Pertanyaan:
Assalamualaikum wr wb
Assalamualaikum wr wb
Ustadz, menurut hukum Islam, apakah boleh seorang suami berjabat tangan dengan ibu mertua?
Terima kasih atas pencerahan ustadz.
From: Ahmad Al Faqih
Jawaban:
Jawaban:
Mengenai berjabat tangan dengan wanita sudah jelas adalah suatu keharaman berdasarkan dalil-dalil berikut ini.
Pertama, hadis Aisyah radhiallahu ‘anha
‘Urwah bin Az Zubair berkata bahwa Aisyah –istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata,
عُرْوَةُ
بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم-
قَالَتْ كَانَتِ الْمُؤْمِنَاتُ إِذَا هَاجَرْنَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- يُمْتَحَنَّ بِقَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ (يَا
أَيُّهَا النَّبِىُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى
أَنْ لاَ يُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئًا وَلاَ يَسْرِقْنَ وَلاَ يَزْنِينَ)
إِلَى آخِرِ الآيَةِ. قَالَتْ عَائِشَةُ فَمَنْ أَقَرَّ بِهَذَا مِنَ
الْمُؤْمِنَاتِ فَقَدْ أَقَرَّ بِالْمِحْنَةِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- إِذَا أَقْرَرْنَ بِذَلِكَ مِنْ قَوْلِهِنَّ قَالَ
لَهُنَّ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « انْطَلِقْنَ فَقَدْ
بَايَعْتُكُنَّ ». وَلاَ وَاللَّهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ. غَيْرَ أَنَّهُ يُبَايِعُهُنَّ
بِالْكَلاَمِ – قَالَتْ عَائِشَةُ – وَاللَّهِ مَا أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- عَلَى النِّسَاءِ قَطُّ إِلاَّ بِمَا أَمَرَهُ
اللَّهُ تَعَالَى وَمَا مَسَّتْ كَفُّ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- كَفَّ امْرَأَةٍ قَطُّ وَكَانَ يَقُولُ لَهُنَّ إِذَا أَخَذَ
عَلَيْهِنَّ « قَدْ بَايَعْتُكُنَّ ». كَلاَمًا.
“Jika wanita mukminah berhijrah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka diuji dengan firman Allah Ta’ala (yang artinya), ‘Hai
Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk
mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah,
tidak akan mencuri, tidak akan berzina ….’ (QS. Al Mumtahanah:
12).” Aisyah pun berkata, “Siapa saja wanita mukminah yang mengikrarkan
hal ini, maka ia berarti telah diuji.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri berkata ketika para wanita mukminah mengikrarkan yang demikian, “Kalian bisa pergi karena aku sudah membaiat kalian.” Namun
-demi Allah- beliau sama sekali tidak pernah menyentuh tangan seorang
wanita pun. Beliau hanya membaiat para wanita dengan ucapan beliau. Aisyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidaklah pernah menyentuh wanita sama sekali sebagaimana yang Allah
perintahkan. Tangan beliau tidaklah pernah menyentuh tangan mereka.
Ketika baiat, beliau hanya membaiat melalui ucapan dengan berkata, “Aku telah membaiat kalian.” (HR. Muslim no. 1866).
Kedua, hadis Ma’qil bin Yasar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ
“Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya.” (HR. Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir 20: 211. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadis ini shahih).
Hadis ini sudah menunjukkan kerasnya ancaman perbuatan tersebut, walau
hadis tersebut dipermasalahkan keshahihannya oleh ulama lainnya. Yang
diancam dalam hadis di atas adalah menyentuh wanita. Sedangkan
bersalaman atau berjabat tangan sudah termasuk dalam perbuatan
menyentuh.
Ketiga, dalil qiyas (analogi)
Melihat wanita yang bukan mahram
secara sengaja dan tidak ada sebab yang syar’i dihukumi haram
berdasarkan kesepakatan para ulama. Karena banyak hadis yang shahih yang
menerangkan hal ini. Jika melihat saja terlarang karena dapat
menimbulkan godaan syahwat. Apalagi menyentuh dan bersaalaman, tentu
godaannya lebih dahsyat daripada pengaruh dari pandangan mata. Berbeda
halnya jika ada sebab yang mendorong hal ini seperti ingin menikahi
seorang wnaita, lalu ada tujuan untuk melihatnya, maka itu boleh.
Kebolehan ini dalam keadaan darurat dan sekadarnya saja.
Imam Nawawi rahimahullah berkata,
كل من
حرم النظر إليه حرم مسه وقد يحل النظر مع تحريم المس فانه يحل النظر إلى
الاجنبية في البيع والشراء والاخذ والعطاء ونحوها ولا يجوز مسها في شئ من
ذلك
“Setiap yang diharamkan untuk
dipandang, maka haram untuk disentuh. Namun ada kondisi yang membolehkan
seseorang memandang –tetapi tidak boleh menyentuh, yaitu ketika
bertransaksi jual beli, ketika serah terima barang, dan semacam itu.
Namun sekali lagi, tetap tidak boleh menyentuh dalam keadaan-keadaan
tadi.” (Al Majmu’, 4: 635)
Dalil-dalil di atas tidak
mengecualikan apakah yang disentuh adalah gadis ataukah wanita tua.
Jadi, pendapat yang lebih tepat adalah haramnya menyentuh wanita yang
non mahram, termasuk pula wanita tua. Realitanya yang kita saksikan,
wanita tua pun ada yang diperkosa. Sedangkan untuk gadis, no way, tetap dinyatakan haram untuk menyentuh dan berjabat tangan dengannya.
Berkaitan dengan Mahram
Adapun berjabat tangan dengan
wanita yang masih ada ikatan mahram, maka ulama Hanafiyah, Malikiyah,
Syafi’iyah membolehkannya. Begitu pula ulama Hanabilah berpendapat
bolehnya orang tua dan anak saling berjabat tangan. Dalam pendapat
lainnya ulama Hanabilah membolehkan menyentuh mahram selama bukan di
aurat dan selama aman dari fitnah atau godaan syahwat. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium Fathimah rahdiallahu ‘anha ketika beliau menemui anaknya tersebut. Demikian pula yang dilakukan oleh Abu Bakr Ash Shiddiq pada putrinya Aisyah radhiallahu ‘anha.
Alasannya, menyentuh mahram -selain pada aurat- adalah lebih cenderung
pada sifat ingin memupuk silaturahim (hubungan kerabat) dan menanam
kasih saying, amat jarang sentuhan yang terjadi adalah dengan syahwat
atau rangsangan. Jika menyentuh wanita saja dibolehkan, maka demikian
halnya dengan bersalaman atau berjabat tangan.
Adapun ibu mertua adalah mahram muabbad
bagi menantunya, artinya haram dinikahi selamanya meskipun istri (anak
dari mertua) telah cerai atau meninggal dunia. Sebagaimana disebutkan
dalam ayat:
وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آَبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu …” Wanita yang haram dinikahi lainnya disebutkan dalam kelanjutan ayat di antaranya,
وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ
… ibu-ibu isterimu (mertua) (QS. An Nisa’: 22-23). Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,
“Adapun ibu mertua, maka ia menjadi mahrom ketika terjadinya akad nikah
dengan anaknya, walau si anak sudah atau belum disetubuhi.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 3: 414).
Jika demikian, maka seorang pria boleh berjabat tangan dengan ibu mertua selama aman dari fitnah dan godaan syahwat.
Wallahu a’lam bish showwab. Wallahu waliyyut taufiq.
@ KSU, Riyadh, KSA, 23 Rabi’ul Awwal 1433 H
Dijawab oleh Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer