فأقول وبالله التوفيق:
أولاً: حكم التهنئة ببداية العام الجديد في بداية هذا الشهر:
لم يأتِ في النصوص ما يدل على مشروعية التهنئة ببداية العام ؛ كما لم ينقل عن السلف شيءٌ في ذلك، وقد شاع في هذه الأزمنة المتأخرة التهنئة ببداية العام بقول بعض الناس لبعض “كل عام وأنتم بخير” ،وتفاوتت أقوال العلماء في بيان حكم ذلك :
أولاً: حكم التهنئة ببداية العام الجديد في بداية هذا الشهر:
لم يأتِ في النصوص ما يدل على مشروعية التهنئة ببداية العام ؛ كما لم ينقل عن السلف شيءٌ في ذلك، وقد شاع في هذه الأزمنة المتأخرة التهنئة ببداية العام بقول بعض الناس لبعض “كل عام وأنتم بخير” ،وتفاوتت أقوال العلماء في بيان حكم ذلك :
Dengan meminta taufiq dari Allah, aku katakan :
Hukum mengucapkan selamat tahun baru diawal bulan Muharram :
Tidak ada dalil yang tegas yang menunjukkan
disyariatkannya mengucapkan selamat tahun baru. Demikian juga tidak
dinukil dari ulama’ salaf dalam masalah ini. Perbuatan mengucapkan
selamat tahun baru ini baru muncul pada masa akhir-akhir yaitu sebagian
orang mengucapkan kepada yang lainnya “ Semoga engkau dalam kebaikan
setiap tahunnya”. Terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama’ tentang hukum mengucapkan selamat tahun baru :
فذهب بعضهم إلى أن
التهنئة بالعام الجديد أمرٌ عادي لا تعلق له بالشرع، وعلى هذا فلا مدخل له
في باب البدع. وممن ذهب إلى هذا الشيخ ابن عثيمين في بعض إجاباته ؛ وبناءً
عليه فلا بأس بالتهنئة بالعام الجديد من غير اعتقاد أنه سنة ،كما ينبغي لمن
هُنئ فقيل له:(كل عام وأنت بخير) أن يجيبه بالدعاء بـ (أن يكون عام خيرٍ
وبركة) .انظر: ( اللقاء الباب المفتوح [93] )يوم الخميس الخامس والعشرين من
شهر ذي الحجة عام (1415هـ(.
Sebagian ulama’ berpendapat bahwa perbuatan mengucapkan selamat tahun baru merupakan perkara adat,
tidak terkait dengan perkara agama. Oleh karena itu perbuatan ini tidak
masuk dalam pembahasan bid’ah. Ulama’ yang berpendapat demikian adalah Syaikh Ibnu Utsaimin
dalam sebagian jawaban beliau (tentang masalah ini). Berdasarkan hal
ini maka tidak mengapa mengucapkan selamat tahun baru tanpa disertai
keyakinan bahwa perbuatan tersebut sunnah (disyariatkan). Maka hendaknya
orang yang yang diberi ucapan selamat tahun baru dengan ucapan “ Semoga
engkau dalam kebaikan setiap tahunnya” dia menjawab dengan do’a “
Semoga tahun ini merupakan tahun yang baik dan berbarakah.” (Lihat : Al
Liqaa Al Baab Al Maftuuh 93, hari kamis, 25 Dzulhijah 1415)
وذهب بعض العلماء إلى أن
التهنئة لم تكن معروفة عند السلف، ولذا فلا ينبغي البداءة بها، وأما من
خوطب بها فلا بأس أن يقول لمن قال له (كل عامٍ وأنت بخير ) أن يجيبه بقوله :
(وأنت كذلك)، أو ما أشبهه وبهذا قال الشيخ عبد العزيز بن باز، في بعض
إجاباته عن حكم التهنئة بالعام الهجري الجديد .انظر: (الموقع الرسمي للشيخ
ابن باز (
Sebagian ulama’ yang lain berpendapat bahwa perbuatan
mengucapkan selamat tahun baru bukanlah perkara yang dikenal kalangan
salaf, oleh karena itu tidak selayaknya melakukan hal itu. Namun
orang yang diberi ucapan selamat tahun baru, dengan ucapan “ Semoga
engkau dalam kebaikan setiap tahunnya” dia menjawab dengan mengucapkan “
Semoga engkau juga demikian” atau ucapan yang semisalnya. Ini merupakan
pendapat Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam sebagian jawaban beliau tentang hukum mengucapkan selamat tahun baru hijriyah. (Lihat : Website Syaikh Abdul Aziz bin Baz)
وذهب آخرون إلى المنع من
التهنئة بالعام الهجري الجديد وعدها من البدع لعدم ورودها في الشرع ؛ولأنها
ليس لها أصلٌ من كلام السلف؛ ولما فيها من التشبه بالنصارى في التهنئة
بالعام الميلادي ؛ وهذا بناءً على دخول التهنئة في الأمور التعبدية التي إن
لم يدل عليها الدليل في هذا المقام فهي بدعة محدثة ،وإلى هذا القول يميل
الشيخ صالح الفوزان في بعض فتاواها انظر: (الموقع الرسمي للشيخ الفوزان)
Sebagian ulama’ yang lain melarang mengucapkan selamat tahun baru Hijriyah dan menganggapnya sebagai perkara bid’ah karena tidak ada dasar dari agama.
Demikian juga perbuatan tersebut tidak memiliki dasar dari perkataan
ulama’ salaf. Bahkan perbuatan mengucapkan selamat tahun baru ini
termasuk perbuatan yang menyerupai (tasyabuh) orang-orang Nashara ketika
mereka mengucapkan selamat tahun baru Masehi. Pendapat ini didasarkan
pada pendapat yang menyatakan bahwa perbuatan mengucapkan selamat
termasuk perkara ibadah. Jika dalam perbuatan ini tidak terdapat dalil
yang membolehkannya maka perbuatan ini termasuk bid’ah yang mengada-ada.
Syaikh Shalih Al Fauzan lebih
condong untuk memilih pendapat ini dalam sebagian fatwa beliau tentang
mengucapkan selamat tahun baru. (Lihat : Website Resmi Syaikh Shalih Al
Fauzan)
والذي يظهر أن التهنئة عند
تجدد النعم من الأمور العادية التي لم يؤمر بها أو ينهى عنها في الشرع ؛
ثم إن الإنسان قد يؤجر عليها بالنظر إلى ما يترتب عليها من إدخال السرور
على المسلم .
Pendapat yang tampak lebih kuat
adalah bahwa perbuatan mengucapkan selamat tahun baru termasuk perkara
adat yang tidak ada perintah dan larangan dalam agama. Kemudian,
seseorang itu bisa jadi mendapatkan pahala karenanya, yaitu jika dilihat
dari pengaruh ucapan selamat tahun baru tersebut bisa memasukkan rasa
gembira kepada seorang muslim.
وأما التهنئة المتعلقة بالأزمان ففيها تفصيل:
فإن كانت في العيدين فلها أصلٌ في الشرع، وقد نقل عن بعض السلف ما يؤيد ذلك .
فإن كانت في العيدين فلها أصلٌ في الشرع، وقد نقل عن بعض السلف ما يؤيد ذلك .
Sedangkan ucapan selamat yang terkait dengan waktu, hukumnya dirinci :
Jika ucapan selamat itu untuk dua hari raya
(idul fithri dan idul adha) maka ada dalilnya dari syariat. Dan telah
dinukil dari sebagian salaf yang menguatkan hal ini.
وأما في غيرهما من المواسم
السنوية كبداية السنة الهجرية، أو التهنئة ببداية العام الدراسي، أو بعد
الرجوع من الإجازات فهي ليست مشروعة في الدين قطعاً،فيبقى حكمها مترددٌ بين
الإباحة والابتداع فمن قال بإباحيتها لكونها عنده من الأمور العادية التي
لا تدخلها البدع، ومن يرى بدعيتها لكونها من الأمور المحدثة التي لم تعرف
في عهد النبي صلى الله عليه وسلم والسلف الصالح مع وجود المقتضى .
Sedangkan ucapan
selamat untuk selain dua hari raya tersebut, seperti ucapan selamat saat
awal tahun Hijriyah, ucapan selamat pada tahun ajaran baru atau kembali
dari liburan, sama sekali tidak termasuk dalam perkara yang
disyariatkan agama. Maka hukumnya antara boleh dan bid’ah. Ulama’ yang
membolehkannya berpandangan karena perbuatan tersebut termasuk perkara
adat yang tidak masuk padanya bid’ah. Sedangkan ulama’ yang berpendapat
bid’ah memandang bahwa perbuatan tersebut termasuk perkara baru yang
tidak dikenal dimasa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Salafush Shalih padahal hal tersebut bisa mereka lakukan
والقول بالمنع منها هو الذي تطمئن إليه النفس لعدة أمور :
Pendapat yang melarang mengucapkan selamat
pada selain dua hari raya adalah pendapat yang lebih menenangkan hati,
dengan alasan sebagai berikut :
أولاً: أن المداومة عليها
فيه مضاهاة للتهنئة بالعيدين ،وقد جاء في تعريف البدعة :”أنها طريقة في
الدين مخترعة تضاهي الشرعية يقصد بالسلوك عليها المبالغة في التعبد لله
تعالى”.الاعتصام للشاطبي (1/37)
Pertama
: Terus menerus melakukannya berarti menyerupai dengan mengucapkan
selamat pada dua hari raya. Dan definisi bid’ah adalah : “ Suatu jalan
dalam agama yang dibuat-buat yang menyerupai syari’at, yang dimaksudkan
ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada
Allah ta’ala. (Al I’tisham oleh Imam Asy Syathibi : 1/37)
ثانياً:أن فيها تشبهاً بالنصارى الذين يهنئ بعضهم بعضاً ببداية السنة الميلادية، والتشبه بهم محرم في ديننا.
Kedua :
Perbuatan tersebut termasuk tasyabuh dengan kaum Nashara yang mana
mereka saling mengucapkan selamat ketika awal tahun baru Masehi. Dan
tasyabuh dengan mereka diharamkan dalam agama kita.
ثالثاً:أنه يخشى مع مرور
الوقت، وانتشارها في الناس أن يظن أنها مما هو مشروع في الدين، وقد تكون
ذريعةً للاحتفال ببداية العام وجعله عيداً، وهذا أمر منهي عنه .
Ketiga
: Dikhawatirkan setelah berlalunya waktu sedangkan perbuatan tersebut
telah tersebar ditengah-tengah manusia, mereka mengira bahwa perbuatan
tersebut termasuk perkara yang disyariatkan dalam agama. Bisa jadi
perbuatan ini akan mengantarkan kepada perayaan tahun baru dan
menjadikannya sebagai i’ed yang dilarang.
رابعاً: أن في تركها
احتياطاً للدين فإذا تردد الحكم بين ما قد يظن أنه مباح أو بدعة فالاحتياط
في تركه، إذ ليس في تركه لو كان مباحاً محظورٌ أصلاً،مع براءة الذمة
بالاحتياط من الوقوع في البدعة، وهذا بخلاف العكس .
Keempat
: Meninggalakan perbuatan tersebut merupakan sikap hati-hati dalam
agama. Karena jika ada perbedaan dalam menghukumi suatu masalah, ada
yang mengira hukumnya boleh sedangkan yang lain menyatakan bid’ah, maka
yang lebih selamat adalah meninggalkan perbuatan tersebut. Karena dalam
meninggalkan perbuatan tersebut, seandainya hukumnya mubah, maka tidak
terlarang dan berarti telah bebas dari terjatuh pada perbuatan bid’ah.
Hal ini tidak didapatkan jika kita melakukan perbuatn yang sebaliknya
Perkataan lengkap dari Syaikh Ibrahim bin Amir Ar Ruhaili hafidzahullah ini bisa dilihat disini
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer