitab Majmu’, bukan karangan Imam Nawawi yang terkenal itu, tapi kitab Arab Pegon (Arab Jawi) tentang fiqh. Setelah bercerita tentang kitab itu, tahu-tahu dia memanggil pembantu khususnya (bukan pembantu rumah tangga, tetapi pembantu yang belakangan saya ketahui sebagai pembantu khusus dalam hal perdukunan), seorang laki-laki pendek hitam sudah agak tua. Lalu Pak Kyai itu menghadiahi saya sebuah jimat berwarna indah, hijau tua, bertulisan warna emas. Saya pegang sebentar jimat itu, saya lihat, dan saya yakin bahwa itu jimat, maka langsung saya kembalikan, saya tolak pemberian hadiahnya itu. Pak Kyai plus dukun ini sangat kaget. Karena, menurut dia dalam cerita sebelum “acara serah tidak terima” jimat itu ada orang yang dia anggap memang kenalan saya dan sejalan dengan saya, telah datang padanya. (Sedang untuk datang ke tempat itu tidak mungkin kalau hanya sekadar mampir, karena tempatnya di pedalaman, kecuali kalau memang ada famili sebagaimana saya, atau ada acara lain di tempat itu, tetapi acara apa di sana?) Sehingga Kyai plus dukun itu tidak ragu-ragu menghadiahi saya, sebuah jimat yang menurut pembantu khususnya adalah jimat yang tingkatnya spesial, —karena ada orang yang dia pandang sejalan dengan saya dan pernah datang kepadanya.
Peristiwa itu terngiang dalam jiwa saya. Sehingga saya ingin menemui orang Jakarta yang bergerak di bidang da’wah yang ia sebutkan pernah datang padanya itu. Suatu ketika saya bertemu dengan muballigh yang disebut-sebut oleh kyai dukun itu dalam pertemuan singkat. Tetapi waktunya singkat, yaitu ketika dia bersama isterinya mencegat taksi di depan gedung pertemuan seusai menghadiri undangan pengantin bersama isterinya, maka langsung saja saya tanyakan persoalan yang disebut Kyai dukun itu. Belum sempat terjawab tuntas, dia sudah mendapatkan taksi, sehingga pembicaraan terputus. Jadinya, kasihan muballigh itu. Kalau toh dia tidak berdukun, nama dia telah dijadikan promosi oleh sang dukun. Dan seandainya berdukun, lebih fatal lagi. Tetapi sampai kini saya belum bisa tahu persis, mudah-mudahan saja tidak demikian, Hanya saja masalahnya, nama dia telah dijadikan alat promosi, itu persoalannya, dan itulah yang saya katakan padanya ketika bertemu secara singkat itu. Padahal dia duduk di beberapa lernbaga bidang dakwah. Itulah salah satu fitnah dukun. Baik muballigh itu datangnya tidak untuk berdukun maupun memang untuk berdukun, sama-sama disebarkan fitnah oleh si dukun. Kalau dia tidak berdukun, nama dia telah difitnah dan dijadikan alat promosi dan propaganda. Sedang kalau dia berdukun padahal mungkin kemudian dia bertaubat, nama dia tetap dijadikan promosi.
Dengan pengalaman itu, karena fitnah dukun itu bisa ke mana-mana, maka maaf, saya mohon kesabaran sebentar kepada para pembaca, kenapa saya bercerita tentang itu. Ini adalah untuk menghindari fitnah. Salah satunya jalan adalah menuturkan bagaimana duduk masalah sebenarnya, kenapa saya datang ke tempat dukun itu; yaitu saya habis shalat, kemudian diminta mampir, dan saya sebelumnya sama sekali tidak tahu kalau dia itu dukun. Lalu saya dihadiahi jimat berderajat spesial, langsung saya amati, setelah nyata bahwa itu jimat, maka saya tolak, saya kembalikan padanya.
Kenapa saya menolak ketika diberi jimat, padahal jimat spesial? Karena ada larangan dari Nabi Muhammad Shallaliahu Alaihi wa Sallam.
Diriwayatkan bahwa suatu ketika Abdullah bin Mas’ud masuk ke rumah, sedang di leher isterinya ada kalung (bertangkal), maka ditariknya oleh Ibnu Mas’ud dan dipotong-potongnya, kemudian ia berkata: Keluarga Abdullah harus jauh daripada menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan keterangan padanya. Kemudian ia berkata, saya (Abdullah bin Mas’ud) mendengar Rasulullah Shallaliahu Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ ، وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ قَالُوا : يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ ، هَذِهِ الرُّقَى وَالتَّمَائِمُ قَدْ عَرَفْنَاهَا ، فَمَا التِّوَلَةُ ؟ قَالَ : شَيْءٌ يَصْنَعُهُ النِّسَاءُ يَتَحَبَّبْنَ إِلَى أَزْوَاجِهِنَّ.
“Sesungguhnya tangkal (mantra), jimat, dan tiwalah/pelet itu adalah
syirik (menyekutukan Allah). Para sahabat kemudian bertanya: Ya Aba
Abdir Rahman! Tangkal (mantra) dan jimat ini kami sudah tahu, tetapi
apakah tiwalah/pelet itu? Ia menjawab: Tiwalah/Pelet ialah suatu yang
diperbuat oleh orang-orang perempuan supaya selalu dapat bercinta dengan
suami mereka.” (HR. Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya, dan Al-Hakim
dengan ringkas darinya, dan dia berkata isnadnya shahih)
Uqbah bin Amir meriwayatkan bahwa ada 10 orang berkendaraan datang ke tempat Rasulullah Shallaliahu Alaihi wa Sallam. Yang 9 orang dibai’at, tetapi yang satu ditahan. Kemudian mereka yang 9 itu bertanya: Mengapa ditahan? Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab: “Karena di lengannya ada tangkal. Kemudian laki-laki tersebut memotong tangkalnya, maka dibai’atlah dia oleh Rasulullah Shallaliahu Alaihi wa Sallam dan beliau bersabda:
Uqbah bin Amir meriwayatkan bahwa ada 10 orang berkendaraan datang ke tempat Rasulullah Shallaliahu Alaihi wa Sallam. Yang 9 orang dibai’at, tetapi yang satu ditahan. Kemudian mereka yang 9 itu bertanya: Mengapa ditahan? Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab: “Karena di lengannya ada tangkal. Kemudian laki-laki tersebut memotong tangkalnya, maka dibai’atlah dia oleh Rasulullah Shallaliahu Alaihi wa Sallam dan beliau bersabda:
مَنْ عَلَّقَ فَقَدْ أَشْرَكَ.
“Barangsiapa
menggantungkan tangkal, maka sungguh dia telah syirik’—menyekutukan
Allah.” (HR. Ahmad dan Al-Hakim, dan lafazh hadits ini lafazh Al-Hakim,
dan para periwayat Ahmad adalah orang-orang terpercaya).
Dari Imran bin Hushain, dia berkata,
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam pernah melihat di lengan seorang laki-laki ada gelang
-yang saya lihat, kata Imran, dari kuningan—, maka Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bertanya: Celaka kamu, apa ini? la
(laki-laki itu) menjawab: Ini adalah termasuk ‘wahinah’ (aji-aji
—sesuatu yang dianggap bisa melemahkan orang lain, sebangsa jimat). Maka
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: Dia (aji-aji) itu
tidak akan menambah kamu kecuali kelemahan, karena itu buanglah dia,
sebab kalau kamu mati sedang wahinah/aji-aji itu masih ada pada kamu,
maka kamu tidak akan beruntung selamanya.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dalam
kitab Shahihnya, dan Ibnu Majah tanpa kata: buanglah dan seterusnya).
Hasil Riset, Sebagian Besar Masyarakat Indonesia Percaya Jimat dan Perdukunan
Riset
dan survey tentang Akhlak (Moral) Iman kepada Tuhan versus Kepercayaan
kepada Kekuasaan Ghaib selain Tuhan, dilakukan oleh Yayasan Nusantara,
lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang sosial, ekonomi dan
pendidikan rakyat. Hasilnya disimpulkan bahwa bangsa Indonesia memang
mengalami permasalahan yang sangat mendasar yaitu terjerumus dalam
immoralitas.
Survei dilakukan pada 20 Juni hingga 20 Juli 2000, dengan melibatkan 500 responden yang dipilih acak dari seluruh Indonesia melalui telepon. Salah satu temuan dari hasil survei itu adalah 100 persen anak bangsa Indonesia sesungguhnya anak bangsa yang religius dan mengikuti suatu ajaran agama tertentu.
Dari survei terlihat bahwa responden memang percaya kepada hal-hal yang bersifat gaib. Tercatat sebagian besar responden yaitu 64 persen mengaku percaya dan mempunyai hubungan atau pernah punya hubungan dengan praktik perdukunan, santet, klenik, pelet atau susuk. Sedangkan yang tak pernah punya hubungan dengan hal-hal demikian sebanyak 21,6 persen.
Dan yang percaya namun tidak mau telibat dalam praktik tersebut mencapai 14,4 persen.
Yang memprihatinkan lagi, sebagian besar dari responden nyatanya sangat percaya dengan perdukunan, pergi ke kubur-kubur dan tempat yang dikeramatkan, ke peramal dan meyakini kebenaran horoskop.
Sebanyak 50,2 persen dari 500 responden mengaku bahwa hal-hal demikian mereka jadikan landasan berpikir, bertindak dan menentukan sikap dalam kegiatan sehari-hari.
Responden yang juga percaya dan yakin namun tidak memiliki keinginan untuk terlibat sebagai pelaku sebanyak 4,8 persen.
Sedangkan yang sama sekali tidak percaya dengan hal-hal demikian sebanyak 45 persen.
Dari survei ini juga terungkap bahwa masyarakat Indonesia sangat mempercayai jimat atau benda yang disakralkan. Dari 500 responden sebanyak 63 persen menyatakan percaya bahwa jimat-jimat atau benda-benda yang disakralkan lainnya benar-benar memiliki khasiat keghaiban dan manfaat tertentu.
Sedangkan yang ragu mencapai 5,8 persen.
Yang tidak percaya sebanyak 33,6 persen.
Dari penjelasan survei di atas terlihat bahwa masyarakat Indonesia memang mulai kehilangan kepercayaan dan semakin jauh dari Tuhan. Yang muncul justru sifat syirik dengan menjadikan jimat-jimat sebagai Tuhan”. Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim yang sesungguhnya merupakan bangsa religius. (mag).
Survei dilakukan pada 20 Juni hingga 20 Juli 2000, dengan melibatkan 500 responden yang dipilih acak dari seluruh Indonesia melalui telepon. Salah satu temuan dari hasil survei itu adalah 100 persen anak bangsa Indonesia sesungguhnya anak bangsa yang religius dan mengikuti suatu ajaran agama tertentu.
Dari survei terlihat bahwa responden memang percaya kepada hal-hal yang bersifat gaib. Tercatat sebagian besar responden yaitu 64 persen mengaku percaya dan mempunyai hubungan atau pernah punya hubungan dengan praktik perdukunan, santet, klenik, pelet atau susuk. Sedangkan yang tak pernah punya hubungan dengan hal-hal demikian sebanyak 21,6 persen.
Dan yang percaya namun tidak mau telibat dalam praktik tersebut mencapai 14,4 persen.
Yang memprihatinkan lagi, sebagian besar dari responden nyatanya sangat percaya dengan perdukunan, pergi ke kubur-kubur dan tempat yang dikeramatkan, ke peramal dan meyakini kebenaran horoskop.
Sebanyak 50,2 persen dari 500 responden mengaku bahwa hal-hal demikian mereka jadikan landasan berpikir, bertindak dan menentukan sikap dalam kegiatan sehari-hari.
Responden yang juga percaya dan yakin namun tidak memiliki keinginan untuk terlibat sebagai pelaku sebanyak 4,8 persen.
Sedangkan yang sama sekali tidak percaya dengan hal-hal demikian sebanyak 45 persen.
Dari survei ini juga terungkap bahwa masyarakat Indonesia sangat mempercayai jimat atau benda yang disakralkan. Dari 500 responden sebanyak 63 persen menyatakan percaya bahwa jimat-jimat atau benda-benda yang disakralkan lainnya benar-benar memiliki khasiat keghaiban dan manfaat tertentu.
Sedangkan yang ragu mencapai 5,8 persen.
Yang tidak percaya sebanyak 33,6 persen.
Dari penjelasan survei di atas terlihat bahwa masyarakat Indonesia memang mulai kehilangan kepercayaan dan semakin jauh dari Tuhan. Yang muncul justru sifat syirik dengan menjadikan jimat-jimat sebagai Tuhan”. Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim yang sesungguhnya merupakan bangsa religius. (mag).
(Republika, Jum’at 4 Agustus 2000, hlm. 16).
Ramai-ramai Memberantas Perdukunan
Seharusnya
orang muslim beramai-ramai memberantas perdukunan, sedang pemerintah
wajib melarang dan mengadili para dukun bahkan mengadili dan
mengeksekusi/menghukum mati para tukang tenung alias dukun santet atau
tukang sihir. Bukan malah beramai-rami ke dukun yang mengakibatkan
keimanan mereka jadi rusak, calon masuk neraka, tidak berani memberantas
kebatilan, masih pula hidupnya tidak tenang karena di masyarakat yang
doyan berdukun maka mereka khawatir jangan-jangan para saingannya justru
punya dukun yang lebih hebat. Apalagi kalau si orang yang berdukun itu
tadinya memegang kekuasaan, kemudian jatuh atau bahkan dijatuhkan secara
tidak dihormati, seperti Presiden Soeharto yang mengundurkan diri
akibat didemonstrasi ramai-ramai oleh puluhan ribu mahasiswa selama dua
minggu, tahun 1998, dan Presiden Abdurrahman Wahid yang dijatuhkan
ramai-ramai oleh MPR 2001 pimpinan Prof. Dr. HM. Amien Rais karena kasus
duit Bulog (Badan Urusan Logistik) dan sumbangan dari Sultan Brunei
Darussslam, maka akan sangat merana. Dia kemungkinan memaki-maki para
dukunnya yang dianggap bohong, tidak mampu mempertahankan kedudukannya,
sedang para dukunnya pun bisa-bisa sebagian kabur/lari tidak mau
datang-datang lagi, atau datang tetapi untuk tetap memeras dan menipu
serta menyesatkan lebih sesat lagi. Hingga akan lebih jauh sesatnya, dan
lebih jauh pula menderitanya, padahal masih hidup di dunia. Belum lagi
siksanya nanti di neraka kelak yang tidak habis-habisnya. Maka
semestinya orang-orang yang berdukun bahkan para dukun itu bertaubat,
tidak lagi-lagi menggeluti kesesatan bahkan kemusyrikan itu. Insya Allah
kalau seseorang benar-benar bertaubat maka ia akan Allah ampuni.
Para korban sesatnya perdukunan yang juga telah menyesatkan orang-orang lain hendaknya bertaubat dan kemudian memberantas kesesatan perdukunan, serta mencegah masyarakat agar tidak main dukun. Kegiatan itu belum pernah saya lihat. Padahal, kemungkinan efektif juga apabila ada bekas dukun atau bekas orang yang doyan berdukun lantas terjun ke masyarakat memberantas perdukunan. Sebagaimana para pentolan atau bahkan gembong Islam Jama’ah/LDII setelah menyadari tentang kesesatan aliran sesat itu maka mereka ramai-ramai keluar dan memberantasnya, serta menyiarkan bahwa LDII itu sesat lagi menyesatkan. Demikian pula para bekas pastur, biarawati, pendeta dan lainnya, tidak sedikit yang menyadari dosa-dosanya karena telah menyesatkan orang banyak, maka ketika mereka sudah masuk Islam, mereka menebus dosanya itu di antaranya dengan menyiarkan agar jangan sampai tersesat seperti diri mereka dahulu. Lebih afdhal lagi kalau seandainya presiden yang dikena! dulunya sangat doyan berdukun, lalu bertaubat, dan menyiarkan kepada masyarakat agar jangan sampai berdukun.
Meskipun belum ada tokoh-tokoh bekas seperti tersebut yang terjun memberantas perdukunan, namun tidak usah ditunggu adanya mereka. Kalau seseorang mau bertaubat, cepat-cepatlah bertaubat, tidak usah menunggu Pak Lurah sampai Pak Bekas Presiden dan sebagainya. Sebab setiap orang bertanggung jawab atas diri masing-masing. Jadi tidak usah menunggu orang lain. Kalau untuk bertaubat malah menunggu orang lain, maka bisa jadi yang ditunggu tidak ada, sedang orang yang berdukun makin tambah banyak, hingga justru godaan untuk ikut lagi berdukun tambah santer, sedang umur mungkin tidak panjang. Untuk menempuh jalan yang selamat, maka hendaknya cepat-cepat saja bertaubat, tinggalkan segala hal yang berkaitan dengan perdukunan. Kalau bisa, lantas bertandang untuk memberantas perdukunan. Karena pemberantasan yang dilakukan oleh orang yang telah bertaubat dari kesesatannya kemungkinan besar akan lebih dilihat sebagai contoh bagi khalayak umum. Dan itu merupakan salah satu jalan untuk menebus kesesatan yang telah dijalani masa lalu. Sebagaimana Pak Bambang Irawan Hafiluddin mantan gembong aliran sesat Islam Jama’ah/LDII sering mengatakan, “Saya memberantas LDII yang sesat itu adalah untuk menebus dosa-dosa saya, karena saya dulu telah menyesatkan banyak orang ketika menjadi salah satu tokoh di aliran sesat itu.”
Mungkin akan menjadi pemandangan yang sangat mengejutkan, bila seorang bekas presiden yang dulunya dikenal sangat doyan berdukun, lalu berpidato langsung di televisi: “Saudara-saudara sekalian, seiman dan sekeyakinan. Perkenankanlah saya mengajak saudara-saudara untuk menghindari perdukunan. Sebab, perdukunan itu kental dengan kemusyrikan, yang hal itu merupakan dosa terbesar. Saya menyadari akan bahaya perdukunan itu, yang sangat mengancam bahkan merusak keimanan. Saya takut kalau mati tanpa membawa iman, atau iman dalam keadaan rusak. Sehingga saya bertaubat, dan sekaligus mengajak audara-saudara yang telah terlanjur doyan berdukun seperti saya, agar detik ini pula bertaubat bersama saya. Bahkan para dukun-dukun pun saya anjurkan, agar kalian semua bertaubat dan meninggalkan pekerjaan yang jadi lahan setan itu. Saya berharap, dengan cara demikian, maka insya Allah kita akan menghadap ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam keadaan beriman, bukan dalam keadaan tidak beriman atau imannya rusak. Sekian imbauan daripada saya, dan saya ucapkan terima kasih, wassalarmu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh.”
Pengandaian ini mudah-mudahan tidak termasuk hal yang diperingatkan oleh Nabi Shalhlhhu Alaihi wa Sallam, karena di sini tidak model yang “kalau seandainya saya tadinya begini maka akan begini…” Tetapi pengandaian tentang pidato pertaubatan di televisi ini hanyalah untuk memberikan dorongan betapa pentingnya masyarakat yang sebagian banyak bergelimang di dalam kesesatan perdukunan ini mau bertaubat.
Para korban sesatnya perdukunan yang juga telah menyesatkan orang-orang lain hendaknya bertaubat dan kemudian memberantas kesesatan perdukunan, serta mencegah masyarakat agar tidak main dukun. Kegiatan itu belum pernah saya lihat. Padahal, kemungkinan efektif juga apabila ada bekas dukun atau bekas orang yang doyan berdukun lantas terjun ke masyarakat memberantas perdukunan. Sebagaimana para pentolan atau bahkan gembong Islam Jama’ah/LDII setelah menyadari tentang kesesatan aliran sesat itu maka mereka ramai-ramai keluar dan memberantasnya, serta menyiarkan bahwa LDII itu sesat lagi menyesatkan. Demikian pula para bekas pastur, biarawati, pendeta dan lainnya, tidak sedikit yang menyadari dosa-dosanya karena telah menyesatkan orang banyak, maka ketika mereka sudah masuk Islam, mereka menebus dosanya itu di antaranya dengan menyiarkan agar jangan sampai tersesat seperti diri mereka dahulu. Lebih afdhal lagi kalau seandainya presiden yang dikena! dulunya sangat doyan berdukun, lalu bertaubat, dan menyiarkan kepada masyarakat agar jangan sampai berdukun.
Meskipun belum ada tokoh-tokoh bekas seperti tersebut yang terjun memberantas perdukunan, namun tidak usah ditunggu adanya mereka. Kalau seseorang mau bertaubat, cepat-cepatlah bertaubat, tidak usah menunggu Pak Lurah sampai Pak Bekas Presiden dan sebagainya. Sebab setiap orang bertanggung jawab atas diri masing-masing. Jadi tidak usah menunggu orang lain. Kalau untuk bertaubat malah menunggu orang lain, maka bisa jadi yang ditunggu tidak ada, sedang orang yang berdukun makin tambah banyak, hingga justru godaan untuk ikut lagi berdukun tambah santer, sedang umur mungkin tidak panjang. Untuk menempuh jalan yang selamat, maka hendaknya cepat-cepat saja bertaubat, tinggalkan segala hal yang berkaitan dengan perdukunan. Kalau bisa, lantas bertandang untuk memberantas perdukunan. Karena pemberantasan yang dilakukan oleh orang yang telah bertaubat dari kesesatannya kemungkinan besar akan lebih dilihat sebagai contoh bagi khalayak umum. Dan itu merupakan salah satu jalan untuk menebus kesesatan yang telah dijalani masa lalu. Sebagaimana Pak Bambang Irawan Hafiluddin mantan gembong aliran sesat Islam Jama’ah/LDII sering mengatakan, “Saya memberantas LDII yang sesat itu adalah untuk menebus dosa-dosa saya, karena saya dulu telah menyesatkan banyak orang ketika menjadi salah satu tokoh di aliran sesat itu.”
Mungkin akan menjadi pemandangan yang sangat mengejutkan, bila seorang bekas presiden yang dulunya dikenal sangat doyan berdukun, lalu berpidato langsung di televisi: “Saudara-saudara sekalian, seiman dan sekeyakinan. Perkenankanlah saya mengajak saudara-saudara untuk menghindari perdukunan. Sebab, perdukunan itu kental dengan kemusyrikan, yang hal itu merupakan dosa terbesar. Saya menyadari akan bahaya perdukunan itu, yang sangat mengancam bahkan merusak keimanan. Saya takut kalau mati tanpa membawa iman, atau iman dalam keadaan rusak. Sehingga saya bertaubat, dan sekaligus mengajak audara-saudara yang telah terlanjur doyan berdukun seperti saya, agar detik ini pula bertaubat bersama saya. Bahkan para dukun-dukun pun saya anjurkan, agar kalian semua bertaubat dan meninggalkan pekerjaan yang jadi lahan setan itu. Saya berharap, dengan cara demikian, maka insya Allah kita akan menghadap ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam keadaan beriman, bukan dalam keadaan tidak beriman atau imannya rusak. Sekian imbauan daripada saya, dan saya ucapkan terima kasih, wassalarmu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh.”
Pengandaian ini mudah-mudahan tidak termasuk hal yang diperingatkan oleh Nabi Shalhlhhu Alaihi wa Sallam, karena di sini tidak model yang “kalau seandainya saya tadinya begini maka akan begini…” Tetapi pengandaian tentang pidato pertaubatan di televisi ini hanyalah untuk memberikan dorongan betapa pentingnya masyarakat yang sebagian banyak bergelimang di dalam kesesatan perdukunan ini mau bertaubat.
(Hartono Ahmad Jaiz, “Aliran dan Paham Sesat di Indonesia”, Pustaka Al-Kautsar, Jkt, 2002, sampai kini masih berdar).
(nahimunkar.com)
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer