Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ (١)الَّذِينَ
هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ (٢)وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ
مُعْرِضُونَ (٣)وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ (٤)وَالَّذِينَ
هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (٥)إِلا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا
مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (٦)فَمَنِ ابْتَغَى
وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (٧)
“Sesungguhnya,
beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang orang yang
khusyu’ dalam shalatnya, orang-orang yang menjauhkan diri dari
(perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, orang-orang yang
menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali
terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka
sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa yang
mencari hal lain di balik itu, mereka itulah orang-orang yang melampaui
batas.” (Qs. Al-Mu’minun, 1–7)Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan kita dalam sabdanya,
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنْ النِّسَاءِ
“Tidaklah kutinggalkan suatu ujian yang lebih berat bagi laki-laki, melebihi (ujian terkait) wanita.” (Hr. Bukhari, no. 4808; Muslim, no. 2740; dari Usamah bin Zaid)
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ
وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ
فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ
بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
“Sesungguhnya, dunia
ini manis dan hijau. Allah menjadikan kalian sebagai pengatur di
dalamnya secara turun temurun, lalu Dia melihat sikap kalian perbuat.
Karena itu, berhati-hatilah kalian terhadap dunia, dan berhati-hatilah
kalian terhadap wanita karena awal bencana yang menimpa Bani Israil
adalah pada wanitanya.” (Hadits sahih; Hr. Muslim, no. 2742)Telah jelaslah bagi kita, baik muslim maupun muslimah, bahwa seorang wanita itu dapat melemahkan iman seorang laki-laki. Wallahu a’lam.
Meski begitu, pernahkah kita berpikir dan merenungi bahwasan seorang laki-laki pun dapat menjadi fitnah (ujian, ed.) untuk seorang wanita? Memang, tidak ada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa seorang laki-laki dapat menjadikan fitnah bagi wanita, tetapi hendaknya seorang laki-laki menyadari bahwa di dalam kehidupan ini terdapat dua jenis insan: wanita dan laki-laki. Setiap sebab dan akibat tentulah memiliki koherensi atau kesinambungan satu sama lain. Apakah mungkin ada akibat tanpa ada sebab? Atau, sebaliknya? Wallahu a’lam.
Bagaimana bisa?
Penulis berikan contoh yang menggambarkan bahwa seorang lelaki muslim pun dapat menjadi fitnah bagi seorang muslimah. Jika ada seorang laki-laki dengan kemampuan ilmu yang tinggi, baik ilmu agama atau pun ilmu dunia (misalnya, kemampuan dalam bidang teknologi, dengan di dukung penampilan fisik yang menyejukkan mata, kefasihan dalam berbahasa, atau tingkat keuangan yang mencukupi), maka apakah semua ini akan berlalu begitu saja bagi seorang wanita? Tentu tidak, wahai lelaki muslim!
Seorang wanita itu juga memiliki hawa nafsu, layaknya seorang lelaki, walaupun tingkat hawa nafsunya tidak sebanding dengan laki-laki. Allahu a’lam.
Asy-Syaukani berkata, “Sebabnya adalah lelaki senang kepada wanita karena demikianlah ia telah diciptakan –memiliki kecondongan kepada wanita–. Demikian juga, karena sifat yang telah dimilikinya, berupa syahwat untuk menikah. Demikian juga, wanita senang kepada lelaki karena sifat-sifat alami dan naluri yang telah tertancap dalam dirinya. Oleh karena itu, setan menemukan sarana untuk mengobarkan syahwat yang satu kepada yang lainnya, sehingga terjadilah kemaksiatan.” (Nailul Authar, 9:231)
‘Iffah berlaku untuk lelaki maupun wanita
“‘Iffah“, sebuah kata yang pernah atau biasa kita dengar. “Si Fulan adalah seorang yang ‘afif“ atau “Si Fulanah adalah seorang yang ‘afifah“ merupakan sebutan bagi lelaki dan wanita yang memiliki iffah. Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan “‘iffah” itu?
Secara bahasa, “‘iffah“ adalah ‘menahan’. Adapun secara istilah, artinya ‘menahan diri sepenuhnya dari perkara-perkara yang Allah haramkan’. Dengan demikian, seorang yang ‘afif adalah orang yang bersabar dari perkara-perkara yang diharamkan, walaupun jiwanya cenderung mengarah kepada perkara tersebut dan menginginkannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
“Dan
orang-orang yang belum mampu untuk menikah hendaklah menjaga kesucian
dirinya sampai Allah menjadikan mereka mampu dengan karunia-Nya.” (Qs. An-Nur:33)Termasuk dalam makna “‘iffah” adalah menahan diri dari meminta-minta kepada manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ
“Orang
yang tidak tahu tersebut menyangka bahwa mereka (orang-orang fakir)
itu adalah orang-orang yang berkecukupan karena
mereka ta’affuf (menahan diri dari meminta-minta kepada manusia).” (Qs. Al-Baqarah:273)Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu mengabarkan bahwa orang-orang dari kalangan Anshar pernah meminta-minta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada seorang pun dari mereka yang meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melainkan beliau berikan, hingga habislah harta yang ada pada beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda kepada mereka ketika itu,
مَا يَكُونُ عِنْدِي مِنْ خَيْرٍ فَلَنْ
أَدَّخِرَهُ عَنْكُمْ وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ وَمَنْ
يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ
وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنْ الصَّبْرِ
“Tidak
ada harta di sisiku yang tidak kuberikan kepada kalian. Sesungguhnya,
barang siapa yang menahan diri dari meminta-minta maka Allah akan
memelihara dan menjaganya, barang siapa yang menyabarkan dirinya dari
meminta-minta maka Allah akan menjadikannya sabar, dan barang siapa
yang merasa cukup dengan Allah –sehingga dia tidak meminta kepada
selain-Nya– maka Allah akan memberikan kecukupan kepadanya. Tidaklah
kalian diberi suatu pemberian yang lebih baik dan lebih luas selain
daripada kesabaran.” (Hr. Al-Bukhari, no. 6470; Muslim, no. 1053)Al-Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk ta’affuf (menahan diri dari meminta-minta), qana’ah (merasa cukup), dan bersabar atas kesempitan hidup dan hal lainnya dari beragam kesulitan (perkara yang tidak disukai) di dunia.” (Syarah Shahih Muslim, 7:145)
Memang, usaha yang dilakukan untuk menjaga sebuah ‘iffah bukanlah usaha yang ringan. Perlu perjuangan jiwa yang sungguh-sungguh dengan meminta tolong kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyatakan,
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan
orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk mencari keridhaan Kami,
benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan
sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Qs. Al-Ankabut:69)Bagi seorang wanita muslimah, menjaga diri dan kehormatan itu sangatlah penting, namun bukan berarti perkara ini tidaklah penting bagi para lelaki muslim. Bisa jadi, berawal dari tidak pandainya seseorang menjaga diri dan kehormatan akan muncul berbagai bahaya dalam diri orang tersebut, sehingga akhirnya seorang anak Adam terpelosok ke dalam kubangan maksiat. Hal ini bisa disebabkan beberapa faktor, misalnya: penyimpangan dalam penggunaan sarana telekomunikasi, seperti: telepon, internet, dan sejenisnya. Juga, maraknya peredaran majalah dan VCD porno, serta yang semisalnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala befirman,
لا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَنْ يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
“Janganlah
kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barang siapa yang mengikuti
langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh untuk
mengerjakan perbuatan yang keji dan mungkar.” (Qs. An-Nur:21)Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ
ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ
وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا
فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ (١٣٥)أُولَئِكَ جَزَاؤُهُمْ مَغْفِرَةٌ مِنْ
رَبِّهِمْ وَجَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ
فِيهَا وَنِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ (١٣٦)
“Dan (juga)
orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya
diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu mereka memohon ampun
terhadap dosa-dosa mereka; dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa
selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya
itu, sedangkan mereka mengetahui. Bagi mereka ada balasan berupa
ampunan dari Rabb mereka dan surga yang di dalamnya mengalir
sungai-sungai dan mereka kekal di dalamnya. Itulah sebaik-baik pahala
bagi orang-orang yang beramal.” (Qs. Ali Imran:135–136)Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Seandainya orang yang berakal disuruh untuk memilih antara memenuhi keinginan nafsunya sesaat atau menghabiskan sisa umurnya dalam kerugian akibat mengikuti keinginan nafsu tersebut, pastilah orang itu memilih untuk tak akan pernah mendekati nafsunya tadi kendati ia diberi dunia dengan seluruh isinya. Hanya saja, karena mabuk untuk mengikuti hawa nafsu itu telah menghalangi untuk membedakan antara akal pikiran dan hawa nafsu.” (At-Taubah Wazhifatul ‘Umr, hlm. 213)
Bersambung, insya Allah ….
Penulis: Ummu Khaulah Ayu.
Muraja’ah: Ustadz Aris Munandar, S.S., M.A.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer