Oleh : Sarah Hanifa Purnomo
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Kimia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pengembangan bioteknologi tentang stem cell atau sel punca telah lama diketahui dan diteliti penggunaannya dalam bidang medis, begitu juga dengan minat terhadap stem cell atau sel punca telah meningkat dalam beberapa dekade terakhir di dunia, termasuk di Indonesia. Hal ini karena potensi dari sel punca tersebut yang dapat mengobati berbagai macam penyakit.
Dalam
penelitian sel punca telah terbukti dalam mengobati penyakit jantung,
diabetes mellitus, alzheimer, parkinson, kanker, berbagai penyakit
darah dan AIDS.
Teknologi ini merupakan kemajuan yang akan
menjadi terobosan baru dalam pengobatan, misalnya apabila sel saraf
putus maka dengan stem cell kondisi itu dapat diperbaiki. Juga
apabila seseorang menderita luka bakar yang sangat parah dapat sembuh
cepat dengan memanfaatkan teknologi ini. Selain itu juga dalam
penelitian yang berbeda sel punca manusia telah terbukti dapat
mengatasi kebutaan pada tikus.
Stem cell atau sel
punca sendiri ialah sel induk dari semua sel dalam tubuh yang belum
terspesialisasi yang memiliki dua sifat, yaitu kemampuannya untuk
berdiferensiasi menjadi sel lain dan kemampuannya untuk meregenerasi
dirinya sendiri.
Jika ditinjau dari asalnya maka stem cell dapat dibagi dalam stem cell embrio dan stem cell bukan embrio. Sedangkan stem cell sesuai
potensinya untuk berkembang lebih lanjut dapat dibagi dalam sel
totipoten, pluripoten, dan multipoten. Aspek bioetika penggunaan
berbagai jenis sel tersebut juga berbeda.
Banyak harapan yang timbul dari penelitian stem cell embrio,
karena sel itu mempunyai potensi untuk berkembang menjadi berbagai
jenis sel yang menyusun berbagai jenis organ tubuh. Sel yang juga
disebut stem cell totipoten (SCT) itu, ditemukan pada jaringan
embrio dan pada jaringan tertentu makhluk dewasa, seperti sumsum tulang
merah dan sel kelamin. Manfaat yang diperoleh dari penggunaan SCT
dalam bidang kedokteran amat besar, namun sumber SCT tersebut merupakan
suatu masalah etika yang perlu mendapat perhatian, karena SCT terbaik
diperoleh dari inner cell mass dari blastosis.
Blastosis
adalah embrio yang berkembang setelah sekitar 5 hari pasca fertilisasi
(pembuahan). Pada saat itu, embrio tersebut telah berkembang dari sel
tunggal menjadi bola sel kosong, dengan ‘gumpalan’ sel pada rongganya.
Dalam proses pemanenan stem cell, terjadi kerusakan pada embrio yang menyebabkan embrio tersebut akan mati.
Di
negara-negara yang membolehkan melakukan praktik bayi tabung, embrio
yang sudah tidak dipakai setelah proses bayi tabung selesai dapat
digunakan sebagai sumber stem cell, karena pada proses bayi
tabung biasanya diperoleh blastosis yang melebihi keperluan. Blastosis
yang berlebihan itu dapat disimpan beku (deepfreeze) atau
dibuang. Sebagian ilmuwan berpendapat ketimbang sisa blastosis dibuang
lebih baik dipakai sebagai sumber SCT. Namun sebagian lain berpendapat
bahwa walaupun tujuan memperoleh SCT baik, dalam proses perolehannya
terjadi pemusnahan embrio manusia. Ada pula yang berpendapat bahwa jika
kegiatan pengambilan SCT dari embrio diizinkan, hal itu akan membuka
jalan ke arah hal yang bertentangan dengan kemanusiaan seperti
‘peternakan embrio’ (embryo farms), pengklonan bayi, penggunaan janin untuk ‘suku cadang’, dan komersialisasi kehidupan manusia.
Nature advance online publication pada tanggal 23 Agustus 2006 memuat laporan Klimanskaya dkk. (2006) yang memberi secercah harapan kepada para peneliti stem cell. Mereka menulis tentang pembuatan galur stem cell yang
berasal dari salah satu sel blastosis stadium 8 sel. Sel punca dapat
diekstraksi tanpa mematikan embrio tersebut, karena embrio memiliki 8
sel yang tergolong dalam inner cell mass. Kultur sel punca
dapat dilakukan hanya dengan satu sel saja, yang kemudian apabila sel
telah berhasil di kultur, sel dapat dikembalikan ke embrio tersebut.
Maka blastosis yang tinggal 7 sel kemudian ditanam ke dalam rahim agar
dapat berkembang normal. Namun kesulitan cara ini adalah tenggang waktu
antara pengambilan sel dan hasil uji menjadi lebih lama dan dapat
mempengaruhi keberhasilan penanaman blastosis.
Kemudian alternatif lain dari sumber stem cell ialah stem cell dari darah tali pusat (umbilical cord blood stem cell) yang sekarang lebih dikembangkan di dunia kedokteran. Darah tali pusat termasuk stem cell dewasa. Selain dari darah tali pusat, stem cell dewasa bisa didapat dari sumsum tulang dan darah tepi. Hanya saja, pengambilan stem cell dari darah tali pusat lebih disukai, karena berisiko lebih kecil dan tidak menyakiti penderita. Selain itu, stem cell
dari darah tali pusat mempunyai kemampuan proliferasi (pertumbuhan dan
pertambahan sel) yang tinggi. Tingkat kecocokan pencangkokan stem cell darah tali pusat juga lebih baik dibandingkan dengan stem cell yang berasal dari sumsum tulang, karena transplantasi cord blood tidak memerlukan tingkat kecocokan 100%, dan secara etis tentu tidak masalah. Selain itu, yang dapat memanfaatkan stem cell
tersebut tidak hanya pemiliknya, tetapi juga bisa digunakan oleh
saudara kandung dan orang tua, asalkan mempunyai kecocokan dalam
struktur gen dan golongan darah.
Adapun penelitian baru-baru
ini menemukan bahwa darah menstruasi kaya akan sel punca, yang
berpotensi menjadi pengobatan berbagai penyakit. Darah yang keluar
sebagai darah menstruasi mengandung beberapa variasi sel yang di
antaranya memiliki sifat regeneratif. Namun penelitian ini masih harus
terus dikaji kelayakannya agar darah menstruasi juga dapat dipastikan
menjadi sumber stem cell lain yang aman penggunaannya dimasa
depan berdasarkan kesehatannya karena darah menstruasi merupakan darah
penyakit, juga berdasarkan bioetikanya yang secara Islam darah
menstruasi dianggap najis.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer