Sebagian Ahlul bid’ah kadang berhujjah dengan
mengatakan bahwa lafazh ‘kullu bid’atin dholalah’ (semua
bid’ah itu sesat) dalam hadits yang masyhur itu tidak benar-benar berarti
‘semua’ tanpa kecuali. Mereka mengqiyaskannya dengan nash-nash lain yang juga
mengandung lafazh ‘kullu’ namun
artinya tidak ‘semua’. Seperti ayat berikut:
“Angin yang
menghancurkan segala sesuatu karena perintah Rabbnya, maka
jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali tempat tinggal
mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa” (Al
Ahqaf: 25).
Mereka mengatakan: “Lihatlah bagaimana Allah
mengatakan bahwa angin tersebut menghancurkan ‘segala sesuatu’ padahal tidak
semuanya hancur, buktinya rumah mereka masih tersisa, demikian pula bumi,
langit, dan sebagainya. Ini berarti bahwa kata ‘kullu’ dalam bahasa Arab tidak
selamanya berarti ‘semua’ tanpa kecuali. Namun dalam sabda beliau tersebut
tersisipkan sebuah kalimat yang tidak terucap, –yang menurut mereka– bunyinya
ialah: “yang
bertentangan dengan syari’at”. Jadi konteks sabda Nabi
selengkapnya berbunyi: “Semua bid’ah –yang bertentangan dengan syari’at– adalah
sesat”. Nah, mafhum-nya
berarti bahwa bid’ah yang tidak bertentangan dengan syari’at tidaklah sesat…” [1]).
Kaidah untuk memahami masalah ini
Memang benar, bahwa kata-kata yang bernada umum
dalam bahasa Arab[2]) tidak
harus diartikan umum tanpa kecuali. Dengan memperhatikan konteks kalimat,
realita, penalaran, dan nash-nash lainnya, seseorang bisa menyimpulkan apakah
keumuman suatu ungkapan dalam bahasa Arab tadi masih berlaku mutlak, ataukah
tidak.
Dalam ilmu ushul fiqih ada yang istilahnya ‘aammun uriida
bihil ‘umuum (ungkapan umum yang
maksudnya memang umum), ada pula ‘aammun makhshuush (ungkapan
umum yang mengandung pengkhususan/pengecualian), bahkan ada yang ‘aammun uriida
bihil khushuush (ungkapan umum yang
maksudnya khusus).
Contoh untuk yang pertama (aammun uriida bihil ‘umuum) ialah
ayat-ayat berikut:
“Allah lah yang
menciptakan segala sesuatu, dan Dia lah yang memelihara segala
sesuatu” (Az
Zumar: 62).
“Dan tidak
ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi
rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya…” (Hud: 6).
Imam Asy Syafi’i menjelaskan bahwa kesemuanya
ini merupakan jenis ungkapan umum yang berlaku mutlak tanpa pengecualian[3]).
Demikian pula ketika Allah Ta’ala mengatakan bahwa Dia
mengetahui segala sesuatu (QS. Al Baqarah :29, 231, 282, dan lain-lain). Jelas
keumuman ungkapan ini tidak boleh ditafsirkan dengan penafsiran lain karena tidak ada petunjuk
atau qarinah yang mengarah ke penafsiran lainnya.
Berbeda dengan ketika Allah Ta’ala bercerita
tentang angin topan yang membinasakan kaum ‘Aad;
“Angin yang menghancurkan segala sesuatu karena
perintah Rabbnya, maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi
kecuali tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum
yang berdosa” (Al
Ahqaf: 25).
Dalam ayat ini jelas bahwa ungkapan ‘segala
sesuatu’ tidak berlaku umum, namun banyak yang dikecualikan. Hal ini selain
tersirat dalam kelanjutan ayat ini sendiri, juga bisa kita fahami dari realita.
Angin topan yang dikatakan menghancurkan segalanya tadi ternyata tidak
menghancurkan langit, bumi, gunung-gunung, dan sebagainya. Ia hanya
menghancurkan kaum ‘Aad saja, bahkan masih menyisakan tempat tinggal mereka.
Namun ada kalanya Al Qur’an menggunakan ungkapan
umum sedang yang dimaksud hanyalah seorang. Seperti pada ayat berikut;
“(Yaitu) orang-orang (yang menta’ati Allah dan Rasul) yang
kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan:”Sesungguhnya manusia telah
mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”,
maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah
Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung” (Aali
‘Imran: 173).
Dalam tafsirnya, Imam Ath Thabary -rahimahullah-
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kata (النَّاسُ) atau ‘orang-orang yang mengatakan’ di sini hanyalah satu
orang, yaitu: Nu’aim bin Mas’ud, sebagaimana yang
disebutkan oleh berbagai riwayat dalam kitab-kitab sirah [4]).
Kesimpulannya, untuk menentukan apakah sebuah ungkapan yang
bernada umum itu masih berlaku mutlak ataukah tidak, kita harus memperhatikan
berbagai qarinah (petunjuk)
yang ada, baik dari konteks kalimat itu sendiri, maupun dari dalil-dalil lain
yang shahih, atau dengan realita yang ada; bukan sekedar akal-akalan dan ‘menurut hemat saya’.
Kami khawatir, dengan akal-akalan semacam ini,
kelak ada yang mengatakan bahwa sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut
akan disimpangkan pula maknanya:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ. رواه مسلم
Dari Ibnu Umar katanya; Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Semua yang
memabukkan adalah khamer, dansemua yang memabukkan itu haram” (H.R.
Muslim no 2003).
Bila Novel Alaydrus mengartikan sabda Nabi: wa
kullu bid’atin dholalah, dengan arti: semua bid’ah –yang bertentangan dengan
syari’at– adalah sesat. Maka konsekuensinya dia juga harus mengartikan hadits
di atas dengan cara yang sama… lantas bagaimana kira-kira dia akan
mengartikannya?
Memahami muthlaq & muqayyad
Perlu kita ketahui, bahwa dalam bahasa Arab, ada
yang namanya muthlaq (mutlak/tidak
terbatasi) dan muqayyad (terbatasi).
Misalnya ialah kalau seseorang mengatakan: “Hormatilah manusia”. Ketika mendengar
kata-kata ini, yang segera kita tangkap ialah bahwa kita diperintah untuk
menghormati siapa saja yang masuk dalam kategori ‘manusia’, dan inilah yang
disebut muthlaq.
Namun jika kata ‘manusia’ tadi diberi sifat
tertentu, seperti ‘yang beriman’ misalnya; maka keumuman perintah tadi jadi terbatasi,
sesuai dengan sifat yang dimilikinya. Sehingga dengan mengatakan: “Hormatilah
manusia yang beriman”, tidak setiap manusia
boleh dihormati, akan tetapi hanya yang beriman saja yang boleh dihormati.
Inilah yang disebutmuqayyad (terbatasi).
Ringkasnya, sifat yang dilekatkan pada sesuatu
terkadang berfungsi sebagai pembatas hakekat sesuatu tadi. Inilah salah satu
fungsi dari qaid (pembatas
makna) yang dalam hal ini berupa kata sifat.
Kendatipun demikian, tidak semua kata sifat
bermakna seperti itu, bahkan dalam beberapa konteks kalimat ia bermakna lain.
Perhatikanlah firman-firman Allah U berikut:
Pertama:
Dan barangsiapa menyembah ilah yang lain di samping Allah, padahal
tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya
perhitungannya di sisi Rabbnya. Sesungguhgnya orang-orang yang kafir itu tiada
beruntung”. (Al
Mu’minun: 117). Kita tidak dapat menyimpulkan bahwa jika seseorang memiliki
dalil akan keberadaan ilah selain Allah maka ia boleh menyembah selain Allah.
Kedua:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan
riba dengan berlipat ganda, dan bertaqwalah kamu kepada Allah
supaya kamu mendapat keberuntungan”. (Aali ‘Imran: 130). Bolehkah seseorang menyimpulkan
dari kata: “dengan
berlipat ganda”, bahwa jika riba yang dipungutnya tidak
berlipat ganda maka halal baginya?
Sebagaimana yang kita ketahui, yang dimaksud
berlipat ganda adalah lebih dari 100 %. Berangkat dari sini, kalaulah boleh
seseorang berdalil dengan mafhum (makna tersirat) dari ayat
di atas, maka boleh baginya memakan riba yang kurang dari 100 %. Boleh baginya
meminjami uang Rp. 1 juta kemudian meminta pelunasan sebesar Rp. 2 juta
umpamanya. Ataukah maksudnya sekedar pengkhabaran akan bentuk riba di zaman
jahiliyah yang pada umumnya berlipat ganda…? Karenanya ayat ini pun turun
dengan bahasa yang sesuai dengan kondisi saat itu tanpa bermaksud membolehkan
riba yang tidak berlipat ganda. Bagaimana menurut saudara?
Ketiga:
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa
yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh
rafats (segala sesuatu yang mendahului hubungan suami istri), berbuat fasik,
dan berbantah-bantahan selama mengerjakan haji… (Al
Baqarah: 197).
Bolehkah seseorang menyimpulkan dari kata: “selama
mengerjakan haji”, bahwa perbuatan fasik hanya dilarang ketika
musim haji saja, sedang diluar itu boleh berbuat fasik…? Ataukah ayat ini
seperti ayat sebelumnya yang sekedar menggambarkan kondisi musilm haji, yang
memang potensial untuk mendorong seseorang berbuat fasik. Yaitu ketika berjuta
orang berdesakan di Arafah, atau ketika melontar jumrah, thawaf, sa’i, dan
manasik haji lainnya; hingga manusia cenderung untuk berkata kasar kepada
sesama muslim, atau main sikut, dan lain sebagainya; sehingga tidak bisa
difahami bahwa perbuatan fasik tadi boleh dilakukan di luar musim haji… Yang
mana kira-kira?
Keempat:
“…Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk
melakukan pelacuran jika mereka menginginkan kesucian, demi mencari
keuntungan duniawi… (An Nur: 33).
Bolehkah kita menyimpulkan dari kata: “jika mereka
menginginkan kesucian”, bahwa jika para budak
wanita tadi tidak menginginkan kesucian, maka kita boleh memaksanya melacur dan
memakan uang hasil pelacuran tadi…?? Ataukah ayat ini seperti pendahulunya yang
sekedar memberi gambaran akan praktek mucikari di zaman jahiliyah; yang
pada umumnya dengan memaksa budak-budak wanita untuk melacur, padahal
budak-budak itu ingin jadi wanita terhormat… Jelas bukan?
Syubhat Ahlul bid’ah dalam masalah ini
Sebagian ahlul bid’ah ada yang berdalil dengan
hadits berikut karena tidak faham akan kaidah di atas;
مَنْ أَحْدَثَ فِي
أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ، وفي لفظ: مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ
عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
(رواه مسلم)
“Barangsiapa
mengada-adakan dalam agama kami, yang bukan berasal darinya (agama);
maka ia tertolak”. Dalam lafazh lainnya disebutkan: “Barangsiapa mengamalkan
sesuatu dalam agama kami, yang bukan berasal darinya; maka
amalan tersebut tertolak”.[5])
Mereka mengatakan: Penambahan kalimat ‘yang bukan
darinya’ (agama), merupakan bukti bahwa tidak semua yang baru
berarti tertolak dan sesat. Hanya yang baru yang tidak bersumber dari agama sajalah
yang tertolak dan sesat. Andaikata semua hal baru
adalah sesat, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
akan menambahkan kalimat tersebut. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan
langsung berkata, “Barangsiapa
membuat sesuatu yang baru dalam agama kami ini, maka ia tertolak”, tetapi
hal ini tidak beliau lakukan.
Kesimpulannya, selama hal baru tersebut
bersumber dari Al Qur’an dan Hadits, maka ia dapat diterima oleh agama,
diterima oleh Allah, dan diterima oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam [6]).
Pembaca yang budiman, mungkin setelah anda
membaca uraian di atas anda akan berubah fikiran… atau setuju akan adanya
bid’ah yang tidak sesat dalam agama. Tapi jangan tergesa-gesa, syubhat di atas
tak lebih dari sekedar permainan bahasa saja; yang mungkin karena kelihaian
penulisnya dalam bermain kata, akan tersamarkan bagi orang awam. Namun hal ini
tak akan mengelabui orang yang faham akan gaya bahasa Arab; yang notabene
adalah bahasa Al Qur’an dan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bantahan terhadap syubhat ini:
Pertama: Marilah kita ingat
kembali definisi bid’ah yang disebutkan oleh Al Jurjani pada pembahasan
sebelumnya (hal 35). Beliau mengatakan:
Bid’ah ialah perbuatan yang menyelisihi As Sunnah (ajaran
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Dinamakan
bid’ah karena pelakunya mengada-adakannya tanpa berlandaskan pendapat seorang
Imam. Bid’ah juga berarti perkara baru yang tidak pernah dilakukan oleh para
sahabat dan tabi’in, dan tidak merupakan sesuatu yang selaras dengan
dalil syar’i [7]).
Dari definisi di atas, dapat kita fahami bahwa
yang namanya bid’ah itu harus menyelisihi ajaran Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, dan tidak selaras dengan dalil syar’i (Al
Qur’an dan Sunnah). Berangkat dari sini, perkataan bahwa jika sesuatu yang
baru (bid’ah) itu bersumber dari Al Qur’an dan Hadits, maka ia dapat diterima
oleh agama, diterima oleh Allah, dan diterima oleh Rasul-Nya, adalah
kesalahan fatal yang ujung-ujungnya menyamakan antara bid’ah dengan syari’at
itu sendiri –sebab menurutnya keduanya berasal dari Al Qur’an dan hadits–, dan
ini jelas batil.
Kedua: kata-kata ‘yang bukan berasal darinya (agama)’ dalam
hadits di atas bukanlah sifat yang membatasi, akan tetapi sifat yang menyingkap
bahwa semua
bid’ah hakikatnya bukanlah berasal dari agama. Karena bila sesuatu itu
berasal dari Al Qur’an dan Hadits maka hal tersbut telah ada sejak adanya Islam
itu sendiri, dan bukan dianggap baru. Jelas sekali bahwa perkataan ini
mengandung kontradiksi yang tidak mungkin diucapkan oleh orang yang berakal,
apalagi seorang Rasul yang paling fasih berbahasa Arab dan menerima wahyu dari
Allah Ta’ala.
Memahami Mafhum Mu’tabar dan Mafhum
Ghairu Mu’tabar
Ketahuilah wahai saudaraku seiman, untuk
memahami Al Qur’an tak cukup dengan akal-akalan dan main qiyas semata; “kalau begini
berarti begitu… kalau tidak begini berarti tidak begitu…”. Coba bayangkan
bagaimana jadinya kalau analogi seperti ini kita terapkan ketika memahami
nash-nash Al Qur’an dan Sunnah, kemudian dengan ilmu yang serba terbatas kita
simpulkan seperti di atas? Jelas akan sesat dan menyesatkan… sebagaimana firman
Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa
nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka
mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Rabb mereka, tetapi mereka yang
kafir mengatakan: “Apakah maksud Allah menjadikan ini sebagai
perumpamaan?” Dengan perumpamaan ini banyak orang yang dibiarkan sesat
oleh Allah, dan dengannya pula banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan
tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang yang fasik” (Al Baqarah:
26).
Nah, agar tidak dibiarkan sesat oleh Allah, kita
harus mengindahkan kaidah-kaidah penafsiran dan jangan sekedar akal-akalan
dalam menafsirkan Al Qur’an maupun Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Alhamdulillah, para ulama telah meletakkan
beberapa kaidah dalam menentukan maksud suatu ayat atau hadits secara umum.
Kaidah tersebut diantaranya berbunyi:
اَلْوَصْفُ إِذَا خَرَجَ مَخْرَجَ الْغَالِبَ, فَلَيْسَ لَهُ
مَفْهُوْمٌ مُعْتَبَرٌ.
Maksudnya, jika sifat itu menunjukkan kondisi
sesuatu pada umumnya, maka tidak boleh bagi kita menarik suatu kesimpulan yang
berlawanan –alias mafhum–
darinya, karena mafhum tersebut
hukumnya tidak berlaku menurut ijma’ ulama. Seperti ketika Allah melarang untuk
memakan riba yang
berlipat ganda; mafhumnya ialah yang tidak
berlipat ganda boleh dimakan. Nah mafhum seperti ini hukumnya tidak
berlaku, karena ayat ini berbicara tentang konteks riba zaman jahiliyah, yang pada
umumnya berlipat
ganda.
Standar untuk mengetahui hal ini ialah apabila
kata sifat yang dijadikan penjelas tadi sering kali kita jumpai dalam masalah
yang digambarkan. Jika
sifat tersebut senantiasa melekat padanya, atau kita jumpai pada sebagian besar
kondisinya, maka mafhumnya tidak berlaku dan tidak
menjadi hujjah menurut ijma’ ulama. Namun jika tidak demikian,
maka mafhumnya
berlaku menurut sebagian ulama yang berhujjah dengan mafhum.[9])
Karenanya, ketika Allah Ta’ala atau
Rasul-Nya shallallahu
‘alaihi wa sallam menyifati sesuatu dengan
sifat atau keadaan tertentu, kita tidak boleh serta merta menarik kesimpulan
terbalik dari lafazh aslinya. Karena terkadang sifat itu bukan bertindak
sebagai pembatas makna (sifatun muqayyidah), namun sebagai penyingkap
akan hakekat sesuatu tadi (sifatun kaasyifah). Untuk lebih jelasnya
silakan saudara merenungkan ulang penjelasan ayat-ayat pada bab sebelumnya,
kemudian perhatikan contoh lain berikut:
“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah bagi orang-orang
yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka
bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (An Nisa: 17).
Kata-kata (بجهالة) dalam ayat ini adalah contoh bagi sifatun kaasyifah.
Maksudnya sebagai kata sifat/keadaan yang menyingkap hakekat mereka yang
berbuat jahat; yaitu bahwa setiap orang yang berbuat jahat adalah orang jahil, karena
kejahilanlah yang mendorongnya untuk berbuat jahat.
Jadi, kata ‘lantaran kejahilan’ tadi bukan
sebagai sifatun
muqayyidah (kata sifat/keadaan yang membatasi). Karena jika
tidak demikian, maka maksud ayat di atas ialah bahwa taubat itu khusus bagi
orang jahil yang bermaksiat saja, sedangkan orang alim yang bermaksiat tidak
perlu bertaubat… padahal orang sekaliber Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam saja setiap hari
beristighfar tak kurang dari 70 kali…[10])
Dari sini dapat kita fahami, bahwa apa yang
dijadikan dalil oleh ahlul bid’ah dalam membenarkan adanya bid’ah yang tidak
sesat, atau bid’ah yang dapat diterima oleh Allah dan Rasul-Nya adalah suatu
kekeliruan fatal!!
Syubhat lain yang dapat kita bantah
melalui kaidah di atas ialah sebagai berikut:
إِنَّهُ مَنْ
أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي قَدْ أُمِيتَتْ بَعْدِي فَإِنَّ لَهُ مِنْ الأَجْرِ
مِثْلَ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةَ
ضَلَالَةٍ لاَ تُرْضِي اللَّهَ وَرَسُولَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ
عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَوْزَارِ النَّاسِ شَيْئًا (رواه الترمذي
وقَالَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ)
“Ketahuilah, barangsiapa menghidupkan salah satu sunnahku yang telah
mati sepeninggalku, maka baginya pahala seperti pahala orang yang ikut
mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa
melakukanbid’ah dholalah yang tidak mendapatkan ridha Allah dan Rasul-Nya,
maka ia akan memikul dosa orang-orang yang mengamalkan bid’ah itu, tanpa
mengurangi dosa mereka sedikitpun. (H.R. Tirmidzi, dan beliau
menghasankannya).
Hadits ini dijadikan dalil (baca: syubhat) oleh
sebagian orang bahwa tidak semua bid’ah itu sesat. Andaikata semua bid’ah itu
sesat, tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan
langsung berkata: “Barangsiapa
mengadakan sebuah bid’ah” tanpa harus menambahkan
kata ‘dholalah’ dalam
sabdanya tersebut. Dengan menyebut bid’ah dholalah (yang sesat), maka
logikanya ada bid’ah yang tidak dholalah (tidak sesat) [11]).
Bantahan terhadap syubhat ini:
Al ‘Allaamah Al Muhaddits Abdurrahman Al
Mubarakfury dalam penjelasannya terhadap hadits di atas mengatakan sebagai
berikut (mengutip ucapan Shiddiq Hasan Khan):
“Penulis kitab Mirqaatul Mafaatieh mengatakan: “Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam membatasi bid’ah disini dengan bid’ah yang dholalah
untuk mengecualikan bid’ah hasanah”. Pendapat senada juga
diungkapkan oleh penulis kitab Asyi’atul Lama’aat dengan
menambahkan: “Karena
bid’ah hasanah mengandung kemaslahatan bagi agama, sekaligus menguatkan dan
melariskannya (di masyarakat)”. Saya katakan [12]): “Kedua pendapat tersebut
salah besar! Karena
Allah dan Rasul-Nya tak pernah meridhai bid’ah, apa pun bentuknya. Seandainya
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam hendak mengecualikan bid’ah
hasanah, niscaya beliau tak akan menjelaskan dalam haditsnya bahwa: “Semua bid’ah itu
sesat…” atau:“Semua hal yang baru itu bid’ah, dan semua yang sesat itu di
neraka…” sebagaimana
yang tersebut dalam salah satu riwayat. Ucapan beliau tadi pada dasarnya
bukanlah qaid (pembatas)
akan bid’ah. Namun merupakan bentuk pengkabaran beliau dalam mengingkari segala
macam bid’ah, dan menjelaskan bahwa semua bid’ah adalah tidak diridhai oleh
Allah dan Rasul-Nya. Dalil yang menguatkan pendapat ini ialah firman Allah: { وَرَهْبَانِيَّةً اِبْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ } yang maknanya: “…Dan mereka mengada-adakan
bid’ah rahbaniyyah (kependetaan) padahal kami tidak
mewajibkannya kepada mereka…” [13] (Al Hadid: 27).
Adapun prasangka bahwa bid’ah itu ada
kemaslahatannya bagi agama, sekaligus menguatkan dan melariskannya; bantahannya
ialah firman Allah Ta’ala :{ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ } yang
artinya: “Sesungguhnya
sebagian dari prasangka itu dosa” (Al Hujurat: 12).Saya tak habis pikir, apa
makna ayat: “Sesungguhnya sebagian dari prasangka itu
dosa”, dan ayat: “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu
agamamu dan telah Ku-cukupkan bagimu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu
jadi agamamu” (Al Ma’idah: 3), kalaulah maslahat yang
dimaksud ialah melariskan bid’ah..!? Ya Allah, alangkah anehnya pendapat semacam ini…
adakah mereka tidak tahu bahwa dengan menyemarakkan bid’ah berarti mematikan
sunnah? Dan dengan mematikan bid’ah berarti menghidupkan sunnah?? Sungguh demi
Allah, agama Islam itu lengkap, sempurna, dan tak kurang sedikit pun. Ia tak
butuh sedikit pun terhadap bid’ah sebagai pelengkap. Nash-nash (dalil-dalil)
yang dikandungnya cukup banyak dan meliputi setiap perkara atau problematika
baru yang akan muncul hingga hari kiamat”. Demikian sanggahan beliau dalam
kitabnya Ad-Dienul
Khalish secara ringkas.
Saya katakan [14]): “Sabda beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam yang berbunyi (بِدْعَةَ ضَلاَلَةٍ) diriwayatkan
dengan idhafah –yaitu
dibaca: bid’ata dhalalatin–, atau bisa juga dengan manshub (بِدْعَةً ضَلاَلَةً) –dibaca: bid’atan
dhalalatan– sebagai sifah wa mausuf. Jadi, ‘dholalah’ merupakan
sifat bagi bid’ah tersebut. Sedangkan kata sifat ini termasuk sifatun kaasyifah (sifat
yang menyingkap hakekat sesuatu); bukan sifatun muqayyidah yang
mengecualikan bid’ah hasanah (dari bid’ah yang menyesatkan). Dalilnya ialah
sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam lainnya yang berbunyi: (كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ) “Semua bid’ah itu
sesat” (H.R. Abu Dawud, dari ‘Irbadh bin Sariyah).
Adapun sabda beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam yang berbunyi (لاَ تُرْضِي اللهَ وَرَسُولَهُ) “Tidak mendapatkan
ridha Allah dan Rasul-Nya”, merupakan sifatun kaasyifah yang
kedua bagi bid’ah tadi [15]).
Lebih dari itu, hadits ini masih diperselisihkan
keshahihannya. Meski At Tirmidzi menganggapnya hasan –dan beliau memang
terkenal gampang menghasankan hadits,– namun salah satu perawi hadits ini ialah Katsier bin
Abdillah bin Amru bin ‘Auf Al Muzani. Berikut ini kami nukilkan
sanad hadits diatas selengkapnya; Imam At Tirmidzi -rahimahullah-
berkata:
حَدَّثَنَا عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ
مَرْوَانَ بْنِ مُعَاوِيَةَ الْفَزَارِيِّ عَنْ كَثِيرِ بْنِ عَبْدِ
اللَّهِ هُوَ ابْنُ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِبِلَالِ بْنِ الْحَارِثِ … الحديث (جامع الترمذي, كتاب
العلم, باب: ما جاء في الأخذ بالسنة واجتناب البدع, حديث رقم 2601).
Abdullah bin Abdirrahman mengabarkan kepada
kami, katanya: Muhammad bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami, dari Mirwan bin
Mu’awiyah Al Fazary, dari Katsir bin ‘Abdillah –yaitu: bin ‘Amru bin ‘Auf Al
Muzany–, dari Ayahnya, dari Kakeknya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam berkata kepada Bilal ibnul Harits:…. Al hadits” (H.R.
Tirmidzi, no 2601).
Cacat hadits ini ialah pada silsilah
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer