Minggu ini kita akan memasuki bulan
suci Muharram di tahun baru 1433 Hijriah. Seakan tidak terasa, waktu
berjalan dengan cepat; pergantian hari, pekan, bulan, dan tahun berlalu
silih berganti seiring dengan bergantinya siang dan malam.
Sebagai
seorang hamba Allah tentu saja kita dituntut untuk memanfaatkan umur
kita dalam rangka beribadah kepada-Nya di segala bulan yang ada, akan
tetapi syariat Islam juga mengajarkan kepada kita bahwa ada beberapa
bulan yang memiliki keutamaan, karakteristik dan ibadah tertentu yang
dianjurkan padanya. Atas dasar itulah Al Imam Ibnu Rajab Al Hanbali
rahimahulloh menyusun kitabnya yang berjudul “Lathoif Al Ma’aarif Fiimaa Limawaasimil ‘Aam minal Wazhoif”, kitab beliau ini merinci keutamaan beberapa bulan yang ada beserta amalan-amalan sholeh yang dianjurkan padanya.
Bagaimana dengan bulan Muharram, apa
saja keutamaannya dan ibadah apa yang dianjurkan padanya? Semoga tulisan
yang ringkas dan sederhana ini bisa memberikan pencerahan bagi anda,
wahai para pecinta sunnah Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam.
Penamaan Bulan Ini
Kata Muharram secara bahasa, berarti
diharamkan. Abu ‘Amr ibn Al ‘Alaa berkata, “Dinamakan bulan Muharram
karena peperangan(jihad) diharamkan pada bulan tersebut” (Tarikh Ad
Dimasyq 1/51); jika saja jihad yang disyariatkan lalu hukumnya menjadi
terlarang pada bulan tersebut maka hal ini bermakna perbuatan-perbuatan
yang secara asal telah dilarang oleh Allah Ta’ala memiliki penekanan
pengharaman untuk lebih dihindari secara khusus pada bulan ini.
Beberapa Keutamaan Bulan Muharram
Beberapa Keutamaan Bulan Muharram
a. Bulan Muharram Merupakan Salah Satu Diantara Bulan-Bulan Haram
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ
عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ
اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ
ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi
Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia
menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu
dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya
sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya
Allah beserta orang-orang yang bertakwa." (Q.S. at Taubah
:36).
Salah seorang ahli tafsir dari kalangan tabi’in yang bernama Qatadah bin Di’amah Sadusi rahimahulloh menyatakan,
“Amal sholeh lebih besar pahalanya jika dikerjakan di bulan-bulan haram
sebagaimana kezholiman di bulan-bulan haram lebih besar dosanya
dibandingkan dengan kezholiman yang dikerjakan di bulan-bulan lain
meskipun secara umum kezholiman adalah dosa yang besar” (lihat Tafsir Al
Baghawi dan Tafsir Ibn Katsir)
Dalam hadis yang diriwayatkan dari
sahabat Abu Bakrah radhiyallohu anhu, Rasulullah shallallohu ‘alaihi
wasallam menjelaskan keempat bulan haram yang dimaksud :
إِنَّ الزَّمَانَ قَدْ
اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ
السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثٌ
مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ
مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
“Sesungguhnya zaman itu berputar
sebagaimana bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi.
Setahun itu ada dua belas bulan diantaranya terdapat empat bulan yang
dihormati : 3 bulan berturut-turut; Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram
serta satu bulan yang terpisah yaitu Rajab Mudhar, yang terdapat
diantara bulan Jumada Akhiroh dan Sya’ban.” [ HR. Bukhari (3197) dan
Muslim(1679) ]
Para ulama bersepakat bahwa keempat
bulan haram tersebut memiliki keutamaan dibandingkan dengan bulan-bulan
yang lain selain Ramadhan, namun demikian mereka berbeda pendapat, bulan
apakah yang paling afdhal diantara keempat bulan haram yang ada ? Imam
Hasan Al Bashri rahimahulloh dan beberapa ulama lainnya berkata,
“Sesungguhnya Allah telah memulai waktu yang setahun dengan bulan haram
(Muharram) lalu menutupnya juga dengan bulan haram (Dzulhijjah) dan
tidak ada bulan dalam setahun setelah bulan Ramadhan yang lebih agung di
sisi Allah melebihi bulan Muharram” (Lihat : Lathoif Al Ma’arif hal 36)
b. Bulan Muharram disifatkan sebagai Bulan Allah
b. Bulan Muharram disifatkan sebagai Bulan Allah
Kedua belas bulan yang ada adalah
makhluk ciptaan Allah, akan tetapi bulan Muharram meraih keistimewaan
khusus karena hanya bulan inilah yang disebut sebagai “syahrullah”
(Bulan Allah)
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda :
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
“Puasa yang paling utama setelah
Ramadhan adalah puasa di bulan Allah (yaitu) Muharram. Sedangkan shalat
yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam”. [ H.R.
Muslim (11630) dari sahabat Abu Hurairah radhiyallohu anhu]
Hadits ini mengindikasikan adanya
keutamaan khusus yang dimiliki bulan Muharram karena disandarkan kepada
lafzhul Jalalah (lafazh Allah). Para Ulama telah menerangkan bahwa
ketika suatu makhluk disandarkan pada lafzhul Jalalah maka itu
mengindikasikasikan tasyrif (pemuliaan) terhadap makhluk tersebut,
sebagaimana istilah baitullah (rumah Allah) bagi mesjid atau lebih
khusus Ka’bah dan naqatullah (unta Allah) istilah bagi unta nabi Sholeh
‘alaihis salam dan lain sebagainya.
Al Hafizh Abul Fadhl Al ‘Iraqy
rahimahulloh menjelaskan, “Apa hikmah dari penamaan Muharram sebagai
syahrulloh (bulan Allah) sementara seluruh bulan milik Allah ? Mungkin
dijawab bahwa hal itu dikarenakan bulan Muharram termasuk diantara
bulan-bulan haram yang Allah haramkan padanya berperang, disamping itu
bulan Muharram adalah bulan perdana dalam setahun maka disandarkan
padanya lafzhul Jalalah (lafazh Allah) sebagai bentuk pengkhususan
baginya dan tidak ada bulan lain yang Nabi Muhammad shallallohu alaihi
wasallam sandarkan kepadanya lafzhul Jalalah melainkan bulan Muharram”
(lihat Hasyiah As Suyuthi ‘ala Sunan An Nasaai)
Amalan Yang Dianjurkan di Bulan Muharram
Amalan Yang Dianjurkan di Bulan Muharram
Sebagaimana telah disebutkan di atas
dari perkataan Qatadah rahimahulloh bahwa amalan sholeh dilipatgandakan
pahalanya di bulan-bulan haram, dengan demikian secara umum segala jenis
kebaikan dianjurkan untuk diperbanyak dan ditingkatkan kualitasnya di
bulan Muharram. Adapun ibadah yang dianjurkan secara khusus pada bulan
ini adalah memperbanyak puasa sunnah sebagaimana yang telah disebutkan
dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallohu ‘anhu,
beliau berkata Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
“Puasa yang paling utama setelah
Ramadhan adalah puasa di bulan Allah (yaitu) Muharram dan shalat yang
paling utama setelah puasa wajib adalah sholat lail” [ HR.
Muslim(11630) ]
Mulla Al Qari’ menyebutkan bahwa hadits
di atas sebagai dalil anjuran berpuasa di seluruh hari bulan Muharram.
Namun ada satu masalah yang kadang ditanyakan berkaitan dengan hadits
ini yaitu, ‘Bagaimana memadukan antara hadits ini dengan hadits yang
menyebutkan bahwa Nabi shallallohu alaihi wasallam memperbanyak puasa di
bulan Sya’ban bukan di bulan Muharram? Imam Nawawi rahimahullah telah
menjawab pertanyaan ini, beliau mengatakan boleh jadi Rasulullah
shallallohu alaihi wasallam belum mengetahui keutamaan puasa Muharram
kecuali di akhir hayat beliau atau mungkin ada saja beberapa udzur yang
menghalangi beliau untuk memperbanyak berpuasa di bulan Muharram seperti
beliau mengadakan safar atau sakit. [Lihat Al Minhaj Syarah Shohih
Muslim bin Hajjaj]
Kemudian anjuran berpuasa di bulan
Muharram ini lebih dikhususkan dan ditekankan hukumnya pada hari yang
dikenal dengan istilah Yaumul 'Asyuro, yaitu pada tanggal sepuluh bulan
ini. ‘Asyuro berasal dari kata ‘Asyarah yang berarti sepuluh. Pada hari
‘Asyuro ini, Rasulullah shallahu alaihi wasallam mengajarkan kepada
umatnya untuk melaksanakan satu bentuk ibadah dan ketundukan kepada
Allah Ta’ala yaitu ibadah puasa, yang kita kenal dengan puasa Asyuro.
Hadits-Hadits Disyariatkannya Puasa ‘Asyuro
Hadits-Hadits Disyariatkannya Puasa ‘Asyuro
Adapun hadis-hadis yang menjadi dasar
ibadah puasa tersebut banyak, kami akan sebutkan diantaranya dengan
pengklasifikasian sebagai berikut:
1. Kaum Yahudi juga berpuasa di hari Asyuro bahkan menjadikannya sebagai Ied (hari raya)
1. Kaum Yahudi juga berpuasa di hari Asyuro bahkan menjadikannya sebagai Ied (hari raya)
عَنْ ابْنِ
عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ
عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ
نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى
قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma berkata :
Ketika Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. tiba di Madinah, beliau
melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘ Asyura, maka Beliau
bertanya : "Hari apa ini?. Mereka menjawab, “Ini adalah hari istimewa,
karena pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya,
Karena itu Nabi Musa berpuasa pada hari ini. Rasulullah shallallohu
alaihi wasallam pun bersabda, "Aku lebih berhak terhadap Musa daripada
kalian“
Maka beliau berpuasa dan memerintahkan shahabatnya untuk berpuasa. [ H.R. Bukhari (1865) dan Muslim(1910) ]
عَنْ أَبِي
مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا
تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَتَتَّخِذُهُ عِيدًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوهُ أَنْتُمْ
Dari Abu Musa radhiyallohu anhu berkata,
“Hari ‘Asyuro adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan mereka
menjadikannya sebagai hari raya, maka Rasulullah shallallohu alaihi
wasallam bersabda (kepada ummatnya), “Berpuasalah kalian (pada hari
itu)” [HR. Bukhari (1866) dan Muslim(1912), lafal hadits ini menurut
periwayatan imam Muslim)
2. Kaum Quraiys di zaman Jahiliyah juga
berpuasa Asyuro dan puasa ini diwajibkan atas kaum muslimin sebelum
kewajiban puasa Ramadhan
عَنْ عَائِشَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ
قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ
وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ
عَاشُورَاءَ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ . متفق عليه.
Dari Aisyah radhiyallohu anha berkata,
Kaum Qurays pada masa Jahiliyyah juga berpuasa di hari ‘Asyuro dan
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam juga berpuasa pada hari itu,
ketika beliau telah tiba di Medinah maka beliau tetap mengerjakannya dan
memerintahkan ummatnya untuk berpuasa. Setelah puasa Ramadhan telah
diwajibkan beliau pun meninggalkan (kewajiban) puasa ‘Asyuro, seraya
bersabda, “Barangsiapa yang ingin berpuasa maka silakan tetap berpuasa
dan barangsiapa yang tidak ingin berpuasa maka tidak mengapa” [ HR.
Bukhari (1863) dan Muslim(1897) ]
عن عَبْد
اللَّهِ بْن عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ أَهْلَ
الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوا يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَامَهُ وَالْمُسْلِمُونَ
قَبْلَ أَنْ يُفْتَرَضَ رَمَضَانُ فَلَمَّا افْتُرِضَ رَمَضَانُ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ عَاشُورَاءَ
يَوْمٌ مِنْ أَيَّامِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ
(رواه مسلم)
Dari Abdullah bin Umar radhiyallohu
anhuma bahwa kaum Jahiliyah dulu berpuasa Asyuro dan Rasulullah
shallallohu alaihi wasallam serta kaum muslimin juga berpuasa sebelum
diwajibkan puasa Ramadhan, Rasulullah shallallohu alaihi wasallam
bersabda, “Sesungguhnya hari ‘Asyuro termasuk hari-hari Allah,
barangsiapa ingin maka berpuasalah dan siapa yang ingin meninggalkan
maka boleh” [ HR. Muslim(1901) ]
3. Perhatian Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam dan para sahabat ridwanullohi alaihim ajmain yang begitu besar terhadap puasa ‘Asyuro
3. Perhatian Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam dan para sahabat ridwanullohi alaihim ajmain yang begitu besar terhadap puasa ‘Asyuro
عَنْ ابْنِ
عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى
غَيْرِهِ إِلَّا هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ
يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ
"Aku tidak pernah melihat Rasulullah
shallallohu alaihi wasallam, berupaya keras untuk puasa pada suatu hari
melebihi yang lainnya kecuali pada hari ini, yaitu hari ‘Asyura dan
bulan ini yaitu Ramadhan.” [ H.R. Bukhari (1867) dan Muslim(1914) ]
عَنْ
الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَ قَالَتْ أَرْسَلَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاةَ عَاشُورَاءَ إِلَى
قُرَى الْأَنْصَارِ الَّتِي حَوْلَ الْمَدِينَةِ مَنْ كَانَ أَصْبَحَ
صَائِمًا فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ وَمَنْ كَانَ أَصْبَحَ مُفْطِرًا
فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ فَكُنَّا بَعْدَ ذَلِكَ نَصُومُهُ
وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا الصِّغَارَ مِنْهُمْ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
وَنَذْهَبُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَنَجْعَلُ لَهُمْ اللُّعْبَةَ مِنْ
الْعِهْنِ فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهَا
إِيَّاهُ عِنْدَ الْإِفْطَارِ
Dari Rubai’ bintu Mu’awwidz bin ‘Afra’
radhiyallohu ‘anha berkata, Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam di
pagi hari Asyuro mengutus ke perkampungan kaum Anshar yang berada di
sekitar Medinah (pesan), “Barangsiapa yang tidak berpuasa hari itu
hendaknya menyempurnakan sisa waktu di hari itu dengan berpuasa dan
barangsiapa yang berpuasa maka hendaknya melanjutkan puasanya”. Rubai’
berkata, “Maka sejak itu kami berpuasa pada hari ‘Asyuro dan menyuruh
anak-anak kami berpuasa dan kami buatkan untuk mereka permainan yang
terbuat dari kapas lalu jika salah seorang dari mereka menangis karena
ingin makan maka kami berikan kepadanya permainan tersebut hingga masuk
waktu berbuka puasa” [ HR. Bukhari (1960) dan Muslim (1136), redaksi
hadits ini menurut periwayatan Imam Muslim ]
4. Keutamaan puasa Asyuro
4. Keutamaan puasa Asyuro
عَنْ أَبِي
قَتَادَةَ رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ إِنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى
اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
Dari Abu Qatadah radhiyallohu anhu bahwa
Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Puasa hari ‘Asyuro
aku berharap kepada Allah akan menghapuskan dosa tahun lalu” [ HR.
Tirmidzi (753), Ibnu Majah (1738) dan Ahmad(22024). Hadits semakna
dengan ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shohih beliau
(1162) ]
5. Bagi yang ingin berpuasa ‘Asyuro hendaknya berpuasa juga sehari sebelumnya
Ibnu Abbas radhiyallohu ‘anhuma berkata :
Ketika Rasulullah shallallohu alaihi
wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan kaum muslimin
berpuasa, mereka (para shahabat) menyampaikan, "Ya Rasulullah ini adalah
hari yang diagungkan Yahudi dan Nasrani". Maka Rasulullah shallallohu
alaihi wasallam pun bersabda:
فَإِذَا كَانَ
الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ
قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"Jika tahun depan insya Allah (kita
bertemu kembali dengan bulan Muharram), kita akan berpuasa juga pada
hari kesembilan (tanggal sembilan).“
Akan tetapi belum tiba Muharram tahun depan hingga Rasulullah shallallohu alaihi wasallam wafat di tahun tersebut [ HR. Muslim (1134) ]
Akan tetapi belum tiba Muharram tahun depan hingga Rasulullah shallallohu alaihi wasallam wafat di tahun tersebut [ HR. Muslim (1134) ]
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ صُومُوا التَّاسِعَ وَالْعَاشِرَ وَخَالِفُوا الْيَهُودَ
Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma beliau
berkata, “Berpuasalah pada tanggal sembilan dan sepuluh Muharram,
berbedalah dengan orang Yahudi”
[ Diriwayatkan dengan sanad yang shohih oleh Baihaqi di As Sunan Al Kubro (8665) dan Ath Thobari di Tahdzib Al Aatsaar(1110)]
6. Hukum Berpuasa Sehari Sesudah ‘Asyuro (tanggal 11 Muharram)
6. Hukum Berpuasa Sehari Sesudah ‘Asyuro (tanggal 11 Muharram)
Imam Ibnu Qoyyim dalam kitab Zaadul
Ma’aad setelah merinci dan menjelaskan riwayat-riwayat seputar puasa
‘Asyuro, beliau menyimpulkan ada tiga tingkatan berpuasa ‘Asyuro:
Urutan pertama; dan ini
yang paling sempurna adalah puasa tiga hari, yaitu puasa tanggal
sepuluh ditambah sehari sebelum dan sesudahnya (9,10,11). Urutan kedua; puasa tanggal 9 dan 10. Inilah yang disebutkan dalam banyak hadits .
Urutan ketiga, puasa tanggal 10 saja. (Zaadul Ma’aad 2/63)
Kesimpulan Ibnul Qayyim di atas didasari
dengan sebuah hadits dari Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma, Rasulullah
shallallohu alaihi wasallam. bersabda :
صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا
"Puasalah pada hari Asyuro, dan
berbedalah dengan Yahudi dalam masalah ini, berpuasalah sehari
sebelumnya atau sehari sesudahnya.“ [HR. Imam Ahmad(2047), Ibnu
Khuzaimah(2095) dan Baihaqi (8667)]
Namun hadits ini sanadnya lemah, Asy Syaikh Al Albani rahimahulloh menyatakan, “Hadits ini sanadnya lemah karena salah seorang perowinya yang bernama Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila jelek hafalannya, selain itu riwayatnya menyelisihi riwayat ‘Atho bin Abi Rabah dan selainnya yang juga meriwayatkan dengan sanad yang shohih bahwa ini adalah perkataan Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma sebagaimana yang disebutkan oleh Thahawi dan Baihaqi [Ta’liq Shohih Ibn Khuzaimah (3/290)]
Namun demikian puasa sebanyak tiga hari (9,10,dan 11 Muharram) dikuatkan oleh para ulama dengan dua alasan :
- Sebagai kehati-hatian, yaitu kemungkinan penetapan awal bulannya tidak tepat,maka puasa tanggal sebelasnya akan dapat memastikan bahwa seseorang mendapatkan puasa Tasu’a (tanggal 9) dan Asyuro (tanggal 10)
- Dimasukkan dalam puasa tiga hari pertengahan bulan (Ayyamul bidh).
Adapun puasa tanggal 9 dan 10,
pensyariatannya dinyatakan dalam hadis yang shahih, dimana Rasulullah
shallallohu alaihi wasallam pada akhir hidup beliau sudah merencanakan
untuk puasa pada tanggal 9, hanya saja beliau wafat sebelum
melaksanakannya. Beliau juga telah memerintahkan para shahabat untuk
berpuasa pada tanggal 9 dan tanggal 10 agar berbeda dengan ibadah
orang-orang Yahudi.
Sedangkan puasa pada tanggal sepuluh saja; sebagian ulama memakruhkannya, meskipun sebagian ulama yang lain memandang tidak mengapa jika hanya berpuasa ‘Asyuro (tanggal 10) saja,wallohu a’lam.
Sedangkan puasa pada tanggal sepuluh saja; sebagian ulama memakruhkannya, meskipun sebagian ulama yang lain memandang tidak mengapa jika hanya berpuasa ‘Asyuro (tanggal 10) saja,wallohu a’lam.
Secara umum, hadits-hadis yang terkait
dengan puasa Muharram menunjukkan anjuran Rasulullah shallallohu alaihi
wasallam untuk melakukan puasa,sekalipun hukumnya tidak wajib tetapi
sunnah muakkadah(sangat dianjurkan), dan tentunya kita sepatutnya
berusaha untuk menghidupkan sunnah yang telah banyak dilalaikan oleh
kaum muslimin.
Beberapa Pelanggaran dan Bid’ah Yang Sering Terjadi di Bulan Muharram
Beberapa Pelanggaran dan Bid’ah Yang Sering Terjadi di Bulan Muharram
1. Pada awal Muharram, yang kadang
dikenal dengan istilah 1 Suro, di tanah air sering diadakan acara ritual
dan adat yang beraneka macam bahkan tidak jarang mengarah bahkan telah
terjatuh pada kesyirikan, seperti meminta berkah pada benda-benda yang
dianggap keramat dan sakti, membuang sesajian ke laut agar Sang Dewi
penjaga laut tidak marah dan lain sebagainya. Sebagian lagi dari kaum
muslimin menjadikan bulan Muharram sebagai bulan yang keramat dan
sakral, sehingga menurut keyakinan mereka tidak boleh mengadakan hajatan
besar di bulan tersebut seperti pernikahan, membangun rumah dan
lain-lain. Di sisi lain ada juga di kalangan kaum muslimin menjadikan
hari ‘Asyuro seperti layaknya hari lebaran, dimana mereka memperbanyak
belanja dapur pada hari tersebut seakan-akan mengadakan pesta atau
berhari raya. Sehingga di hari itu dikenal berbagai macam model makanan
yang dinamakan secara khusus dengan ‘Asyuro seperti bubur ‘Asyuro.
Perbuatan mereka ini didasari hadits yang diriwayatkan:
مَنْ وَسَّعَ عَلَى عِيَالِهِ في يَوْمِ عَاشُورَاءَ وَسَّعَ الله عَلَيْهِ في سَنَتِهِ كُلِّهَا
“Barangsiapa yang melapangkan (nafkah)
kepada keluarganya pada hari ‘Asyura, niscaya Allah akan melapangkan
(rizkinya) selama setahun itu” [ HR.
Thobrani(10007) dan Baihaqi di kitab Syu’abul Iman (3792) ]
Hadits ini telah dilemahkan oleh banyak
ulama hadits, bahkan ada yang menghukuminya sebagai hadits palsu. Imam
Ahmad mengatakan bahwa hadits ini tidak memiliki asal, silakan lihat
kitab Al Maudhu’at oleh ibnul Jauzi, Ahadits Al Qushshash oleh Ibnu
Taimiyah dan Al Fawaid Al Majmu’ah oleh Syaukani
Hal-hal yang telah disebutkan di atas dari kemungkaran-kemungkaran yang biasda terjadi di bulan Muharram harus dihindari oleh setiap muslim dimanapun mereka berada karena Rasulullah shallallohu alaihi wasallam telah mengajarkan pada kita agar memiliki jati diri sebagai seorang Muslim dalam kehidupan. Jangan sampai seorang muslim mudah terbawa oleh budaya atau ritual agama lain dalam menjalankan ibadah pada Allah ‘Azza wa Jalla. Ajaran yang dibawa Rasulullah shallallohu alaihi wasallam telah jelas dan sempurna tidak layak bagi kita untuk menambah atau menguranginya.
Hal-hal yang telah disebutkan di atas dari kemungkaran-kemungkaran yang biasda terjadi di bulan Muharram harus dihindari oleh setiap muslim dimanapun mereka berada karena Rasulullah shallallohu alaihi wasallam telah mengajarkan pada kita agar memiliki jati diri sebagai seorang Muslim dalam kehidupan. Jangan sampai seorang muslim mudah terbawa oleh budaya atau ritual agama lain dalam menjalankan ibadah pada Allah ‘Azza wa Jalla. Ajaran yang dibawa Rasulullah shallallohu alaihi wasallam telah jelas dan sempurna tidak layak bagi kita untuk menambah atau menguranginya.
Karena sebaik-baik pedoman adalah
kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk beliau, yang tidak
ada keselamatan kecuali dengan berpegang kepada keduanya dengan
mengikuti pemahaman para sahabat, tabi'in dan penerus mereka yang setia
berpegang kepada sunnahnya dan meniti jalannya, adapun hal-hal baru
dalam masalah agama adalah sesat sedangkan kesesatan itu akan
menghantarkan ke neraka, wal'iyadzubillah.
2. Pada tanggal 10 Muharram 61 H,
terjadilah tragedi berdarah yang memilukan dalam sejarah Islam, yaitu
terbunuhnya Husein radhiyallohu anhu cucu Rasulullah shallallohu alaihi
wasallam di sebuah tempat yang bernama Karbala. Peristiwa ini kemudian
dikenal dengan “Peristiwa Karbala”. Pembunuhan tersebut dilakukan oleh
pendukung Khalifah yang sedang berkuasa pada saat itu yaitu Yazid bin
Mu’awiyah, meskipun sebenarnya Khalifah sendiri saat itu tidak
menghendaki pembunuhan tersebut.
Karena peristiwa berdarah ini maka kaum
Syi’ah yang mengklaim diri mereka sebagai pengikut ahlul bait menjadikan
‘Asyura sebagai hari berkabung, duka cita dan menyiksa diri sebagai
ungkapan dari kesedihan dan penyesalan. Pada setiap ‘Asyura kaum Syi’ah
di seluruh dunia termasuk di negeri kita memperingati kematian Husein
radhiyallohu ‘anhu dengan melakukan perbuatan-perbuatan tercela seperti
berkumpul, menangis, meratapi Husein secara secara histeris, memukuli
tubuh dan wajah mereka, bahkan ada yang sampai tega melukai diri dan
anak-anak kecil dengan senjata tajam pada hari tersebut.
Peristiwa wafatnya Husain radhiyallohu
anhu memang sangat tragis dan memilukan bagi siapa saja yang mengenang
atau membaca kisahnya, dan kita tentu mencintai keluarga Rasulullah
shallallohu alaihi wasallam, apalagi terhadap orang yang sangat dicintai
oleh Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. Namun musibah apapun yang
terjadi dan betapapun kita sangat , hal itu jangan sampai membawa kita
larut dalam kesedihan dan melakukan kegiatan-kegiatan sebagai bentuk
duka dengan yang memukul-mukul diri, menangis apalagi sampai mencela
shahabat Rasulullah yang tidak termasuk Ahli Bait (keluarga dan
keturunan beliau). Yang mana hal ini biasa dilakukan suatu kelompok
Syi'ah yang mengaku memiliki kecintaan yang sangat tinggi terhadap Ahli
Bait (Keluarga Rasulullah), pdahal kenyataanya tidak demikian. Meratapi
musibah kematian diharamkan, siapapun yang meninggal dunia bahkan kepada
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pun kita dilarang memperingati
dan meratapi wafat beliau. Rasulullah shallallohu alaihi wasallam
bersabda,
أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي
مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لَا يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِي
الْأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ وَالْاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ
وَالنِّيَاحَةُ وَقَالَ النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا
تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ
وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ
“Ada empat perkara yang terdapat pada
ummatku termasuk, termasuk perbuatan kaum Jahiliyyah yang belum mereka
tinggalkan: Menyombongkan kebangsawanan, mencela nasab, meminta hujan
dengan bintang-bintang dan meratap”. Beliau berkata, “Orang yang
meratapi kematian jika dia belum taubat sebelum meninggal dunia maka
akan dibangkitkan pada hari kiamat dengan berpakaian hitam yang terbuat
dari ter dan baju besi yang berkudis” (HR. Muslim(1550) dari sahabat Abu
Malik Al Asy’ari radhiyallohu anhu)
Khatimah
Khatimah
Inilah pembahan ringkas dan sederhana
berkaitan dengan bulan suci nan agung Muharram, semoga kita selalu
diberi taufiq dan dibimbing oleh Allah subhanahu wata’ala ke jalan-Nya
yang lurus serta mendapatkan keridhaan dan ampunan-Nya, dan dimudahkan
dalam menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah shallallohu alaihi wasallam
di segala tempat dan di sepanjang waktu serta dijauhkan dari segala
bid’ah dan hal-hal yang bertentangan dengan syariat yang suci ini, amin
ya rabbal 'alamin.
Wallohu Waliyyut Taufiq.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer