Pertanyaan:
Jika seorang wanita telah suci setelah ashar, apakah dia harus mengerjakan shalat dzuhur, dijamak dengan ashar?
Nuwun.
Dari: Stiab Wedo
Jawaban:
Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita simak penjelasan Ibnu Qudamah dalam karya besarnya al-Mughni. Beliau mengatakan,
وَإِذَا
طَهُرَتْ الْحَائِضُ، وَأَسْلَمَ الْكَافِرُ، وَبَلَغَ الصَّبِيُّ قَبْلَ
أَنْ تَغِيبَ الشَّمْسُ، صَلَّوْا الظُّهْرَ فَالْعَصْرَ، وَإِنْ بَلَغَ
الصَّبِيُّ، وَأَسْلَمَ الْكَافِرُ، وَطَهُرَتْ الْحَائِضُ قَبْلَ أَنْ
يَطْلُعَ الْفَجْرُ، صَلَّوْا الْمَغْرِبَ وَعِشَاءَ الْآخِرَةِ
“Apabila ada wanita haid telah
suci, atau orang yang kafir masuk Islam, atau seorang remaja menginjak
baligh sebelum terbenam matahari, maka mereka semua wajib shalat dzuhur
lalu dijamak dengan ashar. Demikian pula, ketika ada seorang remaja yang
menginjak baligh, atau orang kafir masuk Islam, atau wanita haid suci
sebelum terbit fajar, maka dia shalat maghrib dan isya.
Selanjutnya Ibnu Qudamah
menyebutkan daftar ulama yang berpendapat demikian, dan perselisihan
yang terjadi dalam masalah ini. Beliau melanjutkan,
وَرُوِيَ
هَذَا الْقَوْلُ فِي الْحَائِضِ تَطْهُرُ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ
عَوْفٍ، وَابْنِ عَبَّاسٍ، وَطَاوُسٍ، وَمُجَاهِدٍ، وَالنَّخَعِيِّ،
وَالزُّهْرِيِّ، وَرَبِيعَةَ، وَمَالِكٍ، وَاللَّيْثِ، وَالشَّافِعِيِّ،
وَإِسْحَاقَ، وَأَبِي ثَوْرٍ.
“Pendapat di atas, bahwa wanita
haid yang suci harus menjamak shalat, pendapat ini diriwayatkan dari
Abdurrahman bin Auf, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhum, Thawus,
Mujahid, An-Nakha’i, az-Zuhri, Rabi’ah (guru Imam Malik), Malik,
al-Laits, asy-Syafi’i, Ishaq bin Rahuyah, dan Abu Thaur.
Ibnu Qudamah melanjutkan,
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: عَامَّةُ التَّابِعِينَ يَقُولُونَ بِهَذَا
الْقَوْلِ، إلَّا الْحَسَنَ وَحْدَهُ قَالَ: لَا تَجِبُ إلَّا الصَّلَاةُ
الَّتِي طَهُرَتْ فِي وَقْتِهَا وَحْدَهَا. وَهُوَ قَوْلُ الثَّوْرِيِّ،
وَأَصْحَابِ الرَّأْيِ؛ لِأَنَّ وَقْتَ الْأُولَى خَرَجَ فِي حَالِ
عُذْرِهَا، فَلَمْ تَجِبْ كَمَا لَوْ لَمْ يُدْرِكْ مِنْ وَقْتِ
الثَّانِيَةِ شَيْئًا.
Imam Ahmad mengatakan: “Umumnya
ulama tabiin memiliki pendapat demikian, kecuali Hasan al-Bashri
seorang. Beliau mengatakan, ‘Dia tidak wajib melaksanakan shalat, selain
shalat yang waktunya bertepatan dengan waktu sucinya.’ Pendapat ini
diikuti at-Tsauri, dan ulama kufah. Karena waktu shalat yang pertama
telah berlalu pada saat dia masih memiliki udzur, sehingga tidak wajib.
Sebagaimana ketika dia tidak mendapatkan waktu shalat yang kedua.”
Selanjutnya, Ibnu Qudamah menyampaikan tarjih untuk pendapat yang paling kuat,
وَلَنَا
مَا رَوَى الْأَثْرَمُ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ، وَغَيْرُهُمَا،
بِإِسْنَادِهِمْ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، وَعَبْدِ اللَّهِ
بْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُمَا قَالَا فِي الْحَائِضِ تَطْهُرُ قَبْلَ طُلُوعِ
الْفَجْرِ بِرَكْعَةٍ: تُصَلِّي الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ، فَإِذَا
طَهُرَتْ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ، صَلَّتْ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ
جَمِيعًا. وَلِأَنَّ وَقْتَ الثَّانِيَةِ وَقْتٌ لِلْأُولَى حَالَ
الْعُذْرِ، فَإِذَا أَدْرَكَهُ الْمَعْذُورُ لَزِمَهُ فَرْضُهَا، كَمَا
يَلْزَمُهُ فَرْضُ الثَّانِيَةِ
“(untuk memilih pendapat yang
kuat), kita memiliki keterangan yang diriwayatkan oleh al-Atsram, Ibnul
Mundzir dan yang lainnya, dengan sanad mereka, dari Abdurrahman bin Auf
dan Abdullah bin Abbas, pendapat mereka tentang wanita haid yang suci
sebelum terbit fajar dan cukup mendapatkan satu rakaat, maka dia
melakukan shalat maghrib dan isya. Dan jika suci sebelum matahari
terbenam maka dia shalat zuhur dan asar dengan dijamak. Karena waktu
shalat kedua, merupakan waktu bagi shalat pertama ketika ada udzur. Jika
orang yang mendapatkan udzur mendapatkan waktu ini, maka dia wajib
melaksanakan kewajibannya, sebagaimana dia wajib melaksanakan kewajiban
shalat yang kedua (al-Mughni, Ibnu Qudamah, jilid 1 hlm. 287, Maktabah Kairo, 1388 H).
Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer