Ketika disebut kata wali maka yang langsung terbayang dalam benak kita adalah suatu keanehan, ke-nyleneh-an, dan kedigdayaan. Itulah yang dapat ditangkap dari pemahaman masyarakat terhadap wali ini. Maka bila ada orang yang bertingkah aneh, apalagi kalau sudah dikenal sebagai kyai, mempunyai indera keenam sehingga mengerti semua yang belum terjadi, segera disebut sebagai wali. Bahkan ada juga yang disebut sebagai wali, padahal sering meninggalkan shalat wajib. Ketika ditanyakan, dia menjawab: “Kami kan sudah sampai tingkat ma’rifa,t jadi tidak apa-apa tidak mengerjakannya. Sedangkan shalat itu bagi yang masih taraf syari’at.” Lalu siapakah wali Allah yang sebenarnya?
Definisi Wali

Secara etimologi, kata wali adalah lawan dari ‘aduwwu (musuh) dan muwaalah adalah lawan dari muhaadah (permusuhan). Maka wali Allah adalah orang yang mendekat dan menolong (agama) Alloh atau orang yang didekati dan ditolong Allah. Definisi ini semakna dengan pengertian wali dalam terminologi Al Qur’an, sebagaimana Allah berfirman,
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (62) الَّذِينَ آَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ (63) لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآَخِرَةِ لَا تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (64)
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang beriman dan selalu bertaqwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar. (QS. Yunus : 62 - 64).
Dari ayat tersebut, wali adalah orang yang beriman kepada Allah dan apa yang datang dari-Nya yang termaktub dalam Al Qur’an dan terucap melalui lisan Rasul-Nya, memegang teguh syariatnya lahir dan batin, lalu terus menerus memegangi itu semua dengan dibarengi muroqobah (terawasi oleh Allah), kontinyu dengan sifat ketaqwaan dan waspada agar tidak jatuh ke dalam hal-hal yang dimurkai-Nya berupa kelalaian menunaikan wajib dan melakukan hal yang diharomkan. (lihat Muqoddimah Karomatul Auliya’, Al-Lalika’i, Dr. Ahmad bin Sa’d Al-Ghomidi, 5: 8)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa berkata, “Setiap orang mukmin (beriman) dan bertakwa, maka dialah wali Allah.”
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan dalam Syarah Riyadhus Shalihin, bahwa wali Allah adalah orang-orang yang beriman dan bertaqwa. Mereka merealisasikan keimanan di hati mereka terhadap semua yang wajib diimani, dan mereka merealisasikan amal sholih pada anggota badan mereka, dengan menjauhi semua hal-hal yang diharamkan seperti meninggalkan kewajiban atau melakukan perkara yang harom. Mereka mengumpulkan pada diri mereka kebaikan batin dengan keimanan dan kebaikan lahir dengan ketaqwaan, merekalah wali Allah.
Wali Allah adalah yang beriman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah  dalam Al Furqon Baina Auliya’ir Rohman wa Auliya’us Syaithon mengatakan, “Bukan termasuk wali Allah melainkan orang yang beriman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beriman dengan apa yang dibawanya, dan mengikuti secara lahir dan batin. Barangsiapa yang mengaku mencintai Allah dan wali-Nya, namun tidak mengikuti beliau maka tidak termasuk wali Allah bahkan jika dia menyelisihinya maka termasuk musuh Allah dan wali setan. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah : “Jika kamu (benar-benar) mencintai Alloh, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”.(QS. Ali Imron : 31)
Hasan Al Bashri berkata, “Suatu kaum mengklaim mencintai Allah, lantas Allah turunkan ayat ini sebagai ujian bagi mereka”. Allah sungguh telah menjelaskan dalam ayat tersebut, barangsiapa yang mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Allah akan mencintainya. Namun siapa yang mengklaim mencintai-Nya tapi tidak mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tidak termasuk wali Allah. Walaupun banyak orang menyangka dirinya atau selainnya sebagai wali Allah, tetapi kenyataannya mereka bukan wali-Nya.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa cakupan definisi wali ini begitu luas, mencakup setiap orang yang memiliki keimanan dan ketakwaan. Maka wali Allah yang paling utama adalah para nabi. Para nabi yang paling utama adalah para rasul. Para Rasul yang paling utama adalah ‘ulul azmi. Sedang ‘ulul azmi yang paling utama adalah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka sangat salah suatu pemahaman yang berkembang di masyarakat kita saat ini, bahwa wali itu hanya monopoli orang-orang tertentu, semisal ulama, kyai, apalagi hanya terbatas pada orang yang memiliki ilmu yang aneh-aneh dan sampai pada orang yang meninggalkan kewajiban syari’at yang dibebankan padanya.
Ingat sekali lagi, standar seseorang termasuk wali adalah bertakwa dan beriman. Jika ia malah memiliki ilmu-ilmu aneh dan tidak pernah mengerjakan shalat sama sekali, ini bukan wali Allah tetapi wali setan.

Tulisan lawas, direvisi ulang di Riyadh, KSA, 28 Shafar 1433 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.remajaislam.com


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers