Muqoddimah
Di tanah air Indonesia ini, perayaan haul
seorang syaikh, wali, sunan, kiai, habib, atau tokoh lainnya bukanlah
hal yang asing bagi kebanyakan kita. Di pinggir-pinggir jalan sering
dipajang spanduk bertuliskan “Hadirilah acara peringatan haul
Syaikh—fulan—yang ke—sekian kalinya.”
Acara haul sudah merupakan upacara ritual
seremonial yang biasa dilakukan oleh umumnya masyarakat Indonesia untuk
memperingati hari kematian seseorang. Awalnya, acara ini biasanya
diselenggarakan setelah proses penguburan, kemudian berlanjut setiap
hari sampai hari ke-7. Lalu diselenggarakan lagi pada hari ke-40 dan
ke-100. Untuk selanjutnya acara tersebut diadakan tiap tahun di hari
kematian si mayit atau yang masyhur dikenal dengan “haul” yang berarti
“tahun” dalam bahasa Arab.
Perayaan haul dengan berbagai variasi
acaranya cukup memukau banyak kalangan, dihadiri oleh para tokoh agama
dan petinggi daerah. Masyarakat pun berjubel-jubel antusias
menghadirinya dengan berbagai macam keyakinan dan tujuan hingga tanpa
disadari acara ini seakan menjadi suatu kelaziman. Konsekuensinya, bila
ada yang tidak menyelenggarakan acara tersebut berarti telah menyalahi
adat dan akibatnya diasingkan dari masyarakat. Bahkan, lebih jauh lagi,
acara tersebut seolah-olah membangun opini muatan hukum yaitu sunnah
atau wajib dikerjakan, dan sebaliknya bid’ah dan salah bila
ditinggalkan.
Hal yang sangat mengherankan adalah
kurangnya usaha banyak orang untuk mencari kebenaran tentang status
hukum perayaan ini ditinjau dari sudut pandang syari’at Islam yang
mulia. Oleh karena itu, penting sekali adanya penjelasan secara ilmiah
dan komprehensif tentang masalah yang menjadi pro dan kontra ini
sehingga tidak menyisakan celah-celah perdebatan dan keraguan pada
masyarakat kaum muslimin tentang hakikat perayaan ini. Berikut ini
adalah usaha sederhana dari hamba yang lemah ini untuk mengupas masalah
ini. Semoga bermanfaat.
Islam Telah Sempurna
Di antara nikmat terbesar yang Alloh anugerahkan kepada umat ini adalah disempurnakannya agama ini sebagaimana dalam firman-Nya:
ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَـٰمَ دِينًۭا ۚ
“Pada hari ini telah
Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku
dan telah Kuridhoi Islam sebagai agamamu.” (QS. al-Ma‘idah [5]: 3)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah
berkata, “Ini merupakan kenikmatan Alloh yang terbesar kepada umat ini,
di mana Alloh telah menyempurnakan agama mereka sehingga mereka tidak
membutuhkan agama selainnya dan (tidak membutuhkan) nabi selain nabi
mereka. Oleh karena itu, Alloh menjadikannya sebagai penutup para nabi
dan mengutusnya kepada jin dan manusia. Maka tidak ada sesuatu yang
halal selain apa yang beliau halalkan, tidak ada yang haram kecuali yang
beliau haramkan, tidak ada agama selain apa yang beliau syari’atkan,
dan setiap apa yang beliau beritakan adalah benar dan jujur, tiada
kedustaan di dalamnya.”
Tidaklah Rosululloh shalallahu ‘alayhi wasallam
meninggalkan dunia ini melainkan telah meninggalkan kaum muslimin dalam
jalan yang terang-benderang, malamnya seperti siangnya. Semua
permasalahan yang dibutuhkan oleh hamba telah dijelaskan dalam syari’at
Islam, hingga permasalahan yang dipandang remeh oleh kebanyakan manusia
seperti adab buang hajat.
Dengan sempurnanya Islam, maka segala
perbuatan bid’ah dalam agama dinilai sebagai kelancangan terhadap
syari’at dan ralat terhadap pembuat syari’at bahwa masih ada
permasalahan yang belum dijelaskan. Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah mengeluarkan perkataan emas tentang ayat ini. Beliau berkata:
مَنِ ابْتَدَعَ فِيْ الإِسْلَامِ بِدْعَةً يَرَاهَا حَسَنَةً فَقَدْ زَعَمَ أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ n خَانَ الرِّسَالَةَ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُوْلُ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا فَلَا يَكُوْنُ الْيَوْمَ دِيْنًا
“Barang siapa melakukan bid’ah dalam
Islam dan menganggapnya baik (bid’ah hasanah), maka sesungguhnya dia
telah menuduh Muhammad shalallahu ‘alayhi wa sallam
mengkhianati risalah, karena Alloh Ta’ala berfirman, ‘Pada hari ini
telah Kusempurnakan untukmu agamamu.’ Karena itu, apa saja yang di hari
itu (pada zaman Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam) bukan sebagai agama, maka pada hari ini juga tidak termasuk agama.”[1]
Perayaan Dalam Islam
Ketahuilah—wahai saudaraku—bahwa perayaan tahunan dalam Islam hanya ada dua macam, Idul Fitri dan Idul Adha, berdasarkan hadits:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قَالَ : كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا, فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم الْمَدِينَةَ قَالَ :كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا : يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata, “Tatkala Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam
datang di kota Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari untuk
bersenang-senang (bergembira) sebagaimana di waktu jahiliah, lalu beliau
bersabda, ‘Saya datang kepada kalian dan kalian memiliki dua hari raya
untuk bersenang-senang sebagaimana di waktu jahiliah. Dan sesungguhnya
Alloh telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik, Idul Adha dan
Idul Fitri.”[2]
Hadits ini menunjukkan bahwa Rosululloh shalallahu ‘alayhi wasallam tidak ingin umatnya membuat-buat perayaan baru yang tidak disyari’atkan Islam. Alangkah bagusnya ucapan al-Hafizh Ibnu Rojab rahimahullah,
“Sesungguhnya perayaan tidaklah diadakan berdasarkan logika dan akal
sebagaimana dilakukan oleh ahli kitab sebelum kita, tetapi berdasakan
syari’at dan dalil.”[3]
Beliau juga berkata, “Tidak disyari’atkan
bagi kaum muslimin untuk membuat perayaan kecuali perayaan yang
diizinkan syari’at yaitu Idul Fitri, Idul Adha, hari-hari tasyriq — ini
perayaan tahunan, dan hari Jum’at — ini perayaan mingguan. Selain itu,
menjadikannya sebagai perayaan adalah bid’ah dan tidak ada asalnya dalam
syari’at.”[4]
Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah
berkata, “Perayaan dalam Islam itu terbatas dan diketahui. Hal ini
sesuai dengan kaidah syari’at bahwa ibadah itu harus sesuai dengan dalil
sehingga tidak boleh beribadah kepada Alloh kecuali dengan apa yang
telah disyari’atkan. Dan hal ini juga berdasarkan kaidah haramnya
berbuat bid’ah dalam agama. Dan sesuai dengan kaidah haramnya tasyabbuh
(menyerupai) orang-orang kafir dalam hal-hal yang khusus bagi mereka,
baik berupa ucapan, perbuatan, mode dan sebagainya.”[5]
Adapun perayaan dan peringatan pada zaman
sekarang, maka tak terhitung jumlahnya, baik di negeri muslim apalagi
di negeri nonmuslim. Lihatlah, betapa banyak perayaan yang
diselenggarakan di kuburan, petilasan, tokoh, negara, dan sebagainya
dari perayaan-perayaan yang tidak diizinkan oleh Alloh. Di India
misalnya, berdasarkan penelitian, penduduk muslim di sana memiliki 144
hari perayaan pada setiap tahunnya.[6]
Gambaran Seputar Perayaan Haul
Sebelum memasuki pembahasan lebih lanjut,
alangkah baiknya kita mengetahui gambaran perayaan haul secara singkat
agar kita memahami masalah ini dengan baik:[7]
Definisinya
Haul yang sering disebut dengan khol
adalah berasal dari kata Arab “haul” yang artinya secara bahasa adalah
“tahun”. Adapun yang dimaksud dengan perayaan haul sebagaimana yang
lazim berjalan di masyakat tanah air ialah acara peringatan hari ulang
tahun kematian.
Waktu dan tempat
Acara ini biasanya diselenggarakan di
halaman kuburan mayit yang diperingati atau sekitarnya, tetapi ada pula
yang diselenggarakan di rumah, masjid, dan lain-lain. Adapun waktunya,
biasanya diselenggarakan tepat pada hari ulang tahun wafat mayit yang
diperingati, yang lazimnya tergolong orang yang berjasa kepada Islam dan
kaum muslimin semasa hidupnya. Acara ini biasanya berlangsung sampai
tiga hari tiga malam dengan aneka variasi acara. Dan bagi yang
diselenggarakan secara pribadi, biasanya hanya secara sederhana dengan
memakan waktu beberapa saat dengan sekadar penyelenggaraan acara
tahlilan dan hidangan makan sesudahnya.
Suasana acara
Apabila acara haul ini untuk seorang yang
berpengaruh besar di masa hidupnya, maka biasanya diselenggarakan
besar-besaran dengan dibentuk panitia lengkap dengan bagian-bagiannya.
Acara tersebut berjalan dengan meriah dengan berbagai acara seperti
tilawah al-Qur‘an, bacaan tahlil secara massal dengan selingan acara
kesenian seperti seni hadhroh (pemukulan rebana dengan bacaan
sholawat Nabi). Dan di sepanjang jalan dalam jarak beberapa ratus meter
dari pusat penyelenggaraan acara, biasanya penuh dengan aneka macam stan
penjualan berbagai macam barang dagangan dan berbagai rupa makanan di
samping penjualan mainan anak-anak yang menambah semaraknya suasana
sehingga situasi pada hari-hari tersebut sangat meriah, tak ubahnya
seperti pasar malam.
Maksud dan Tujuan Acara
Maksud penyelenggaraan acara ini antara
lain untuk kirim pahala bacaan ayat-ayat suci al-Quran dan bacaan-bacaan
lainnya di samping juga untuk tujuan seperti tawassul, tabarruk (ngalap berkah), istighotsah, dan pelepasan nadzar
kepada si mayit. Disebutkan bahwa tujuan inti dari acara tersebut
diadakan adalah dalam rangka mengenang sejarah atau biografi seorang
yang ditokohkan. Oleh sebab itu, momentum haul selalu dinanti oleh umat Islam dengan tujuan, menapaktilasi dan meneladani rekam jejak perjuangan orang yang di-haul-i.
Sejarah Perayaan Haul
Ketahuilah wahai saudaraku—semoga Alloh ‘azza wajalla memberikan kepahaman kepadamu—bahwa perayaan haul ini tidaklah dikenal di zaman Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam,
para sahabat, para tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Perayaan tersebut tidak
pula dikenal oleh imam-imam madzhab: Abu Hanifah, Malik, Ahmad, dan
Syafi’i. Karena memang perayaan ini adalah perkara baru dalam agama
Islam. Adapun yang pertama kali mengadakannya adalah kelompok Rofidhoh (Syi’ah) yang menjadikan hari kematian Husain pada bulan Asyuro yang telah diingkari oleh para ulama.
Alangkah bagusnya ucapan al-Hafizh Ibnu Rojab rahimahullah, “Adapun menjadikan hari Asyuro sebagai hari kesedihan (ratapan) sebagaimana dilakukan oleh kaum Rofidhoh
karena terbunuhnya Husain bin Ali, maka hal itu termasuk perbuatan
orang yang tersesat usahanya dalam kehidupan dunia sedangkan dia mengira
berbuat baik. Alloh dan rosul-Nya saja tidak pernah memerintahkan agar
hari musibah dan kematian para nabi dijadikan ratapan, lantas bagaimana
dengan orang yang selain mereka?”[8]
Husain bin Ali bin Abi Tholib adalah cucu Rosululloh shalallahu ‘alayhi wasallam dari perkawinan Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu dengan putri beliau, Fatimah binti Rosulillah radhiallahu ‘anha. Husain sangat dicintai oleh Rosululloh shalallahu ‘alayhi wasallam. Namun, apa pun musibah yang terjadi dan betapapun kita sangat mencintai keluarga Rosululloh shalallahu ‘alayhi wasallam
tidak boleh menjadi alasan untuk bertindak melanggar aturan syari’at
dengan memperingati hari kematian Husain!! Sebab, peristiwa terbunuhnya
orang yang dicintai Rosululloh shalallahu ‘alayhi wasallam sebelum Husain juga pernah terjadi, seperti terbunuhnya Hamzah bin Abdil Mutholib radhiallahu ‘anhu, dan hal itu tidak menjadikan Rosululloh shalallahu ‘alayhi wasallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum
mengenang atau memperingati hari terjadinya peristiwa tersebut,
sebagaimana yang dilakukan orang-orang Syi’ah untuk mengenang
terbunuhnya Husain!![9]
Apalagi kalau kita telusuri bersama,
sejatinya perayaan kematian seperti ini adalah berawal dari
kepercayaan-kepercayaan nonmuslim tentang kembalinya arwah-arwah mayit
sehingga perlu dibuatkan sajen-sajen. Tentu saja,
kepercayaan-kepercayaan tersebut adalah batil menurut pandangan syari’at
Islam.[10]
Hukum Perayaan Haul
Menghukumi sesuatu ini boleh atau tidak
bukanlah perkara yang amat mudah. Tidak boleh kita gegabah dalam
menghukumi, apalagi tentang permasalahan ini yang sudah mendarah daging
di masyarakat hingga saat ini. Marilah kita tinggalkan semua fanatisme
golongan, hawa nafsu, dan adat yang tidak berdasar. Marilah kita
kembalikan semua perselisihan kepada al-Qur‘an dan sunnah Rosululloh shalallahu ‘alayhi wasallam, sebagaimana firman Alloh:
فَإِن تَنَـٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍۢ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌۭ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا ﴿٥٩﴾
Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh (al-Qur‘an) dan
Rosul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Alloh dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. (QS. an-Nisa‘ [4]: 59)
Setelah kita mengembalikan masalah ini
kepada al-Qur‘an dan Sunnah, ternyata tidak kita dapati satu pun dalil
yang menunjukkan disyari’atkannya perayaan ini. Demikian juga kita tidak
mendapati bahwa Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam, para sahabat radhiyallahu ‘anhum,
dan para ulama/imam salaf mengadakan perayaan maulid, sehingga jelaslah
bagi orang yang hendak mencari kebenaran dan jauh dari kesombongan
bahwa perayaan maulid Nabi adalah perbuatan yang tertolak. Sekali lagi,
janganlah standar kita adalah kebanyakan orang tetapi jadikan standar
hukum kita adalah al-Qur‘an dan sunnah Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam.
Ada beberapa argumen yang menguatkan batilnya perayaan haul ini sebagai berikut:
Pertama:
Seandainya perayaan ini disyari’atkan, tentu akan dijelaskan oleh Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam sebelum wafatnya karena Alloh telah menyempurnakan agama-Nya.
ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَـٰمَ دِينًۭا
Pada hari ini telah Kusempurnakan
untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah
Kuridhoi Islam sebagai agamamu. (QS. al-Ma‘idah [5]: 3)
Kedua:
Seandainya perayaan maulid ini merupakan bagian agama yang disyari’atkan tetapi Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam tidak menjelaskannya kepada umat, maka itu berarti Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam berkhianat. Hal ini tidak mungkin karena Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam
telah menyampaikan risalah Alloh dengan amanah dan sempurna sebagaimana
disaksikan oleh umatnya dalam perkumpulan yang besar di Arafah ketika
haji wada’:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ فِيْ قِصَّةِ حَجَّةِ النَّبِيِّ : … وَأَنْتُمْ تُسْأَلُونَ عَنِّي، فَمَا أَنْتُمْ قَائِلُونَ؟ قَالُوا : نَشْهَدُ أَنَّكَ قَدْ بَلَّغْتَ، وَأَدَّيْتَ، وَنَصَحْتَ, فَقَالَ بِإِصْبِعِهِ السَّبَابَةِ يَرْفَعُهَا إِلَى السَّمَاءِ، وَيَنْكُتُهَا إِلَى النَّاسِ : اللَّهُمَّ اشْهَدْ، اللَّهُمَّ اشْهَدْ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu tentang kisah hajinya Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam (setelah beliau berkhotbah di Arafah). Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam
bersabda, “Kalian akan ditanya tentang diriku, lantas apakah jawaban
kalian?” Mereka menjawab, “Kami bersaksi bahwa engkau telah
menyampaikan, menunaikan, dan menasihati.” Lalu Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam
mengatakan dengan mengangkat jari telunjuknya ke langit dan
mengisyaratkan kepada manusia, “Ya Alloh, saksikanlah, ya Alloh
saksikanlah, sebanyak tiga kali.”[11]
Ketiga:
Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada contohnya dari kami maka tertolak.”(HR. Muslim: 3243)
Hadits ini dan yang semakna dengannya
menunjukkan tercelanya bid’ah dalam agama sekalipun dianggap baik oleh
manusia. Dan perayaan haul termasuk perkara yang bid’ah dalam agama
karena tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum
Keempat:
Seandainya perayaan haul ini disyari’atkan, niscaya tidak akan ditinggalkan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan para generasi utama yang dipuji oleh Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ
“Sebaik-baik manusia adalah masaku.” (HR. al-Bukhori: 3651, Muslim: 2533)
Seandainya perayaan haul ini baik, tentu
para salaf lebih berhak mengerjakannya daripada kita karena mereka jauh
lebih cinta kepada Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam dan mereka lebih bersemangat dalam melaksanakan kebaikan.
Kelima:
Perayaan haul termasuk acara slametan (selamatan, Jawa) kematian/tahlilan yang dilarang dalam hadits dan pendapat ulama dari berbagai madzhab.
عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ :كُنَّا نَعُدُّ (وَفِيْ رِوَايَةٍ كُنَّا نَرَى) الإِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَ صَنِيْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ
Dari Jarir bin Abdillah al-Bajali radhiallahu ‘anhu berkata, “Kami
(para sahabat) menganggap (dalam riwayat lain berpendapat) bahwa
berkumpul-kumpul kepada ahli mayit dan membuat makanan setelah (si
mayit) dikubur termasuk kategori niyahah (meratapi).”[12]
Dan para ulama dari berbagai madzhab
telah menegaskan tentang bid’ahnya acara kematian baik 7 harinya, 40
harinya, 100 harinya atau 1.000 harinya, atau setahunnya. Anehnya, yang
paling tegas mengingkari bid’ahnya acara kematian tersebut adalah
ulama-ulama madzhab Syafi’i.[13] Di antaranya al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
وَ أَكْرَهُ الْمَأَتِمَ وَهِيَ الْجَمَاعَةَ وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ بُكَاءٌ فَإِنَّ ذَلِكَ يُجَدِّدُ الْحُزْنَ وَ يُكَلِّفُ الْمُؤْنَةَ مَعَ مَا مَضَى مِنَ الأَثَرِ
“Dan saya membenci berkumpul-kumpul
(dalam kematian) sekalipun tanpa diiringi tangisan karena hal itu akan
memperbaharui kesedihan dan memberatkan tanggungan (keluarga mayit)
serta berdasarkan atsar (hadits) yang telah lalu.”[14]
Ucapan al-Imam asy-Syafi’i di atas sangat jelas menunjukkan bahwa beliau melarang peringatan kematian/slametan/tahlilan/haul karena tiga alasan:
- Mengingatkan kembali rasa kesedihan
- Menyusahkan diri
- Hadits yang menegaskan bahwa hal itu termasuk meratapi mayit.
Kemungkaran-Kemungkaran Perayaan Haul
Perayaan haul ini di samping tidak ada
ajarannya dalam agama Islam, juga banyak mengandung
kemungkaran-kemungkaran yang bertentangan dengan syari’at. Bila demikian
keadaannya, maka mungkinkah syari’at Islam yang mulia ini menganjurkan
atau membolehkannya?!!
1. Dalam perayaan haul terdapat wasilah ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap orang-orang sholih dan tempat-tempat keramat[15], sehingga berdo’a dan memohon pertolongan kepada selain Alloh, bertabarruk (ngalap berkah) yang keliru[16] dan keyakinan-keyakinan keliru lainnya.
Firman Alloh:
يَـٰٓأَهْلَ ٱلْكِتَـٰبِ لَا تَغْلُوا۟ فِى دِينِكُمْ
Wahai ahli kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu. (QS. an-Nisa‘ [4]: 171)
Ayat ini, sekalipun ditujukan kepada ahli
kitab, maksudnya adalah untuk memberikan peringatan kepada umat ini
agar menjauhi sebab-sebab yang mengantarkan murka Alloh kepada umat-umat
sebelumnya.
Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِى الدِّينِ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ الْغُلُوُّ فِى الدِّينِ
“Wahai sekalian manusia, waspadalah
kalian terhadap sikap berlebih-lebihan dalam agama karena sikap
berlebih-lebihan dalam agama telah membinasakan orang-orang sebelum
kalian.”[17]
2. Bila perayaan ini
diselenggarakan di area pekuburan maka terjatuh dalam larangan
menjadikan kuburan sebagai tempat perayaan dan larangan menjadikan
kuburan sebagai tempat ibadah.
Rosululloh shalallahu ‘alayhi wasallam bersabda :
لَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيدًا وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ
“Janganlah kamu jadikan kuburanku
sebagai ’id (perayaan) dan bersholawatlah kamu kepadaku karena sholawat
itu akan sampai kepadaku di mana pun kamu berada.”[18]
Jika Rosululloh shalallahu ‘alayhi wasallam
melarang kuburannya dijadikan sebagai tempat hari raya, haul, atau
tempat kunjungan beramai-ramai, bagaimana dengan kuburan selainnya?!!
Tentu saja dilarang juga.
Rosululloh shalallahu ‘alayhi wasallam juga bersabda:
لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ، إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنْ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ
“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah
kalian sebagai kuburan, karena sesungguhnya setan lari dari rumah yang
dibacakan di dalamnya Surah al-Baqoroh.” (HR. Muslim: 1300)
Hadits ini mengisyaratkan bahwa kuburan bukanlah tempat untuk beribadah. Oleh karena itu, Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam
menganjurkan untuk membaca al-Qur‘an di rumah dan melarang menjadikan
rumah sebagai kuburan yang tidak dibacakan al-Qur‘an di dalamnya.
3. Ratapan kepada mayit
Perayaan kematian ini termasuk meratapi mayit sebagaimana dalam hadits Jarir bin Abdillah al-Bajali radhiallahu ‘anhu
di atas. Sementara itu, meratapi mayit hukumnya adalah haram dengan
kesepakatan ulama. Meratapi juga termasuk perkara jahiliah dan dosa
besar[20]. karena Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam mengancam pelakunya dengan adzab[21]. Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Semua itu adalah haram dan termasuk perkara jahiliah tanpa ada perselisihan ulama.[22]”
Di antara hikmah di balik larangan ini
adalah karena hal itu menyalakan kembali api kesedihan. Dikisahkan bahwa
Ibnu Aqil—seorang ulama—pernah mengantarkan jenazah putra kesayangannya
yang bernama Aqil. Tatkala berada di kuburan, ada seorang berteriak
seraya membacakan firman Alloh:
قَالُوا۟ يَـٰٓأَيُّهَا ٱلْعَزِيزُ إِنَّ لَهُۥٓ أَبًۭا شَيْخًۭا كَبِيرًۭا فَخُذْ أَحَدَنَا مَكَانَهُۥٓ ۖ إِنَّا نَرَىٰكَ مِنَ ٱلْمُحْسِنِينَ
Mereka berkata, “Wahai al-Aziz,
sesungguhnya ia mempunyai ayah yang sudah lanjut usianya, lantaran itu
ambillah salah seorang di antara Kami sebagai gantinya, sesungguhnya
kami melihat kamu termasuk orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Yusuf
[12]: 78)
Mendengar hal itu, Ibnu Aqil rahimahullah berkata, “Sesungguhnya al-Qur‘an diturunkan untuk menenangkan kesedihan, bukan untuk menyalakan kesedihan.“[23]
4. Pemborosan dan memberatkan diri
Islam adalah agama yang mudah. Namun,
sebagian orang mempersulit diri sendiri dan menyusahkan diri sendiri
dengan mengeluarkan dana yang tidak sedikit guna mengadakan perayaan ini
baik karena malu atau takut celaan masyarakat, dan kadang untuk
bergaya, sehingga terjatuh dalam pemborosan dan mengamburkan harta
secara sia-sia. Tahukah anda bahwa pada sebagian peringatan haul besar
bisa sampai mengeluarkan dana milyaran?!! Bukankah sebaiknya jika dishodaqohkan kepada fakir miskin atau kebutuhan yang bermanfaat lainnya?!! Alloh ‘azza wajalla berfirman:
إِنَّ ٱلْمُبَذِّرِينَ كَانُوٓا۟ إِخْوَٰنَ ٱلشَّيَـٰطِينِ ۖ وَكَانَ ٱلشَّيْطَـٰنُ لِرَبِّهِۦ كَفُورًۭا
“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Robbnya.” (QS. al-Isro‘ [17]: 27)
5. Ikhtilath
Suatu yang tidak dipungkiri lagi bahwa
perayaan haul tidak sepi dari kemungkaran seperti ikhtilath (campur
baur) antara pria dan wanita, merokok, dan lain sebagainya.[24]
Syubhat dan Jawabannya
Pembahasan tentang upacara kematian ini sebenarnya cukup luas dan syubhat-syubhat tentangnya juga cukup banyak.[25]
Namun, di sini saya akan mencantumkan satu syubhat secara khusus
tentang acara peringatan haul yang dijadikan dalil oleh sebagian orang
yang merayakannya. Berikut kutipan ucapan mereka:
Diriwayatkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam selalu berziarah ke makam para syuhada di Bukit Uhud pada setiap tahun. Demikian juga para sahabat:
وَ رَوَى الْبَيْهَقِي فِي الشَّعْبِ، عَنِ الْوَاقِدِي، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَزُوْرُ الشُّهَدَاءَ بِأُحُدٍ فِي كُلِّ حَوْلٍ. وَ إذَا بَلَغَ رَفَعَ صَوْتَهُ فَيَقُوْلُ: سَلاَمٌ عَلَيْكُم بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّار
Al-Baihaqi meriwayatkan dari al-Wakidi
mengenai kematian, bahwa Nabi SAW senantiasa berziarah ke makam para
syuhada di bukit Uhud setiap tahun. Dan sesampainya di sana beliau
mengucapkan salam dengan mengeraskan suaranya, “Salamun alaikum bima
shabartum fani’ma uqbad daar” — QS Ar-Ra’d: 24 — Keselamatan atasmu
berkat kesabaranmu. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.
Inilah yang menjadi sandaran hukum Islam
bagi pelaksanaan peringatan haul atau acara tahunan untuk mendoakan dan
mengenang para ulama, sesepuh dan orang tua kita.
Lanjutan riwayat:
ثُمَّ أبُوْ بَكْرٍ كُلَّ حَوْلٍ يَفْعَلُ مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ عُمَرُ ثُمَّ عُثْمَانُ. وَ كاَنَتْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا تَأتِيْهِ وَ تَدْعُوْ. وَ كاَنَ سَعْدُ ابْنِ أبِي وَقَّاصٍ يُسَلِّمُ عَلَيْهِمْ ثُمَّ يَقْبَلُ عَلَى أصْحَابِهِ، فَيَقُوْلُ ألاَ تُسَلِّمُوْنَ عَلَى قَوْمٍ يَرُدُّوْنَ عَلَيْكُمْ بِالسَّلَامِ
Abu Bakar juga melakukan hal itu setiap
tahun, kemudian Umar, lalu Utsman. Fatimah juga pernah berziarah ke
bukit Uhud dan berdoa. Saad bin Abi Waqqash mengucapkan salam kepada
para syuhada tersebut kemudian ia menghadap kepada para sahabatnya lalu
berkata, “Mengapa kalian tidak mengucapkan salam kepada orang-orang yang
akan menjawab salam kalian?”
Demikian dalam kitab Syarah Al-Ihya juz
10 pada fasal tentang ziarah kubur. Lalu dalam kitab Najhul Balaghah dan
Kitab Manaqib As-Sayyidis Syuhada Hamzah RA oleh Sayyid Ja’far
Al-Barzanji dijelaskan bahwa hadits itu menjadi sandaran hukum bagi
orang-orang Madinah untuk yang melakukan Ziarah Rajabiyah (ziarah
tahunan setiap bulan Rajab) ke maka Sayidina Hamzah yang ditradisikan
oleh keluarga Syeikh Junaid al-Masra’i karena ini pernah bermimpi dengan
Hamzah yang menyuruhnya melakukan ziarah tersebut.[26]
Jawaban:
Sebetulnya syubhat seperti ini sangat
nyata sekali kelemahannya bagi seorang yang dikaruniai oleh Alloh ilmu
agama. Namun karena khawatir adanya saudara kami yang kurang berilmu
tertipu dengan syubhat ini maka izinkanlah kami memberikan komentar
terhadap syubhat ini:
- Kami telah mengecek kitab Syu’abul Iman karya al-Imam al-Baihaqi, bahkan kami juga melacaknya melalui program “Maktabah Syamilah”, namun sayangnya hadits dengan redaksi di atas tidak kami temukan. Oleh karena itu, tanpa mengurangi rasa hormat kami berharap kepada saudara kami yang membawakan hadits di atas untuk mencantumkan sumbernya secara jelas juz dan halamannya, agar kita lihat sanad hadits ini, sebab bila tanpa sanad, maka semua orang bisa berbicara, sebagaimana kata al-Imam Ibnul Mubarok rahimahulloh.
- Kalau kita cermati nukilan di atas, kita akan merasakan kejanggalan, bagaimana al-Waqidi langsung meriwayatkan dari Rosululloh shalallahu ‘alayhi wa sallam, padahal beliau (al-Waqidi) wafat tahun 207 H. Berarti ada mata rantai sanad yang terputus. Apalagi, al-Waqidi telah dilemahkan haditsnya oleh mayoritas ulama ahli hadits seperti al-Bukhori, an-Nasa‘i, ad-Daroquthni, dan lain-lain, sehingga al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahulloh berkata menyimpulkan statusnya, “Matruk (ditinggalkan haditsnya) sekalipun dia luas ilmunya.[27]
- Anggaplah hadits ini shohih, tetap bisa dijadikan dalil tentang perayaan haul? Coba anda bayangkan, dari arah mana segi perdalilan hadits ini? Bukankah yang terdapat dalam hadits ini hanya berbicara tentang ziarah kubur saja, lantas bagaimana bisa disamakan dengan perayaan haul yang lazim diamalkan manusia zaman sekarang dengan aneka variasi acaranya yang khas? Pernah model perayaan seperti diamalkan oleh Nabi dan para sahabatnya?! Sungguh, ini adalah penyesatan yang sangat nyata dalam berdalil.
- Kami tambahkan di sini bahwa mimpi Syaikh Junaid al-Masro’i di atas adalah bukanlah hujjah sama sekali, karena mimpi bukanlah landasan dalam agama Islam[28] itu hanyalah bualan kaum sufi belaka yang beribadah dengan impian dan hawa nafsu. Demikian juga ritual rojabiyyah itu tidak ada dasarnya dalam agama, bahkan termasuk bid’ah dalam agama.[29]
Penutup
Demikianlah penjelasan singkat tentang perayaan haul. Semoga tulisan ini dapat menjadi sinar kebenaran bagi para pencari kebenaran. Carilah kebenaran itu dan peganglah erat-erat. Tinggalkan segala belenggu fanatik dan taklid yang acapkali membutakan pandangan orang dan yakinlah bahwa timbangan kebenaran itu bukanlah pada mayoritas atau minoritas, melainkan pada dalil yang dibangun di atas al-Qur‘an, hadits shohih sesuai dengan pemahaman salaf sholih. Semoga Alloh menjadikan kita termasuk para pencari kebenaran dan penegak kebenaran. Amin.
Demikianlah penjelasan singkat tentang perayaan haul. Semoga tulisan ini dapat menjadi sinar kebenaran bagi para pencari kebenaran. Carilah kebenaran itu dan peganglah erat-erat. Tinggalkan segala belenggu fanatik dan taklid yang acapkali membutakan pandangan orang dan yakinlah bahwa timbangan kebenaran itu bukanlah pada mayoritas atau minoritas, melainkan pada dalil yang dibangun di atas al-Qur‘an, hadits shohih sesuai dengan pemahaman salaf sholih. Semoga Alloh menjadikan kita termasuk para pencari kebenaran dan penegak kebenaran. Amin.
http://abiubaidah.com/
____________________________________________________________
[1] Al-I’tishom 1/64–65 al-Imam asy-Syatibi (tahqiq: Salim al-Hilali)
[2] HR. Ahmad: 3/103, Abu Dawud: 1134, dan an-Nasa‘i: 3/179.
[3] Fathul Bari: 1/159, Tafsir Ibnu Rojab: 1/390
[4] Latho‘iful Ma’arif hlm. 228
[5] Iedul Yuyil Bid’atun Fil Islam hlm. 7–8
[6] Ahkam Iedain Fi Sunnah al-Muthohharoh hlm. 14, Ali bin Hasan al-Halabi
[7] Diringkas dari buku “Kupas Tuntas Masalah Peringatan Haul” karya Imron AM, hlm. 13–14, cet. al-Fikar, tahun 2005 M.
[8] Latho‘iful Ma’arif hlm. 113
[9] Syahr al-Muharrom wa Yaum ’Asyuro, Abdulloh Haidir, hlm. 29
[10] Al-Arba’in wal Khomis wa Dzikro Sanawiyyah hlm. 12–13 oleh Amr Abdul Mun’im. Lihat pula buku “Santri NU Menggugat Tahlilan” oleh Harry Yuniardi dan buku “Muallaf Menggugat Tahlilan” oleh Ust. Abdul Aziz (mantan pendeta Hindu).
[11] HR. Muslim: 1218
[12] Shohih.
Dikeluarkan Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnad-nya (2/204) dan ini
lafazhnya dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (1/514 no. 1612) dan
dishohihkan oleh an-Nawawi, al-Bushoiri, asy-Syaukani, Ahmad Syakir, dan
al-Albani dalam Ahkamul Jana‘iz hlm. 210 cet. Mkt. Ma’arif.
[13] Lihat al-Majmu’: 5/290 karya an-Nawawi, al-Amru Bil Ittiba’ hlm. 288 karya as-Suyuthi, I’anah Tholibin: 2/145–146 oleh Syaikh Abu Bakar Muhammad Syatho.
[14] Al-Umm: 1/318
[15] Lihat masalah ini dalam al-Atsar wal Masyahid wa Atsaru Ta’zhimihima ’Ala Ummat Islamiyyah oleh Dr. Abdul Aziz al-Jufar.
[16] Di
antara kepercayaan masyarakat yang sampai saat ini masih menebal adalah
bahwa barokah mayit yang diupacarai itu menembus sampai ke berkat
(nasi/bubur kharisa hasil kenduri) upacara haul
sehingga mereka menyimpan berkat tersebut untuk persediaan selama
setahun dengan cara dikeringkan, biasanya untuk obat panas dengan cara
direndam dalam air kemudian diminumkan pada si sakit atau setiap kali
mereka menanak nasi maka berkat haul tadi ditaburkan sedikit agar berasnya tidak habis-habis karena berkahnya mbah Kyai. (Lihat Buku Putih Kyai NU hlm. 184 oleh Kyai Afrokhi Abdul Ghoni). Dan lihat tentang masalah tabarruk dengan kuburan orang sholih dalam kitab at-Tabaruk oleh Dr. Nashir al-Juda’i hlm. 388–415.
[17] HR. an-Nasa‘i: 3057 dengan sanad shohih
[18] HR. Abu Dawud: 1746 dishohihkan oleh al-Albani dalam Shohihul Jami’ no. 7226.
[19] Lihat Fathul Bari kar. Ibnu Hajar: 1/685.
[20] Lihat al-Kaba‘ir oleh al-Imam adz-Dzahabi (tahqiq: Masyhur bin Hasan) hlm. 358–359
[21] Karena
patokan (definisi) dosa besar adalah “setiap dosa yang memiliki hukuman
di dunia seperti membunuh, berzina, mencuri, atau yang mendapat ancaman
di akhirat berupa adzab, murka, atau dilaknat pelakunya oleh Alloh atau
melalui lisan rosul-Nya”. (Lihat Majmu’ Fatawa: 11/650–657 Ibnu Taimiyyah, al-Kaba‘ir hlm. 89 adz-Dzahabi)
[22] Al-Mufhim: 2/577
[23] Al-Qoulul Mufid: 2/25 Ibnu Utsaimin
[24] Lihat pula Bid’aul Qubur Anwa’uhu wa Ahkamuhu hlm. 339–340 oleh Syaikh Sholih al-Ushoimi dan at-Tabarruk hlm. 417 oleh Dr. Nashir al-Juda’i, al-Arba’in wal Khomis wa Dzikro Sanawiyyah hlm. 14–46 oleh Amr Abdul Mun’im, 2/260.
[25] Sudah banyak ustadz dan peneliti yang menulis buku tentang hal ini, seperti Ustadzuna Abdul Hakim bin Amir Abdat dalam Hukum Tahlilan Menurut Empat Madzhab, Ustadz Abu Ihsan al-Medani dalam Bincang-Bincang Seputar Tahlilan Yasinan dan Maulidan, ustadzuna Abu Ibrohim dalam Penjelasan Gamblang Tentang Yasinan Tahlilan dan Selametan, Ustadz Hartono Ahmad Jaiz dalam Tarekat Tasawwuf Tahlilan dan Maulidan, Ustadz Abdul Aziz dalam Muallaf Menggugat Tahlilan, saudara Harry Yuniardi dalam Santri NU Menggugat Tahlilan. Dan saya juga memiliki tulisan ringkas mengenai hal ini berjudul Tahlilan Dalam Pandangan Ulama Madzhab, tercetak bersama buku saya Polemik Perayaan Maulid Nabi.
[26] http://www.nu.or.id/
[27] Tahdzib Tahdzib: 9/364–365. Lihat pula as-Siroh an-Nabawiyyah Fi Dhou‘i al-Mashodir Ashliyyah: 1/32–33 oleh Dr. Mahdi Rizqulloh.
[28] Lihat masalah ini secara bagus dalam al-Muqoddimat al-Mumahhidat as-Salafiyyat Fi Tafsir Ru‘a wal Manamat hlm. 247–276 oleh Masyhur Hasan Salman dan Umar Abu Tholhah, dan kitab Ushulun Bila Ushulin hlm. 63–76 oleh Dr. Muhammad bin Isma’il al-Muqoddam.
[29] Lihat Bida’un wa Akhtho‘ 3 hlm. 18 oleh Ahmad as-Sulami.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer