Pada 25 November 2008, situs Detik.com menurunkan sebuah
berita berjudul ”Guru Agama Islam di Jawa Masih Konservatif”.
Berdasarkan hasil survei Pusat Kajian Islam dan Masyarakat Universitas
Islam Negeri (PPIM-UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, ditemukan bahwa
”Guru-guru agama Islam sekolah umum di Jawa masih bersikap konservatif.
Bahkan, para guru tersebut sangat rendah dalam mengajarkan semangat
kebangsaan.”
Direktur PPIM-UIN Jakarta Dr. Jajat Burhanudin mengatakan, bahwa survei dilakukan terhadap 500 guru
di 500 SMA/SMK di Jawa selama kurun Oktober 2008. Responden dipilih dengan menggunakam metode random acak sederhana. Selain itu juga dilakukan wawancara terstruktur terhadap 200 siswa. “Dari 500 responden, 67,4% mengaku merasa sebagai orang Islam dan hanya 30,4% yang merasa sebagai orang Indonesia,” tambah dosen Fakultas Adab UIN Jakarta tersebut.
Lokasi survei dilakukan di kota-kota besar dan menengah di Jawa seperti Jakarta, Bandung, Yogya, Surabaya, Malang, Solo dan Cirebon. Berdasarkan hasil survei tersebut, Jajat merasa khawatir terhadap keberlangsungan berkebangsaan ke depan. Pemahaman kebangsaan yang sempit bisa mempengaruhi wawasan kebesangaaan.
“Banyak faktor kenapa guru agama berperilaku seperti itu, bisa karena pemahaman individu guru,kurikulum atau rendahnya dialog antar agama. Padahal itu di SMA/SMK umum, bukan disekolah agama,” pungkasnya.
Begitulah berita dari Detik.com.Pada 26 November 2006, koran The Jakarta Post juga menurunkan berita hasil survei PPIM-UIN Jakarta, dengan menulis: ”Most Islamic studies teachers in public and private schools in Java oppose pluralism, tending toward radicalism and conservatism, according to a survey released in Jakarta on Tuesday.”
Sebanyak 62,4 persen guru agama – termasuk dari kalangan NU dan Muhammadiyah, misalnya, menolak untuk mengangkat pemimpin non-Muslim. Survei juga menunjukkan, 68.6 persen guru agama menentang diangkatnya orang non-Muslim sebagai kepala sekolah mereka; dan sebanyak 33,8 persen menolak kehadiran guru non-Muslim di sekolah mereka. Persentase guru agama yang menolak kehadiran rumah ibadah non-Muslim di lingkungan mereka juga cukup besar, yakni 73,1 persen. Sementara itu, ada 85,6 persen guru agama yang melarang murid mereka untuk ikut merayakan apa yang dipersepsikan sebagai “Tradisi Barat”. Begitu juga ada 87 persen yang menganjurkan muridnya untuk tidak mempelajari agama-agama lain; dan 48 persennya lebih menyukai pemisahan murid laki-laki dan wanita dalam kelas yang berbeda.
Menurut Jajat Burhanuddin, pandangan anti-pluralis para guru agama tersebut terefleksikan dalam pelajaran mereka dan memberikan kontribusi tumbuhnya konservatisme dan radikalisme di kalangan Muslim Indonesia.
Survei PPIM-UIN Jakarta itu juga menunjukkan ada 75,4 persen dari responden yang meminta agar murid-murid mereka mengajak guru-guru non-Muslim untuk masuk Islam, sementara 61,1 persen menolak sekte baru dalam Islam. Sebanyak 67,4 persen responden yang lebih merasa sebagai muslim ketimbang sebagai orang Indonesia. Lebih dari itu, mayoritas responden juga mendukung penerapan syariah Islam untuk mengurangi angka kriminalitas: 58,9 persen mendukung hukum rajam dan 47,5 persen mendukung hukum potong tangan untuk pencuri serta 21,3 persen setuju hukuman mati bagi orang murtad dari agama Islam.
Sebanyak 44,9 responden mengaku sebagai anggota NU dan 23,8 persennya mengaku pendukung Muhammadiyah. Menurut Jajat, itu menunjukkan kedua organisasi tersebut gagal menanamkan nilai-nilai moderat ke kalangan akar rumput. Menurutnya, moderatisme dan pluralisme hanya dipeluk oleh kalangan elite mereka. Ia juga mengaku takut bahwa fenomena semacam ini telah memberikan kontribusi dalam meningkatkan radikalisme dan bahkan terorisme di negeri kita.
Bahkan, katanya, para guru agama itu telah memainkan peran kunci dalam mempromosikan konservatisme dan radikalisme di kalangan Muslim saat ini. Konservatisme dan radikalisme bukan hanya dikembangkan di jalan-jalan sebagaimana dikampanyekan oleh FPI, tetapi telah berakar dalam sistem pendidikan agama. Bahkan, lebih jauh ia katakan, bahwa sikap intoleran yang dikembangkan dalam pendidikan agama Islam selama ini akan mengancam hak-hak sipil dan politik dari kaum non-Muslim.
Begitulah hasil survei PPIM-UIN Jakarta sebagaimana diberitakan oleh Harian The Jakarta Post.
Misi siapa?
Secara jelas, penelitian PPIM-UIN Jakarta membawa misi besar untuk merombak pola pikir para guru agama di masa depan. Mereka diharapkan agar menjadi pluralis, tidak konservatif, tidak radikal. Mereka nantinya harus mau menerima pemimpin non-Muslim, menerima guru non-Muslim, menolak penerapan syariah, mendukung hak murtad, mendukung perayaan-perayaan model Barat, dan sebagainya. Itulah yang disebut oleh Direktur PPIM-UIN Jakarta itu sebagai jenis Islam moderat, Islam pluralis, atau entah jenis Islam apa lagi. Yang penting jenis Islam yang baru nanti harus mendapat ridho dari nagar-negara Barat yang menjadi donatur penting dari lembaga-lembaga sejenis PPIM-UIN Jakarta tersebut.
Misi inilah yang sebenarnya sedang diemban oleh lembaga-lembaga penelitian dan pendidikan Islam yang menjadi agen dari pemikiran dan kepentingan Barat. Dalam website PPIM-UIN Jakarta (www.ppim.or.id) dapat dilihat daftar mitra kerja dari lembaga ini, diantaranya: AUSAID, US embassy, The Asia Foundation, The Ford Foundation, dan sebagainya.
Karena itu, yang kini sedang dikerjakan oleh sejumlah Perguruan Tinggi Islam di Indonesia adalah menyiapkan guru-guru agama yang pluralis. Ini sesuai dengan isi memo Menhan AS Donald Rusmsfeld, pada 16 Oktober 2003: “AS perlu menciptakan lembaga donor untuk mengubah kurikulum pendidikan Islam yang radikal menjadi moderat. Lembaga pendidikan Islam bisa lebih cepat menumbuhkan teroris baru, lebih cepat dibandingkan kemampuan AS untuk menangkap atau membunuh mereka.” (Harian Republika, 3/12/2005).
AS dkk memang sangat serius dalam menggarap pendidikan Islam di Indonesia. Umat Islam harusnya sadar akan tantangan besar yang mereka hadapi. Ini menyangkut masalah aqidah; menyangkut soal hidup dan mati umat Islam Indonesia di masa depan. Jangan sampai umat salah langkah dalam merespon tantangan di bidang pemikiran dan pendidikan ini.
Direktur PPIM-UIN Jakarta Dr. Jajat Burhanudin mengatakan, bahwa survei dilakukan terhadap 500 guru
di 500 SMA/SMK di Jawa selama kurun Oktober 2008. Responden dipilih dengan menggunakam metode random acak sederhana. Selain itu juga dilakukan wawancara terstruktur terhadap 200 siswa. “Dari 500 responden, 67,4% mengaku merasa sebagai orang Islam dan hanya 30,4% yang merasa sebagai orang Indonesia,” tambah dosen Fakultas Adab UIN Jakarta tersebut.
Lokasi survei dilakukan di kota-kota besar dan menengah di Jawa seperti Jakarta, Bandung, Yogya, Surabaya, Malang, Solo dan Cirebon. Berdasarkan hasil survei tersebut, Jajat merasa khawatir terhadap keberlangsungan berkebangsaan ke depan. Pemahaman kebangsaan yang sempit bisa mempengaruhi wawasan kebesangaaan.
“Banyak faktor kenapa guru agama berperilaku seperti itu, bisa karena pemahaman individu guru,kurikulum atau rendahnya dialog antar agama. Padahal itu di SMA/SMK umum, bukan disekolah agama,” pungkasnya.
Begitulah berita dari Detik.com.Pada 26 November 2006, koran The Jakarta Post juga menurunkan berita hasil survei PPIM-UIN Jakarta, dengan menulis: ”Most Islamic studies teachers in public and private schools in Java oppose pluralism, tending toward radicalism and conservatism, according to a survey released in Jakarta on Tuesday.”
Sebanyak 62,4 persen guru agama – termasuk dari kalangan NU dan Muhammadiyah, misalnya, menolak untuk mengangkat pemimpin non-Muslim. Survei juga menunjukkan, 68.6 persen guru agama menentang diangkatnya orang non-Muslim sebagai kepala sekolah mereka; dan sebanyak 33,8 persen menolak kehadiran guru non-Muslim di sekolah mereka. Persentase guru agama yang menolak kehadiran rumah ibadah non-Muslim di lingkungan mereka juga cukup besar, yakni 73,1 persen. Sementara itu, ada 85,6 persen guru agama yang melarang murid mereka untuk ikut merayakan apa yang dipersepsikan sebagai “Tradisi Barat”. Begitu juga ada 87 persen yang menganjurkan muridnya untuk tidak mempelajari agama-agama lain; dan 48 persennya lebih menyukai pemisahan murid laki-laki dan wanita dalam kelas yang berbeda.
Menurut Jajat Burhanuddin, pandangan anti-pluralis para guru agama tersebut terefleksikan dalam pelajaran mereka dan memberikan kontribusi tumbuhnya konservatisme dan radikalisme di kalangan Muslim Indonesia.
Survei PPIM-UIN Jakarta itu juga menunjukkan ada 75,4 persen dari responden yang meminta agar murid-murid mereka mengajak guru-guru non-Muslim untuk masuk Islam, sementara 61,1 persen menolak sekte baru dalam Islam. Sebanyak 67,4 persen responden yang lebih merasa sebagai muslim ketimbang sebagai orang Indonesia. Lebih dari itu, mayoritas responden juga mendukung penerapan syariah Islam untuk mengurangi angka kriminalitas: 58,9 persen mendukung hukum rajam dan 47,5 persen mendukung hukum potong tangan untuk pencuri serta 21,3 persen setuju hukuman mati bagi orang murtad dari agama Islam.
Sebanyak 44,9 responden mengaku sebagai anggota NU dan 23,8 persennya mengaku pendukung Muhammadiyah. Menurut Jajat, itu menunjukkan kedua organisasi tersebut gagal menanamkan nilai-nilai moderat ke kalangan akar rumput. Menurutnya, moderatisme dan pluralisme hanya dipeluk oleh kalangan elite mereka. Ia juga mengaku takut bahwa fenomena semacam ini telah memberikan kontribusi dalam meningkatkan radikalisme dan bahkan terorisme di negeri kita.
Bahkan, katanya, para guru agama itu telah memainkan peran kunci dalam mempromosikan konservatisme dan radikalisme di kalangan Muslim saat ini. Konservatisme dan radikalisme bukan hanya dikembangkan di jalan-jalan sebagaimana dikampanyekan oleh FPI, tetapi telah berakar dalam sistem pendidikan agama. Bahkan, lebih jauh ia katakan, bahwa sikap intoleran yang dikembangkan dalam pendidikan agama Islam selama ini akan mengancam hak-hak sipil dan politik dari kaum non-Muslim.
Begitulah hasil survei PPIM-UIN Jakarta sebagaimana diberitakan oleh Harian The Jakarta Post.
Misi siapa?
Secara jelas, penelitian PPIM-UIN Jakarta membawa misi besar untuk merombak pola pikir para guru agama di masa depan. Mereka diharapkan agar menjadi pluralis, tidak konservatif, tidak radikal. Mereka nantinya harus mau menerima pemimpin non-Muslim, menerima guru non-Muslim, menolak penerapan syariah, mendukung hak murtad, mendukung perayaan-perayaan model Barat, dan sebagainya. Itulah yang disebut oleh Direktur PPIM-UIN Jakarta itu sebagai jenis Islam moderat, Islam pluralis, atau entah jenis Islam apa lagi. Yang penting jenis Islam yang baru nanti harus mendapat ridho dari nagar-negara Barat yang menjadi donatur penting dari lembaga-lembaga sejenis PPIM-UIN Jakarta tersebut.
Misi inilah yang sebenarnya sedang diemban oleh lembaga-lembaga penelitian dan pendidikan Islam yang menjadi agen dari pemikiran dan kepentingan Barat. Dalam website PPIM-UIN Jakarta (www.ppim.or.id) dapat dilihat daftar mitra kerja dari lembaga ini, diantaranya: AUSAID, US embassy, The Asia Foundation, The Ford Foundation, dan sebagainya.
Karena itu, yang kini sedang dikerjakan oleh sejumlah Perguruan Tinggi Islam di Indonesia adalah menyiapkan guru-guru agama yang pluralis. Ini sesuai dengan isi memo Menhan AS Donald Rusmsfeld, pada 16 Oktober 2003: “AS perlu menciptakan lembaga donor untuk mengubah kurikulum pendidikan Islam yang radikal menjadi moderat. Lembaga pendidikan Islam bisa lebih cepat menumbuhkan teroris baru, lebih cepat dibandingkan kemampuan AS untuk menangkap atau membunuh mereka.” (Harian Republika, 3/12/2005).
AS dkk memang sangat serius dalam menggarap pendidikan Islam di Indonesia. Umat Islam harusnya sadar akan tantangan besar yang mereka hadapi. Ini menyangkut masalah aqidah; menyangkut soal hidup dan mati umat Islam Indonesia di masa depan. Jangan sampai umat salah langkah dalam merespon tantangan di bidang pemikiran dan pendidikan ini.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer