Dari Nafi’ maula Ibnu Umar radliyallahu’anhuma: “Bahwasanya Ibnu Umar radliyallahu’anhuma pernah mendengar suara seruling seorang penggembala. Maka beliau (Ibnu Umar) meletakkan kedua jarinya di telinganya lalu mencari jalan lain. Ibnu Umar berkata: ‘Wahai Nafi’ ! Apakah kamu mendengarkan suara ini?’ Maka aku menjawab: ‘Ya!’ Dan beliau selalu mengatakan demikian, sampai aku mengatakan: ‘Saya tidak mendengar lagi!’ Lalu Ibnu Umar: ‘Saya pernah melihat Rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam mendengar seruling penggembala lalu beliau melakukan seperti ini’” (Atsar Shohih, Dikeluarkan Imam Ahmad 4535-4965, dan lain-lain dishohihkan Syaikh Ahmad Syakir dan Syaikh Al-Albani dalam Tahrimu Alatu Thorbi hlm. 116)
Atsar ini menunjukkan betapa besarnya semangat para sahabat radliyallahu’anhum dalam menjaga pendengaran, diantaranya tidak mendengarkan alunan musik, serta selalu beruswah kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.
Anehnya atsar ini kadang malah dijadikan dalil tentang bolehnya mendengarkan nyanyian.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam Majmu’ Fatawa 30/212:
Hadits tersebut -jika memang shohih- maka tidak bisa dijadikan dalil dibolehkannya mendengarkan nyanyian musik, bahkan larangan tersebut lebih utama dikarenakan beberapa segi:
1. Yang diharamkan adalah “mendengarkan” bukan hanya “sekedar mendengar”. Seseorang jika mendengar kekufuran, ucapan dusta, ghibah (gunjingan), celaan, serta musik dan nyanyian tanpa adanya niat/maksud untuk mendengarkan -seperti seseorang yang hanya sekedar lewat jalan tersebut lalu mendengar suara nyanyian- maka orang tersebut tidaklah mendapatkan dosa dengan kesepakatan kaum muslimin. Dan kalau seandainya ada seseorang yang berjalan lalu mendengar bacaan al-Qur’an tanpa mendengarkannya terhadap bacaan tersebut maka dia tidak mendapatkan pahala. Dan dia akan mendapatkan pahala jika dia mendengarkan dan memperhatikan bacaan tersebut yang ia maksudkan. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan Ibnu Umar itu keduanya hanya sekedar melewati jalan tersebut tanpa ada niatan mendengarkan nyanyian, begitu juga apa yang dilakukan oleh Ibnu Umar dan Nafi’.
2. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menyumbat kedua telinga karena beliau sangat menjaga pendengarannya supaya tidak mendengar suara nyanyian sama sekali. Kalau seandainya suara tersebut boleh didengarkan maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tidak menyumbat telinga. Hal ini menunjukkan bahwa mendengarkan serta menikmatinya itu lebih terlarang.
Wallahu’alam
Ditulis ulang  dari majalah al-Furqon Edisi 04 Tahun ke-10 Dzulqo’dah 1431 (Okt/ Nop 2010)

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers