Telah menjadi kebisaan para ulama terdahulu, ketika mereka diajak untuk berbincang-bincang yang tak perlu, atau ajakan-ajakan iseng yang hanya menghabiskan waktu, mereka mengatakan, “auqifisy syamsa”, hentikan dahulu (peredaran) matahari! Yakni jika waktu bisa dihentikan perputarannya, barulah mereka sudi melayani hal-hal yang tak berguna. Realitanya, waktu terus berjalan,  menggerus umur manusia. Waktu akan habis dengan sendirinya, seberapapun manusia memanfaatkannya. Untung ruginya manusia, tergantung bagaimana ia mengisi waktunya.


Seperti dikatakan, “waktu seumpama pedang, jika kamu tak cakap menggunakannya, pedang itu akan menebas dirimu sendiri.” Jika waktu tidak digunakan untuk hal-hal yang bemanfaat dan bernilai taat, maka waktu menyediakan peluang untuk kemaksiatan dan hal-hal yang merugikan. Karena itulah Allah bersumpah dengan waktu, “wal  ‘ashr”, demi masa, lalu dilanjutkan dengan ‘innal insaana lafii khusrin’, sesungguhnya manusia itu berada dalam kerugian dan seterusnya. Karena manusia bisa rugi karena salah menggunakan waktu, dan bisa beruntung ketika bisa memanfaatkannya.
Pikiran Juga Terus Berjalan
Tak hanya waktu yang memiliki tabiat terus berjalan.  Pikiran manusia pun demikian. Tak ada pikiran yang stagnan atau diam saat terjaga. Ia pasti menjelajah, mengembara atau memikirkan hal-hal yang disengaja maupun tidak. Jika kita secara sadar  tidak menggunakan pikiran kita untuk memikirkan keagungan penciptaan Allah, merenungkan ayat-ayat Qur’aniyah, merencanakan hal-hal yang bisa mendatangkan maslahat dunia dan akhirat, menghafal dan menganalisa ilmu-ilmu yang bermanfaat dan semisalnya, maka pikiran tetap saja ‘bergentayangan.’ Secara reflek akan hadir lintasan-lintasan pikiran. Apakah berupa lamunan dan khayalan, atau bisa jadi berupa cetusan ide buruk yang besar kemungkinan dibisikkan oleh setan. Karena Allah berfirman,
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan (ide) yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (QS. al-An’am: 112)
Padahal, bermula dari cetusan dan lintasan pikiranlah manusia bergerak dan berbuat. Jika yang terlintas dalam pikiran adalah suatu kebaikan, keutamaan, kemanfaatan, maka hasilnya adalah perbuatan yang mendatangkan kemaslahatan, begitupun sebaliknya. Karenanya, ulama klasik Abul Wafa Ali Ibnu Uqail, penulis kitab al-Funuun selalu mengarahkan pikirannya kepada hal-hal yang bermanfaat. Beliau mengatakan,  “Sesungguhnya aku tak ingin membiarkan diriku membuang-buang waktu meski hanya sesaat dalam hidupku. Sampai-sampai apabila lidahku berhenti berdzikir atau berdiskusi, pandangan mataku juga berhenti membaca, segera aku mengaktifkan pikiranku kala beristirahat sambil berbaring. Ketika aku bangkit, pasti sudah terlintas sesuatu yang akan kutulis.” (Al-Muntazham,  Ibnu al-Jauzi)
Betapa pentingnya berpikir positif, hingga banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang menganjurkan kita untuk menggunakan pikiran untuk hal yang bermanfaat. Dan banyak pula ayat yang berupa teguran, peringatan atau bahkan celaan bagi orang yang tidak memanfaatkan pikirannya. Baik dengan kalimat “afalaa ta’qiluun…afalaa tatafakkaruun…afalaa tubshiruun” dan semisalnya.
Potensi Lain yang Tak Kenal Diam
Potensi lain pada manusia yang sulit untuk diam adalah aktivitas jasad. Selagi ia masih hidup, sekecil apapun gerakan, pasti ia akan beraktivitas. Dan gerakan-gerakan itulah yang mengejawantahkan gagasan pikiran, atau ungkapan hati dan perasaan. Dari mulai kerlingan mata, sentuhan tangan, langkah kaki, ucapan lisan dan anggota tubuh yang lain akan terus bergerak. Ada aktivitas yang mendatangkan faedah, ada yang sekedar iseng, dan adapula bahkan aktivitas yang merugikan diri sendiri. Cukuplah manusia dikatakan rugi jika dia tidak sedang bergerak untuk sesuatu yang mendatangkan manfaat untuk dirinya. Dan kelak, masing-masing anggota badan akan dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah, dan masing-masing akan menjadi saksi atas apa yang telah manusia perbuat di dunia. Allah berfirman,
الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَى أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” (QS. Yaasin: 65)
Ada lagi potensi manusia yang tak pernah berhenti beraktivitas, yakni nafsu. Karakter nafsu itu ‘anfasa’, selalu berhembus.Ia tak pernah netral atau diam. Jika akal sehat yang dibimbing oleh wahyu mengendalikannya, maka ia akan takluk mengikuti hembusan menuju ketaatan. Namun jika tidak dikendalikan, nafsu akan mencari arah sendiri yang sesuai dengan tabiat asalnya, yakni, “inna an-nafsa la-ammaaratun bis suu’, sesungguhnya nafsu itu cenderung kepada keburukan. Atau nafsu akan diperalat oleh setan, karena nafsu adalah ‘mathiyyatusy syaithan’, kendaraan setan untuk masuk ke dalam hati manusia dan mengobrak-abrik kekayaan iman di dalamnya.
Maka benarlah ungkapan, “nafsu itu jika Anda tidak menyibukkan ia dengan kebaikan, maka nafsu akan menyibukkan Anda dengan kemaksiatan.”
Maka, kata kunci bagi kesuksesan manusia dalam hal ilmu, kemampuan, kebahagiaan dunia maupun akhirat tergantung bagaimana menggunakan segala potensi yang terus berjalan dan tak kenal diam. Perolehan akhirnya sepadan dengan usahanya dalam memanfaatkan waktu, mengerahkan pikiran, memberdayakan tenaga dan bagaimana kegigihannya dalam mengendalikan nafsu yang terus aktif bergerak. Semoga Allah memasukkan kita ke dalam golongan orang-orang yang beruntung, aamiin

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers