Allah telah menguji setiap
hamba-Nya dengan ujian yang berbeda-beda. Tidak ada sedikit pun dalam ujian
tersebut, Allah menzalimi mereka. Semua terjadi dan berjalan di atas ilmu dan
kebijaksanaan-Nya. Terjadinya, tidak ada seorang pun yang bisa menolaknya,
menghalanginya, mengubahnya, dan menggantikannya. Itulah ketentuan yang tidak
akan berubah dan itulah sunnatullah yang tidak akan berganti.
Termasuk ujian yang bersifat
menyeluruh atas para hamba-Nya adalah dunia yang indah dan hijau ini, perhiasan
yang selalu dilirik, kemegahan yang senantiasa dikejar. Tahukah Anda, di
belakang gemerlap dan keindahannya yang memikat, tersimpan bencana dan penipuan
yang besar?
Cermati, lihat, dan belajarlah
dari orang yang telah tenggelam di dalamnya. Dia mengira bahwa dunia ini
diciptakan untuknya dan dia diciptakan untuk dunia. Lihat pula kemajuan yang
telah diraih oleh negeri-negeri kafir, ternyata semua itu menjadi bumerang dan
senjata makan tuan.
Dunia telah memikat, menjerat,
membungkam, meninabobokan, dan merongrong agama seseorang. Menurut al-Imam Ibnu
Qayyim, dunia itu bagaikan seorang wanita pelacur yang tidak pernah puas dengan
satu suami. Dia akan mencari laki- laki yang akan berbuat baik kepada dirinya
dan dia tidak menyukai seorang lelaki yang pencemburu.
Orang yang berjalan mengejar
dunia bagaikan orang yang berjalan di daerah yang penuh binatang buas. Jika dia
berenang ingin menggapainya, ia bagaikan orang yang mengejarnya dalam pusaran
air yang penuh buaya.” (Lihat al-Fawaid karya Ibnul Qayyim hlm. 53)
Allah Subhanahuwata’ala mencela
Dunia
“Tiadalah kehidupan dunia selain
kesenangan yang menipu.”( Al‘iI mran: 185)
“Berilah perumpamaan kepada
mereka, kehidupan dunia bagaikan air hujan yang Kami turunkan dari langit.
Menjadi suburlah tumbuh-tumbuhan karenanya di muka bumi, kemudian
tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Adalah Allah
Maha kuasa atas segala sesuatu. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan
dunia,tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh lebih baik pahalanya disisi Rabbmu
dan lebih baik untuk menjadi harapan.” (al-Kahfi: 45—46)
“Dijadikan indah pada pandangan
manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak,
harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang
ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah
tempat kembali yang baik(jannah/ surga). Katakanlah,‘Maukah aku kabarkan
kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?’ Untuk orang-orang yang
bertakwa( kepada Allah),pada sisi Rabb mereka ada surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka di karuniai)
istri-istri yang disucikan serta keridaan Allah, dan Allah Maha Melihat akan
hamba-hamba-Nya.” (AliImran: 14-15)
“Tiadalah kehidupan dunia ini
selain main-main dan senda gurau belaka, dan sungguh kampung akhirat itu lebih
baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kamu memahaminya?”( al- An’am:
32)
“Sesungguhnya perumpamaan hidup
dunia ini adalah bagaikan air hujan yang Kami turunkan dari langit, lalu
tumbuhlah dengan suburnya tanaman-tanaman bumi, diantaranya ada yang dimakan
manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna
keindahannya dan memakai perhiasannya, serta para pemiliknya menyangka bahwa
mereka sanggup menguasainya, tiba-tiba datanglah kepada mereka azab Kami
diwaktu malam atau siang. KemudianKami jadikan tanaman-tanamannya laksana
tanaman yang sudah disabit, seakan akan belum pernah tumbuh kemarin.
Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Kami bagi orangyang
berpikir.” (Yunus: 24)
“Tidaklah kehidupan dunia ini
selain senda gurau dan main-main belaka. Dan sesungguhnya akhirat itu
sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (al-‘Ankabut: 64)
“Sesungguhnya janji-janji Allah
itu benar , maka janganlah kehidupan dunia menipu kalian dan jangan sekali-kali
setan menipu kalian dijalan Allah.” (Luqman: 33)
Ketika membahas tafisr surat
al-Fath, as-Sa’di menerangkan, “Ini adalah bentuk pendidikan kezuhudan dari
Allah kepada segenap hamba-Nya terhadap kehidupan dunia, yakni dengan memberi
tahu mereka tentang hakikat dunia. Sesungguhnya dunia itu adalah main-main dan
sia-sia. Main main dalam urusan badan dan sia-sia dalam urusan hati. Seorang
hamba senantiasa berada dalam kelalaian karena urusan harta, anak-anak,
perhiasan, dan segala bentuk kelezatannya, baik dari sisi wanita, makanan,
minuman, tempat tinggal, tempat peristirahatan, pemandangan, maupun
kepemimpinan. Sia-sia dalam setiap amal yang tidak ada faedahnya. Bahkan, dia
berada dalam kemalasan, kelalaian, dan kemaksiatan sampai dunianya terpenuhi
dan ajalnya datang menghampiri. Hal ini menuntut orang yang berakal untuk
bersikap zuhud terhadap dunia, tidak mencintainya, dan benar-benar
mewaspadainya.” (Tafsir as-Sa’di hlm. 790)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam Mencela Dunia
Diriwayatkan dari Jabir ,
Rasulullah melewati sebuah pasar di daerah Awali dan orang-orang berada di
sekelilingnya. Beliau melewati seekor anak kambing yang telah mati. Anak
kambing itu bertelinga kecil. Beliau mengambilnya dan memegang telinganya lalu
berkata, “Siapa yang mau membelinya dengan harga satu dirham?” Mereka menjawab,
“Siapa di antara kami yang senang memilikinya? Apa yang bisa kami perbuat
dengannya?” Beliau berkata, “Apakah kalian senang memilikinya?” Mereka berkata,
“Jikapun dia hidup, dia tetaplah cacat. Lantas bagaimana lagi ketika dia sudah
mati?” Beliau bersabda, “Demi Allah, dunia lebih hina di hadapan Allah daripada
hinanya (bangkai) ini di hadapan kalian.” (HR. Muslim no. 5257)
“Sesungguhnya dunia itu manis dan
hijau(enak rasanya dan menyenangkan tatkala dipandang), dan sungguh Allah
mengangkat kalian silih berganti dengan yang lain didunia ini, lantas Dia akan
melihat apayangkalian perbuat(dengan duniaitu). Oleh karena itu, hati-hatilah
kalian terhadap urusan dunia dan wanita, karena awal petaka yang menimpa Bani
Israil adalah dalam halwanita.” (HR. Muslim no. 4925 dari sahabat Abu Sa’id
al-Khudri radhiyallahu anhu )
“Demi Allah, tidaklahdunia
dibandingkan dengan akhirat selain seperti seseorang yang meletakkan jarinya
ini—Yahya, salah seorang perawi, mengisyaratkan dengan telunjuknya ke dalam
air—hendaknya dia melihat apa yang ada dijarinya tersebut.” (HR. Muslim no.
5101 dari sahabat al- Mustaurid radhiyallahu anhu )
“Setiap umat ditimpa oleh ujian,
dan ujian yang akan menimpa umatku adalah harta benda.” (HR. at-Tirmidzi no.
2258 dari Ka’b bin ‘Iyadh radhiyallahu anhu )
Rasulullah tidur diatas sebuah
tikar. Tikar tersebut membekas di bagian lambung beliau. Lantas kami
mengatakan,“Wahai Rasululah, bolehkah kami membuatkan kasur?” Beliau
bersabda,“Tiadalah saya dengan dunia selain seperti orang yang bepergian lalu
berteduh dibawah pohon kemudian dia pergi meninggalkannya.”( HR.at-Tirmidzi no.
2299 dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu )
“Tidaklah dua ekor serigala dalam
keadaan lapar dilepas pada sekawanan kambing akan lebih merusak dibandingkan
dengan ambisi harta dan kedudukan terhadap agama seseorang.”(HR. at-Tirmidzi
no. 2298 dari sahabat Ka’b bin Malik radhiyallahu anhu )
Allah Subhanawata’ala telah
menyebutkan dunia pada banyak tempat dalam kitab suci- Nya dalam rangka
menghinakannya, demikian pula Rasul-Nya di dalam as-Sunnah. Tentu tujuannya
agar para hamba tidak tertipu dan terlena. Dalam hal menanggapi berita dari
Allah Subhanahuwata’ala dan menyikapi pengutusan imam para rasul, Nabi
Muhammad, manusia terbagi menjadi beberapa golongan.
1. Golongan yang acuh tak acuh
terhadap peringatan tersebut. Mereka tidak mau tahu tentangnya. Yang penting,
segala hasratnya terpenuhi, semua keinginannya terwujud, dan citacitanya
tercapai.
2. Golongan yang mau mendengarkan
berita dari Pemilik dunia ini, Yang mengatur dan Yang menciptakannya. Namun,
karena dorongan hawa nafsunya yang besar, semua berita itu tidak memiliki nilai
kesakralan dan keabsahan. Masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga
kiri.
3. Golongan yang
mendengar,mematuhi, dan melaksanakan segala apa yang diwahyukan oleh Allah
tentang dunia.
Dia berusaha mendudukkan dunia
dan menjadikannya sebagai alat bantu untuk mewujudkan ketaatan kepada Allah.
Dia mencarinya karena melaksanakan tugas. Apabila dia mendapatkannya, dia tidak
tergolong orang yang kufur. Sebaliknya, apabila tidak mendapatkannya,dia tidak
tergolong orang yang putus asa. Dia mengetahui bahwa dunia ini adalah
kenikmatan yang semu dan menipu.
Dunia, Sumber Malapetaka
Tidak samar lagi bagi orang yang
berakal tentang bahaya dunia terhadap kehidupan manusia ketika dunia itu tidak
ditundukkan untuk membantunya melakukan ketaatan kepada Allah. Dunia telah
menyebabkan turunnya berbagai bentuk peringatan dari Allah .Dunia menjadi sebab
hancurnya hubungan kekerabatan dan kekeluargaan.
Dunia pula yang menghancurkan
persatuan dan kesatuan umat sehingga berujung pada malapetaka kelemahan, (yang
dengan sebab itu) mereka kemudian dihinakan oleh musuh Allah.Dunia telah menjadikan
seseorang terhina dan menghinakan diri. Dunia telah mengobrak-abrik tatanan
kehidupan manusia secara umum dan kaum muslimin secara khusus.
Dunia telah menyebabkan hilangnya
nyawa, terhinakannya kehormatan, dan hancurnya harta benda. Dunia telah menjadikan
seseorang buta dari kebenaran, dia menolaknya karena dunia, menentangnya karena
dunia, dan memeranginya karena dunia. Dunia telah menjadikan hati seseorang
mati. Dunia adalah asal segala malapetaka.
Dunia, Sebab Utama Menolak
Kebenaran
Kebenaran datang dari Allah dan
tidak ada setelah kebenaran tersebut selain kesesatan. Terangnya kebenaran dan
jelasnya jalan kebatilan bagi sebagian kalangan bisa menjadi tersembunyi.
Bahkan, terangnya kebenaran itu akan ditolak oleh orang yang dibutakan oleh dunia.
Tidak ada keraguan lagi bahwa setiap nafsu memiliki berbagai keinginan yang
tercela, seperti cinta kepada dunia, mencari ketinggian, berlomba-lomba di
hadapan makhluk, mencari kedudukan, dan sebagainya. Ditambah lagi, manusia
memiliki tabiat zalim dan melampaui batas. Allah berfirman,
“Sesungguhnya manusia itu banyak
berbuat zalim dan jahil.”( al-Ahzab:7 2)
Terkadang, banyak sebab yang
mendorong sifat yang tersimpan pada diri setiap manusia itu muncul. Di
antaranya adalah hawa nafsu sehingga dia menolak kebenaran padahal dia
mengilmuinya. Sikap ini muncul karena ia mengikuti hawa nafsu dan menuntut
kemuliaannya terjaga atau ingin memperoleh sedikit dunia.
Anda bisa menemukan mereka dalam
kondisi menyelisihi kebenaran, padahal mereka mengetahuinya, karena ingin
memperoleh dunia. Mereka berteriak seolah-olah pembela kebenaran. Abu Wafa’ Ali
bin ‘Aqil al-Hambali berkata, “Cinta kepada pamor dan condong kepada dunia,
berbangga-bangga, bermegah-megahan, dan menyibukkan diri dengan segala bentuk
kelezatan dunia dan segala hal yang akan mendorong kepada kemewahan, semua itu
bisa menjadi sebab seseorangberpaling dan menolak kebenaran.” (al-Wadhih fi
Ushulil Fiqh, 1/522)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
berkata, “Pencari kedudukan, walaupun dengan kebatilan, akan menyukai satu
kalimat yang mengagungkan dirinya sekalipun itu batil. Sebaliknya, ia akan
membenci ucapan yang mencelanya, kendati hal itu benar. Adapun orang yang
beriman mencintai kalimat yang haq untuknya meskipun itu “menyerangnya”, serta
membenci kedustaan dan perbuatan zalim.”(Majmu’ al-Fatawa 10/600) Al-’Allamah
Abdul Lathif bin
Abdurrahman Alusy Syaikh berkata
tentang orang-orang yang berpaling dari kebenaran, “Golongan yang kedua, para
pemimpin dan pemilik harta benda yang telah tenggelam dalam dunia dan syahwat
mereka. Sebab, mereka mengetahui bahwa kebenaran bisa menghalangi mereka dari
segala keinginan, kesenangan, dan syahwat mereka. Mereka tidak memedulikan
segala bentuk seruan menuju kebenaran dan tidak mau menerimanya.” (Uyun
ar-Rasail hlm. 2/650)
Perilaku setiap orang yang
berpaling dari kebenaran karena harta, kedudukan, atau pamor, mirip dengan
perilaku orang-orang Yahudi. Sesungguhnya ulama-ulama Yahudi memiliki “sumber”
penghidupan pada orang-orang kaya kaumnya.
Oleh karena itu, saat Rasulullah
datang membawa kebenaran, mereka mengetahui bahwa yang dibawanya adalah haq.
Namun, karena dunialah mereka mengingkari dan mengkufurinya. Mereka
menyembunyikan kebenaran yang mereka ketahui dari bani Israil.
Dunia, Sebab Utama Kesesatan
Saat menafsirkan firman Allah,
“Dan janganlah kalian menjual
ayat-ayat-Ku dengan harga sedikit.” (al-Baqarah: 41)
Abul Muzhaffar as-Sam’ani
berkata, “Mereka adalah para ulama Yahudi dan para pendeta yang telah memiliki
sumber penghasilan dari orang-orang kaya mereka dan orang-orang jahil yang
mengikuti mereka. Mereka khawatir penghasilan tersebut hilang apabila mereka
beriman kepada Muhammad, Rasulullah.
Akhirnya, mereka mengubah cirri-ciri
beliau (yang tercantum dalam kitab mereka, red.) dan menyembunyikan nama
beliau. Inilah makna menjual ayat-ayat Allah dengan harga sedikit.” (Tafsir
al-Qur’an 1/22)
Kedudukan, kewibawaan, dan kepemimpinan
juga telah melandasi para pemuka Quraisy untuk mengingkari Nabi Muhammad,
memerangi, dan memusuhinya. Bersamaan dengan itu, mereka mengetahui dan
mengakui kebenaran yang diserukan beliau. Al-Miswar bin Makhramah berkata
kepada Abu Jahl, pamannya, “Wahai pamanku, apakah kalian menuduh Muhammad
berdusta sebelum dia mendakwahkan apa yang diserukan?” Abu Jahl berkata, “Hai
anaksaudaraku. Demi Allah, sungguh saat mudanya, di tengah-tengah kami dia
dikenal sebagai seorang yang tepercaya (jujur). Kami tidak pernah mengetahui
dia berdusta. Tentu setelah bertambah usia dia tidak mungkin akan berdusta atas
nama Allah.”
Al-Miswar berkata, “Hai pamanku,
mengapa kalian tidak mengikutinya?” Dia berkata, “Hai anak saudaraku, kami
telah berselisih dengan bani Hasyim dalam hal kepemimpinan. Mereka memberi
makan (orang-orang), kami juga memberi makan. Mereka memberi minum, kami pun
memberi minum. Mereka memberi perlindungan, kami juga melakukannya. Tatkala
kami saling berlomba-lomba, bani Hasyim berkata, ‘Dari kami ada seorang nabi.
Kapan kalian mendapatkannya?’.” (Lihat Miftah Daar as-Sa’adah 1/93)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
berkata, “Meskipun Abu Thalib mengetahui bahwa Muhammad adalah Rasulullah dan
dia mencintainya, cintanya bukan karena Allah, melainkan karena dia adalah anak
saudaranya. Dia mencintainya karena kekerabatan. Kalaupun dia membela beliau,
itu karena ingin memperoleh kedudukan dan kepemimpinan.
Jadi, asal muasal cintanya adalah
karena sebuah kedudukan. Hal itu terbukti saat Rasulullah menawarinya untuk
mengucapkan dua kalimat syahadat menjelang ajalnya. Dia melihat bahwa
mengikrarkannya akan melenyapkan agama yang dicintainya. Agamanya lebih dia
cintai daripadaanak saudaranya. Oleh karena itu, dia menolak mengikrarkannya.”
(Fatawa Kubra’ 6/244)
Asy – Syaukani berkata ,“Terkadang, sebuah ucapan yang haq
ditinggalkan karena seseorang ingin menjaga apa yang telah dia peroleh dari
negaranya baik berbentuk materi maupun kedudukan. Bahkan, terkadang ucapan yang
haq itu ditinggalkan karena berbeda dengan apa yang terjadi di tengah tengah
manusia, dalam rangka mencari simpati mereka dan agar mereka tidak lari.
Terkadang pula, dia meninggalkan ucapan yang benar karena ketamakannya terhadap
apa yang diharapkan dari negaranya atau dari banyak orang di kemudian hari.”
(Adabuath-Thalib wa Muntaha al-Arb hlm. 41)
Al-Imam Ibnu Qayyim berkata, “Saya
telah berdialog dengan ulama Nasrani yang kelasnya terpandang pada hari ini.
Saat jelas kebenaran dihadapannya, dia terdiam. Saya berkata kepadanya tatkala
menyendiri dengannya, ‘Sekarang, apa yang menghalangi Anda untuk menerima
kebenaran?’ Dia berkata kepadaku, ‘Apabila saya datang ke tengah-tengah kaum
Himyar, mereka menaburkan bunga yang semerbak di bawah kaki kendaraanku. Mereka
menjadikanku sebagai hakim dalam urusan harta benda dan istri mereka. Mereka
tidak pernah menentang segala hal yang aku perintahkan.
Aku ini tidak punya keahlian
untuk bekerja. Aku tidak bisa menghafal al-Qur’an, tidak pula mengetahui ilmu
nahwu dan fikih. Andaikan aku masuk Islam, niscaya aku akan berkeliling di
pasar-pasar, meminta-minta kepada orang banyak. Siapa yang tega hal itu
terjadi?’
Aku mengatakan, ‘Itu tidak akan
terjadi. Bagaimana sangkaan Anda kepada Allah saat Anda mengutamakan ridha-Nya
di atas nafsu Anda, apakah Dia akan menghinakan, merendahkan, dan menjadikan
Anda miskin?
Jika hal itu benar-benar menimpa
Anda, kebenaran yang telah Anda raih, keselamatan dari neraka, murka, dan marah
Allah adalah harga yang jauh lebih pantas dibandingkan dengan apa yang luput
dari Anda.’
Dia berkata, ‘Sampai Allah
merestui.’ Saya lalu berkata, ‘Takdir bukan alasan. Jika takdir bisa menjadi
alasan, tentu takdir bisa menjadi alasan orang orang Yahudi saat mendustakan
Nabi Isa . Demikian pula, dia akan menjadi hujah bagi kaum musyrikin ketika
mendustakan seruan Rasulullah. Kalian sendiri menolak takdir, bagaimana bisa
kalian berhujah dengannya?’ Dia berkata, ‘Biarkan kami dari ini.’ Diapun
terdiam.”(Hidayatul HayarafiAjwibatil YahudiwanNashara hlm. 12)
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer