Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Tidak
mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang.
Barangsiapa yang berbuat ghulul (khianat) dalam urusan rampasan perang
itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang
dikhianatkannya itu” [QS. Ali ‘Imran : 161].
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa ayat di atas merupakan ancama yang keras dan tegas dari Allah Ta’ala terhadap perbuatan ghulul (khianat/korupsi) [Tafsiir Ibni Katsir, 2/151].
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ، أَنّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْخُذُ الْوَبَرَةَ
مِنْ جَنْبِ الْبَعِيرِ مِنَ الْمَغْنَمِ، فَيَقُولُ: ” مَا لِي فِيهِ
إِلَّا مِثْلُ مَا لِأَحَدِكُمْ مِنْهُ، إِيَّاكُمْ وَالْغُلُولَ، فَإِنَّ
الْغُلُولَ خِزْيٌ عَلَى صَاحِبِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Dari Ubaadah bin ash-Shamit bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengambil bulu onta dari perut onta ghanimah, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sedikit
yang aku ambil dari (harta rampasan perang) ini, tak lain seperti yang
diambil oleh salah seorang dari kalian. Jauhilah perbuatan ghulul
(khianat/korupsi), karena perbuatan ghulul adalah kehinaan bagi
pelakunya pada hari kiamat….” [Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad dalam Zawaid al-Musnad 5:330; dihasankan oleh al-Arna’uth dkk. dalam Takhrij Musnad al-Imam Ahmad 37:455-456 no. 22795].
Dalam lafadz lain :
لَا تَغُلُّوا فَإِنَّ الْغُلُولَ نَارٌ وَعَارٌ عَلَى أَصْحَابِهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
“Janganlah kalian berbuat
ghulul, karena perbuatan ghulul tempatnya di neraka dan merupakan aib
bagi pelakunya di dunia dan akhirat” [Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad dalam Zawaaid Al-Musnad 5/316; dihasankan oleh al-Arna’uth dkk. dalam Takhriij Musnad Al-Imaam Ahmad 37/371-372 no. 22699].
قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ لَمَّا كَانَ
يَوْمُ خَيْبَرَ، أَقْبَلَ نَفَرٌ مِنْ صَحَابَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا: فُلَانٌ شَهِيدٌ، فُلَانٌ شَهِيدٌ، حَتَّى
مَرُّوا عَلَى رَجُلٍ، فَقَالُوا: فُلَانٌ شَهِيدٌ، فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” كَلَّا إِنِّي رَأَيْتُهُ فِي
النَّارِ فِي بُرْدَةٍ غَلَّهَا أَوْ عَبَاءَةٍ، ثُمَّ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، اذْهَبْ
فَنَادِ فِي النَّاسِ، أَنَّهُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ، إِلَّا
الْمُؤْمِنُونَ، قَالَ: فَخَرَجْتُ، فَنَادَيْتُ، ” أَلَا إِنَّهُ لَا
يَدْخُلُ الْجَنَّةَ، إِلَّا الْمُؤْمِنُونَ “
Umar bin al-Khaththab menuturkan, “Ketika perang Khaibar berlangsung, sekelompok shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap beliau dan berkata ‘Fulan mati syahid, Fulan mati syahid’, hingga ketika mereka melewati seseorang pun mereka juga berkata : ‘Fulan mati syahid, Fulan mati syahid’. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sekali-kali
tidak. Sesungguhnya aku melihatnya di neraka dengan sebab kain burdah
atau ‘abaa-ah yang ia ambil secara khianat (ghulul)”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Ibnul-Khaththab, pergilah dan serulah kepada orang-orang bahwasannya tidak akan masuk surga kecuali orang-orang mukmin”.
Maka ‘Umar berkata, “Aku pun berseru, ‘Ketahuilah, bahwasannya tidak
akan masuk surga kecuali orang-orang mukmin” [Diriwayatkan oleh Muslim
no. 114].
عَنْ ثَوْبَانَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “مَنْ مَاتَ وَهُوَ بَرِيءٌ مِنْ
ثَلَاثٍ: الْكِبْرِ، وَالْغُلُولِ، وَالدَّيْنِ، دَخَلَ الْجَنَّةَ”
Dari Tsauban ia berkata, Rasulullah bersabda shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa
yang meninggal dan ia berlepas diri dari tiga hal, yaitu : sombong,
ghulul (khianat/korupsi), dan hutang; maka dijamin masuk surga” [Diriwayatkan oleh at-Tirmidziy no. 1572; dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, 2/197-198].
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: ” مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ
رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ “
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa
yang kami pekerjakan dengan satu pekerjaan dan kami upah ia (atas
pekerjaan yang ia lakukan), maka harta apapun yang ia ambil selebih dari
itu adalah ghulul (korupsi)” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2943; dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud, 2:230].
عَنْ عَدِيِّ بْنِ عَمِيرَةَ الْكِنْدِيِّ،
قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ:
مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَكَتَمَنَا مِخْيَطًا فَمَا
فَوْقَهُ كَانَ غُلُولًا يَأْتِي بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Dari ‘Adi bin ‘Amirah al-Kindiy, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa
di antara kalian yang kami pekerjakan dengan satu pekerjaan, lalu ia
menyembunyikan sebatang jarum atau yang lebih dari itu, maka itu
termasuk ghulul (korupsi) yang akan dibawanya di hari kiamat…’.” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1833].
أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ،
قَالَ: قَامَ فِينَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ
الْغُلُولَ فَعَظَّمَهُ وَعَظَّمَ أَمْرَهُ، قَالَ: ” لَا أُلْفِيَنَّ
أَحَدَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ شَاةٌ لَهَا ثُغَاءٌ
عَلَى رَقَبَتِهِ فَرَسٌ لَهُ حَمْحَمَةٌ، يَقُولُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ
أَغِثْنِي، فَأَقُولُ: لَا أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ
وَعَلَى رَقَبَتِهِ بَعِيرٌ لَهُ رُغَاءٌ، يَقُولُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ
أَغِثْنِي، فَأَقُولُ: لَا أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ
وَعَلَى رَقَبَتِهِ صَامِتٌ، فَيَقُولُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي،
فَأَقُولُ: لَا أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ أَوْ عَلَى
رَقَبَتِهِ رِقَاعٌ تَخْفِقُ، فَيَقُولُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي،
فَأَقُولُ: لَا أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ،
(Dari) Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdiri di tengah-tengah kami lalu menyebutkan tentang permasalahan ghulul (pengkhianatan/korupsi). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggapnya sebagai sesuatu yang besar lagi penting, lalu bersabda, “Sungguh
aku akan menjumpai salah seorang di antara kalian pada hari kiamat yang
di lehernya dipikulkan kambing yang mengembik dan di lehernya
dipikulkan kuda yang meringkik, lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, tolonglah aku’. Aku berkata, ‘Aku tidak punya wewenang sedikit pun
dari Allah untuk menolongmu. Semuanya telah aku sampaikan kepadamu’.
Dan orang yang di lehernya dipikulkan onta yang menderum berkata, ‘Wahai Rasulullah, tolonglah aku’. Aku pun berkata, ‘Aku tidak punya wewenang sedikit pun
dari Allah untuk menolongmu. Semuanya telah aku sampaikan kepadamu’.
Dan orang yang di lehernya dipikulkan emas dan perak berkata, ‘Wahai Rasulullah, tolonglah aku’. Aku pun berkata, ‘Aku tidak punya wewenang sedikit pun
dari Allah untuk menolongmu. Semuanya telah aku sampaikan kepadamu’.
Dan orang yang di lehernya terdapat lembaran kertas yang melambai-lambai
berkata, ‘Wahai Rasulullah, tolonglah aku’. Aku pun berkata, ‘Aku tidak punya wewenang sedikit pun dari Allah untuk menolongmu. Semuanya telah aku sampaikan kepadamu” [Diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 3073].
عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ الْأَزْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ الْأُتْبِيَّةِ عَلَى
الصَّدَقَةِ، فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ: هَذَا لَكُمْ، وَهَذَا أُهْدِيَ لِي،
قَالَ: فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ بَيْتِ أُمِّهِ،
فَيَنْظُرَ يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا
يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ، إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ
بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ، ثُمَّ رَفَعَ بِيَدِهِ حَتَّى
رَأَيْنَا عُفْرَةَ إِبْطَيْهِ، اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ، اللَّهُمَّ
هَلْ بَلَّغْتُ ثَلَاثًا “
Dari Abu Humaid as-Sa’idi radliyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
memperkerjakan seseorang dari suku al-Azd yang bernama Ibnul-Utbiyyah
untuk menarik zakat. Ketika ia datang (dari pekerjaannya itu), ia
berkata : “Ini adalah harta kalian, dan ini adalah harta yang
dihadiahkan untukku”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya
ia duduk saja di rumah ayah atau ibunya, maka lihatlah, apakah ia akan
diberikan hadiah ataukah tidak. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya,
tidaklah seorang pun yang mengambil harta (suap) itu sedikit pun
juga, kecuali ia akan datang pada hari kiamat dengan memikul harta suap
itu di lehernya yang mungkin berupa onta yang menderum, sapi yang
melenguh, atau kambing yang mengembik,” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangannya hingga kami melihat putih ketiak beliau, yang bersabda, “Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan, Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan” – sebanyak tiga kali [Diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 2597].
An-Nawawi rahimahullah berkata,
وَفِي هَذَا الْحَدِيث : بَيَان أَنَّ هَدَايَا الْعُمَّال حَرَام وَغُلُول ؛ لِأَنَّهُ خَانَ فِي وِلَايَته وَأَمَانَته
“Dalam hadis ini terdapat penjelasan bahwa hadiah bagi pegawai adalah haram dan (termasuk) ghulul, karena ia telah berbuat khianat dalam kekuasaan dan amanah yang diberikan kepadanya” [Syarh Shahih Muslim, 6:304].Banyak contoh dari salaf kita yang shalih bagaimana mereka sangat menjaga diri dari perbuatan ghulul. Sedikit di antaranya adalah yang terdeskripsi dalam riwayat berikut:
عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ، أَنّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَبْعَثُ عَبْدَ اللَّهِ
بْنَ رَوَاحَةَ إِلَى خَيْبَرَ، فَيَخْرُصُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ يَهُودِ
خَيْبَرَ، قَالَ: فَجَمَعُوا لَهُ حَلْيًا مِنْ حَلْيِ نِسَائِهِمْ،
فَقَالُوا لَهُ: هَذَا لَكَ، وَخَفِّفْ عَنَّا وَتَجَاوَزْ فِي
الْقَسْمِ.فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ: يَا مَعْشَرَ
الْيَهُودِ، وَاللَّهِ إِنَّكُمْ لَمِنْ أَبْغَضِ خَلْقِ اللَّهِ إِلَيَّ،
وَمَا ذَاكَ بِحَامِلِي عَلَى أَنْ أَحِيفَ عَلَيْكُمْ، فَأَمَّا مَا
عَرَضْتُمْ مِنَ الرَّشْوَةِ، فَإِنَّهَا سُحْتٌ وَإِنَّا لَا نَأْكُلُهَا،
فَقَالُوا: بِهَذَا قَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ.
Dari Sulaiman bin Yasar bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah mengutus Abdullah bin Rawahah ke Khaibar, lalu ia menaksir
pembagian antara dirinya dan Yahudi Khaibar. Perawi berkata, “Lalu
mereka (Yahudi Khaibar) mengumpulkan perhiasan wanita-wanita mereka
untuknya. Mereka berkata kepadanya, ‘Ini adalah bagianmu. Berilah
keringanan bagi kami dan lebihkanlah bagian kami’.” Maka Abdullah bin
Rawahah berkata, “Wahai sekalian orang Yahudi, demi Allah, sesungguhnya
kalian termasuk makhluk Allah yang paling aku benci. Namun demikian, hal
itu tidak menyebabkan aku berbuat zalim kepada kalian. Adapun sesuatu
yang kalian berikan kepadaku itu termasuk risywah (suap/sogokan)
dan dosa. Sesungguhnya kami (kaum muslimin) tidak memakannya”. Mereka
berkata, “Dengan ini, tegaklah langit dan bumi.” [Diriwayatkan oleh
Malik dalam al-Muwaththa’ 3:494-495 no. 1514; sanadnya mursal shahih. al-Arna’uth menjelaskan beberapa jalan yang menyambungkannya, dan kemudian menghasankannya dalam Jaam’ul-Ushuul 4:617 no. 2701. Dishahihkan oleh al-Hilali dalam Takhrij al-Muwaththa’ 3:494-495].
عَنْ
فُرَاتِ بْنِ سَلْمَانَ، قَالَ: ” اشْتَهَى عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ
التُّفَّاحَ، فَبَعَثَ إِلَى بَيْتِهِ، فَلَمْ يَجِدْ شَيْئًا يَشْتَرُونَ
لَهُ بِهِ، فَرَكِبَ، وَرَكِبْنَا مَعَهُ، فَمَرَّ بِدَيْرٍ، فَتَلَقَّاهُ
غِلْمَانٌ لِلدَّيْرَانِيِّينَ، مَعَهُمْ أَطْبَاقٌ فِيهَا تُفَّاحٌ،
فَوَقَفَ عَلَى طَبَقٍ مِنْهَا، فَتَنَاوَلَ تُفَّاحَةً فَشَمَّهَا، ثُمَّ
أَعَادَهَا إِلَى الطَّبَقِ، ثُمَّ قَالَ: ادْخُلُوا دَيْرَكُمْ، لا
أَعْلَمُكُمُ بُعِثْتُمْ إِلَى أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِي بِشَيْءٍ، قَالَ:
فَحَرَّكْتُ بَغْلَتِي، فَلَحِقْتُهُ، فَقُلْتُ: يَا أَمِيرَ
الْمُؤْمِنِينَ، اشْتَهَيْتَ التُّفَّاحَ فَلَمْ يَجِدُوهُ لَكَ،
فَأُهْدِيَ لَكَ فَرَدَدْتَهُ، قَالَ: لا حَاجَةَ لِي فِيهِ، فَقُلْتُ:
أَلَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو
بَكْرٍ وَعُمَرُ، يَقْبَلُونَ الْهَدِيَّةَ؟ قَالَ: إِنَّهَا لأُولَئِكَ
هَدِيَّةٌ، وَهِيَ لِلْعُمَّالِ بَعْدَهُمْ رِشْوَةٌ “
Dari Furat bin Salman, ia
berkata, “’Umar bin ‘Abdil-‘Aziz pernah menginginkan buah apel. Maka ia
mengutus seseorang ke rumahnya, namun utusan itu tidak mendapatkan uang
untuk membelikan apel untuknya. Ia pun menaiki tunggangannya, dan kami
pun menaiki tunggangan kami bersamanya. Kemudian ia melewati sebuah
biara. Ada dua orang penghuni biara menemuinya dengan membawa beberapa
nampan yang berisi apel. Lalu ia berhenti di salah satu nampan dan
mengambil apel lalu menciumnya. Kemudian ia mengembalikan apel itu ke
nampan, seraya berkata, “Masuklah kalian ke biara kalian. Aku tidak
mengenal kalian. Kalian telah mengutus seseorang kepada salah seorang
shahabatku dengan membawa sesuatu”. Perawi berkata, Lalu aku pun
menggerakkan keledaiku berjalan mendekatinya. Aku berkata, “Wahai Amirul-Mukminin,
engkau tadi menginginkan apel, namun mereka tidak mendapatkan sesuatu
(untuk membelinya) buatmu. Kemudian dihadiahkan apel untukmu, namun
engkau menolaknya”. Ia berkata, “Aku tidak membutuhkannya”. Aku berkata,
“Bukankah dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Abu Bakr, dan ‘Umar menerima hadiah?” Ia menjawab, “Hal itu bagi mereka
adalah hadiah, dan bagi para pemimpin setelahnya adalah suap.”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d, 5:188; sanadnya shahih].
Semua orang ‘gregetan’
dengan korupsi dan koruptor. Sayangnya, ada beberapa oknum yang
berlebih-lebihan menyikapinya hingga menghukumi kafir bagi pelaku
korupsi. Benar jika dikatakan bahwa korupsi itu termasuk dosa besar
sebagaimana nash-nya telah disebutkan di atas. Namun menjadi
tidak benar jika korupsi termasuk perbuatan kufur akbar yang menyebabkan
pelakunya keluar dari agama Islam.
Pengkafiran adalah hukum syar’i dan merupakan hak murni milik Allah Ta’ala,
tidak dimiliki oleh individu atau kelompok tertentu. Konsekuensinya,
seseorang tidaklah dikafirkan kecuali yang memang telah dikafirkan oleh
Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,
وهذا بخلاف ما كان يقوله بعض الناس كأبي إسحاق الإسفراييني ومن اتبعه يقولون لا نكفر إلا من يكفر فإن الكفر ليس حقا لهم بل هو حق لله
وليس للإنسان أن يكذب على من يكذب عليه ولا يفعل الفاحشة بأهل من فعل
الفاحشة بأهله بل ولو استكرهه رجل على اللواطة لم يكن له أن يستكرهه على
ذلك ولو قتله بتجريع خمر أو تلوط به لم يجز قتله بمثل ذلك لأن هذا حرام لحق
الله تعالى ولو سب النصارى نبينا لم يكن لنا أن نسبح المسيح والرافضة إذا
كفروا أبا بكر وعمر فليس لنا أن نكفر عليا
“Hal ini bertentangan dengan
pekataan sebagian orang seperti Abu Ishaq al-Isfirayini serta orang yang
mengikuti pendapatnya, mereka mengatakan, “Kami tidak mengkafirkan
kecuali orang-orang mengkafirkan (kami). (Perkataan ini salah), karena takfir itu bukanlah hak mereka tapi hak Allah.
Seseorang tidak boleh berdusta kepada orang yang pernah berdusta atas
namanya. Tidak boleh pula ia berbuat keji (zina) dengan istri seseorang
yang pernah menzinahi istrinya. Bahkan kalau ada orang yang memaksanya
untuk melakukan liwath (homo sex), tidak boleh baginya untuk
membalas dengan memaksanya untuk melakukan perbuatan yang sama, karena
hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak Allah. Seandainya orang
Nashrani mencela Nabi kita, kita tidak boleh mencela Al-Masih (‘Isa ‘alaihissalam).
Demikian pula seandainya orang-orang Rafidlah mengkafirkan Abu Bakar
dan ‘Umar, tidak boleh bagi kita untuk mengkafirkan ‘Ali radliyallahu ‘anhum ajma’iin” [Minhajus-Sunnah, 5:244].
Pengkafiran itu dijatuhkan berdasarkan nash Alquran, sunah, dan ijmaa’; bukan dengan perasaan, emosi, atau sentimen kelompok. Jika demikian, apakah ada nash yang menyatakan korupsi termasuk kufur akbar? Jawabnya: Tidak ada. Apakah ada nash yang menyatakan koruptor termasuk orang kafir lagi murtad, keluar dari agama Islam? Jawabnya: Tidak.
Mari kita perhatikan nash berikut :
عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ،
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” أَتَانِي
آتٍ مِنْ رَبِّي فَأَخْبَرَنِي أَوْ قَالَ بَشَّرَنِي أَنَّهُ مَنْ مَاتَ
مِنْ أُمَّتِي لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ، قُلْتُ:
وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ، قَالَ: وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ “
Dari Abu Dzar radliyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah bersabda shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Malaikat utusan Rabbku datang kepadaku, lalu ia mengabarkan kepadaku –
atau : ia memberikan berita gembira untukku – bahwasannya barangsiapa
yang meninggal dari kalangan umatku yang tidak menyekutukan Allah dengan
sesuatupun niscaya akan masuk surga”. Aku (Abu Dzarr) berkata :
“Meskipun ia pernah berzina dan mencuri ?”. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Ya, walau ia pernah berzina dan mencuri?” [Diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 1236].
Mencuri dan korupsi itu pada hakekatnya sama, yaitu mengambil harta yang bukan haknya. Seandainya perbuatan itu termasuk kufur akbar, niscaya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menafikkan surga pada pelaku perbuatan tersebut.
عَنْ
أَبِي عَمْرَةَ، عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ، قال: مَاتَ رَجُلٌ بِخَيْبَرَ،
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” صَلُّوا عَلَى
صَاحِبِكُمْ إِنَّهُ غَلَّ فِي سَبِيلِ اللَّهِ “، فَفَتَّشْنَا مَتَاعَهُ
فَوَجَدْنَا فِيهِ خَرَزًا مِنْ خَرَزِ يَهُودَ مَا يُسَاوِي دِرْهَمَيْنِ
Dari Abu ‘Amrah, dari Zaid bin Khalid, ia berkata, “Seseorang meninggal di Khaibar. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalatilah shahabat kalian ini. Sesungguhnya ia telah berbuat ghulul di jalan Allah”.
Maka kami pun memeriksa perbekalan yang ia bawa dan kami dapati padanya
batu mulia dari perhiasan orang-orang Yahudi yang tidak mencapai dua
dirham [Diriwayatkan oleh an-Nasa’i no. 1959; dilemahkan oleh al-Albani
dalam Dla’iif Sunan an-Nasa’i hal. 66-67, namun dihasankan oleh al-Arna’uth dalam takhriij Sunan Abi Dawud 4:344].
Para ulama berhujjah dengan hadis di atas bahwa seorang imam disyari’atkan untuk tidak menshalatkan jenazah orang muslim yang fasiq
dan menyuruh orang lain untuk menshalatkannya sebagai peringatan untuk
menjauhi perbuatan yang dilakukan orang tersebut. Al-Imaam Ahmad rahimahullah berkata :
ما نعلم أن النبي صلى الله عليه وسلم ترك الصلاة على أحد إلا على الغال وقاتل نفسه
“Kami tidak mengetahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan untuk menyalati seseorang kecuali orang yang berbuat ghulul dan bunuh diri” [al-Kabair, hal. 56].
Ath-Thahawi rahimahullah berkata :
ولا نكفر أحدا من أهل القبلة بذنب ما لم يستحله، ولا نقول : لا يض مع الإيمان ذنب لمن عمله
“Dan kami tidak mengkafirkan
seorang pun dari ahli kiblat dengan sebab perbuatan dosa selama ia tidak
menghalalkannya. Dan kami pun tidak mengatakan : perbuatan dosa tidak
membahayakan keimanan pelakunya.” [al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, hal. 21].
وأهل
الكبائر من أمة محمد صلى الله عليه وسلم في النار لا يخلدون ، إذا ماتوا
وهم موحدون ، وإن لم يكونوا تائبين ، بعد أن لقوا الله عارفين . وهم في
مشيئته وحكمه ، إن شاء غفر لهم وعفا عنهم بفضله ، كما ذكر عز وجل في كتابه :
ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء [ النساء : 48 و 116 ] وإن شاء عذبهم في النار
بعدله ، ثم يخرجهم منها برحمته وشفاعة الشافعين من أهل طاعته ، ثم يبعثهم
إلى جنته . وذلك بأن الله تعالى تولى أهل معرفته ، ولم يجعلهم في الدارين
كأهل نكرته
“Dan para pelaku dosa besar dari umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
berada di neraka namun tidak kekal di dalamnya apabila mereka meninggal
dalam keadaan mentauhidkan Allah – meski belum sempat bertaubat – pasca
mereka menghadap Allah dan mengakui dosa-dosa yang mereka perbuat.
Mereka berada dalam kehendak dan hukum Allah. Apabila berkehendak, Allah
akan mengampuni mereka dan memaafkannya dengan karunia-Nya, sebagaimana
disebutkan Allah ‘azza wa jalla dalam Kitab-Nya : ‘Dan Dia mengampuni apa (dosa) selain (syirik) itu bagi siapa saja yang Ia kehendaki.”
(QS. An-Nisaa’ : 48 & 116). Dan apabila berkehendak, Allah akan
mengadzabnya di neraka dengan keadilan-Nya, kemudian mengeluarkan mereka
darinya dengan rahmat-Nya dan syafa’at orang-orang yang dapat memberi
syafa’at dari kalangan orang-orang mukmin. Kemudian Allah masukkan
mereka ke surga-Nya. Hal itu dikarenakan Allah Ta’ala adalah
Penolong bagi hamba-Nya yang muslim, dan Allah tidak menjadikan mereka
di dunia dan di akhirat hidup sengsara seperti orang-orang yang ingkar
(kepada-Nya)” [al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, hal. 22-23].
Ash-Shabuni rahimahullah berkata :
ويعتقد أهل السنة أن المؤمن وإن أذنب ذنوباً
كثيراً، صغائر وكبائر، فإنه لا يكفر بها، وإن خرج عن الدنيا غير تائب منها،
ومات على التوحيد، والإخلاص فأمره إلى الله
“Ahlus-Sunnah berkeyakinan bahwa
seorang mukmin meski ia banyak berbuat dosa, baik dosa besar maupun dosa
kecil, maka ia tidaklah dikafirkan dengannya. Seandainya ia meninggal
dunia belum bertaubat dari dosa tersebut, dan ia meninggal di atas
tauhid, maka perkaranya di kahirat diserahkan kepada Allah (apakah ia
akan mengadzabnya ataukah akan mengampuninya)” [‘Aqidatus-Salaf wa Ashhabil-Hadits, hal. 276].
An-Nawawi rahimahullah setelah menjelaskan hadis ‘barangsiapa berdusta atas namanya dengan sengaja, maka persiapkanlah tempat duduknya di neraka’, berkata :
مَّ
مَعْنَى الْحَدِيث : أَنَّ هَذَا جَزَاؤُهُ وَقَدْ يُجَازَى بِهِ ، وَقَدْ
يَعْفُو اللَّهُ الْكَرِيمُ عَنْهُ وَلَا يَقْطَعُ عَلَيْهِ بِدُخُولِ
النَّار ، وَهَكَذَا سَبِيل كُلّ مَا جَاءَ مِنْ الْوَعِيد بِالنَّارِ
لِأَصْحَابِ الْكَبَائِر غَيْر الْكُفْر ، فَكُلّهَا يُقَال فِيهَا هَذَا
جَزَاؤُهُ وَقَدْ يُجَازَى وَقَدْ يُعْفَى عَنْهُ ، ثُمَّ إِنْ جُوزِيَ
وَأُدْخِلَ النَّارَ فَلَا يَخْلُدُ فِيهَا ؛ بَلْ لَا بُدَّ مِنْ خُرُوجه
مِنْهَا بِفَضْلِ اللَّه تَعَالَى وَرَحْمَتِهِ وَلَا يَخْلُدُ فِي النَّار
أَحَدٌ مَاتَ عَلَى التَّوْحِيد . وَهَذِهِ قَاعِدَة مُتَّفَق عَلَيْهَا
عِنْد أَهْل السُّنَّة
“Makna hadis tersebut, hal ini
merupakan balasan bagi orang itu. Bisa jadi ia memang dibalas (siksaan)
dengannya, dan boleh jadi Allah Yang Maha Pemurah akan memaafkannya.
Tidak boleh dipastikan baginya akan masuk neraka. Demikianlah pemahaman
yang benar tentang ancaman neraka bagi para pelaku dosa besar yang bukan
termasuk katagori kekufuran. Semuanya itu hendaknya dikatakan dalam
permasalahan tersebut (pelaku dosa besar) : itulah balasannya (ancaman
neraka) yang bisa jadi ia akan benar-benar dibalas dan bisa jadi ia
dimaafkan. Kemudian jika ia dibalas dan dimasukkan ke dalam neraka, maka
ia tidak kekal di dalamnya. Akan tetapi, ia pasti akan keluar darinya
dengan karunia Allah Ta’ala dan rahmat-Nya. Tidak ada yang
kekal di dalam neraka orang yang meninggal di atas ketauhidan. Ini
adalah kaedah yang disepakati menurut Ahlus-Sunnah” [Syarh Shahih Muslim, 1:4].
Di akhir tulisan ini, akan saya tutup dengan hadis :
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ، أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عُمَرَ، يَقُولُ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” أَيُّمَا
امْرِئٍ قَالَ لِأَخِيهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا،
إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ، وَإِلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ “
Dari Abdullah bin Diinaar, bahwasannya ia mendengar Ibnu ‘Umar berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa
yang berkata kepada saudaranya : ‘Wahai kafir!’, maka sesungguhnya
kalimat itu kembali kepada salah satu dari keduanya. Seandainya
saudaranya itu seperti yang dikatakannya, (maka kekafiran itu ada
padanya), namun jika tidak demikian, maka perkataan itu kembali pada
pengucapnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 60].
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
Ditulis oleh Ustadz Abul-Jauzaa’ –Perum Ciomas Permai, Ciapus, Ciomas, Bogor –08022013–0039.
Artikel wwwKonsultasiSyariah.com
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer