Dijawab oleh Al Ustadz Abu Zakaria Riski :
Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah. Wash-shalatu wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam wa ‘ala ashhabihi wasallam tasliiman katsiran. Wa ba’du.
Perbuatan zina termasuk perbuatan yang terlarang dan keji. Juga tergolong salah satu dari sekian dosa-dosa besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kalian mendekati setiap perbuatan zina, karena sesungguhnya perbuatan zina adalah perbuatan yang keji dan jalan yang teramat buruk.” (Al-Isra: 32)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Telah tertulis atas anak-anak keturunan Adam bagian mereka dari perbuatan zina. Niscaya dia akan mendapatinya. Kedua mata, zinanya adalah melihat. Kedua telinga, zinanya adalah mendengar. Lisan, zinanya adalah berbicara. Tangan, zinanya adalah menyentuh. Kaki, zinanya adalah melangkah. Dan hati dengan berharap dan berkhayal. Dan hal itu dibenarkan oleh kemaluan, atau didustakan.” (HR. Bukhari no. 6243 dan Muslim no. 2657)
Bercengkerama, berciuman, saling menyentuh dan semisalnya tergolong perbuatan zina, yang akan mengantarkan kepada perbuatan yang lebih besar. Dan perbuatan ini termasuk di antara perbuatan maksiat yang akan menjatuhkan pelakunya ke dalam perbuatan dosa besar.
Karena itulah para ulama menyebutkan bahwa taubat itu wajib atas setiap perbuatan dosa. Apabila kemaksiatan tersebut antara seorang hamba dan Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak ada kaitannya dengan hak salah seorang bani Adam, maka haruslah memenuhi tiga syarat:
Pertama: Pelaku maksiat tersebut haruslah berlepas diri dari kemaksiatan.Apabila salah satu dari tiga syarat ini tidak terpenuhi, maka taubatnya tidaklah sah.
Kedua: Pelaku maksiat haruslah menyesali perbuatannya.
Ketiga: Pelaku maksiat ini mesti ber’azam untuk tidak kembali melakukan maksiat tersebut selamanya.
Jika perbuatan maksiat tersebut bersinggungan dengan salah seorang anak Adam, maka syarat taubat ada empat: Tiga syarat di atas tadi, dan syarat keempat: berlepas dari hak anak Adam tersebut. Jikalau berupa harta atau semisalnya, maka dia harus mengembalikannya. Jikalau berupa dera atas sebuah tuduhan (palsu), maka dia menyerahkan dirinya untuk mendapatkan ganjaran atas tuduhan tersebut, atau meminta pengampunannya. Dan jika berupa ghibah, maka dia harus meminta penghalalan dari orang tersebut selama permintaan tersebut tidak menyebabkan mafsadat yang lebih besar. Dan diharuskan bertaubat dari seluruh perbuatan dosa. Jika dia bertaubat dari sebagian perbuatan dosa, taubatnya sah menurut pandangan ulama As-Sunnah atas dosa itu. Sementara dosa-dosa lainnya tetap tersisa. Dalil-dalil Al-Qur’an, As-Sunnah dan konsensus ulama Islam sangatlah jelas menunjukkan keharusan bertaubat. [1]
Jadi sepatutnyalah bagi orang tersebut untuk menyesali diri atas perbuatan maksiat yang dilakukannya dan menanamkan di dalam dirinya untuk tidak kembali melakukan perbuatan tersebut. Karena inilah hakikat taubat menurut para ulama syara’. Dan diriwayatkan dari hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Penyesalan diri merupakan taubat.” [2]
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Kecuali orang-orang yang bertaubat setelah perbuatan -dosa- itu dan melakukan perbaikan. Karena sesungguhnya Allah adalah Zat yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih.” (An-Nuur: 5)
Adapun laki-laki yang disebutkan pada soal tersebut, tidaklah harus meminta maaf kepada si wanita, bahkan wanita tersebut juga harus bertaubat dan menyadari kemaksiatan yang dilakukannya bersama si laki-laki. Sedangkan untuk menghilangkan rasa takut dan rasa bersalah di dalam dirinya adalah dengan benar-benar merealisasikan taubatnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menyertakan amal-amal kebaikan, memperbanyak doa dan munajat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Kecuali bagi yang bertaubat dan beriman serta melakukan amal shalih, maka mereka itu Allah akan gantikan keburukan mereka dengan kebaikan. Dan Allah adalah Zat yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih. Dan barangsiapa yang bertaubat dan melakukan amal shalih, maka sesungguhnya dia telah bertaubat kepada Allah dengan sebaik-baik taubat.” (Al-Furqan: 70-71)
“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisa: 17)
Wallahu a’lam.
Catatan kaki:
[1] Dikutip dari perkataan Imam an-Nawawi di Riyadh Ash-Shalihin hal. 37-38 dengan sedikit perubahan konteks.
[2] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 4252, Al-Hakim 4/243 dan beliau menshahihkannya serta disetujui oleh adz-Dzahabi, Al-Baihaqi di dalam Al-Kubra 10/154 dan selain mereka. Hadits ini juga dishahihkan oleh Al-Albani.
Sumber: Majalah Akhwat vol. 5/1431 H/2010, hal. 87-89.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer