Di bawah ini beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh penuntut ilmu dengan seksama , agar mampu menguasai ilmu syar’I secara baik.
( I ) Kaidah Umum Dalam Belajar
Sebelum memulai belajar, seorang penuntut ilmu hendaknya memahami dengan baik- baik kaidah- kaidah yang diletakkan oleh para ulama untuk menjadi bekal para penuntut ilmu.
Kaidah –kaidah kalau dipegang teguh dan dihayati, insya Allah akan banyak membantu para penuntut ilmu di dalam mencapai cita-cita mereka
Diantara kaidah- kaidah tersebut adalah sbb :
Kaidah Pertama :
( العلم لا يعطيك بعضه حتى تعطيه كلك )
” Ilmu itu tidak akan memberikan kepadamu sebagiannya, sehingga engkau memberikan kepadanya semua yang engkau miliki ”
Artinya, bahwa seorang penuntut ilmu jika berniat untuk mempelajari suatu ilmu, mestinya ia berani dan siap mengorbankan segala yang dimiliknya, dari harta, waktu, tenaga. Kemudian, seandainya dia sudah mengorbankan yang dia miliki tersebut untuk mendapatkan ilmu, maka belum tentu dia mampu meraih semua ilmu yang ada. Dan selama-lamanya dia tidak akan mampu menguasai seluruh ilmu tersebut, kecuali hanya sebagiannya saja.
Kalau ini hasil orang yang bersungguh-sungguh di dalam menuntut ilmu, anda bisa membayangkan bagaimana hasil orang yang setengah-setengah atau tidak bersungguh –sungguh , serta tidak mau berkorban di dalam menuntut ilmu.
Kaidah Kedua :
( تعلم فليس المرء يولد عالما)
” Belajarlah, karena seseorang itu tidak dilahirkan dalam keadaan berilmu ”
Artinya, seseorang tidak begitu saja menjadi seorang alim tanpa memalui proses dan usaha. Maka seorang penuntut ilmu, jika ingin menjadi orang alim, hendaknya dia belajar dan terus belajar sehingga cita-citanya tercapai.
Kaidah Ketiga :
ترجو النجاة ولم تسلك مسالكها
إن السفينة لا تجرى على اليبس
” Anda mengharapkan keselamatan, akan tetapi anda tidak mau mengikuti jalan jalan yang mengantarkan kepada keselamatan tersebut.
Perbuatan anda tersebut bagaikan sebuah kapal yang berlayar di atas daratan. ”
Artinya, kalau seorang penuntut ilmu bercita-cita menjadi seorang alim , akan tetapi tidak mau belajar dengan sungguh-sungguh dan tidakmau mengorbankan waktu, tenaga dan hartanya untuk itu, maka orang semacam itu hanyalah berangan-angan saja, dan tidak mungkin akan berhasil menggapai cita-citanya, selama dia tidak mau bersungguh- sungguh. Dia ibarat sebuah kapal yang berhenti dan tidak bisa berjalan, karena sedang berada di daratan dan keadaan tersebut tidak akan berubah sehingga dia dijalankan di atas air.
Kaidah Keempat :
من لم يذق ذل التعلم ساعة
تجرع ذل الجهل طول حياته
” Barang siapa yang belum pernah merasakan sama sekali kehinaan ketika belajar, maka niscaya dia akan merasakan kehinaan karena bodoh selama hidupnya “
Artinya, bahwa seseorang ketika sedang dalam proses belajar, dia akan mendapatkan kehinaan, seperti dia harus datang merengek-rengek kepada seorang guru atau seorang alim supaya dia belajar darinya, bahkan kadang dia harus merelakan sebagian harta untuk membayarnya demi mendapatkan sebuah ilmu. Dia harus rela duduk di bawah, sedang gurunya duduk di atas kursi. Bahkan kadang dia harus rela dimarahi, diperintah, bahkan dihukum , jika melakukan sebuah kesalahan. Itu semua merupakan bentuk bentuk kehinaan di dalam proses belajar.
Seorang penuntut ilmu yang takut akan kehinaan seperti ini, otomatis dia tidak akan datang ke majlis- majlis ilmu dan dia akan menjauhi guru –guru dan orang- orang alim, karena takut diperintah atau ditegur. Dengan demikian, selama- lamanya dia tidak akan pernah belajar, dan selama-lamanya dia akan berada dalam kebodohan. Dan ketika dia bodoh, maka orang-orang disekitarnyapun tidak akan menghargai dan menghormatinya, karena dia tidak mempunyai ilmu, dan selama-lamanya dia akan dihinakan sepanjang hidupnya.
Kaidah Kelima :
(الطريقة أهم من المادة )
” Pengetahuan tentang tata cara belajar itu jauh lebih penting dari pengetahuan tentang materi pelajaran itu sendiri ”
Artinya, seorang penuntut ilmu hendaknya lebih dahulu memperhatikan dan mempelajari tata cara , tehnik-tehnik serta kiat-kiat belajar yang benar dan efesien sebelum dia memperhatikan dan mempelajari materi pelajaran itu sendiri. Hal itu, karena mengetahui tata cara belajar yang baik, akan mengantarkan kepada pemahaman dan penguasaan materi yang baik juga. Sebaliknya seorang penuntut ilmu yang hanya memperhatikan materi pelajaran tanpa memilih metode belajar yang benar, dikhawairkan dia tidak akan berhasil menguasai materi itu sendiri. Berapa banyak seorang penuntut ilmu yang rajin dan tekun di dalam mempelajari materi pelajaran, akan tetapi karena tidak didukung dengan sistem dan metode belajar yang benar, maka ketekunan tersebut tidak banyak membuahkan hasil.

( II ) Tujuh Unsur Yang Menunjang Belajar
Selain memahami kaidah-kaidah di atas, seorang penuntut ilmu harus memperhatikan juga unsur-unsur penting yang menunjang proses belajar. Tanpa memperhatikan dan melaksanakan unsur-unsur tersebut, barangkali cita-cita untuk menjadi seorang yang berilmu hanya tinggal angan-angan belaka. Diantara unsur-unsur penting tersebut adalah :
Unsur Pertama : Meluruskan Niat
Seorang penuntut ilmu harus meluruskan niatnya terlebih dahulu, karena dengan niat yang lurus, maka Allah akan memberkati ilmunya dan memudahkannya di dalam proses belajar, sebaliknya seseorang yang salah niat dalam belajar, maka ilmunya tidak akan berkah dan amalannya tidak diterima oleh Allah swt. Maka, betapa ruginya para penuntut ilmu yang salah niat. Dalam suatu hadist disebutkan :
عن كعب بن مالك رضى الله عنه قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : من طلب العلم ليجارى به العلماء ، أو ليمارى به السفهاء ، أو يصرف به وجوه الناس إليه أدخله الله النار
” Dari Ka’ab bin Malik r.a bahwasanya dia berkata : Saya telah mendengar Rosulullah saw bersabda : ( Barang siapa yang belajar degan tujuan untuk mendebat para ulama , atau mempermainkan orang- orang bodoh, atau untuk mencari pengikut , niscaya Allah akan memasukkannya kepada api neraka ) ( HR. Abu Daud ) ([1]
Ilmu syar’I sendiri tabiatnya memang tidak akan bisa dikuasai dengan baik tanpa niat yang lurus. Oleh karenanya, Imam Al Laits mengatakan : “ Sesungguhnya yang pertama kali harus dikerjakan seorang penuntut ilmu adalah meluruskan niatnya, hal ini sangat penting agar dia bisa mengambil manfaat dari ilmunya dan orang lainpun bisa mengambil manfaat darinya. “
Dalam hal ini, hendaknya para penuntut ilmu berniat mencari ridha Allah dalam belajarnya, dan itu teralisir dengan empat hal :
Pertama : Hendaknya ia berniat untuk menghilangkan kebodohan yang ia miliki. Allah berfirman :
قلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ
“ Katakanlah : Apakah sama orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui. ? “ ( Qs Az Zumar : 10 )
Kedua: Hendaknya dia beniat untuk dapat memebrikan manfaat kepada orng lain . Karena Rosulullh saw bersabda : “ Sebaik-baik dari kamu adalah yang paling bermanfaat bagi manusia. “
Ketiga : Hendaknya dia beniat untuk menghidupkan ilmu, karena ilmu kalau tidak dihidupkan,maka akan ditinggal manusia dan akhirnya hilang.
Keempat : Hendaknya dia beniat belajar untuk diamalkan, karena ilmu tanpa amal, bagaikan pohon tanpa buah, ilmu tersebut justru akan menjadi bumerang baginya pada hari kiamat.
Jika seseorang belum mampu mengikhlaskan niatnya di dalam belajar, jangan serta merta ia langsung berhenti dan tidak mau belajar, tetapi tetaplah belajar, karena dengan belajar itu, diharapkan niatnya berangsung –angsur akan lurus. Imam Ghozali sendiri, ketika pertama kali menuntut ilmu belum bisa meluruskan niatnya, setelah belajar dan mengetahui pentingnya meluruskan niat, akhirnya beliau luruskan niatnya dalam belajar. Hal yang sama pernah dialami oleh Mujahid, beliau berkata : “ Dahulu, ketika belajar petama kali, saya belum punya banyak niat, akan tetapi akhirnya Allah memberikan saya rizki yang berupa niat yang lurus. “
Unsur Kedua : Senantiasa Bertaqwa dan Menjauhi Maksiat :
Setelah meluruskan niat, seorang penuntut ilmu hendaknya selalu meningkatkan ketaqwaan-nya kepada Allah swt dan berusaha untuk selalu menghindari maksiat, karena mkasiat adalah salah satu faktor yang menghambat proses belajar. Imam Syafi’I ketika kesulitan di dalam menghafal beliau melapor kepada gurunya Waki’ yang tertuang dalam beberapa bait syairnya :
شكوت إلى وكيع سوء الحفظ ، فأرشدني إلى ترك المعاصي
وأخبرني بان العلم نور ، ونور الله لا يهدى للعاصي
“ Pada suatu hari, aku mengadu kepada guru-ku Waki’ tentang kesulitan dalammenghafal, lalu beliau berpesan agar aku menjauhi maksiat.
“ Beliau juga memberitahukan kepada-ku bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah itu tidak akan diberikan kepada orang yang bermaksiat. “
Unsur Ke-tiga : Semangat dan Optimis
Seorang penuntut ilmu seharusnya selalu optimis dan semangat di dalam mencari ilmu, tampang menyerah ketika menghadapi berbagai rintangan dan tantangan. Sikap seperti ini akan membawanya kepada keberhasilan dan kesuksesan. Semangat di dalam menuntut ilmu ini dicontohkan oleh para ulama yang telah membuktikan keberhasilannya di dalam menuntut ilmu, diantaranya adalah :
Abu Bakar Al Qoffal Al Marwazi ( 411 H ) , beliau adalah salah satu ulama dari madzhab syafi’I yang mendirikan “ Madrasah Khurasiniyin “. Sebelumnya, Al Qoffal, sebagaimana namanya, adalah seorang tukang yang bekerja memperbaiki kunci dan gembok. Profesi tersebut ia tekuni sampai umur 30 tahun. Secara tiba-tiba beliau tertarik untuk belajar dan menekun ilmu-ilmu syare’at. Karena kesungguhannya yang luar biasa, akhirnya dalam waktu singkat beliau sudah menjadi ulama besar dalam madzhab syafi’i. ([2]
Begitu juga yang dialami oleh Ibnu Hazm, yang sebelumnya adalah orang yang sangat bodoh dengan ilmu syar’i. Ketika ia masuk masjid dan langsung duduk, dia ditegur oleh orang yang disampingnya agar melakukan sholat tahiyatul masjid. Pada kesempatan lain, ketika beliau masuk masjid lagi dan langsung sholat, beliaupun kena tegur karena kebetulan waktu itu adalah waktu dilarang untuk sholat sunah. Merasa dirinya bodoh dan tidak mau dipermainkan orang, akhirnya ia bertekad untuk belajar ilmu syar’I dengan sungguh- sungguh. Akhirnya dia mengurung diri dengan banyak membaca dan belajar dengan guru-guru. Dan dalam hitunganbulan, dia keluar lagi, dan kali ini sudah menjadi seorang alim. Ibnu Hazmi terkenal sebagai pengibar bendera madzhab Dhohiriyah.
Kesungguhan di dalam belajar ini tidak hanya dimiliki umat islam saja, tetapi siapa saja yang mau mempraktekkannya niscaya akan mendapatkan keberhasilan, lihat saja Thomas A. Edison, yang dulunya adalah penjual koran di kereta api dan seorang yang tuli, John D. Rockefeller yang hanya mempunyai upah enam dollar perminggu, Julius Caesar yang menderita penyakit ayan, Napoleon punya orang tua kelas rendahan dan jauh dari katagori cerdas, Beethoven seorang yang tuli, Plato yang berpunggung bungkuk dan Stephen Hawkins yang lumpuh.(>[3]) Semua nama yang disebutkan tadi dengan segala kekuarangannya, ternyata mampu meraih kesuksesan yang gemilang karena kesungguhan mereka yang luar biasa .
Hal yang sama juga dialami oleh K. H. Zarkasyi, ketika Pondok Pesantren Modern Gontor , pada tangal 19 Desember, 1936, kalau itu di resmikan Kuliyatul Mu’allimin Al Islamiyah, dan pada tahun pertama KMI hanya memiliki 16 murid saja, ditambah sebagian dari mereka tidak bisa menyelesaikan program studi di KMI dengan berbagai alasan. Keadaan seperti itu, tidaklah membuat KH. Imam Zarkasyi, salah seorang pendiri Pondok, surut dan pesimis, dengan optimis dan penuh semangat beliau mengatakan : “ Biarpun tinggal satu saja dari 16 orang ini, program tetap akan kami jalankan sampai selesai, namun yang satu inilah nantinya akan mewujudkan 10, 100 hingga 1000 orang “([4]
Drs. H. Toto Tasmara, seorang ass. Vice President di Bank Duta, dan sebagai Corporate Secretary di PT. Humpuss, serta inspektur di pelatihan, Achievements Motivation Training, ketika lulus SLTA terpaksa harus mandiri membiayai hidup dan kuliyahnya, bahkan sempat selama satu tahun menjadi seorang penarik becak dan kenek truck angkutan. Akhirnya beliau telah menjadi orang yang sukses dan berhasil. ([5]
Ini sesuai dengan apa yang telah digariskan Alllah swt dalam firman-Nya, bahwa “ wilayah “ ( kepemimpinan ) tidak akan diperoleh seseorang kecuali melalui dua proses yaitu keyakinan dan kesabaran :
“ Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dan perintah Kami ketika mereka sabar . Dan mereka menyakini ayat-ayat Kami “ ( QS As Sajdah 24 )
Al Khatib Al Baghdadi dalam bukunya “ Al Jami’ li Ahkam Ar Rawi wa Adab As Sami’ , menyebutkan bahwa pada suatu hari ada seseorang yang hendak belajar hadist, mulailah ia mengikuti pelajaran-pelajaran yang disampaikan oleh para masyayikh ( guru ) di masjid-masjid, setelah beberapa tahun lamanya berjalan, tiba-tiba ia merasa bosan dan malas, karena selama dia belajar hadist ternyata tidak banyak manfaat yang didapatkannya . Dia berkata pada dirinya : “ Sepertinya saya tidak cocok belajar seperti ini. Akhirnya dia tidak mau belajar lagi. Pada suatu hari ketika sedang dalam perjalanan, tiba-tiba dia melihat air yang menetes pada batu. Ternyata batu tersebut sudah berlubang akibat tetesan air tersebut. Terpikir dalam dirinya “ “ Kalau air yang lunak dan lemah seperti ini bisa melubangi batu yang sangat keras, maka apakah hati dan otak-ku yang lebih kuat dari air tidak bisa melubangi ilmu yang tidak sekeras batu tadi. Akhirnya ia balik lagi ke masjid untuk menuntut ilmu hingga menjadi ulama besar. “ (>[6]<
Unsur Ke -Empat : Dana Yang Mencukupi
Untuk menguasai ilmu-lmu syar’I, tentunya tidak bisa hanya dengan mengandalkan modal dengkul. Seorang penuntut ilmu memerlukan buku-buku bacaan , baik untuk dipelajarinya secara menyeluruh, maupun sebagai referensi di dalam penelitiannya. Selain itu, juga diperlukan dana untuk transportasi dan bekal untuk menemui para gurunya. Kenyataan membuktikan bahwa semakin banyak buku-buku yang dimilikinya atau dibacanya, seorang penuntut ilmu semakin luas wawasan dan ilmunya, dan akan dengan mudah melihatnya setiap waktu.
Ketika pengetahuan tentang ilmu- ilmu keislaman berkembang pesat pada zaman berdirinya Khilafah Islamiyah, ternyata tidak lepas dari dana berlimpah yang dikucurkan oleh khalifah untuk kepentingan ilmu syar’i. Lihat misalnya : Khalifah Al Hakim bi Amrillah, mendirikan sebuah bangunan megah pada tahun 395 H yang diberi nama “ Dar Al Hikmah “ , di dalamnya dibangun juga perpustakaan yang dinamakan “ Dar Al- Ulum “ . Perpustakaan ini mencakup puluhan ribu jilid buku yang belum pernah dimiliki oleh perpustakaan lainnya. Selain itu, sang khalifah menjamin kehidupan dan keperluan para ulama yang bekrja di dalamnya. (>[7]<
Begitu juga khalifah Al Mustanshir di tempat kediamannya “ Qordova “ telah mendirikan perpustakaan yang mencakup 400.000 jilid buku, yang pada waktu itu belum dikenal percetakan. (<>[8]
Unsur Ke-lima : Membutuhkan Waktu dan Proses
Seorang penuntut ilmu tidak boleh tergesa-gesa untuk segera menguasai semua ilmu yang diinginkannya, tetapi dia harus bersabar, karena segala sesuatunya perlu proses. Dan ini merupakan sunnatullah di dalam kehidupan : “ segala sesuatu perlu proses “ , atau seperti kaedah umum yang telah diterangkan di atas bahwa seorang bayi yang lahir tidak langsung pintar, dia perlu belajar pelan-pelan dan membutuhkan waktu sehingga besar dan menjadi pintar.
Seseorang yang tidak memahami kaedah semacam ini, cenderung gagal di dalam menguasai ilmu. Sebagai contoh ringan di dalam kehidupan akedemis mahasiswa Al Azhar, ketika seseorang memulai menghafal Al Qur’an secara tergesa-gesa dan berusaha menguasai hafalan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Dia tidak mau melakukan pengulangan atas hafalannya, maka dapat dipastikan orang tersebut akan gagal dalam menghafal Al Qur’an.
Fenomena semacam ini, telah dipantau secara seksama oleh para ahli fiqh, sehingga mereka menelurkan sebuah kaidah yang sangat penting sekali. Kaidah tersebut berbunyi :
” من استعجل شيئا قبل أوانه عوقب بحرمانه ”
“ Barang siapa yang tergesa-gesa untuk mendapatkan sesuatu yang belum saatnya, maka justru akan dihukum untuk tidak mendapatkannya. “ [9]
Kaidah di atas juga berlaku bagi penuntut ilmu yang tergesa-gesa untuk menguasai suatu ilmu tanpa proses yang wajar. Hal ini dikuatkan oleh imam Az Zuhri, beliau berkata :
من رام العلم جملة ذهب جملة ، وإنما يطلب العلم على مر الأيام والليالي
“ Barang siapa yang belajar sekali langsung banyak, niscaya ilmu itu akan hilang semua darinya. Karena sesungguhnya ilmu itu hanya bisa dicari secara pelan-pelan berkelang hari dan malam. “
Seorang penyair pernah menulis :
اليوم علم وغدا مثله ، من نخب العلم التي تلتقط
يحصل المرء بها حكمة ، وإنما السيل اجتماع النقط .
“ Hari ini belajar, besok juga begitu, barang siapa yang mengambl ilmu sedkit-dikit, niscaya akan mendapatkan darinya hikmah, karena sesungguhnya air yang melimpah itiu terdiri dari tetesan-tetesan . “[10]
Para ulama yang sudah terbukti keilmuan mereka, juga membutuhkan proses sehingga mereka menjadi ulama yang tangguh. Lihat saja umpamanya Imam Syafi’I, beliau menghabiskan waktunya selama 20 tahun untuk mempelajari bahasa Arab. Padahal kalau diteliti, beliau adalah seorang keturunan Arab asli yang lahir di kota Arab, yaitu Palestina, serta hidup dilingkungan Arab sejak kecil. Selain itu, beliau juga fasih di dalam berbahasa Arab. Walaupun begitu, beliau tetap membutuhkan waktu untuk mempelajari sesuatu yang sudah menjadi bahasanya sehari-hari.(–>[11]
) Bagaimana dengan kita ?
Syekh Utsaimin, seorang ulama senior di Arab Saudi, karya-karya beliau banyak menghiasi perpustakaan-perpustakan dan toko-toko buku, dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Salah satu rahasia keberhasilan beliau adalah lamanya beliau mengajar di masjid besar di Unaizah, beberapa kilometer dari kota Riyadh Saudi Arabia. Diperkirakan beliau mengajar berbagai disiplin keilmuan di masjid tersebut selama kurang lebih 30 tahun , hingga hari wafatnya. ([12]<
Kaisar Nero pernah mengomentari pembangunan kota roma yang megah waktu itu, dia pernah mengatakan bahwa : “ Rome is not built in one night “ ( kota Roma tidak dibangun dalam satu malam ) (<>[13]
,artinya untuk membangun sebuah kota yang indah dan besar tentunya dibutuhkan waktu puluhan tahun lamanya, sama halnya dengan membangun sebuah keilmuan yang tangguh.
Unsur Ke-enam : Rihlah Ilmiyah
Seorang penuntut ilmu hendaknya tidak segan-segan untuk melakukan perjalanan dengan tujuan menuntut ilmu. Hal ini sangat penting, karena para ulama sudah berpencar di seluruh dunia. Seseorang yang hanya belajar pada beberapa guru yang ada di daerahnya saja, tentunya tidak cukup, disinilah pentingnya melakukan rihlah ilmiyah ( perjalanan untuk mencari ilmu ). Ada sebagian kawan yang mugkin berpikiran bahwa membeli buku banyak-banyak dan dibaca sendiri sudah cukup, tidak perlu jauh-jauh pergi untuk menuntut ilmu. Tentunya pikiran ini hanya bisa diterima ketika tidak ada kesempatan lagi untuk meimpa ilmu di tempat yang jauh atau di negara seberang. Jika seseorang mempunyai kesempatan untuk belajar di tempat yang jauh dan diperkirakan tempat tersebut memang sangat kondusif untuk menuntut ilmu, karena mudah mengakses buku-buku dan menemui para ulama, tentunya belajar di tempat tersebut jauh lebih baik, paling tidak dari segi pengalaman. Dalam hal ini, Imam Syafi’I pernah menulis bait-bait syi’ir yang memuat pujian terhadap aktivitas rihlah ilmiyah. Beliau menulis :
سافر تجد عوضا عن من تفارقه وانصب فان لذيذ العيش في النصب
إني رأيت وقوف الماء يفسده إن سال طاب وان لم يجر لم يطب
والأسد لولا فراق الغابي ما افترست والسهم لولا فراق القوس لم يصب
والشمس لو وقفت في الفلك دائما لملها الناس من عجم ومن عربي
والتبر كالترب ملقى في أماكنه والعود في أرضه نوع من الحطب
فان تغرب هذا عز مطلبه وان تغرب ذاك عز كالذهب
“ Pergilah, niscaya engkau mendapatkan ganti apa yang engkau tinggalkan,
Dan selalulah bekerja keras, karena nikmatnya hidup ketika bekerja keras,
Saya melihat genangan air sangatlah merusak, jika ia mengalir maka akan bermanfaat, jika tidak, maka akan merusak.
Singa ketika masih di hutan, tentunya tidak menakutkan, dan anak busur selama masih dalam tempat, tidak akan mengenai sasarannya.
Matahari, jika tetap diam di tengah langit, maka semua manusia akan bosan, baik yang berbangsa Aran maupun yang lainnya.
Emas jika masih di tempatnya, sepert tanah biasa, dan kayu wangi jika belum dipetik, harganya sama dengan kayu bakar.
Jika si fulan pergi, maka dia akan dicari, dan jika fulan yang lain juga pergi, maka dia menjadi langka,bagaikan emas. ”
Dalam kesempatan lainnya Imam Syafi’I juga menulis :
تغرب عن الأوطان تكتسب العلا وسافر ففي الأسفار خمس فوائد
تفريج هـمٍّ واكتسـاب معيشـة وعلـم وآداب وصحبـة مـاجد
فان قيل فـي الأسفار ذل وشدة وقطع الفيافي وارتكاب الشدائـد
فموت الفتى خير له من حيـاته بدار هوان بين واش وحـاسـد
“ Tinggalkan negaramu, niscaya engkau akan menjadi mulia, dan pergilah, karena bepergian itu mempunyai lima faedah .
Menghibur dari kesedihan, mendapatkan pekerjaan, ilmu dan adab, serta bertemu dengan orang-orang baik.
Jika dikatakan bahwa bepergian itu mengandung kehinaan,dan kekerasan, dan harus mlewati jalan panjang, serta penuh dengan tantangan,
Maka bagi pemuda kematian lebih baik daripada hidup di kampung dengan para pembohong dan pendengki. “
Para ulama-pun melakukan perjalanan jauh untuk menuntut ilmu, sebagaimana yang dilakukan oleh Jabir bin Abdullah yang menempuh perjalanan selama dua bulan dari Madinah menuju Mesir, hanya mencari satu hadits. Begitu juga yang dilakukan imam Syafi’I sendiri, yang berpindah dari tempat kelahirannya Palestina menuju Mekkah, kemudian dilanjutkan ke Iraq, kemudian ke Yaman, dan akhirnya ke Mesir hingga wafat beliau.
Unsur Ke-tujuh : Dekat Dengan Guru
Tidak diragukan lagi, pentingnya guru di dalam suatu proses belajar. Tanpa bimbingan guru dapat dipastikan seseorangakan gagal di dalam mencari ilmu. Diantara faedah belajar dengan guru adalah sebagai berikut :
Pertama : Efisien waktu dan tenaga.
Belajar dengan guru jauh lebih efisien dibanding belajar sendiri melalui buku. Seorang penuntut ilmu, jika tidak memahami suatu masalah, bisa langsung bertanya kepada gurunya, tanpa susah payah dengan mencari jawabannya di buku-buku yang belum tentu di dapatnya. Dia akan mengetahui selukbeluk ilmu yang dipelajarinya lewat keterangan gurunya yang sudah berpengalaman, bahkan dia akan mengerti banyak buku dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing buku tanpa harus membacanya dahulu, karena gurunya telah memberitahukan sebelumnya .
Kedua : Meminimalisir kesalahan.
Seorang penuntut ilmu yang belajar dengan seorang guru, maka kesalahannya akan relatif lebih sedikit jika dibanding dengan yang belajar langsung dari buku. Banyak nasehat yang diberikan para ulama dalam masalah ini, diantaranya adalah :
من كان شيخه كتابه ، كان خطؤه أكثر ن صوابه
“ Barang siapa yang gurunya buku, maka salahnya lebih banyak dari benarnya. “
Nasehat ini, walau tidak mutlak kebenarannya, paling tidak bisa memacu kita untuk selalu mendekati dan belajar kepada para guru. Ada sebuah anekdot bahwa seseorang yang belajar lewat buku tanpa mau bertanya kepada guru, suatu ketika membaca tulisan arab yang berbunyi :
حبة سوداء شفاء لكل داء
“ Habbah Sauda’ adalah obat dari segala penyakit .”
Mungkin karena salah cetak atau salah tulis, akhirnya orang tersebut membaca kalimat tersebut dengan bunyi :
حية سوداء شفاء لكل داء
“ Ular hitam adalah obat untuk segala penyakit . “
Bayangkan jika, orang tersebut benar-benar melaksanakan apa yang dibacanya, bukannya kesembuhan yang didapat, akan tetapi kematian.
Pada masa-masa sekarang, banyak buku-buku yang dicetak tanpa diteliti dahulu, sehingga banyak sekali kesalahan-kesalahan yang di dapat. Satu kalimat saja tidak tertulis, maka akibatnya akan fatal, khususnya dalam masalah hukum, jika suatu masalah dihukumi halal, Seharusnya tertulis
“ La yahrum “ yang berarti tidak haram, karena satu huruf saja hilang, yaitu (lam alif), maka tulisannya menjadi “ yahrum “, yang berarti haram, seketika juga hukum yang tadinya mubah berubah menjadi haram.
Untuk lebih jelasnya, kita akan berikan contoh yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dua orang yang buta komputer, atau GAPTEK ( gagap teknologi ) , ingin belajar dan menguasai ilmu – ilmu yang ada kaitannya dengan komputer. Yang satu belajar melalui guru dan rajin bertanya serta ikut kursus-kursus komputer, dan yang satu lagi, malas bertanya dan tidak mau mengikuti kursus-kursus, dia hanya duduk di rumah mengandalkan sebuah buku panduan tentang komputer. Tentu saja, yang belajar dengan guru akan lebih cepat bisa dan sedikit kesalahannya dibanding dengan yang belajar sendiri. Bahkan yang belajar sendiri akan banyak merusak komputer, demikian juga ilmu – ilmu yang lain.
Ketiga : Belajar bersikap hati-hati.
Belajar dengan guru akan mendidik seseorang untuk bersikap hati-hati di dalam menentukan hukum. Akhir-akhir ini banyak orang asbun ( asal bunyi ) dalam masalah agama. Dia tidak pernah belajar tentang hukum syar’I, tetapi hobinya berfatwa tentang masalah-masalah yang sama sekali tidak dikuasainya. Ini sangat berbahaya bagi dirinya sendiri dan masyarakat. (>[14]
Dalam hal ini, Imam Syafi’I pernah berkata :
“من تفقه من الكتب ضيع الأحكام “
“ Barang siapa belajar dari buku, maka dia akan banyak mempermainkan hukum. “ >[15]<
Keempat : Belajar adab dan sifat dari guru.
Tidak diragukan lagi, bahwa teman bergaul sangat mempengaruhi sikap dan sifat seseorang. Dalam mahfudhat disebutkan :
لا تسأل عن المرء واسأل قرينه ، فإن القرين بالمقارن يقتدي
“ Janganlah engkau bertanya tentang seseorang kepada dirinya langsung, tapi tanyalah kepada temannya, karena seseorang akan selalu mengikuti temannya. “
Hal ini dikuatkan dengan suatu hadist yang menyebutkan bahwa :
مثل الجليس الصالح كمثل بائع المسك؛ إما أن يحذيك ، وإما أن تشتري منه، وإما أن تشم منه رائحة طيبة، ومثل الجليس السوء كمثل نافخ الكير؛ إماأنيحرق ثيابك، وإما أن تشم منه رائحة كريهة ”
“ Perumpamaan teman yang baik, bagaikan penjual minyak wangi, mungkin dia akan memberimu minyak wangi, atau kamu akan membeli darinya,atau kamu akan menghirup bau wangi darinya. Asdapun permitsalan teman yang jelak, bagaikan tukang las, kemungkinan bajumu terbakar, atau kamu akan mendapatkan bau yang tidak sedap . ( HR Bukhari )
Seorang penuntut ilmu yang selalu dekat dan sering bergaul dengan gurunya, niscaya dia akan terpengaruh dengan akhlaq, adat dan beberapa sifat dan sikapnya. Ini sangat penting sekali, karena akan membuat seorang penuntut ilmu untuk selalu semangat dan tidak mudah putus asa, khususnya ketika melihat gurunya yang tenang,tegar dan tabah, serta sabar, tentunya dia akan ikut terpengaruh dengan sifat-sifatnya. Hal inilah yang sering tidak dipahami oleh para penuntut ilmu. Dalam suatu hikmah disebutkan :
تشبهوا بالكرام وإن لم تكونوا مثلهم ، فإن التشيه بهم فلاح
“ Dekat-dekatilah orang-orang yang baik, walaupun kamu belum bisa seperti mereka, karena dekat-dekat dengan mereka adalah suatu kesuksesan. “
Oleh karena itu, para penuntut ilmu yang selalu mendekati guru-gurunya , kemungkinan besar dikemudian hari , dia akan seperti mereka.
( III ) Urgensi Pengulangan dan Hafalan Dalam Belajar
Banyak orang mengira bahwa mengulang dan menghafal pelajaran akan membuat otak tidak berkembang dan tumpul, karena tidak dilatih untuk berpikir. Pernyataan tersebut tidaklah benar, karena sejarah membuktikan bahwa hafalan dan pengulangan ternyata mempunyai kekuatan yang sangat luar biasa. Hal ini telah diakui para ahli, sebut saja Negara Jepang yang terkenal dengan kemajuan teknologinya. Orang-orang besar mereka di dalam mendidik anak buahnya ternyata menggunakan teori pengulangan dan hafalan. Teori pengulangan tersebut dikenal dengan teori ( Repetitive Magec Power ) yang berarti kekuatan ajaib dalam pengulangan. Di Jepang pola ini diterapkan, di mana para instruktur mewajibkan para siswa eksekutifnya untuk mengucapkan kalimat ‘ saya juara “ seratus kali dalam sehari selama masa latihan. Dan ini dimaksudkan untuk menjaga energi agar tidak hilang. ([16]<
Rahasia keberhasilan PT Matsushita Kotobuki Elektronik Indonesia , cabang dari PT Matsushita di Jepang yang di pimpin oleh pendirinya Konosuke Matsushita yang telah menginfakkan dari uang saku pribadinya sebanyak 291 Juta USD dan 99 Juta USD dari kas perusahaanya untuk kemanusiaan. Perusahan ini mempunyai karyawan yang berjumlah 6000 orang. Ketika apel pagi, mereka semua diwajibkan untuk selalu membaca dan mengulang-ulang tujuh prinsip, yaitu :
  1. Untuk selalu berbakti kepada Negara melalui industri.
  2. Untuk selalu berlaku jujur , terpercaya dan adil
  3. Untuk selalu bekerjasama dengan keselarasan
  4. Untuk selalu ramah tamah dan kesatria
  5. Untuk selalu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
  6. Untuk selalu bersyukur dan berterimaksih. (–>[17]
Stephen R. Covey penah mengatakan tentang fungsi kebiasan dan mengulang-ulang suatu perbuatan : “ Taburlah gagasan , petiklah perbuatan, taburlah perbuatan petiklah kebiasaan, taburlah kebiasaan , petiklah karakter, taburlah karakter, petiklah nasib([18]<
William James, seorang ahli psikologi Amerika mengatakan bahwa apa saja yang anda lakukan 45 kali berturut-turut, maka akan menjadi kebiasaan. Menurut Doug Hooper Angka 45 tersebut sangatlah logis. Begitu juga para guru dari Timur telah menjelaskan kebiasaan dengan cara sbb : Kesinambungan suatu pemikiran atau tindakan dalam suatu jangka waktu akan menyebabkan terbentunya sebuah alur, atau saluran di dalam otak. Orang mengatakan bahwa otak itu mirip tanah liat, tempat suatu alur mudah terbentuk. Begitu hal itu terjadi, pemikiran seseorang secara alami akan terus mengalir melalui arah tersebut, sebab hal itu merupakan garis dengan perlawanan yang paling kecil. Tindakannya dilakukan mengikuti bawah sadar atau otomatis. Setelah anda keluar dari “ alur “ atau “ saluran “ lama , maka pikiran anda secara alami akan mengalir melaului saluran yang baru, sementara saluran yang lama berangsung- angsur hilang. (>[19]
Pentingnya kebiasaan mengulang suatu pelajaran, akan terlihat jelas, ketika anda belajar menyetir mobil atau mengendarai sepeda motor untuk pertama kalinya. Barangkali anda sudah tahu tentang teorinya, hanya karena anda tidak pernah mengulangnya kembali, atau tidak membiasakan diri untuk memakainya, maka anda akan terasa canggung dan asing, ketika mencobanya kembali.
Berikut ini adalah perkataan beberapa ulama tentang hafalan dan pengulangannya :
1/ Imam Zuhri dan Hasan Basri berkata : “ Ilmu itu menjadi hilang karena lupa dan tidak pernah diulang-ulang. “
2/ Abdurrahman ibnu Abi Laila berkata : “ Sesungguhnya cara menghidupkan hadist adalah dengan selalu mengulangi-ulanginya kembali. “
3/ Al-Ashma’I pernah ditanya tentang hafalannya yang kuat, padahal teman-temannya sudah lupa, beliau menjawab : “ Ya, karena saya sering mengulangi-ulanginya, sedang mereka tidak mau mengulang-ulanginya kembali. “ (<[20]<
4/ السبق حرف والتكرار ألف))
“ Membaca cepat sama bagikan membaca satu huruf, sedang mengulang-ulang sama dengan membaca seribu huruf. “
5/( حفظ حرفين خير من سماع وِقْرَيْن ، وفهم حرفين خير من حفظ سطرين)
“ Menghafal dua huruf lebih baik dari mendengar dua gendongan buku, memahami dua huruf lebih baik dari menghafal dua baris “. ([21]<
Berapa banyak orang yang pernah menghafal Al Qur’an dan mendapatkan Ijazah sebagai sorang hafidh atau hafidHah, karena tidak diulang-ulang kembali, ditambah dengan kesibukannya pada urusan lain, akhirnya Al Qur’an kembali menjadi asing baginya, seakan-akan dia belum pernah menghafalnya sama sekali.
Diantara fungsi hafalan adalah sebagai berikut :
1.
<>2. <>Mampu mengeluarkan hafalannya setiap saat dengan mudah.
<>3. <>Bisa memanfaatkan waktu untuk belajar ilmu lain, selainyang sudah dihafal. Hal ini sangat terlihat jelas, ketika seorang penuntut ilmu sedang menghadapi ujian. Ketika dia sudah hafal Al Qur’an umpamanya, maka waktu yang tersisa bisa untuk belajar atau menghafal pelajaran yang lain. Berapa banyak dari pelajar ketika ujian waktunya habis untuk mempersiapkan hafalan Al Qur’an atau bait-bait syi’ir, seandainya dia sudah hafal sebelumnya, tentunya akan banyak membantu dalam memahami pelajaran lain.
4. <>Manfaat hafalan juga akan terlihat dengan jelas, ketika bukunya hilang, atau lampunya tiba-tiba mati pada malam hari, atau tiba-tiba ia buta. (
2. Hadist
<3.
( Makalah ini masih belum sempurna dan bersambung pada volume : 2 )
Kairo, 15 April 2007 M
<
* Makalah ini bersifat sementara, dan masih bersambung , disampaikan pada acara penutupan kegiatan KSMR ( Kekeluargaan Mahasiswa Riau ) di Skretariat KSMR, pada hari Ahad, 15 April 2007 M
(>[1]
(<–>[2]) Adz-Dzahabi, Siar A’lam An-Nubala ( Beirut: Muassah Rislah, 1984 ) Juz : XVII, hal : 405
(>[3]<) Ary Ginanjar, ESQ , ( Jakarta : Arga , 2001 ) Cet. ke- 3 , hal : 185
([4]< Silaturohmi dan dialog dengan pimpinan pondok Gontor, 1 Juli 2003, hal : 3
(<[5]
[6]<) Syekh Sholeh Alu Syekh, Al Manhajiah fi Tholab Ilmi, hal : 3
([7]< DR. Hasan Ibrahim, Tarikh Islam al- Siyas wa ad Dien, ( Kairo : Maktabah Nahdhah Misriyah, 1984 ), cet Ke – 11, juz : III, hal : 380
(
([9]) Imam As Suyuti, Al Asybah wa An-Nadhair, ( Kairo, dar As Salam, 1998 ) cet. Pertama, Juz : I, hal : 336
([10] Syekh Sholeh Alu Syekh, Op Cit. , , hal : 5
(
([12] Berkat Taufik Allah swt, penulis sempat berguru kepada beliau selama kurang lebih satu bulan sekitar tahun 1994 dan tinggal di asrama samping masjid tersebut.
(
(
([15]
(<[16]
>[17]
(>[18]
(<>[19] Doug Hooper , You Are What You Think ( Anda Adalah Apa Yang Anda Pikirkan ) , terj. Anton Adiwiyoto ( Jakarta: Mitra Utama, 2000 M ) , Cet Ke- 3 , hal. 103-104
<
([20]< Muhammad bin Said bin Ruslan, Afaat Al Ilmi, ( Manufiyah : Maktabah Al Balagh, 2004 M ) Cet. Ke-3, hal .119-120.
([21]
(<[22]<) Ibid
(<23]

(<[24]<) Imam Nawawi. Op . Cit, hal. 66


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers