Salah satu paham dan proyek favorit yang sedang dijejalkan kepada kaum
Muslim di Indonesia adalah paham ”Kesetaraan Gender”, atau tepatnya
”Keadilan dan Kesetaraan Gender” (KKG). Pendanaan untuk proyek ini dari
LSM dan negara-negara Barat sungguh luar biasa besarnya. Pemerintah pun
sudah menjadikan paham ini sebagai program resmi yang harus
dilaksanakan. Apa sebenarnya paham ini, dan bagaimana umat Islam
menyikapinya?
Pada situs Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (http://www.menegpp.go.id), disebutkan:”Kesetaraan
dan Keadilan Gender (KKG) sudah menjadi isu yang sangat penting dan
sudah menjadi komitmen bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia
sehingga seluruh negara menjadi terikat dan harus melaksanakan komitmen
tersebut.”
Jadi, program KKG harus dilaksanakan, karena sudah menjadi program
nasional. Tidak ada pilihan lain. Sampai pada titik ini, tampak
seolah-olah konsep dan program KKG tidak bermasalah dengan Islam.
Ketertinggalan perempuan dan rendahnya keterlibatan mereka dalam ruang
publik ini kemudian dijadikan sebagai sebab rendahnya Indeks Pembangunan
Manusia/Human Development Index (HDI) suatu negara versi UNDP (United Nation Development Program).
Tahun 1995, HDI Indonesia berada pada peringkat ke-96. Tahun 1998,
turun menjadi 109 dari 174 negara. Tahun 1999 naik lagi pada peringkat
102 dari 162 negara. Dan pada 2002, HDI Indonesia berada di urutan 110
dari 173 negara. Lalu, tahun 2003, HDI Indonesia menempati urutan
ke-112 dari 175 negara.
Tapi, jangan berhenti sampai di situ saja! Sebenarnya, dalam penentuan HDI versi UNDP (United Nation Development Program),
ada masalah yang sangat serius. Adalah Dr. Ratna Megawangi, dosen Ilmu
Gizi di Institut Pertanian Bogor (IPB), yang membongkar apa dampak
serius dari program KKG ini bagi keluarga dan masyarakat Muslim. Dalam
bukunya, Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender, (1999), Ratna menyebutkan, bahwa ukuran keberhasilan pembangunan nasional yang diukur oleh UNDP adalah GDI (Gender Development Index), yaitu kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam usia harapan hidup, pendidikan, jumlah pendapatan, serta GEM (Gender Empowerment Measure),
yang mengukur kesetaraan dalam partisipasi politik dan beberapa sektor
lainnya. Misalnya, apabila laki-laki dan perempuan sama-sama
berpenghasilan dua juta rupiah setahun, menerima pendidikan sama-sama
sepuluh tahun, atau proporsi yang aktif dalam politik sama-sama 20
persen, maka angka GDI dan GEM adalah 1, atau telah terjadi ”perfect equality”.
Konsep kesetaraan kuantitatif (50/50) inilah yang diidealkan oleh
UNDP, sehingga lembaga ini mengharapkan seluruh negara di dunia dapat
mencapai kesetaraan yang demikian.
Inilah pemaksaan konsep kesetaraan yang dalam banyak hal justru
merugikan perempuan sendiri. Ide pembebasan wanita dari citra sebagai
”ibu”, sudah digagas oleh John Stuart Mill, melalui bukunya, The Subjection of Women
(1869). Menurut Mill, pekerjaan perempuan di sektor domestik (rumah
tangga) merupakan pekerjaan irasional, emosional dan tiranis. Karena
itu, Mill meminta perempuan menekan dan menghilangkan segala aspek yang
ada kaitannya dengan pekerjaan domestik agar ”kebahagiaan” tertinggi
dapat dicapai. Hal senada disampaikan oleh Sarah Grimke (1838) yang
menyatakan bahwa wanita yang menikah telah terpenjara dalam sebuah
tirani, di bawah kekuasaan seorang tiran (suami). Katanya: ”Man has
exercised the most unlimited and brutal power over women in the
peculiar character of husband – a word in most countries synonymous
with tyrant.”
”Analisis Grimke sejajar dengan teori Marx yang mengatakan kekuasaan
adalah identik dengan tiran, dan perempuan juga harus meraih
”kebahagiaan”. Jika perempuan ingin meraih kebahagiaan, maka standarnya
adalah kebahagiaan materialistis dan maskulin, yaitu standar yang
bersumber dari dunia publik dan aspek rasionalitas manusia,” tulis Ratna
Megawangi.
Ratna juga menyoroti gerakan feminis liberal yang mengusung gagasan
”perkawinan kontrak” yang saat ini dipandang sejumlah aktivis KKG lebih
menjamin konsep kesetaraan antara laki-laki dan wanita. Mereka
menentang bentuk perkawinan sekarang. Kaum feminis liberal di AS,
menurut Ratna, berjuang mengubah undang-undang yang menempatkan suami
sebagai kepala keluarga. Ada tiga aspek yang ingin dihindari dari hukum
perkawinan: (1) anggapan bahwa suami adalah kepala keluarga (2)
anggapan bahwa suami bertanggung jawab atas nafkah istri dan anak-anak
dan (3) anggapan bahwa istri bertanggung jawab atas pengasuhan anak dan
pekerjaan rumah tangga.
Bahkan, bagi sebagian aktivis KKG, lesbianisme dianggap sebagai sesuatu
bentuk ”kesetaraan” yang ideal, dimana perempuan benar-benar bebas
dari dominasi laki-laki. Jangan heran, jika banyak aktivis KKG sangat
gigih dalam memperjuangkan hak-hak kaum lesbian. Gadis
Arivia, seorang pegiat KKG, dalam artikelnya yang berjudul ”Etika
Lesbian” di Jurnal Perempuan (Maret 2008) menulis: ”Etika
lesbian merupakan konsep perjalanan kebebasan yang datang dari
pengalaman merasakan penindasan. Etika lesbian menghadirkan
posibilitas-posibilitas baru. Etika ini hendak melakukan perubahan moral
atau lebih tepat revolusi moral.”
Lebih jauh, Gadis Arivia menulis tentang keindahan hubungan pasangan sesama perempuan: ”Cinta
antar perempuan tidak mengikuti kaidah atau norma laki-laki.
Percintaan antar perempuan membebaskan karena tidak ada kategori
”laki-laki” dan kategori ”perempuan”, atau adanya pembagian peran dalam
bercinta. Dengan demikian, tidak ada konsep ”other” (lian) karena
penyatuan tubuh perempuan dengan perempuan merupakan penyatuan yang
kedua-keduanya menjadi subyek dan berperan menuruti kehendak
masing-masing. Dengan melihat kehidupan lesbian, kita menemukan
perempuan sebagai subyek dan memiliki komunitas yang tidak ditekan oleh
kebiasaan-kebiasaan heteroseksual yang memaksa perempuan berlaku
tertentu dan laki-laki berlaku tertentu pula.”
Itulah jebakan yang dipasang oleh para pegiat KKG. Seharusnya kaum
Muslim, khususnya kaum Muslimah, tidak mudah tergiur dengan
”iming-iming” paham KKG. Memang, program ini begitu mempesona, baik dari
segi jargon maupun dari segi pendanaan. Dukungan untuk program KKG
sungguh menggiurkan. Seolah-olah program ini akan membawa kebahagiaan
pada wanita.
Padahal, faktanya tidak demikian. Selama ini, kaum Muslimah sudah
bahagia dengan peran yang diberikan kepadanya oleh Allah SWT sebagai ibu
rumah tangga. Kebahagiaan wanita bukan terletak apakah dia jadi
menteri atau jadi anggota DPR. Kebahagiaan itu akan tercapai jika
seorang wanita muslimah meyakini, bahwa apa yang dikerjakannya adalah
suatu ibadah kepada Allah, dan ia berharap akan meraih keridhaan Allah.
Dimensi keimanan dan keakhiratan inilah yang sering tidak dipahami
dalam gerakan KKG.
Free Template Blogger
collection template
Hot Deals
BERITA_wongANteng
SEO
theproperty-developer
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.
Jumlah Pengunjung
Blog Archive
-
▼
2012
(753)
-
▼
September
(87)
- Fitnah Kubur
- Apa Itu Al Masih?
- Balasan Setimpal Perbuatan
- Tiga Catatan Tentang Mimpi Buruk
- Panduan Qurban
- Tata Cara Mandi Wajib khusus Wanita
- Teman Tapi Mesra
- Apabila Suami Tidak Memiliki Kasih Sayang
- Awal Alam Barzakh
- Awas!! Lagu 'Cinta Satu Malam' Promosikan Perzinaan
- Menjemput Takdir Baik
- MA’RIFATULLAH
- APA ITU SYARI'AT, TAREQAT, HAKIKAT DAN MA'RIFAT?
- Cari Muka Beroleh Nista
- Sudah Lama "Ngaji" Tetapi Akhlaq Tidak Baik
- Kisah Nyata Menyentuh :SENYUM INDAH SANG BIDADARI
- Ampuhnya Do’a Ibarat Tajamnya Pedang
- Kenakalan Remaja Dan Solusinya Dalam Islam
- Ukhti Muslimah, Bergaullah Dengan Al-Qur’an
- Ayat-ayat Cinta, Ayat-ayat Benci
- Awas Budaya Tasyabbuh
- Arisan, Bagaimana Islam Memandangnya…?
- Mungkin,ini lebih baik!
- Tak Hanya Waktu yang Terus Berjalan
- Jika Imam Qunut Shubuh apakah kita sebagai makmum ...
- Info:Daftar Radio Streaming Sunnah Indonesia
- Mengharap Kaya dengan Sedekah
- Waktu Penyembelihan Qurban
- Kedudukan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani ra...
- Mulianya Seorang Wanita
- Wanita Yang Sebaiknya Engkau Cari
- Aplikasi Untuk Merekam Radio Streaming
- Sedikitnya Teman Perjalanan, Harga Sebuah Kemuliaan
- Sampaikanlah Kepada Wanita ...
- Rohis Sarang Teroris?
- Mencegah Suami Poligami
- Menyikapi Film “Innocence Of Muslim” Secara Bijak
- Hidayah Lambat Karena Adat
- Alat Musik dalam Pandangan Ulama Syafi’i
- Kami Tak Butuh Pendapatmu Untuk Menjadi Berharga
- Semangat Dakwah Mengundang Datangnya Hidayah
- Heiiii Cantik, Ngapain Kamu Berjilbab?
- Kajian Terbaru Masjid Istiqlal:"SIKAP MUSLIM DALA...
- Kita 'N Make Up
- Wanita Dan Mode
- Hukum Rokok Herbal
- Fenomena Film Innocence Of Muslim
- Komentar Para Mualaf Eropa Terhadap Film Innocence...
- Bukan Raqib Bukan ‘Atid
- Simak Radio Rodja Dengan Blackberry
- Cara mendengarkan radio rodja
- Benarkah Bom Bunuh Diri Mati Syahid?
- Inilah Statement Said Aqil Siradj yang Disoroti Ul...
- Tahu Diri Tidak Tahu
- HALALKAH DAGING MERPATI (BURUNG DARA)? : “Para pen...
- Tiada kata Gagal Sebelum datang Ajal
- Guru Agama Jadi Sasaran
- (ROMANTIS) “MALAM PERTAMA” DALAM ISLAM : RAHASIA &...
- Hukum Air Kencing Unta
- Hina Dianggap Mulia
- Jebakan ”Kesetaraan Gender”
- Shalat Jumat bagi Wanita
- Heboh video Habib curhat di kuburan dan setitik ma...
- Memangsa bangsanya sendiri
- Mandi Jumat Bagi Wanita
- Bolehkah wudhu dalam Keadaan Telanjang?
- Apa sih Batasan Berjilbab?
- Indahnya Menangis Karena Allah, Wahai Muslimah Men...
- Wahai Saudariku, Kenapa Engkau Berpakaian Tapi Tel...
- Niat Shalat Dhuha
- Manisnya Hidayah
- Ilmu dan Kebahagiaan
- Perbedaan antara nasehat dan ghibah
- Hidayah Hanya Milik Allah
- Bismillah..Pentingnya Pengajar sukses
- Tabligh Akbar Forum Nahdliyin Caci Maki Ulama, Sal...
- Misi Yahudi Merusak Agama
- Engkau Lebih Cantik Bercadar [Mengangkat Kekhawati...
- Nasehat Untuk Salafiyyin
- CARA MUDAH MENGHAFAL AL-QUR’AN
- Ushuluts Tsalatsah al-Imam Muhammad bin Abdul-Wahab
- Allah Maha Mengetahui Niatmu,Saudaraku!
- Membongkar Kesesatan Syi’ah
- Makna Dari Ibadah Asy-Syaikh Dr. Shalih Fauzan Al...
- Nasehat Syaikh Sholeh Fauzan Tentang Jilbab Yang D...
- 3 Prinsip Akidah Seorang Muslim
- Bedanya Taubat dan Istighfar
-
▼
September
(87)