Oleh: Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrâhîm Alusy Syaikh rahimahullâh
Tanya:
Apakah dibolehkan bagi
seseorang untuk membenarkan atau menganggap sial angka tertentu,
demikian pula hari, bulan dan seterusnya?
Jawab:
Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh rahimahullahu menjawab:
“Tidak boleh, bahkan hal
itu termasuk kebiasaan orang-orang jahiliyyah yang syirik, di mana Islam
datang untuk menolak dan membatilkannya. Dalil-dalil yang ada demikian
jelas menyatakan keharaman kebiasaan tersebut. Perbuatan
atau anggapan sial seperti itu termasuk kesyirikan dan sebenarnya tidak
ada pengaruhnya dalam menarik kemanfaatan atau menolak kemudaratan,
karena tidak ada yang memberi, yang menolak, yang memberi manfaat dan
memberi mudarat kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللهُُ بِضُرٍّ فَلاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلاَ رَادَّ لِفَضْلِهِ
“Jika Allah
menimpakan kepadamu kemudaratan maka tidak ada yang dapat
menghilangkannya kecuali Dia dan bila Dia menghendaki kebaikan bagimu
maka tidak ada yang dapat menolak keutamaan-Nya.” (Yunus: 107)
Dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَوِ اجْتَمَعَتِ اْلأُمَّةُ
عَلَى أَنْ يَّنْفَعُوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ
كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَإِنِ اجْتَمَعُوْا عَلَى أَنْ يَّضُرُّوْكَ
بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ،
رُفِعَتِ اْلأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ
“Seandainya umat
berkumpul untuk memberikan kemanfaatan bagimu dengan sesuatu niscaya
mereka tidak dapat memberikan kemanfaatan bagimu kecuali dengan sesuatu
yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan sebaliknya, jika mereka semuanya
berkumpul untuk memudaratkanmu dengan sesuatu niscaya mereka tidak dapat
menimpakan kemudaratan tersebut kecuali dengan sesuatu yang telah Allah
tetapkan atasmu. Telah diangkat pena dan telah kering lembaran-lembaran
(catatan takdir)1.”
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَ هَامَةَ وَلاَ صَفَرَ
“Tidak ada penularan
penyakit (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah (menganggap sial dengan
sesuatu), tidak ada kesialan dengan keberadaan burung hantu dan tidak
ada pula kesialan bulan Shafar.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam satu riwayat:
لاَ نَوْءَ وَلاَ غُوْلَ
“Tidak ada nau`2 dan tidak ada ghul3.” (HR. Muslim)
Dalam hadits ini penetap syariat (yakni Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) menolak thiyarah berikut apa yang disebutkan dalam hadits. Beliau mengabarkan bahwa thiyarah itu tidak ada wujudnya dan tidak ada pengaruhnya. Thiyarah itu hanyalah anggapan-anggapan keliru dan khayalan-khayalan rusak di dalam hati.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
(وَلاَ صَفَرَ) menolak keyakinan orang-orang jahiliyyah yang menganggap
bulan Shafar sebagai bulan sial, mereka mengatakan bulan Shafar adalah
bulan bencana. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
meniadakan kebenaran anggapan tersebut dan membatilkannya. Beliau
kabarkan bahwa bulan Shafar itu sama dengan bulan yang lain, tidak ada
pengaruhnya dalam menarik kemanfaatan dan menolak mudarat. Demikian pula
hari-hari, malam-malam dan waktu-waktu lain, tidak ada bedanya. Dulunya
orang jahiliyyah menganggap sial hari Rabu, menganggap sial untuk
melangsungkan pernikahan di bulan Syawwal secara khusus. Sehingga Aisyah
radhiyallahu ‘anha berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku di bulan Syawwal, maka siapakah yang lebih memiliki keutamaan/keberuntungan daripada diriku?”
Hal ini seperti anggapan
sial orang-orang Rafidhah terhadap angka sepuluh, dan mereka tidak suka
dengan angka ini karena kebencian dan permusuhan mereka terhadap Al-’Asyrah Al-Mubasysyarina bil jannah
(10 shahabat Rasulullah yang diberi kabar gembira masuk surga ketika
mereka masih hidup4). Yang demikian itu disebabkan kebodohan dan
kedunguan akal mereka.
Demikian pula ahli nujum,
mereka membagi waktu menjadi waktu nahas dan sial. Yang kedua; waktu
bahagia dan baik. Tidaklah samar lagi haramnya ramalan bintang ini dan
ia termasuk jenis sihir.
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Tathayyur adalah menganggap sial dengan apa yang dilihat dan apa yang didengar. Bila seseorang melakukan tathayyur
ini, ia membatalkan safar yang semula hendak dilakukannya dan ia
menarik diri dari perkara yang semula ia bersikukuh padanya, dengan
begitu berarti ia telah mengetuk pintu kesyirikan bahkan ia telah masuk
ke dalamnya. Ia berlepas diri dari tawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia membuka untuk dirinya pintu ketakutan dan bergantung kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Orang yang menganggap sial dengan apa yang dilihat atau didengarnya
berarti telah memutuskan diri dari apa yang dinyatakan dalam ayat
berikut:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
“Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.” (Al-Fatihah: 5)
فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ
“Maka beribadahlah engkau kepada-Nya dan bertawakallah.” (Hud: 123)
عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيْبُ
“Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya aku akan kembali.” (Asy-Syura: 10)
Jadilah hatinya bergantung kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala
baik dalam bentuk ibadah ataupun tawakal, sehingga rusaklah hatinya,
iman, dan keadaannya. Tinggallah hatinya menjadi sasaran thiyarah dan
senantiasa digiring kepadanya. Syaitan pun mendatangi orang yang telah
rusak agama dan dunianya ini. Berapa banyak orang yang binasa karenanya
dan ia merugi di dunia dan di akhirat. Dalil-dalil tentang haramnya
tathayyur dan tasyaum (menganggap sial) ini ma`ruf dan terdapat pada
tempat-tempat pembahasannya, maka kita cukupkan dengan apa yang telah
disebutkan. (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah 1/132-134)
Footnote:
1. HR. At-Tirmidzi, dishahihkan Asy-Syaikh Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi dan Al-Misykat no. 5302, pent.
2. Nau` adalah
bintang. Orang-orang jahiliyyah menyandarkan kesialan dan keberuntungan
yang mereka peroleh dengan bintang. Sebagian bintang menurut mereka sial
sehingga mereka katakan: Ini bintang nahas tidak ada kebaikan padanya.
Sebagian lain dari bintang, mereka anggap membawa keberuntungan sehingga
bila mereka dicurahi hujan, mereka berkata: “Kita diberi hujan oleh
bintang ini”. Mereka tidak mengatakan: “Kita diberi hujan dengan
keutamaan dan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Al-Qaulul Mufid `ala Kitabit Tauhid, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin , 1/568). -pent.
3. Ghul adalah setan yang biasa menyesatkan orang yang sedang berjalan di padang pasir atau lembah. Yang ditolak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits adalah pengaruh ghul ini, bukan keberadaannya. Setan yang suka mengganggu manusia seperti ghul ini memang ada, namun bila kuat tawakalnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan tidak menghiraukan keberadaannya, setan ini tidak dapat
memudaratkan dan menghalanginya menuju arah yang hendak ditujunya. (Al-Qaulul Mufid, 1/569) -pent.
4. Mereka adalah Abu Bakr
Ash-Shiddiq, Umar ibnul Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi
Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Az-Zubair ibnul Awwam, Sa`ad bin Abi
Waqqash, Sa`id bin Zaid, Abdurrahman bin `Auf, dan Abu `Ubaidah ibnul
Jarrah, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhai mereka semuanya.
Sumber: Majalah Asy-Syari’ah, Vol.III/No.29/1428H/2007, Kategori: Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 87-89. Dicopy dari: http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=437.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer