Apa hukum wanita naik motor laki? Krn banyak beberapa wanita naik motor laki, sehingga terlihat gagah perkasa. Nuwun.
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Pertama,
pada prinsipnya, wanita dibolehkan menunggang kendaraan, seperti onta.
Dan kebiasaan wanita naik onta, satu hal yang wajar di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ نِسَاءٍ رَكِبْنَ الْإِبِلَ نِسَاءُ قُرَيْشٍ
”Sebaik-baik wanita yang menunggang onta adalah wanita Quraisy.” (HR. Bukhari 5365 & Muslim 2527).
Yang dimaksud ‘wanita
menunggang onta’ adalah wanita arab. Sehingga makna hadis, sebaik-baik
wanita arab adalah wanita Quraisy. Sehingga hadis ini mengisyaratkan
bahwa naik onta bagi wanita arab adalah satu hal yang biasa. Dan seperti
yang kita tahu, onta jalannya lambat dan umumnya wanita yang naik onta,
mereka duduk di dalam sekedup. Yang ini berbeda dengan naik kuda.
Kedua, sebagian ulama melarang wanita naik kuda. Mereka berdalil dengan sebuah hadis yang menyatakan,
لعن الله الفروج على السروج
”Allah melaknat farji yang berada di atas sarji”
Farji adalah kemaluan wanita, dan sarji adalah pelana kuda.
Berdasarkan hadis ini, sebagian ulama hanafiyah melarang wanita naik kuda, kecuali jika ada kebutuhan mendesak.
Dalam ad-Durrul Mukhtar – kitab madzhab hanafi – dinyatakan,
لا تركب مسلمة على سرج ، للحديث . هذا لو للتلهي . ولو لحاجة غزوٍ أو حج أو مقصد ديني أو دنيوي لا بد لها منه فلا بأس به
Seorang muslimah tidak boleh
naik pelana kuda, berdasarkan hadis di atas. Ini jika untuk bermain.
Namun jika karena kebutuhan perang atau haji atau kebutuhan agama atau
dunia yang mengharuskannya naik kuda, hukumnya tidak masalah. (ad-Dur
al-Mukhtar, al-Hasfaki, 5/745).
Hanya saja, banyak ahli
hadis menyebutkan bahwa hadis ini statusnya laa ashla lahu. Itulah hadis
yang tidak pernah dijumpai dalam kitab-kitab hadis. Sebagaimana
keterangan Mula Ali al-Qori dalam al-Asrar al-Marfu’ah fi al-Akhbar
al-Maudhu’ah. Keterangan yang sama juga disampaikan oleh Ibnu Abidin
dalam Hasyiahnya (6/423).
Kesimpulannya, berdalil dengan hadis di atas untuk melarang wanita menunggang kuda tidak bisa diterima.
Ketiga, beberapa ulama melarang wanita naik kuda,
namun bukan karena alasan hadis tidak jelas di atas. Mereka melarang
wanita naik kuda, karena faktor menampakkan aurat dan lekuk tubuh,
disamping kuda merupakan hewan tunggangan yang umumnya digunakan lelaki.
Karena naik kuda menampakkan kesan gagah, dan pemberani.
Sementara wanita dilarang meniru gaya laki-laki.
Ibnu Abidin – ulama hanafi – (w. 1252 H) menjelaskan keterangan di atas,
(قَوْلُهُ لِلْحَدِيثِ) وَهُوَ “لَعَنَ
اللَّهُ الْفُرُوجَ عَلَى السُّرُوجِ” ذَخِيرَةٌ. لَكِنْ نَقَلَ
الْمَدَنِيُّ عَنْ أَبِي الطَّيِّبِ أَنَّهُ لَا أَصْلَ لَهُ اهـ. يَعْنِي
بِهَذَا اللَّفْظِ وَإِلَّا فَمَعْنَاهُ ثَابِتٌ، فَفِي الْبُخَارِيِّ
وَغَيْرِهِ” {لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْمُتَشَبِّهِينَ مِنْ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنْ
النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ}”
Keterangan penulis, ‘wanita
dilarang naik kuda karena ada hadisnya’ maksudnya adalah hadis: ’Allah
melaknat farji yang berada di atas sarji’ (Dzakhirah). Hanya saja,
al-Madani mengutip keterangan dari Abu Thayib bahwa hadis itu la ashla
lahu. Maksudnya, dengan redaksi semacam ini, tidak ada di kitab hadis.
Akan tetapi, secara makna, diakui syariat. Diriwayatkan Bukhari dan
lainnya sebuah hadis: ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat
lelaki yang meniru gaya wanita dan wanita yang meniru gaya lelaki.’
Kemudian Ibnu Abidin menyebutkan dalil lainnya,
وَلِلطَّبَرَانِيِّ “أَنَّ امْرَأَةً مَرَّتْ
عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَقَلِّدَةً
قَوْسًا فَقَالَ : لَعَنَ اللَّهُ الْمُتَشَبِّهَاتِ مِنْ النِّسَاءِ
بِالرِّجَالِ وَالْمُتَشَبِّهِينَ مِنْ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ”
Dalam riwayat Thabrani,
bahwa ada seorang wanita yang melewati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam sambil berkalung busur panah. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, Allah melaknat setiap wanita yang meniru gaya laki-laki
dan lelaki yang meniru gaya wanita.
Ibnu Abidin juga memberi catatan ketika wanita terpaksa harus naik kuda,
(قوله ولو لحاجة غزوٍ إلخ) أي بشرط أن تكون متسترة وأن تكون مع زوج أو محرم
Keterangan penulis: ‘wanita
boleh naik kuda untuk kebutuhan perang…’ artinya dengan syarat,
tertutup, harus bersama suami atau mahram. (Hasyiah Ibnu Abidin, 6/423)
Dengan memahami keterangan
di atas, kita bisa menarik kesimpulan untuk kasus wanita naik motor
laki. Bagi masyarakat kita, wanita naik motor laki dianggap sebagai hal
tabu. Karena masyarakat memahami, motor itu didesain khusus untuk
lelaki. Memberikan kesan gagah, perkasa, gentle, pembalap, dst.
Sehingga wanita yang memakai
motor laki, jelas terkena hadis larangan tasyabbuh, meniru dan
menyerupai lawan jenis. ”Allah melaknat setiap wanita yang meniru gaya
laki-laki dan lelaki yang meniru gaya wanita.”
Terlebih jika mereka yang
naik motor semacam ini dengan mengenakan pakaian ketat, celana ketat
atau menampakkan lekuk tubuh. Kasus semacam ini tidak kita bahas, karena
hukumnya sudah jelas.
Allahu a’lam.
Dijawab oleh ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer