Pertama, menikahi wanita yang hamil karena zina
Ada dua kemungkinan untuk bagian pertama ini:
1. Wanita tersebut hamil karena berzina dengan lelaki lain.
1. Wanita tersebut hamil karena berzina dengan lelaki lain.
Pernikahan semacam ini batal,
karena para lelaki dilarang melakukan hubungan dengan wanita yang hamil
dengan mani orang lain. Dari Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يسقي ماءه زرع غيره
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah dia menuangkan air maninya pada tanaman orang lain.” (HR. Ahmad 16542)
Yang dimaksud tanaman orang lain adalah janin yang disebabkan air mani orang lain.
Ancaman dalam hadis ini menunjukkan larangan
2. Orang yang menikahi si wanita adalah lelaki yang menzinainya
Pendapat yang kuat dalam hal ini,
wanita tersebut tidak boleh dinikahkan dengan lelaki yang
menghamilinya, karena janin yang ada pada wanita ini disebabkan air mani
yang haram, sehingga janin itu bukan anaknya, meskipun berasal dari air
maninya. Dalam fatwa Lajnah Daimah dinyatakan,
وإذا
كانت حاملا من الزنى، فلا تتزوج لا بالزاني ولا بغيره حتى تضع؛ لأن رحمها
مشغول بنطفة لا تنسب للزاني، ولا لغيره تنسب لأمه، فالزاني لا ينسب إليه
الطفل، مثلما قال النبي صلى الله عليه وسلم : الولد للفراش وللعاهر الحجر
“Jika ada wanita yang hamil
karena zina maka dia tidak boleh dinikahkan dengan lelaki yang
menzinainya maupun lelaki lainnya, sampai si wanita melahirkan. Karena
rahimnya sedang ada isinya, berupa janin yang tidak boleh dinasabkan
kepada lelaki yang menzinainya, tidak pula kepada orang lain, tetapi dia
dinasabkan ke ibunya. Lelaki pezina tidak diberi nasab hasil zinanya,
sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Anak itu milik yang punya kasur (suami), sementara lelaki yang berzina terhalang.’” (Fatwa Lajnah Daimah, 21:46).
Keterangan tentang ini, telah dibahas di http://www.konsultasisyariah.com/6-hal-penting-tentang-hamil-di-luar-nikah/
Kedua, menikahi wanita hamil yang berpisah dengan suaminya
Wanita hamil
yang berpisah dengan suaminya, baik karena cerai maupun ditinggal mati
suaminya, wajib menjalani masa iddah. Masa iddah untuk wanita hamil
adalah sampai melahirkan. Allah berfirman,
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Para wanita hamil, masa iddahnya sampai mereka melahirkan.” (QS. At-Thalaq: 4)
Dengan demikian, menikahi wanita
hamil yang berpisah dari suaminya, sejatinya sama dengan menikahi wanita
di masa iddah. Pernikahan yang dilakukan di masa iddah ini termasuk
pernikahan yang terlarang, dan statusnya batal. Allah berfirman,
وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ
“Dan janganlah kamu berazam (bertekadi) untuk melakukan akad nikah, sampai masa iddah telah habis.” (QS. Al Baqarah: 235).
Al-Fairuz Abadzi asy-Syafii menyebutkan,
ولا يجوز
نكاح المعتدة من غيره لقوله تعالى (ولا تعزموا عقدة النكاح حتى يبلغ
الكتاب أجله) ولان العدة وجبت لحفظ النسب، فلو جوزنا فيها النكاح اختلط
النسب وبطل المقصود
“Tidak boleh menikahi wanita yang
menjalani masa ‘iddah setelah berpisah dari suaminya, berdasarkan
firman Allah pada ayat di atas, dan mengingat adanya masa ‘iddah adalah
untuk menjaga nasab. Jika kita membolehkan nikah pada masa tersebut,
tentu akan bercampurlah nasab dan tujuan nikah pun menjadi sia-sia.” (al-Muhadzab beserta syarh, 16:240).
Salah satu diantara tujuan nikah adalah memperjelas nasab manusia.
Ketiga, menikahi istri yang sedang hamil
Sebagai contoh kasus, ada seorang
suami yang menceraikan istrinya ketika hamil satu bulan. Setelah sang
suami menyesali perbuatannya, dia ingin kembali lagi ke istrinya.
Bagaimana hukumnya?
Ada beberapa keadaan untuk menjawab kasus ini,
Jika cerai yang dijatuhkan sang
suami belum cerai tiga, maka dia masih punya hak untuk rujuk. Dan
ketentuan rujuk ini hanya berlaku jika istri belum melahirkan janinnya.
Kaitannya dengan ini, istilah yang lebih tepat untuk kasus di atas bukan
menikah, tapi rujuk. Karena selama istri masih menjalani masa iddah,
suami punya hak untuk rujuk, tanpa harus akad nikah.
Cerai yang dijatuhkan sang suami
belum cerai tiga, namun istri sudah melahirkan bayinya. Dalam kondisi
ini, suami tidak punya hak untuk rujuk, hanya saja dia bisa kembali ke
istrinya dengan jalan menikah ulang. Artinya, dalam acara itu harus ada
akad nikah baru, wali, saksi, dan suami wajib memberi mahar.
Jika cerai yang dijatuhkan suami
adalah cerai yang ketiga maka suami tidak punya hak untuk rujuk, juga
tidak boleh nikah lagi dengan istrinya, karena sudah 3 kali cerai.
Selanjutnya sang istri menjalani masa iddah di tempat yang terpisah dari
suaminya, sampai dia melahirkan. Setelah melahirkan, dia menjadi wanita
tanpa suami, sehingga boleh menerima pinangan lelaki lain.
Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer