Voaislam.com memberitakan, Belum
diketahui, siapa yang pertama kali meng-upload video berdurasi 3.12
detik itu. Yang pasti, ada beberapa judul yang tersebar dalam video
tersebut, yakni: Video ziarah Curhat oleh Habib!!, Habib Curhat di
Kuburan, Habib Curhat kepada kuburan, HEBOH! Habib Berbuat Syirik Minta
Ke Kuburan.
Jika disimak dari video tersebut, sang
habib beberapa kali menyebut ahli kubur (tidak jelas identitasnya)
dengan nama walid. Sedangkan habib tersebut terdengar menyebut dirinya
Alwi. Inilah interaksi antara Alwi dengan Walid (ahli kubur).
Di tengah habib yang berjubah putih itu dikelilingi oleh beberapa
anggota majelis taklimnya, sebagian besar anak muda.
Belum diketahui persis, di kuburan mana
habib itu berziarah dan minta didoakan oleh ahli kubur. Kabarnya, makam
itu ada di bilangan Bogor. Berikut ini salah satu ucapan sang habib yang
heboh itu:
“Doain ye. Do’ain anak-anak biar
rezekinya makmur, doain angota (majelis taklim) biar sabar, tidak
terpengaruh komunis, dan jadi orag baik semua….Jangan doa’in anak-anak
biar cepet kawin, nanti (ngajinya) berhenti, kurang ajar. Mau kawin
minjem duit ama guru, orang (gini) separuh setan…Juga, doain saya mau
umrah lagi. Jangan tanya duitnya dari mana…..” dan seterusnya.”
Inilah beberapa point obrolan Habib pada penghuni kubur :
1. Habib minta di do`akan Ahli Kubur
2. Habib minta yang baik-baik, juga yang
tidak baik, seperti jangan mendoakan murid-muridnya agar kawin, karena
kalau sudah kawin akan kurang ajar.
3. Habib menghina murid-muridnya sebagai
orang-orang separuh setan (dan nampaknya murid-muridnya pada senang di
bilang setengah setan yang ahli neraka).
4. Membeberkan aib Ahli kubur, yang manggil si alwi ini mirip setan. (Desastian/ voaislam.com, Sabtu, 08 Sep 2012)
***
Sebagian yang terlibat dalam aliran
sesat syi’ah ataupun pembelanya dan kadang tidak mengaku sebagai orang
syi’ah adalah dari kalangan habaib. Ternyata kalau disinggung tentang
syiah, walaupun yang mengungkapkan itu seorang professor ahli serta
pernah tinggal di wilayah negeri syiah pun, di antara kalangan habaib
ada yang marah-marah. Kemarahannya itu dapat dibaca di buku Bila Kyai Dipertuhankan, karya Hartono Ahmad Jaiz.
Karena kemungkinan rangkaian heboh video
habib curhat di kuburan yang sedang memasyarakat itu ada secercah
kaitan dengan peristiwa oerhabibab dan syiah, sedang momennya juga
sedang berlangsung, maka mari kita nikmati petikan dari buku Bila Kyai
Dipertuhankan di bawah judul Kiyai Itu Apa? Julukan Kiyai untuk Ulama Perlu Dihapus Oleh Ustadz Hartono Ahmad Jaiz berikut ini.
…bahwa sebutan Kiyai untuk ulama
sebenarnya di kalangan kaum Betawi kurang membudaya. Hanya saja dalam
perkembangannya sebutan Kiyai itu memasyarakat pula sejak pemerintahan
Soeharto yang sejak awal tampak menonjolkan budaya Jawa terutama yang
berbau Kejawen, hingga nama ruangan-ruangan di gedung DPR/MPR pun
diganti dengan nama dari bahasa Jawa Kuno atau bahkan Sansekerta dari
India atau Hindu. Misalnya ruang Wirashaba dan sebagainya yang sulit
dimengerti oleh masyarakat. Maka istilah Kiyai untuk sebutan ulama pun
yang asalnya hanya dipakai di Jawa lalu dinasionalkan atau menjadi
istilah nasional. Dan tampaknya budayamunduk-munduk(sangat hormat bahkan
takut) terhadap Kiyai yang budaya itu merata di Jawa rupanya menular
pula kepada masyarakat selain Jawa, termasuk Betawi, sehingga julukan
Kiyai itu tidak ditolak oleh ulama yang dijulukinya.
Setelah julukan Kiyai itu memasyarakat
pula di masyarakat selain Jawa, termasuk pula Betawi, lalu tumbuh
gejala, keturunan Kiyai yang kemudian mengimami masjid atau apalagi
memimpin pesantren maka disebut Kiyai pula, walaupun ketika bapaknya
dulu masih hidup, si anak Kiyai itu tidak pernah disebut Kiyai muda,
tetapi begitu bapaknya wafat, maka dia langsung dipanggil atau suka
dipanggil dengan sebutan Kiyai, walaupun dari segi keilmuan maupun
kegiatannya berjama’ah ke masjid tidak sebanding dengan bapaknya.
Adapun ulama ataupun da’i yang dari
keturunan Arab dan menisbatkan diri sebagai keturunan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam maka mereka bukan disebut Kiyai, tetapi Habib yang
sering dijamakkan (bentuk banyak, plural) menjadi habaib. Sehingga ada
istilah “ulama dan habaib”. Ulama dalam hal ini untuk para alim, guru
agama yang ilmunya cukup tinggi (termasuk di dalamnya, Kiyai), namun
bukan orang Arab “keturunan” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedang
habib atau bentuk jamaknya (plural) Habaib adalah guru agama atau alim
agama atau bahkan ulama dan “keturunan” Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Hanya saja di kampung-kampung, asal dia bisa membaca sepotong
do’a, maka sudah bisa disebut Kiyai atau kalau “keturunan” Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam maka disebut Habib, dan kalau bersalaman
dengan mereka maka masyarakat Betawi/ Jakarta pun menciumi tangannya.
(Menurut Habib Abdurrahman Bukit Duri
Manggarai Jakarta Selatan, untuk diciumi tangannya itu juga pakai modal,
yaitu minyak wangi. Dan kadang rugi juga, kalau yang mencium tangannya
itu kebetulan ingusan. Jadi sang Habib itu sudah mengeluarkan modal
berupa minyak wangi, masih kena ingus pula, ucap Habib Abdurrahman
Assegaf di depan para Ulama, Habaib, Kiyai, dan tokoh Islam. Ucapan itu
dalam rangka marah terhadap pidato Pak Prof Dr HM Rasjidi (almarhum,
wafat Januari 2001) yang menguraikan sesatnya Syi’ah, dalam pertemuan di
Pesantren As-Syafi’iyah (belakangan disebut Pesantren Al-Qur’an Kiyai
Haji Abdullah Syafi’i) di Pulo Air Sukabumi, Jawa Barat, 1989. Kemarahan
Habib Abdurrahman itu mengagetkan para ulama yang hadir, karena
tampaknya Sang Habib itu mengira bahwa Prof Rasjidi membidik para habaib
dengan cara menghantam Syi’ah. Kesalah fahaman itu bermula dari pidato
singkat Dr HA Nahrawi Abdus Salam yang mengira Prof Rasjidi menghantam
Syi’ah itu untuk menyindir orang yang mengukuhi madzhab, dalam hal ini
Syafi’iyah. Akibatnya pertemuan itu jadi kacau balau suasananya secara
perasaan. Wajah-wajah para ulama itu tampak saling kikuk, dan sampai
menjelang wafatnya pun Prof Rasjidi masih terkenang dan mengaku kepada
penulis bahwa dirinyadiplengosi (dihadapi dengan berpaling) oleh tuan
rumah saat itu, setelah adanya pidato-pidato yang salah faham itu).
Tampaknya tradisi munduk-munduk(sangat
hormat dan sangat patuh) terhadap Kiyai di Jawa tidak jauh berbeda
dengan yang terjadi terhadap guru / ulama dan habib/ habaib di Betawi/
Jakarta. Maka orang Betawi yang tadinya tidak mengenal atau masyarakat
kurang kenal dengan istilah Kiyai, kemudian sejak tahun 1970-an sebagian
ulamanya tampaknya ridho’ untuk disebut Kiyai. Sementara itu untuk para
habaib tetap bernama habib, sebagai pembeda antara yang “keturunan”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang ‘ajam (non Arab). Sedang
tradisi cium tangan dan munduk-munduknya tetap “dikukuhkan”. (Petikan
dari buku Bila Kyai Dipertuhankan di bawah judul Kiyai Itu Apa? Julukan Kiyai untuk Ulama Perlu Dihapus Oleh Ustadz Hartono Ahmad Jaiz)
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer