Quraish Shihab: Kepatuhan kepada Tuhan itu adalah lakum dinukum waliyadin.
Oleh Hartono Ahmad Jaiz
Koran Republika edisi Ahad 16 Februari 2014 halaman 16 pada rubrik Islam Digest menampilkan judul Prof M Quraish Shihab: Bersahabatlah dengan Alquran.
Tulisan setengah halaman disertai foto Quraish Shihab itu menampilkan
hasil perbincangan lengkap (Quraish Shihab) dengan wartawan Republika, Nashih Nasrullah.
Ada pertanyaan wartawan tersebut dan jawaban Quraish Shihab sebagai berikut.
(Pertanyaan) Apa mimpi-mimpi besar Anda?
(Jawaban
Quraish Shihab) Membumikan Alquran di tengah masyarakat plural. Kita
ingin nilai-nilai Alquran tersebut diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari, yang intinya itu adalah kepatuhan kepada Tuhan. Yang
menggambarkan rahmat dan kedamaian untuk semua. Jadi, kepatuhan
kepada Tuhan tidak harus diartikan semua orang harus masuk Islam,
kepatuhan memberikan semua orang kesempatan beriman, silakan. Kepatuhan kepada Tuhan itu adalah lakum dinukum waliyadin. Silakan amalkan, tetapi kalau kita paksakan orang lain untuk patuh, Tuhan itu tidak setuju.
Tuhan
memberikan kebebasan, menginginkan agar dalam kehidupan di dunia,
terwujud bayang-bayang surga itu. Bayang-bayang surga itu, menurut
Alquran, sandang, pangan, papan, tercukupi. Dan yang kedua, damai. Biarkan saja, Tuhan berkehendak apa. Jika Tuhan berkehendak semua orang bisa Nasrani, Hindu, dan lainnya.
Dia memang mau begini, kita berlomba dalam kebaikan. Itu
juga sebabnya, kita di PSQ (Pusat Studi Al-Qur’an) menolak dan menerima
sumbangan yang kita tidak dapat gunakan. Ada orang mengasih tanah
kepada kita, tetapi tidak bisa digunakan. Kita mau menerima walau
non-Muslim, dengan ide dan semangat sama tetapi tidak mengikat.
Dalam Alquran Allah memerintahkan kita untuk bekerjasama, wata’awanu ‘alal birri, perintah tersebut tidak ditujukan sesama Muslim saja.
Jika dibaca konteks ayatnya, ayat tersebut bersifat umum dalam
kehidupan bermasyarakat. Jadi itu sebabnya, jika ada orang mau membantu
masjid, kita terima walau dari non Muslim, tapi bila ada Muslim yang mau
membantu membakar gereja, kita tidak terima. Kerjasama dalam kebaikan,
itu kita punya filosofi di sini. (Koran Republika edisi Ahad 16 Februari 2014 halaman 16 pada rubrik Islam Digest, judul Prof M Quraish Shihab Bersahabatlah dengan Alquran).
Mempengaruhi Ummat Islam agar rela terhadap kekafiran, kemusyrikan, dan kesesatan.
Inti
dari perkataan Quraish Shihab itu secara berliku-liku arahnya
mempengaruhi Ummat Islam agar rela terhadap kekafiran, kemusyrikan, dan
kesesatan. Lahn qaul (kiasan-kiasan perkataan) Quraish Shihab menuju ke
arah itu, dengan ungkapannya :
« Kita
ingin nilai-nilai Alquran tersebut diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari, yang intinya itu adalah kepatuhan kepada Tuhan. Yang
menggambarkan rahmat dan kedamaian untuk semua. Jadi, kepatuhan
kepada Tuhan tidak harus diartikan semua orang harus masuk Islam,
kepatuhan memberikan semua orang kesempatan beriman, silakan. Kepatuhan
kepada Tuhan itu adalah lakum dinukum waliyadin. Silakan amalkan, tetapi kalau kita paksakan orang lain untuk patuh, Tuhan itu tidak setuju. »
Ungkapan
Quraish Shihab itu sendiri bukan merujuk nilai-nilai Al-Qur’an. Karena
dalam Al-Qur’an, umat Islam dilarang wala’ (loyal) terhadap selain
kalangan Muslim. Bahkan ayat lakum diinukum waliya diin itu sendiri
menurut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bara’ah (lepas diri)
dari kemusyrikan, karena surat Al-Kafirun itu Nabi sebut sebagai bara’ah
(lepas diri) dari syirik.
Itu dijelaskan Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya, dengan mengutip hadits riwayat At-Thabrani:
وقال أبو القاسم الطبراني: – حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بن عَمْرٍو الْقَطِرَانِيُّ ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بن الطُّفَيْلِ ، حَدَّثَنَا شَرِيكٌ ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ ، عَنْ جَبَلَةَ بن حَارِثَةَ ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : ” إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ {قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ} [الكافرون : 1 ] ، حَتَّى تَمُرَّ بِآخِرِهَا ، فَإِنَّهَا بَرَاءَةٌ مِنَ الشِّرْكِ “. المعجم الكبير (2/287)، وقال الهيثمي في المجمع (10/121): “رجاله وثقوا”. تفسير ابن كثير (8/ 507)
Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Apabila kamu hendak ke tempat tidurmu maka bacalah Qul yaa ayyuhal kaafiruun
sampai selesai, karena dia (surat al-kafirun) itu adalah bara’ah (lepas
diri) dari syirik (menyekutukan Allah). (HR At-Thabrani rijalnya kuat
menurut al-Haitsami, Tafsir Ibnu Katsir 8/507).
Bagaimana bisa! Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam menyebut (surat al-kafirun yang akhir ayatnya lakum diinukum
waliyadiin itu) ayat tentang lepas diri dari kemusyrikan, lantas Quraish
Shihab mengatakan: Kepatuhan kepada Tuhan itu adalah lakum dinukum waliyadin.
Betapa
tampak bedanya. Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam menegaskan surat
al-kafirun itu berisi berlepas diri dari kemusyrikan, sebaliknya Quraish
Shihab menyebutnya sebagai kepatuhan kepada Tuhan. Itu jelas menuju
kepada pluralism agama, yaitu kemusyrikan baru. (Untuk lebih jelasnya
tentang pluralism agama itu kemusyrikan baru, silakan baca artikel Bahaya Faham Inklusivisme, Pluralisme Agama, dan ).
Itu jelas meletakkan ayat bukan pada tempatnya, yang bahasa orang sekarang disebut memlintir.
Kenapa?
Karena ayat itu menurut mufassir adalah tahdiid, ancaman. Namun oleh Quraish Shihab disebut bentuk kepatuhan kepada Tuhan.
Imam Al-Qurthubi dalam Tafsirnya menulis:
[سورة الكافرون (109): آية 6] لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6)
فِيهِ مَعْنَى التَّهْدِيدِ، وَهُوَ كَقَوْلِهِ تَعَالَى: لَنا أَعْمالُنا وَلَكُمْ أَعْمالُكُمْ «1» [القصص: 55] أَيْ إِنْ رَضِيتُمْ بِدِينِكُمْ، فَقَدْ رَضِينَا بِدِينِنَا. وَكَانَ هَذَا قَبْلَ الْأَمْرِ بِالْقِتَالِ، فَنُسِخَ بِآيَةِ السَّيْفِ. وَقِيلَ: السُّورَةُ كُلُّهَا مَنْسُوخَةٌ. وَقِيلَ: مَا نسخ منها شي لِأَنَّهَا خَبَرٌ. وَمَعْنَى لَكُمْ دِينُكُمْ أَيْ جَزَاءُ دِينِكُمْ، وَلِيَ جَزَاءُ دِينِي. تفسير القرطبي (20/ 229)
Surat Al-kafirun: Lakum Diinukum waliyadiin; di dalamnya adalah makna ancaman, yaitu seperti firman Allah Ta’ala:
لَنا أَعْمالُنا وَلَكُمْ أَعْمالُكُمْ «1» [القصص: 55]
Artinya apabila kalian rela dengan agama
kalian maka sungguh aku telah rela dengan agamaku. Ayat ini adalah
sebelum ada perintah perang, lalu dinasakh dengan ayat pedang. Dan
dikatakan, surat itu semuanya (al-kafirun) dinasakh. Dan dikatakan;
tidak dinasakh sedikitpun karena dia adalah khabar (bukan insya’/ bentuk
perintah dan sebagainya, pen). Dan maknanya, bagimu agamamu artinya
balasan agamamu, dan bagiku balasan agamaku. (Tafsir Al-Qurthubi).
Bagaimana bisa!. Ayat ancaman menurut
mufassir Al-Qurthubi, malah oleh Quraish Shihab dijadikan ayat yang
ditujukan untuk berlomba dalam kebaikan. Sebagaimana dia sebutkan,
dengan berdalih ayat wata’awanu ‘alal birri, tolong menolonglah kalian atas kebaikan.
Lalu Quraish Shihab berdalih:
Dalam Alquran Allah memerintahkan kita untuk bekerjasama, wata’awanu ‘alal birri, perintah tersebut tidak ditujukan sesama Muslim saja. Jika dibaca konteks ayatnya, ayat tersebut bersifat umum dalam kehidupan bermasyarakat. Jadi itu sebabnya, jika ada orang mau membantu masjid, kita terima walau dari non Muslim, tapi bila ada Muslim yang mau membantu membakar gereja, kita tidak terima. Kerjasama dalam kebaikan, itu kita punya filosofi di sini. (Koran Republika edisi Ahad 16 Februari 2014 halaman 16 pada rubrik Islam Digest, judul Prof M Quraish Shihab Bersahabatlah dengan Alquran).
Dalam Alquran Allah memerintahkan kita untuk bekerjasama, wata’awanu ‘alal birri, perintah tersebut tidak ditujukan sesama Muslim saja. Jika dibaca konteks ayatnya, ayat tersebut bersifat umum dalam kehidupan bermasyarakat. Jadi itu sebabnya, jika ada orang mau membantu masjid, kita terima walau dari non Muslim, tapi bila ada Muslim yang mau membantu membakar gereja, kita tidak terima. Kerjasama dalam kebaikan, itu kita punya filosofi di sini. (Koran Republika edisi Ahad 16 Februari 2014 halaman 16 pada rubrik Islam Digest, judul Prof M Quraish Shihab Bersahabatlah dengan Alquran).
Bagaimana Quraish Shihab memaksudkan ayat
itu seperti itu dan dengan contoh seperti itu, padahal ayat itu sendiri
diawali dengan yaa ayyuhalladziina aamanuu, wahai orang-orang yang beriman, dan diakhiri dengan
وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan bertaqwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah itu amat berat siksa-Nya. (QS Al-Maaidah: 2)
Apakah untuk bertaqwa itu orang tidak
usah masuk Islam, dan tidak usah berlepas diri dengan kemusyrikan? Ya
memang dalam hal mu’amalah dibolehkan dengan yang bukan Islam, tetapi
pangkal dari pembicaraan ini kan lakum dinukum waliya din itu
tadi. Tetap saja dalam masalah keharusan berlepas diri dari kemusyrikan.
Lagi pula al-birr di situ justru mufassir menafsirkan al-birr itu
adalah Islam itu sendiri, yang unsur tebesarnya adalah husnul khuluq,
akhlaq yang bagus. Juga al-birr oleh mufassir diartikan ketaatan kepada
Allah Ta’ala. Jadi tidak ada kaitannya dengan contoh yang diajukan
Quraish Shihab yaitu orang Islam yang mengajak bakar gereja. Atau orang
non Muslim yang mau bantu masjid. Contoh itu sama sekali tidak relevan
bila untuk menjelaskan tentang makna lafal al-birr dalam ayat Al-Quran
(QS Al-Maaidah ayat 2). Apalagi dimaksudkan untuk menggiring dan
melandasi penafsiran ayat lakum dinukum waliyadin, lebih tidak relevan lagi.
Tampaknya hanya beda tipis antara Gus Dur
dengan Quraish Shihab dalam hal menjajakan pluralism agama. Kalau
pluralismenya Gus Dur : bahwa taqwa itu tidak pandang agama, “Tidak
peduli muslim atau bukan.” – See more at:
http://www.nahimunkar.com/kemiripan-antara-habib-munzir-dan-gus-dur/#sthash.wcJV1I8R.dpuf.
(lihat artikel Kemiripan antara Habib Munzir dan Gus Dur -).
Ayat wata’awanu yang dikemukakan Quraish Shihab itu lengkapnya:
{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَائِدَ وَلَا آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنْ رَبِّهِمْ وَرِضْوَانًا وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ} [المائدة: 2]
2. Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah[389], dan jangan melanggar
kehormatan bulan-bulan haram[390], jangan (mengganggu) binatang-binatang
had-ya[391], dan binatang-binatang qalaa-id[392], dan jangan (pula)
mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari
kurnia dan keredhaan dari Tuhannya[393] dan apabila kamu telah
menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. dan janganlah
sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka
menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya
(kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat
berat siksa-Nya. (QS Al-Maaidah: 2).
[389] Syi’ar Allah Ialah: segala amalan yang dilakukan dalam rangka ibadat haji dan tempat-tempat mengerjakannya.
[390] Maksudnya antara lain Ialah: bulan
Haram (bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab), tanah Haram
(Mekah) dan Ihram., Maksudnya Ialah: dilarang melakukan peperangan di
bulan-bulan itu.
[391] Ialah: binatang (unta, lembu,
kambing, biri-biri) yang dibawa ke ka’bah untuk mendekatkan diri kepada
Allah, disembelih ditanah Haram dan dagingnya dihadiahkan kepada fakir
miskin dalam rangka ibadat haji.
[392] Ialah: binatang had-ya yang diberi
kalung, supaya diketahui orang bahwa binatang itu telah diperuntukkan
untuk dibawa ke Ka’bah.
[393] Dimaksud dengan karunia ialah:
Keuntungan yang diberikan Allah dalam perniagaan. keredhaan dari Allah
ialah: pahala amalan haji.
Dalam tafsir Al-Baghawi dijelaskan: {
وَتَعَاوَنُوا } artinya agar sebagian kamu menolong sebagian lainnya {
عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى } atas kebaikan dan taqwa, dikatakan
al-birr/ kebaikan adalah mengikuti perintah, dan attaqwa adalah menjauhi
larangan. Dan dikatakan, al-birr itu Islam, dan taqwa itu assunnah.
Dalam hadits:
Dari an-Nawas bin Sam’an radhiyallahu
‘anhu ia berkata, aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam tentang al-birr (kebaikan) dan itsm (dosa) maka beliau berkata:
(( البِرُّ : حُسنُ الخُلقِ ، والإثمُ : مَا حاك في صدرِك ، وكَرِهْتَ أن يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ )) رواه مسلم .
Kebaikan itu adalah bagusnya akhlaq, dan
dosa itu adalah apa yang gatal/ mengganjal di dadamu, dan kamu benci
kalau manusia melihatnya. (HR Muslim).
Dalam syarah Arba’in An-Nawawai, Ibnu
Syaraf An-Nawawi menjelaskan: Sabdanya (Kebaikan itu adalah bagusnya
akhlaq) artinya bahwa bagusnya akhlaq itu sebesar-besarnya perkara
kebaikan sebagaimana sabdanya: alhajju ‘arafah, haji itu Arafah. Adapun
al-birr yaitu yang pelakunya berbuat baik dan bergabung dengan
kebaikan, yaitu mereka yang taat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. (Syarah Arba’in An-Nawawi oleh Ibn Syaraf An-Nawawi hal 24 menurut Maktabah Syamilah 2).
Kebalikan dengan itu, larangan tolong
menolong dengan dosa dan pelanggaran. Imam Al-Baghawi dalam tafsirnya
menjelaskan, al-itsm/ dosa adalah kufur, dan al-‘udwan adalah dhalim.
Dan dikatakan, itsm itu maksiat, ‘udwan itu bid’ah.
Dari penjelasan dalam hadits Nabi maupun
tafsir, sama sekali tidak sejalan dengan apa yang dimaksud oleh Quraish
Shihab, bahkan boleh dipandang sebagai bertentangan arah. Nabi dan ulama
memaknakan kearah Islam dan menjauhi syirik/ kekufuran, sedang Quraish
Shihab mengarah ke pluralism agama. Hingga yang kafir dicontohkan
sebagai membantu untuk masjid maka dia terima sedang yang Islam justru
dia contohkan membantu tapi untuk membakar gereja maka dia tolak.
Seandainya contoh yang dilontarkan
Quraish Shihab itu diikuti, maka ketika orang kafir mengajak bantu
gereja maka Quraish pun harus menerimanya, sedang dia baru akan menolak
kalau orang kafir mengajak bantu untuk membakar masjid. Itulah kira-kira
bila diambil mafhum mukhalafah dari contoh cara berpluralismenya
Quraish Shihab dan berdalih dengan ayat-ayat Al-Qur’an.
Pantas saja walau Quraish Shihab sudah menulis apa yang dinamakan Tafsir Al-Mishbah dan terkesan dipuji Republika, namun ada Ustadz di Jawa alumni Timur Tengah yang lantang berkata: Quraish Shihab Bukan Mufasir Al Quran!
Ahad (15/12/2013) di masjid Al-Islam di
kota Pati Jawa Tengah, saat kajian rutin kitab hadits Jamius Shohih
Bukhari, Ust Mustaqim,Lc menceritakan kejadian menarik bersangkutan
dengan Quraish Shihab waktu di Mesir. Kata Ust yang kini tinggal di Pati
ini, “Saya masih ingat tahun 1997 saat itu kami mahasiswa yang belajar
di al Azhar Mesir dikumpulkan untuk mendengarkan presentasinya
bersangkutan dengan jilbab. Setelah panjang lebar dia menerangkan,
akhirnya dia mengatakan “saya tidak menemukan satu ayat pun dalam tafsir
Imam Qurthubi yang berjumlah hampir 3 jilid itu, tentang
diperintahkannya wanita berjilbab, akan tetapi Imam al Qurtubi
mengatakan bahwa itu adalah produk budaya” dengan sangat sungguh-sungguh
Ustadz yang sekarang lebih memilih jualan di pasar itu menceritakan.
Kemudian beliau melanjutkan, “Setelah itu
tiba-tiba ada wanita bercadar berdiri dimana dia adalah seorang
mahasiswi al Azhar yang berasal dari Kalimantan mengatakan, “Maaf Bapak,
saya telah membaca Tafsir Imam al Qurtubi hingga lima kali khatam, akan
tetapi saya tidak pernah menemukan kalimat bahwa jilbab itu adalah
hasil produk budaya, di halaman berapakah kalimat itu berada? wahh
langsung saja mixnya di berikan MC lalu ke belakang,” demikian akhir
kisahnya.
- See more at: http://www.nahimunkar.com/quraish-shihab-bukan-mufasir-al-quran/#sthash.W3ktysCx.dpuf
Sampai kini fatwa Quraish Shihab tentang jilbab masih dinilai tak sesuai dengan Islam, hingga dikritik tajam oleh DR. Ahmad Zain An-Najah. (Fatwa Jilbab oleh Prof. DR. Quraish Shihab)
Di
antara yang menyaksikan kasus di Mesir itu, Dr Daud Rasyid termasuk
yang pernah berkomentar tentang itu, bahwa Quraish Shihab “dihabisi”
oleh anak-anak mahasiswa di Mesir saat itu (1997) ketika bicara tentang
jilbab. Hanya saja Dr Daud Rasyid tidak menyebut-nyebut soal Quraish
Shihab itu mufassir atau bukan, karena saat itu belum terbit buku apa
yang dinamainya sebagai tafsir al-mishbah.
Jakarta, Senin 1 Jumadal Ula 1435H/ 3 Maret 2014
(nahimunkar.com)
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer