Pengutip: Abu Abdirrahman Agi Sumarta al-Padangi

Masing-masing dari Imam Empat (Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad -rahimahumullah-) melakukan ijtihad sesuai dengan hadits yang telah sampai kepadanya. Maka terjadinya perbedaan pendapat di antara mereka mungkin-mungkin saja, bahkan wajar-wajar saja, karena ada imam yang sudah mendengar hadits tertentu, sementara imam yang lain belum mendengar hadits tersebut. Hal itu disebabkan hadits-hadits waktu itu belum ditulis dan dirangkum secara khusus, dan para penghafal hadits telah berpencar-pencar di berbagai negeri. Ada yang di Hijaz, Syam, Irak, Mesir, dan di negeri-negeri Islam lainnya. Mereka hidup di suatu zaman dimana transportasi sangat sulit. Untuk itu kita lihat Imam Syafi'i sendiri telah meninggalkan pendapatnya yang lama (yang disebut dengan Al-Qaulul Qadim) ketika pindah ke Mesir dari Irak dan memperhatikan hadits-hadits yang baru dia dengar.

Ketika kita melihat Imam Syafi'i berpendapat bahwa wudhu' bisa batal karena menyentuh wanita (yang mahram, kalau yang bukan mahram kapan pun tidak boleh bersentuhan dengannya,-red) sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hal itu tidak membatalkan wudhu', maka kita harus kembali kepada hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala -yang artinya-, “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah(Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (untukmu) dan lebih baik akibatnya.” [QS.An-Nisaa':59]
Karena kebenaran tidak mungkin lebih dari satu, sehingga tidak mungkin hukum menyentuh wanita tadi membatalkan wudhu, dan tidak membatalkannya. Padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan beliau adalah sebaik-baik penafsir Al-Qur'an, pernah mengetepikan kaki 'Aisyah di waktu malam, padahal beliau sedang shalat [-lihat- HR.al-Bukhari]
Jika Imam Syafi'i (dan Imam madzhab lainnya, red) mendengar hadits ini atau jika hadits tersebut dianggap shahih (oleh beliau), maka ia tidak akan mengatakan bahwa wudhu batal karena menyentuh lain jenis, sebagaimana ia (Imam Syafi'i) telah mengatakan -yang artinya-, “Kalau ada hadits shahih, itulah madzhabku!”
Dan kita juga hanya diperintahkan mengikuti Al-Qur'an yang diturunkan Allah dan berbagai keterangan gamblang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melalui hadits-hadits shahihnya, sebagaimana firman Allah 'Azza wa Jalla -yang artinya-, “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran daripadanya.” [QS. Al-A'raf:3]
Maka seorang Muslim/muslimah yang mendengarkan hadits shahih tidak boleh menolaknya, karena hal itu bertentangan madzhab Imam Syafi'i (dan madzhab para Imam lainnya,red). Para imam madzhab telah melakukan ijma' untuk mengambil hadits shahih dan meninggalkan setiap pendapat yang bertentangan dengan hadits shahih tersebut.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyebutkan dalam bukunya Raf 'ul Malaam 'Anil A'immatil A'laam hal-hal yang baik tentang para Imam tersebut. Dan siapapun yang berbuat kekeliruan (dalam berfatwa) di antara mereka akan mendapat satu pahala dan jika benar akan mendapat dua pahala, dan itu dilakukan setelah berijtihad. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala mengasihi para Imam dan memberinya pahala. Wallhu a'lam.
Sumber rujukan : Buku “Imam Syafi'i Menggugat Syafi'iyyah”, karya al-Ustadz Abu Umar Basyir hafidzahullah, Rumah Dzikir: Solo

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2020.Junedi Ubaidilllah. Powered by Blogger.

Jumlah Pengunjung

Blog Archive

Anda Pengunjung Online

Followers