Mensyukuri suatu nikmat Allah adalah tindakan terpuji. Sikap seharusnya kita sebagai hamba, yang tahu diri akan semua keterbatasan dan ketidakmampuan, juga berita atas jejak-jejak kebenaran, penunjuk jalan bagi yang menginginkan keselamatan. Ia juga memendekkan jarak langit dan bumi, sehingga pilihan beriman menjadi sangat meyakinkan. Menjadi bayan akan eksistensi Sang Maha Rahman.

Dan, adakah yang lebih pantas untuk disyukuri melebihi nikmat bernama iman? Pemahaman yang benar atas kalimat Laa Ilaaha Illallah, yang bagi penduduk surga, ia serupa air sejuk segar bagi penghuni bumi. Karena kalimat inilah, surga dan neraka disediakan, para rosul diutuskan, kitab-kitab diturunkan, jihad ditegakkan, dan pintu surga dibukakan. Ia adalah kunci memahami dakwah para utusan.
Kemudian kesyukuran yang senantiasa bertambah seiring jejak-jejak nikmat yang kita temukan, atau karena kebodohan, baru kita sadari. Kita mengerti bahwa ia berjumlah sangat banyak, melampaui kemampuan kita menghitungnya. Semakin kita mensyukurinya, semakin bertambah ia adanya, insyaallah.
Tetapi memadukan rasa syukur dengan kerendahan hati tidaklah mudah. Nikmat itu seringkali membuat kita merasa jumawa. Yang walaupun benar, mestinya bukanlah alasan untuk menjadi angkuh, sombong, takabur, atau apapun namanya, lalu meremehkan orang lain. Serupa bani Israil yang menganggap dirinya sebagai yang terpilih, dan menghalalkan semua bentuk penistaan kepada yang lainnya.
Apalagi, jika kesombongan itu bertolak dari hal-hal lahiriah, hanya karena mereka berbeda dan tidak sama dengan kita. Padahal, selain perbedaan itu terkadang adalah pilihan variatif dalam kajian fikih, ketidaktahuan yang bersangkutan, yang bisa menjadi permakluman atas kesalahannya, juga tidak pernah kita bisa memastikan baik buruk seseorang dari penampakannya semata. Sebab sebagai kesatuan jiwa dan raga, kebaikan kita menjadi utuh ketika keduanya berpadu, bukan terbelah dan pecah.
Inilah kisah tentang seorang pendeta Yahudi, dahulu kala, yang beribadah selama nyaris 60 tahun. Sampai dia bermimpi, suatu malam, bahwa tetangganya, tukang sepatu itu, lebih baik dari dirinya. Hal yang tidak bisa dia abaikan ketika ia datang berturut-turut dalam beberapa malam. Si Pendeta merasa terganggu hingga dia memutuskan untuk mendatangi tukang sepatu, mencari jawaban atas rasa penasarannya.
Saya hanyalah orang biasa, demikian tukang sepatu menjawab, hanya saja, lanjutnya, saya adalah orang yang setiap kali bertemu dengan seseorang, saya menganggapnya masuk surga dan saya yang akan ke neraka. Maka tukang sepatu itu menjadi lebih baik daripada si Pendeta karena kerendahan hatinya yang luar biasa. Sebuah amalan rahasia yang tidak terlihat orang lain.
Maka, melakukan dan mengakumulasi kebaikan selama kurun waktu yang panjang jelas hal terpuji dan sangat layak dilakukan. Tapi jangan pernah mengiringinya dengan merendahkan orang lain. Selain tidak pantas, bisa jadi orang yang kita remehkan itu lebih mulia daripada kita di sisi Allah, sebab dia memiliki amalan rahasia yang menjadi keunggulannya. Wallahu a’lam.[]

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers